Satu bulan kemudian .... "Ini sudah satu bulan, tetapi lelaki itu belum juga datang. Ya Tuhan, kehidupan rumah tangga seperti apa yang tengah aku lalui ini?" lirih Arancia. Ya Arancia pikir, ketika ia pertama kali keluar dari Mansion ini tanpa izin dari suaminya. Arancia mengira suaminya akan langsung datang sebab ia pergi tanpa seizinnya. Namun, semua itu ternyata hanya harapan kosong belaka. Arancia terlalu mengharapkan pernikahan ini akan berjalan seperti yang lainnya. Meskipun ia hanyalah seorang pengantin pengganti. "Ayah, Ara rindu. Maafkan Ara belum bisa menemui ayah. Entah bagaimana kabar ayah," gumam Arancia. Saat ini, ia tengah berada di taman belakang sehingga ia tidak mengetahui kedatangan Kevan beserta para anak buahnya. Lelaki itu masih memakai topeng, sengaja ia tidak ingin memperlihatkan wajahnya. Kevan tampak turun dari dalam mobilnya, mata tajamnya menelisik keadaan Mansion yang sepi. Alisnya tampak terangk
"Aku mohon lepaskan aku, tolong," pinta Arancia mengiba pada Kevan. "Aku mohon jangan kurung aku di gudang, salahku apa padamu," lanjut Arancia lirih. Tubuh ringkihnya di tarik dengan kuat oleh para bodyguard Kevan. Tubuh ringkih Arancia mencoba berontak, namun semua itu percuma. Cekalan tangan para pria bertubuh besar itu begitu kuat. Tenaga Arancia kalah oleh tenaga mereka. "Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku hanya berpasrah padamu. Tolong tunjukkan kebesaranmu untukku, hamba-Mu yang begitu lemah," batin Arancia bersenandika. Brukk Tubuh ringkih Arancia di lempar dengan sangat kasar, di atas lantai dingin gudang milik Kevan. Air mata membasahi kedua pipi Arancia. Tubuhnya bergetar hebat, keadaan gudang begitu gelap. Tempat yang paling Arancia benci. "Hikz, ibu ... tolong aku. Di sini gelap," ucapnya begitu pelan. Arancia memeluk tubuhnya sendiri, menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Tangisan begitu pilu terdengar
"Sakit," lirih Arancia. "Ibu, tolong Ara, ayah," gumam Arancia. Setelah di siram oleh Kevan, tubuh Arancia semakin mengigil. Ia masih berada di dalam gudang yang gelap dan pengap. Entah sampai kapan Kevan akan membiarkannya di gudang. "Hikz, badanku sakit. Dingin." Sementara Kevan, ia tengah memakan makanannya. Di ruang makan yang mewah nan luas itu. Tidak lupa topeng masih menempel di wajah tampannya itu. Belum ada yang mengetahui bagaimana wajah asli Kevan. Setelah menyelesaikan makannya, Kevan pun beranjak dari kursinya. "Siapkan mobil, aku akan mengunjungi rumah mertuaku," ucap Kevan dingin. Sang bodyguard mengangguk. Kevan pun menunggu di beranda depan. Beberapa saat kemudian .... Mobil mewah itu melaju dengan anggunnya, membelah jalanan di hari itu. Kevan menatap jalanan yang kebetulan ramai. Ingatannya melayang ke kejadian hari pernikahannya, andai saja Zahra mau menikah dengannya.
"Ayah, Ibu." Pikirannya menerawang ke saat di mana ia masih kecil. Hidup di dalam kesederhanaan, namun penuh kasih sayang. Ibunya adalah seseorang yang bersikap lemah lembut, ia tidak pernah menuntut apapun pada sang ayah. Hingga suatu hari, usaha yang di geluti ayah Arancia maju dengan sangat pesat. Sejak saat itu, kehidupan damai Arancia berubah, apalagi setelah kedatangan Sekar. Arancia yang saat itu, baru saja pulang dari sekolahnya tiba-tiba saja mendapatkan kabar buruk jika ibunya meninggal. Arancia begitu terpuruk, hingga peran ibu di gantikan Sekar. Wanita itu selalu berperilaku lemah lembut, namun ketika sang ayah pergi. Sikapnya langsung berubah, hidup Arancia penuh dengan siksaan dan cacian, namun gadis itu selalu menyimpan lukanya sendirian. Sang ayah tidak tahu jika perilaku istrinya seperti itu. Suara pintu terbuka, membuyarkan lamunan Arancia. Wajah gadis itu sudah sangat pucat, menahan dingin serta lapar bersamaan. "Ke
"Untuk apa aku hidup, Tuhan," lirih Arancia. Lantas wanita cantik itu menatap Kevan yang tengah menatapnya juga. Arancia menghampiri lelaki itu, dan bersimpuh di bawah kakinya. "Tuan, tolong. Izinkan aku untuk melihat ayahku yang terakhir kalinya. Sebelum ia di makamkan, aku mohon tuan. Aku berjanji, jika setelah aku melihatnya ... aku akan menerima hukuman yang akan anda berikan. Apapun itu, tetapi tolong aku mohon ... izinkan aku untuk bertemu dengan beliau. Untuk yang terakhir kalinya," pinta Arancia lirih. Gadis cantik itu masih bersimpuh di bawah kaki Kevan. Lelaki tampan itu menunduk, menatap gadis yang tengah menangis. "Pergilah," ujar Kevan datar. "Tapi ... hanya sampai ayahmu di makamkan, setelah itu segera kembali. Sebab ... hukuman menunggumu," lanjut Kevan dingin. Arancia langsung berdiri, ia menatap lelaki yang tengah berhadapan dengannya. Arancia tersenyum lembut. "Aku tahu ... jika anda adalah orang baik. Terima
"Cepatlah pergi Arancia! Jika tidak aku akan melenyapkanmu," desis Sekar. Arancia terdiam kala mendengar ucapan Sekar. Ia tidak menyangka jika ibu tirinya akan berkata seperti itu. Namun, Arancia lupa jika ibunya pasti akan melakukan apapun demi mendapatkan semua keinginannya. Gadis itu bangkit dari duduknya dan menatap tajam pada sang ibu tiri. "Maksud ibu apa!?" Sekar maju, mendekati sang anak tiri. Lantas ia berbisik lirih tepat di telinga Arancia. "Kau tahu bagaimana aku bukan?! Sekarang, cepatlah pergi dari hadapanku. Sebelum aku membuat perhitungan denganmu," bisik Sekar kepada Arancia. Arancia menatap tidak percaya pada sang ibu, ia tidak menyangka jika Sekar begitu kejam padanya. Salahnya apa, sehingga ia dengan begitu tega berbuat hal seperti itu. "Ibu, salah Ara apa pada ibu. Mengapa ibu begitu kejam padaku, tolong katakan dimana letak kesalahanku. Sehingga ibu begitu jahat padaku?" lirih Arancia. "Padahal dulu
Kevan menunggu kedatangan Arancia, ia duduk di atas sofa di ruang keluarga. Begitu Arancia sampai di hadapan Kevan, lelaki tersebut hanya memandang Arancia dengan tatapan dingin dan datar. "Lama sekali! Bukankah aku sudah aku katakan jika kau hanya aku berikan waktu sebentar tetapi lihatlah ... jam segini kau baru sampai! Sungguh tidak tahu malu," sarkas Kevan. Arancia menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap lelaki yang tengah menatapnya dengan nyalang. Ia memilin-milin bajunya, sudah pasrah saja menghadapi hukuman yang akan di berikan oleh Kevan. Lelaki itu berdiri menghampiri Arancia. "Ikut aku," seru Kevan menarik tangan Arancia dengan sangat kasar. Gadis itu berjalan dengan sedikit terseok-seok, mengimbangi langkah kaki Kevan yang lebar. Kevan membawa Arancia ke taman belakang. "Ki-ta mau kemana, Tuan. Tolong jalannya pelan-pelan, aku tidak bisa mengimbangimu," lirih Arancia. Namun ucapan Arancia bagaikan angin lalu, Kevan sa
"Dia, Ya Tuhan," liriknya. "Tidak mungkin, aku yakin jika itu tidak mungkin dia. Oh Tuhan aku tidak percaya," batinnya bersenandika. Kevan menatap heran pada sahabatnya. Lelaki itu malah mematung, kala menatap Arancia terbaring di atas ranjang mewahnya. Kevan mendekati sang sahabat. Lalu menepuk bahunya. "Ada apa Arga, mengapa kau malah mematung di sini! Aku menyuruhmu datang kemari bukan untuk melamun," sarkas Kevan. Bukannya memeriksa Arancia. Lelaki yang di ketahui bernama Arga itu memicingkan matanya. Menatap Kevan dengan penuh selidik. "Siapa wanita itu?! Kenapa dia bisa berada di sini?" tanya Arga heran. "Bukan hakmu bertanya! Cepat periksalah, dan segera pergi dari sini!" tegas Kevan. Arga menggelengkan kepalanya. Batinnya bertanya-tanya, apa sahabatnya tidak mengingat siapa wanita yang tergolek lemah itu?. Seingat Arga, ia pernah bertemu dengan gadis itu. Hanya saja ... ia tidak yakin, jika memang