"Haruskah aku membersihkan tempat ini sendiri? Jika aku membersihkannya, pasti tidak akan cukup waktu satu hari. Ya Tuhan," lirih Arancia seraya meraup wajahnya kasar.
Gadis itu tampak menghembuskan napasnya lelah. Tapi ia tidak bisa mengelak dari takdir.
Arancia harus menghadapinya. Dan ia yakin, dirinya pasti bisa.
"Bismillah. Semoga saja tidak sampai seharian aku membersihkan Mansion luas ini."
Gadis itu mulai membersihkan ruangan yang bahkan luasnya bisa sampai tiga rumah di satukan. Arancia sesekali terlihat menghela napasnya lelah.
Padahal baru separuh jalan ia membersihkan lantai bawah. Belum lantai atas, halaman depan dan belakang. Yang paling Arancia benci, ia harus membersihkan kolam renang yang berada tepat di halaman belakang Mansion itu.
"Kenapa ia tidak membawaku ke rumah yang sederhana saja, aku lebih suka tinggal di rumah sederhana daripada tinggal di tempat mewah tetapi sendiri," lirih Arancia.
Hampir tiga jam gadis itu membersihkan ruangan depan. Mengelap satu persatu barang yang berada di sana. Bahkan mengepel lantai, yang kata lelaki itu harus begitu bersih.
Arancia sesekali mengusap keringat yang terjatuh di keningnya. Rambut ia ikat tinggi-tinggi, supaya tidak menganggu pekerjaannya.
"Ya Allah, sampai kapan aku harus melakukan ini?" lirih Arancia.
Semua aktivitas Arancia, dapat Kevan lihat dari tab miliknya. Ia sengaja memantau aktivitas perempuan itu dari CCTV yang ada di Mansionnya.
Kevan menatap lamat wajah Arancia. Ternyata wajahnya jauh lebih cantik dari Zahra, yang notabene memakai make up tebal. Berbeda dengan Arancia, wajahnya tampak begitu alami tanpa polesan apapun.
"Dia memang cantik, dan terlihat lugu. Namun aku harus tetap waspada. Jangan sampai jatuh ke dalam lubang yang sama untuk ke dua kalinya. Cukup wanita ular itu yang menipuku dan menolakku mentah-mentah."
******
"Ahh, shhh lebih dalam lagi," desahan dan erangan tampak menggema di sebuah ruangan.
Terlihat dua orang manusia tengah mengejar kenikmatan mereka. Peluh sudah membasahi tubuh keduanya.
Sang pria masih asyik menaiki tubuh sexy wanita itu. Sedangkan si wanita tengah asyik mereguk nikmat persetubuhan yang terjadi saat ini.
"Yes, ah tubuhmu begitu candu," racau si pria. "Untung saja si Kevan cacat itu menikah dengan wanita lain, jika tidak aku tidak akan bisa kembali menikmati tubuh sexymu yang sudah menjadi candu untukku. Aku harap kau selalu siap, Zahra jika aku membutuhkanmu untuk melampiaskan hasratku."
Ya perempuan itu adalah Zahra, orang yang sudah meninggalkan pernikahannya.
"Tentu saja, Sayang. Asalkan bayarannya sesuai. Aku tidak mau kau membayarku murah."
Laki-laki itu pun tertawa, "Memang dasarnya kau murahan! Padahal jika kau menikah dengan si cacat itu aku yakin kau akan hidup bahagia bergelimang harta!"
Zahra hanya tersenyum smirk. Lantas ia membalikkan tubuhnya, kini ia berada di atas tubuh lelaki itu. Mengambil alih permainan.
"Hmm, dan aku yakin juga ia tidak akan pernah melepaskanmu. Jika ia tahu lelaki yang menjadi selingkuhanku. Kau tahu bukan jika aku enggan menikah dengannya, andai saja wajahnya masih setampan dulu. Tentu aku tidak akan melepaskan tambang emas sepertinya. Dan ya meskipun ia tidak jadi menikah denganku, aku yakin ibuku tidak akan membiarkan Arancia dan Kevan hidup tenang. Ia pasti akan meminta apapun pada menantu kayanya itu, memanfaatkan kelemahan Arancia!"
Zahra tersenyum menyeringai. Lalu ia pun melanjutkan aktivitas panasnya. Hingga keduanya mereguk nikmatnya.
*******
Arancia menatap kosong ruangan itu. Pikirannya melayang pada ayahnya.
"Ayah bagaimana kabarmu? Apa Ibu memperlakukanmu dengan baik? Kenapa takdir kita seperti ini? Padahal aku tidak pernah berbuat jahat pada siapapun, tapi mengapa semesta seolah enggan berpihak padaku," lirih Arancia.
Semua yang di ucapkan Arancia dapat Kevan dengar. Saat ini lelaki itu akan masuk ke ruang operasi. Ia akan mengoprasi wajahnya, agar kembali seperti dulu.
Namun topeng di wajahnya tidak akan ia lepas. Biarlah orang-orang tahu, jika wajahnya masih terbakar.
"Tuan, apa anda sudah siap?" tanya tangan kanan Kevan.
Kevan hanya mengangguk. Lalu ia menyimpan tabnya, brangkar pun di dorong menuju ruang operasi. Sebelum masuk ruang operasi, Kevan menyuruh tangan kanannya untuk menyiapkan sebuah topeng yang bisa ia pakai.
"Siapkan sebuah topeng dari kulit sintetis. Topeng tersebut harus wajah yang hancur, seperti wajahku sebelum di operasi."
Laki-laki muda itu diam. Namun sedetik kemudian ia mengangguk.
"Baik tuan. Akan saya laksanakan!"
Setelah itu, Kevan pun di bawa ke ruang operasi. Lelaki muda itu menatap pintu operasi yang sudah tertutup.
Kecelakaan yang menimpa Kevan, ia yakini pasti karena ulah seseorang. Namun, hingga saat ini ia belum bisa menemukan siapa pelaku dari penyebab kecelakaan tersebut.
"Tenanglah, Tuan. Aku berjanji akan mendapatkan siapa pelaku yang sudah menyebabkan anda seperti ini."
Di sisi lain, Arancia tengah duduk di dekat jendela. Tidak lupa segelas teh ia pegang. Enam jam lamanya, ia membersihkan Mansion yang baginya sudah seperti istana raja.
Air mata gadis itu tampak menetes. Menikah dan ia tidak bisa kembali pada pekerjaannya. Anak-anak didiknya pasti akan sangat merindukan kehadirannya.
"Ibu, tolong Ara. Apakah Ara akan kuat menghadapi semuanya. Tolong bantu Ara, untuk menghadapi semua ini!"
******
"Jangan kau ganggu putriku lagi! Tidakkah cukup kau membuatnya menikah dengan kekasih putrimu itu?"
Sekar tersenyum sinis, "Sayangnya aku belum cukup membuat kalian menderita. Dan aku juga belum merasakan kekayaan menantu cacatku itu! Ingat jangan pernah campuri urusanku, jika tidak aku akan menghilangkan nyawa tidak berguna itu! Ingat, jika hanya menghilangkan satu nyawa saja aku bisa. Maka menghilangkan nyawamu pun akan dengan sangat mudah aku lakukan!"
Pria paruh baya yang tengah duduk di atas kursi roda itu pun mengepalkan kedua tangannya. Sungguh ia menyesal sudah menikahi perempuan ular itu. Andai saja ia dulu tidak gelap mata, mungkin saat ini hidupnya masih bahagia dengan istri dan juga putrinya, Arancia.
Namun, kini hanya penyesalan yang menggelayuti hidup lelaki lemah itu. Andai saja Arancia mengetahui apa yang sudah ia lakukan dulu. Mungkin saja putri satu-satunya itu akan membencinya juga.
"Ya Tuhan, andai saja aku tidak terhasut oleh perempuan ular ini. Mungkin hidupku tidak akan hancur seperti ini."
Sekar menyeringai menatap lelaki paruh baya itu. Lantas ia pun mendekatinya dan berbisik di telinganya.
"Jangan sampai aku melenyapkanmu dan juga melenyapkan nyawa putri kesayanganmu itu! Ingat nyawa kalian ada di tanganku."
Arancia menatap sekeliling. Ruangan luas namun kosong dan dingin. Hanya ia yang tinggal di Mansion yang begitu besar nan luas. Gadis cantik itu tampak menghela nafasnya sedih, "Sampai kapan aku akan seperti ini? Aku tidak bisa bekerja, tidak bisa pula menengok ayah. Bagaimana kabarnya saat ini, apakah ia baik-baik saja? Ayah maafkan Ara, karena Ara belum bisa menengok ayah, Ara rindu," lirihnya. Tidak terasa air mata jatuh membasahi kedua pipi mulusnya. Ia terduduk di lantai yang dingin itu seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hidupnya terasa kosong, padahal baru beberapa hari ia menikah. Namun, Arancia tidak pernah bertemu kembali dengan pria yang menjadi suaminya. "Kamu dimana? Akan bagaimana nasib pernikahan ini? Sedangkan nahkoda kapalnya tidak ada." Sementara itu, di lain sisi Kevan melihat aktivitas Arancia di tablet yang tengah ia pegang. Rencananya beberapa hari ke depan ia akan melakukan operasi wajah
"Mari tuan, dan tolong maafkan saya karena harus menyentuh anda," ucap seorang dokter paruh baya pada Kevan. Ia sengaja meminta izin, karena tahu jika orang yang akan ia operasi tidak suka jika sembarangan orang menyentuhnya. Maka dirinya mencari aman, sebelum pria itu mengamuk. Kevan hanya menganggukkan kepalanya, tanpa mengeluarkan suaranya. Atmosfer ruang operasi begitu terasa tegang. "Lakukan," ucap Kevan dingin. Dokter paruh baya itu menyuntikkan obat supaya Kevan tertidur. Operasi ini harus berhasil karena jika tak berhasil, tidak hanya pekerjaan mereka yang akan menjadi jaminannya. Namun, nyawa mereka pun akan melayang jika sampai melakukan kesalahan. Kevan menginginkan wajahnya yang dulu kembali. Dia tidak mau sedikitpun ada yang berubah. Oleh karena itu, mereka para dokter berserta perawatnya begitu tegang. "Baiklah, kita mulai operasi ini. Dan kita berdoa supaya semuanya di lancarkan, relax dan fokus," ucapnya.
Satu bulan kemudian .... "Ini sudah satu bulan, tetapi lelaki itu belum juga datang. Ya Tuhan, kehidupan rumah tangga seperti apa yang tengah aku lalui ini?" lirih Arancia. Ya Arancia pikir, ketika ia pertama kali keluar dari Mansion ini tanpa izin dari suaminya. Arancia mengira suaminya akan langsung datang sebab ia pergi tanpa seizinnya. Namun, semua itu ternyata hanya harapan kosong belaka. Arancia terlalu mengharapkan pernikahan ini akan berjalan seperti yang lainnya. Meskipun ia hanyalah seorang pengantin pengganti. "Ayah, Ara rindu. Maafkan Ara belum bisa menemui ayah. Entah bagaimana kabar ayah," gumam Arancia. Saat ini, ia tengah berada di taman belakang sehingga ia tidak mengetahui kedatangan Kevan beserta para anak buahnya. Lelaki itu masih memakai topeng, sengaja ia tidak ingin memperlihatkan wajahnya. Kevan tampak turun dari dalam mobilnya, mata tajamnya menelisik keadaan Mansion yang sepi. Alisnya tampak terangk
"Aku mohon lepaskan aku, tolong," pinta Arancia mengiba pada Kevan. "Aku mohon jangan kurung aku di gudang, salahku apa padamu," lanjut Arancia lirih. Tubuh ringkihnya di tarik dengan kuat oleh para bodyguard Kevan. Tubuh ringkih Arancia mencoba berontak, namun semua itu percuma. Cekalan tangan para pria bertubuh besar itu begitu kuat. Tenaga Arancia kalah oleh tenaga mereka. "Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku hanya berpasrah padamu. Tolong tunjukkan kebesaranmu untukku, hamba-Mu yang begitu lemah," batin Arancia bersenandika. Brukk Tubuh ringkih Arancia di lempar dengan sangat kasar, di atas lantai dingin gudang milik Kevan. Air mata membasahi kedua pipi Arancia. Tubuhnya bergetar hebat, keadaan gudang begitu gelap. Tempat yang paling Arancia benci. "Hikz, ibu ... tolong aku. Di sini gelap," ucapnya begitu pelan. Arancia memeluk tubuhnya sendiri, menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Tangisan begitu pilu terdengar
"Sakit," lirih Arancia. "Ibu, tolong Ara, ayah," gumam Arancia. Setelah di siram oleh Kevan, tubuh Arancia semakin mengigil. Ia masih berada di dalam gudang yang gelap dan pengap. Entah sampai kapan Kevan akan membiarkannya di gudang. "Hikz, badanku sakit. Dingin." Sementara Kevan, ia tengah memakan makanannya. Di ruang makan yang mewah nan luas itu. Tidak lupa topeng masih menempel di wajah tampannya itu. Belum ada yang mengetahui bagaimana wajah asli Kevan. Setelah menyelesaikan makannya, Kevan pun beranjak dari kursinya. "Siapkan mobil, aku akan mengunjungi rumah mertuaku," ucap Kevan dingin. Sang bodyguard mengangguk. Kevan pun menunggu di beranda depan. Beberapa saat kemudian .... Mobil mewah itu melaju dengan anggunnya, membelah jalanan di hari itu. Kevan menatap jalanan yang kebetulan ramai. Ingatannya melayang ke kejadian hari pernikahannya, andai saja Zahra mau menikah dengannya.
"Ayah, Ibu." Pikirannya menerawang ke saat di mana ia masih kecil. Hidup di dalam kesederhanaan, namun penuh kasih sayang. Ibunya adalah seseorang yang bersikap lemah lembut, ia tidak pernah menuntut apapun pada sang ayah. Hingga suatu hari, usaha yang di geluti ayah Arancia maju dengan sangat pesat. Sejak saat itu, kehidupan damai Arancia berubah, apalagi setelah kedatangan Sekar. Arancia yang saat itu, baru saja pulang dari sekolahnya tiba-tiba saja mendapatkan kabar buruk jika ibunya meninggal. Arancia begitu terpuruk, hingga peran ibu di gantikan Sekar. Wanita itu selalu berperilaku lemah lembut, namun ketika sang ayah pergi. Sikapnya langsung berubah, hidup Arancia penuh dengan siksaan dan cacian, namun gadis itu selalu menyimpan lukanya sendirian. Sang ayah tidak tahu jika perilaku istrinya seperti itu. Suara pintu terbuka, membuyarkan lamunan Arancia. Wajah gadis itu sudah sangat pucat, menahan dingin serta lapar bersamaan. "Ke
"Untuk apa aku hidup, Tuhan," lirih Arancia. Lantas wanita cantik itu menatap Kevan yang tengah menatapnya juga. Arancia menghampiri lelaki itu, dan bersimpuh di bawah kakinya. "Tuan, tolong. Izinkan aku untuk melihat ayahku yang terakhir kalinya. Sebelum ia di makamkan, aku mohon tuan. Aku berjanji, jika setelah aku melihatnya ... aku akan menerima hukuman yang akan anda berikan. Apapun itu, tetapi tolong aku mohon ... izinkan aku untuk bertemu dengan beliau. Untuk yang terakhir kalinya," pinta Arancia lirih. Gadis cantik itu masih bersimpuh di bawah kaki Kevan. Lelaki tampan itu menunduk, menatap gadis yang tengah menangis. "Pergilah," ujar Kevan datar. "Tapi ... hanya sampai ayahmu di makamkan, setelah itu segera kembali. Sebab ... hukuman menunggumu," lanjut Kevan dingin. Arancia langsung berdiri, ia menatap lelaki yang tengah berhadapan dengannya. Arancia tersenyum lembut. "Aku tahu ... jika anda adalah orang baik. Terima
"Cepatlah pergi Arancia! Jika tidak aku akan melenyapkanmu," desis Sekar. Arancia terdiam kala mendengar ucapan Sekar. Ia tidak menyangka jika ibu tirinya akan berkata seperti itu. Namun, Arancia lupa jika ibunya pasti akan melakukan apapun demi mendapatkan semua keinginannya. Gadis itu bangkit dari duduknya dan menatap tajam pada sang ibu tiri. "Maksud ibu apa!?" Sekar maju, mendekati sang anak tiri. Lantas ia berbisik lirih tepat di telinga Arancia. "Kau tahu bagaimana aku bukan?! Sekarang, cepatlah pergi dari hadapanku. Sebelum aku membuat perhitungan denganmu," bisik Sekar kepada Arancia. Arancia menatap tidak percaya pada sang ibu, ia tidak menyangka jika Sekar begitu kejam padanya. Salahnya apa, sehingga ia dengan begitu tega berbuat hal seperti itu. "Ibu, salah Ara apa pada ibu. Mengapa ibu begitu kejam padaku, tolong katakan dimana letak kesalahanku. Sehingga ibu begitu jahat padaku?" lirih Arancia. "Padahal dulu