"Assalamualaikum ..." Suara salam terdengar dari balik pintu, diikuti dengan ketukan halus.
"Waalaikum salam," jawabku. Segera kucampakkan ponsel yang sedari tadi berada di genggamanku, lalu bergegas menuju pintu. Aku melangkah dengan perasaan senang bukan main. Aku tahu betul siapa pemilik suara itu. Dia adalah Mas Rohim, suamiku.
Kuputar anak kunci, lalu kubuka daun pintu. Pemandangan pertama yang kulihat adalah sosok suamiku dengan bibir yang sedang tersenyum manis. Segera kucium punggung tangannya dengan takdzim.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang," ucapku dengan lega.
"Kenapa? Kangen?" goda Mas Rohim.
"Iya, lah, Mas! Seminggu hanya bertemu satu kali. Siapa yang nggak kangen coba! Apalagi hitungannya kita masih pengantin baru! Harusnya tuh, ya, kita kemanapun berdua!" gerutuku.
Ya, bisa dibilang kami LDR-an. Bertemu hanya saat Mas Rohim libur kerja. Suamiku akan pulang hari jum'at sore, dan minggu pagi ia akan kembali ke kota.
Aku tinggal di kampung, sementara suamiku tinggal di kota Surabaya. Sebenarnya jarak kami tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan mengendarai sepeda motor yang hanya memakan waktu tiga jam lamanya.
"Pengantin baru apa'an. Nikah udah lima tahun juga!"
"Kan belum ada anak, Mas! Kalau belum ada anak, namanya tetap pengantin baru. Meskipun sudah lima tahun nikahnya!"
Hati terasa bagai tersayat sembilu saat bibir ini mengucapkan kata anak.
"Udah, ah. Jangan ngomel terus! Bikin gemes aja, deh!"
"Aduh ... sakit Mas!" keluhku saat Mas Rohim mencubit hidungku.
Akhirnya kami berjalan menuju kamar secara beriringan, dengan tangan kanan Mas Rohim merangkul pundakku.
*******
"Mas, apa nggak sebaiknya Rumi ikut ke kota? Supaya Mas ada yang merawat. Kan kasihan, Mas pulang kerja capek-capek, eh, nggak ada yang menyambut."
Mas Rohim memegang tanganku. "Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Ibu? Ibu tak mau diajak ke kota. Terus Ibu di rumah dengan siapa? Apa kamu tega ninggalin Ibu yang sakit-sakitan di rumah sendiri? Nggak tega, kan? Mas nggak bisa tenang jika Ibu nggak ada yang jagain, kalau harus membayar orang, Mas malah kepikiran, kayak nggak percaya gitu. Apalagi kamu tahu sendiri. Mas hanya seorang staff biasa. Nggak mampu kalau dibuat bayar orang. Kalau sama kamu di rumah, Mas bisa kerja dengan tenang, Sayang. Karena Mas yakin, kalau kamu akan merawat Ibu dengan sangat baik!"
Selalu itu lah yang menjadi alasan suamiku, saat aku mengutarakan niatku untu ikut ke kota. Apa salah jika aku ingin setiap hari bisa bertemu dengan suamiku?
Sudah lima tahun juga kami berumah tangga, tapi tak kunjung mendapatkan keturunan. Padahal setiap hari sudah meminum obat penyubur yang dibelikan oleh Mas Rohim di kota dari dokter spesialis kandungan.
Percuma juga, kan, tiap hari minum obat penyubur tapi jarang ber-ikhtiar?
Kan bisa jadi, jika setiap hari bertemu, Tuhan segera menitipkan amanah-Nya untuk kami.
Ah, entahlah. Mungkin memang belum saatnya juga Tuhan menitipkan buah hati untuk aku dan suamiku.
Tapi untunglah, ia tak mempermasalahkan soal belum hadirnya buah hati di tengah-tengah kami. Bahkan, aku lah yang selalu mengeluh karena tak kunjung hamil juga. Tapi syukurlah, ia selalu bersedia mendengarkan keluhanku. Dan pada akhirnya, ia selalu memenangkan ku.
Mungkin kita harus bersabar terlebih dahulu dan Tuhan menginginkan kita untuk berpacaran dulu, begitulah katanya sewaktu aku berkeluh-kesah.
"Jangan diam gitu dong, Sayang! Sini peluk!" Mas Rohim memelukku.
Aku bergeming.
"Mas mandi dulu ya. Habis mandi makan malam, lalu lihat Ibu." Aku mengangguk. Dilepaskannya pelukanku, lalu diciumnya pucuk kepalaku.
Mas Rohim melangkah menuju kamar mandi, disambarnya handuk yang tergantung ditempatnya.
Suara gemericik shower mulai terdengar. Aku diam duduk termenung di bibir ranjang.
Entahlah. Disatu sisi aku menginginkan setiap hari bisa bertemu dengan suamiku, disisi lain aku juga tak tega meninggalkan Ibu yang sakit-sakitan seorang diri di kampung.
Salama ini aku hanya tinggal bersama Ibu mertuaku. Tepatnya di rumah milik Ibu mertua, di kampung halaman suamiku. Aku merawat beliau dengan ikhlas. Syukurlah, Ibu mertuaku sosok Ibu yang penyayang. Termasuk denganku yang notabenenya hanya seorang menantu.
Tiap satu bulan sekali aku selalu mengantarkan Ibu periksa. Jantung Ibu tidak normal, jadi harus sering-sering kontrol. Apalagi Ibu memiliki penyakit kolesterol dan diabetes. Menambah daftar penyakit yang bersarang di tubuh Ibu mertuaku.
Suara gemericik air yang terjatuh dari shower telah berhenti. Itu tandanya Mas Rohim telah menyelesaikan ritual mandinya.
Tak berselang lama, suamiku keluar dengan lilitan handuk di bagian bawah tubuhnya.
Semakin mendekat, aroma wanginya sabun menguar dari tubuhnya yang basah.
Butiran air berjatuhan dari rambutnya, lalu berselancar di dada bidang lelaki yang telah membersamaiku lima tahun lamanya.
"Suamimu ini memang tampan, Sayang," ucap Suamiku yang menyadarkan dari lamunanku.
"C'k, apa sih, Mas! Pede banget!" kilahku lalu membuang muka.
"Lah itu, lihat sampek bengong. Untuk berkedip pun kamu tak mampu!"
"Udah, ah. Cepetan pakai baju. Tuh, udah Rumi siapin! Rumi tunggu di meja makan ya. Sekalian manggil Ibu buat makan malam."
"Iya. Jangan ngambek ya! Mas mohon pengertian dari kamu!" ucapnya dengan raut wajah menghiba. Aku mengangguk dan tersenyum, pastinya senyum terpaksa.
Mas Rohim mengambil baju lalu mengenakannya. Aku beranjak dari ranjang lalu pergi ke ruang makan.
*******
Dentingan sendok mulai beradu. Kami lewati acara makan malam ini dengan saling bercerita dan bercanda. Begitulah suamiku, ada saja yang akan ia bicarakan. Entah masalah pekerjaan, atau yang lainnya.
Tapi sayang sekali, malam ini Ibu tak ikut makan malam bersama.
Mas Rohim mengambil tissue, lalu diusap lah bibirnya sebagai tanda kalau makannya telah selesai.
"Mas antar makanan Ibu dulu, ya. Kamu kalau ingin istirahat, istirahatlah!" ucap suamiku dengan lembut. Ia ambil makanan yang kumasak khusus untuk Ibu.
Ya namanya orang sakit, pasti makanannya tidak bisa sembarangan.
"Iya, Mas!"
Mas Rohim membawa nampan lalu berjalan menuju kamar Ibu. Sengaja kubiarkan sepasang Ibu dan anak itu saling mencurahkan rasa rindu satu sama lain. Aku tak ingin mengganggu mereka.
Kusandarkan tubuhku di kepala ranjang. Kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas tepat di samping ranjang.
Saat aku sedang berselancar di aplikasi dunia biru, tiba-tiba ponsel milik Mas Rohim bergetar.
Kuambil ponsel itu. Nama Ragil yang terpampang sebagai pemanggilnya. Ingin kuangkat, tapi aku ragu. Karena selama ini, aku tak pernah menyentuh benda pipih milik suamiku.
Kuletakkan kembali ponsel itu. Akhirnya panggilan dimatikan. Tapi tak lama kemudian, nomor tersebut memanggil kembali. Kubiarkan lagi, tapi nomor tersebut berusaha terus menghubungi.
Aku tahu siapa ragil. Ia adalah teman sekantor suamiku. Karena takut ada suatu hal yang penting. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon tersebut.
Kuangkat panggilan itu, lalu kutempelkan di daun telingaku.
Belum sempat bibir ini berucap satu kata pun. Suara di seberang sana menyela, hingga mampu membuatku tersentak.
Saat aku sedang berselancar di aplikasi dunia biru, tiba-tiba ponsel milik Mas Rohim bergetar. Kuambil ponsel itu. Nama Ragil yang terpampang sebagai pemanggilnya. Ingin kuangkat, tapi aku ragu. Karena selama ini, aku tak pernah menyentuh benda pipih milik suamiku. Kuletakkan kembali ponsel itu. Akhirnya panggilan dimatikan. Tapi tak lama kemudian, nomor tersebut memanggil kembali. Kubiarkan lagi. Namun, nomor tersebut terus berusaha menghubungi. Aku tahu siapa ragil. Ia adalah teman sekantor suamiku. Karena takut ada suatu hal yang penting. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon tersebut.Kuangkat panggilan itu, lalu kutempelkan di daun telingaku."Halo, Pah ... kamu udah sampai? Kok pesanku nggak kunjung dibalas?" cecar seseorang dari seberang telepon, saat panggilan baru saja kuangkat. Tapi mampu membuat tubuhku tersentak."Assalamualaikum," ucapku tanpa memperdulikan ucapan dari suara wanita yang ada diseberang sana. Meskipun berbagai pikiran buruk berkelebatan.Tanpa men
Saat aku sedang merapikan nakas di samping ranjang. Kedua netraku tertuju pada botol obat penyubur yang biasanya aku konsumsi.Tiba-tiba teringat, kalau obat itu hanya sisa dua butir. Akhirnya kuputuskan mengambil sendiri obat yang ada di dalam tas suamiku, seperti yang dikatakannya kemarin malam. Kalau tak kuambil sekarang, takutnya kelupaan. Toh Mas Rohim esok pagi akan kembali ke kota. Kuambil tas milik suamiku, kubuka resleting utama. Aku tak menemukan apapun.Lalu kucari di setiap saku tas, tak kunjung menemukannya juga. Tapi aku hanya menemukan box kecil. Kemasannya berwarna biru dan bergambar seorang perempuan. "And*l*n," lirihku saat membaca nama obat tersebut. Kurasa nama obat ini sungguh tak asing di telingaku. Kubuka box tersebut, ada dua strip obat. Yang masing-masing strip masih utuh isinya.Obat yang sering diberikan Mas Rohim kemasannya botol. Sedangkan obat yang saat ini kutemukan kemasannya berbeda. Jadi dipastikan ini bukan untukku.Karena rasa penasaran, akhirn
Entahlah, rasanya sangat tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Mas Rohim. Tapi percaya tak percaya, itu lah yang telah dia perbuat.Mungkin salahku juga, aku terlalu naif menjadi orang. Aku menganggap semua orang akan baik jika kita juga berlaku baik. Tapi nyatanya? Zonk!Mungkin salahku juga, aku terlalu percaya dengan pendirian ku, bahwa "Jodohmu adalah cerminan dirimu" Kukira, jika aku selalu jujur, makan pasangan kita pasti akan jujur. Tapi nyatanya? Sandiwara yang kuterima!"Yaudah ... kita ke rumah sakit sekarang! Kenapa kamu nggak bilang, sih! Kalau kamu sakit, kamu sendiri yang akan tersiksa! Kalau sudah merasakan tak enak badan, harusnya kamu langsung ngomong! Biar Mas antar ke rumah sakit! Jadi kamu nggak akan merasakan sakit yang berlebih hingga nangis kayak gini!" Bukan tubuhku yang sakit, Mas! Bukan tubuhku pula yang tersiksa! Tapi hati ini Mas yang sakit! Sakit teramat sangat! Sakit namun tak berdarah! Dan kamulah yang membuatku sakit!Aku tersenyum, senyum yang
Pov Rohim"Mas, sejak kemarin perut Rumi rasanya mual-mual terus. Kadang tubuh rasanya tiba-tiba lemas. Rumi sudah telat tiga minggu. Apa Rumi hamil ya?""Uhuk ... uhuk." Aku terbatuk saat mendengar ucapan Rumi, istriku. Air yang sudah berada dalam mulutku seketika tersembur hingga membasahi lantai kamar.Bagaimana tidak kaget? Lima tahun sudah ia kuberikan pil KB, tapi kenapa kali ini ia bisa hamil? Ah, tiba-tiba kepalaku terasa pening sekali!"Pelan-pelan dong, Mas, minumnya!" Rumi mengusap punggungku."Eh, iya. Maaf, Sayang. Lantainya jadi basah deh!""Kamu kenapa? Sepertinya kamu kaget mendengar ucapan Rumi? "Nggak apa-apa. Mas hanya seneng saja mendengar kalau kamu telat datang bulan!" ucapku berusaha setenang mungkin."Mas senang nggak kalau Rumi hamil?" Kutarik tubuh mungil Rumi ke dalam dekapanku. Bukannya aku tak senang. Tapi aku tak siap dengan konsekuensi yang harus kuterima jika Rumi hamil. "Pasti seneng dong! Coba besok pagi kamu tespek ya. Barang kali kamu hamil bener
"Sayang ... Mas berangkat dulu, ya," pamit Mas Rohim. "Iya, Mas!" ucapku lalu kuambil tas milik suamiku dan kuberikan padanya."Kamu di rumah baik-baik. Jangan lupa minum obatnya terus. Jangan sampai bolong! Kalau memang sudah positif beneran, baru berhenti ya!" Aku mengangguk.Ck, begitulah suamiku. Tiada hentinya mengingatkan ku untuk meminum obat itu. Dulu aku merasa senang sekali. Tapi sekarang? Entahlah.Begitu perih dan sakit, saat kutahu kalau suamiku tak menginginkan malaikat kecil dari rahimku. Entahlah, apa kesalahanku. Apa alasannya pun aku belum tahu. Dan pastinya aku akan mencari tahu!Tadi pagi Mas Rohim memintaku untuk melakukan testpack. Tapi kuberikan alasan kalau aku belum membeli testpack.Padahal, ada satu box testpack di dalam laci meja riasku yang sering kugunakan setiap aku telat datang bulan.Ya, bisa dibilang aku selalu telat datang bulan. Entah telat lima hari atau pun satu minggu.Ya begitulah namanya perempuan yang mengharapkan kehadiran janin di rahim, ba
*Keesokan hari, di pagi hari*Aku berjalan menghampiri Ibu yang sedang duduk santai di teras rumah. Kubawa tas jinjing yang berisi beberapa helai pakaianku dan perlengkapan yang kubutuhkan untuk beberapa hari kedepan, tak lupa pula kubawa tas selempang yang kugunakan untuk menyimpan ponsel dan juga dompetku."Bu, Rumi pamit dulu, ya!" Kucium punggung tangan Ibu mertua.Saat aku ingin melepas tangan Ibu, beliau malah menggenggam tanganku. Kuhela napas panjang. Aku berjongkok menyejajarkan tubuh Ibu yang sedang duduk di kursi."Apapun yang terjadi, Ibu harap kamu akan memaafkan Rohim dan juga Ibu. Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Ibu!" ucap Ibu dengan suara parau. Seperti seseorang yang sedang menahan tangis."Insyaallah, Bu. Sebisa mungkin, Rumi akan memaafkan kesalahan Mas Rohim. Tapi ... jika kesalahan Mas Rohim sangat fatal, Rumi mohon maaf ... maaf karena Rumi akan memilih jalan Rumi sendiri," ucapku pelan, tapi mampu membuat air mata Ibu menetes."Sebentar lagi Mba
"Apa kamu kenal yang namanya Pak Rohim yang bekerja disini sebagai staff biasa? Ada istrinya yang mencari!" Security itu menunjuk kearahku.A'an menoleh ke arahku. Saat pandangan kami saling bertemu, tiba-tiba kedua netranya melotot. Seperti melihat hantu yang begitu menyeramkan. Raut wajahnya pun juga terlihat kaget dengan kehadiranku.A'an langsung membuang muka. Menatap kembali security yang tadi memanggilnya."Hey ... kamu tahu nggak yang namanya Pak Rohim!? Ditanya kok malah diem!""Pasti kenal, Pak. Karena Mas A'an ini teman suami saya. Mas, bisa minta tolong panggilkan Mas Rohim?" Sebentar saja kok!"Terlihat Mas A'an menelan saliva dengan susah. Wajahnya pun terlihat seperti orang yang sedang takut, bingung, ah entahlah."Malah diem aja! Sana! panggilkan suaminya mbak ini!" "Aduh mbak Rumi, saya masih diminta untuk foto copy. Mbak mau nunggu dulu?" ucapnya sambil menunjukkan lembaran kertas di tangannya."Iya, Mas! Nggak apa-apa. Lagian Mas Rohim dari tadi di telfon nggak dia
Kepalaku berdenyut sakit. Masalah yang mendera terasa begitu pelik. Terlalu banyaknya teka-teki yang harus kupecahkan.Mulai dari Pil KB, Mas Rohim yang seorang manager, dan sekarang, hingga Mas Rohim memiliki istri lain. Apakah semua itu saling berkaitan? Atau yang mana dulu yang harus aku selidiki untuk mencari tahu jawabannya? Ah, kepalaku terasa begitu pening. Pening sekali!"Bu, dia datang!" ucap rekan Pak Dermawan yang membuyarkan lamunanku."Mana, Pak?" ucapku dengan bola mata kesana-kemari untuk mencari sosok yang dimaksud rekan Pak Dermawan."Itu loh, Bu!" jawabnya dengan jemari menunjuk ke arah gerbang.Kedua netraku menyipit saat melihat sosok perempuan yang baru saja melewati gerbang. Terlihat perempuan itu berjalan memasuki kawasan perkantoran ini. Badannya tinggi semampai. Ditambah balutan dress selutut berwarna merah maroon, memakai high heels, rambut hitam legam lurus tergerai, bermata bening, bulu mata lentik. Apalagi polesan make up di wajahnya, menambah kesan kecan