Share

Bab 2

Saat aku sedang berselancar di aplikasi dunia biru, tiba-tiba ponsel milik Mas Rohim bergetar. 

Kuambil ponsel itu. Nama Ragil yang terpampang sebagai pemanggilnya. Ingin kuangkat, tapi aku ragu. Karena selama ini, aku tak pernah menyentuh benda pipih milik suamiku. 

Kuletakkan kembali ponsel itu. Akhirnya panggilan dimatikan. Tapi tak lama kemudian, nomor tersebut memanggil kembali. Kubiarkan lagi. Namun, nomor tersebut terus berusaha menghubungi. 

Aku tahu siapa ragil. Ia adalah teman sekantor suamiku. Karena takut ada suatu hal yang penting. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon tersebut.

Kuangkat panggilan itu, lalu kutempelkan di daun telingaku.

"Halo, Pah ... kamu udah sampai? Kok pesanku nggak kunjung dibalas?" cecar seseorang dari seberang telepon, saat panggilan baru saja kuangkat. Tapi mampu membuat tubuhku tersentak.

"Assalamualaikum," ucapku tanpa memperdulikan ucapan dari suara wanita yang ada diseberang sana. Meskipun berbagai pikiran buruk berkelebatan.

Tanpa menjawab salamku, tiba-tiba panggilan dimatikan. Kupandangi layar ponsel itu. 

Penelpon itu memanggil dengan sebutan 'Pah' , apa yang dimaksud papah? Lalu siapa yang memanggil suamiku dengan sebutan seperti itu? 

"Ah, barang kali salah nomor," lirihku berusaha berfikiran positif. Meskipun, gelisah telah melanda. Jujur saja, sapaan itu membuatku berfikiran suatu hal yang bukan-bukan.

Suamiku memang sering cerita, ada teman sekantornya bernama Ragil. Seorang staff biasa juga di perusahaan tempat suamiku bekerja. Tapi menurut cerita Mas Rohim, Ragil itu seorang laki-laki. Tapi barusan yang terdengar suara seorang perempuan.

Segera kutepis prasangka buruk. Bukankah apa yang kita pikirkan, lalu itu lah yang akan terjadi? 

Terdengar suara deru langkah semakin mendekat. Tak lama kemudian, daun pintu terbuka.

"Belum tidur, Sayang?" tanya suamiku sambil menutup kembali daun pintu.

Untuk menghilangkan rasa curiga, lebih baik kutanyakan saja pada orangnya langsung. Tapi jika kecurigaanku memang benar, masa iya Mas Rohim akan jujur siapa perempuan yang barusan menelpon.

Oho ... aku punya ide.

"Mas, tadi ada yang nelfon. Aku angkat aja. Habisnya nelfon terus!" 

Mas Rohim mendaratkan tubuhnya diranjang. "Siapa yang telfon?"

"Namanya Ragil. Yang sering Mas ceritakan itu loh. Tapi suaranya perempuan, Mas!"

"Oh ... mungkin itu kekasih Ragil. Mungkin dia mengira Ragil sedang bersamaku. Memang, ponselnya sedang dibawa oleh pacarnya," jelas suamiku.

Seketika hati ini terasa lega. Aku yakin Mas Rohim tak berbohong. Karena jika wanita itu kekasih Mas Rohim, suamiku pasti akan gugup dan bingung untuk mencari alasan.

"Oh ... kirain siapa!"

"Kenapa? Kamu curiga? Kamu cemburu? Udah ... nggak usah mikirin yang macem-macem. Mas di kota hanya ingin mencari nafkah, nggak lebih!" tegas Mas Rohim lalu membaringkan tubuhnya di sampingku. Ditariknya selimut hingga menutupi tubuhnya sebatas dada.

Kumiringkan tubuhku. Hingga kedua netraku menatap wajah tampan suamiku.

"Mas ...." 

Mas Rohim menoleh kearahku. "Kenapa? Pengen?" tanya suamiku yang sepertinya tahu keinginanku.

Aku seorang wanita normal. Pasti memiliki napsu. Toh tak berdosa juga kan jika seorang istri meminta terlebih dahulu? 

Aku mengangguk.

"Sudah minum obatnya?"

"Sudah, Mas! Selalu aku minum kok. Tepat waktu! Nggak pernah bolong sekali pun!" ucapku sambil memainkan jemari di atas dada suamiku.

Mas Rohim tersenyum sambil mengacak rambutku. "Pintar sekali!"

"Iya dong, Mas! Aku kan pengen secepatnya bisa hamil! Tapi obatnya tinggal dua butir saja!"

"Kamu tenang saja. Mas sudah belikan kok. Itu ada di tas. Besok aja Mas ambilkan ya. Jangan sampai telat minum!"

Aku mengangguk.

Entah siapa yang memulai, akhirnya bibir kami saling menyatu. Menghapus jarak diantara kami. Terdengar dengan jelas napas suamiku yang sangat memburu. Napasnya terasa begitu hangat saat menerpa kulit wajah dan leherku, membuatku terhanyut dalam permainan suamiku.

*******

Suara adzan berkumandang. Membangunkan ku dari tidur lelap. Kulihat jam di dinding, ternyata sudah menunjukkan pukul setengah lima. Mata ini masih terasa ngantuk sekali, entah jam berapa aku bisa memejamkan mata. Mas Rohim meminta lagi dan lagi. 

Kusingkap selimut tebal yang semalam menghangatkan tubuhku. Aku beringsut dari ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi.

Kunyalakan shower. Tetesan demi tetesan air jatuh membasahi seluruh tubuhku. Dinginnya air terasa menusuk hingga ke tulang. 

Dengan cepat kuselesaikan ritual mandiku.

Tak lupa pula kulaksanakan kewajiban ku sebagai seorang muslim, yaitu dua rakaat shalat subuh.

"Mas .... bangun! Cepetan mandi terus shalat. Keburu waktunya habis!" ucapku sambil menggoyangkan lengan suamiku.

"Hmm ... aku masih ngantuk!" jawabnya dengan mata tetap terpejam.

"Ayo cepetan bangun! Keburu waktu subuhnya habis, Mas!" 

Bukannya bangun, Mas Rohim malah menarik selimutnya keatas hingga menutupi kepalanya. 

Dengan cepat, kutarik selimut itu.

"Ayo, bangun!"

"Ck, iya-iya."

"Jangan iya-iya aja, Mas! Ayo, buruan bangun! Aku mau masak dulu!"

Mas Rohim mendengkus kesal, lalu beranjak dari ranjang.

Kudorong tubuh itu untuk masuk kedalam kamar mandi. "Buruan mandi, lalu shalat subuh!"

*******

"Bu, makan dulu, ya!" Bergegas kuambil sarapan untuk Ibu mertuaku. Aku tak ingin beliau menunggu terlalu lama. Biar segera minum obat juga.

Ibu susah sekali untuk sarapan pagi. Biasanya Ibu akan makan kalau sudah jam delapan. Jadi aku dan suamiku sudah sarapan terlebih dahulu.

"Ibu bosen makan itu-itu terus!" Gerakan tanganku terhenti. Aku menoleh ke arah Ibu. Wajah tua itu terlihat murung.

"Lalu Ibu ingin makan apa? Ibu harus banyak makan sayur, nggak boleh makan-makanan yang berminyak. Ingat, kolesterol Ibu tinggi. Ibu ingin sehat kan? Ibu ingin menimang cucu dari rahim Rumi kan?" ucapku lembut tapi membuat kedua netra Ibu seketika berkaca-kaca.

"Jangan nangis, Bu. Maafkan Rumi, bukan maksud Rumi pelit atau apa, Rumi hanya ingin Ibu sehat, berumur panjang. Itu saja, Bu. Rumi hanya menjalankan anjuran dokter, makanan apa saja yang boleh dan yang harus dihindari!" ucapku sambil melangkah mendekati Ibu. Kupeluk Ibu dari belakang.

Ibu mengelus pucuk kepalaku. "Kamu nggak perlu meminta maaf Rum. Seharusnya Ibu yang minta maaf. Selama kamu menikah dengan Rohim, Ibu selalu merepotkanmu. Gara-gara Ibu, kamu nggak bisa ikut ke kota bareng suamimu. Maafkan Ibu, Rum ... maafkan Ibu!" Tiba-tiba ibu terisak dalam tangisnya. Kulepas pelukanku.

"Hey ... jangan kira semua itu gratis, Bu!" 

Ibu menoleh ke arahku dengan kening berkerut.

"Kamu mau imbalan apa?" 

"Do'akan Rumi secepatnya bisa hamil, ya, Bu! Bukankah do'a seorang Ibu mampu menembus langit?" 

Ibu memegang tanganku. "Ibu harap, apapun yang terjadi, kamu tak akan meninggalkan suamimu dan juga Ibu. Sefatal apapun kesalahan suamimu, Ibu harap kamu sudi memaafkan kami," tutur Ibu yang membuatku keheranan. Kutatap kedua manik mata, perempuan pemilik surga suamiku dengan lekat.

"Memang Mas Rohim melakukan kesalahan apa, Bu?"

"Hm ... tidak ada. Mana sarapan Ibu? Ibu lapar sekali!"

Bergegas kuambil sarapan untuk Ibu. Kutahan mulutku agar tak menanyakan hal yang lebih. Meskipun saat ini berbagai macam pertanyaan ada di dalam benakku.

********

Saat aku sedang merapikan nakas di samping ranjang. Kedua netraku tertuju pada botol obat penyubur yang biasanya aku konsumsi.

Tiba-tiba teringat, kalau obat itu hanya sisa dua butir. Akhirnya kuputuskan mengambil sendiri obat yang ada di dalam tas suamiku, seperti yang dikatakannya kemarin malam.

Kucari di setiap saku tas, tapi tak kunjung menemukan obat yang aku cari. Tapi aku hanya menemukan box kecil. Kemasannya berwarna biru dan bergambar seorang perempuan. 

Karena rasa penasaran, akhirnya kupilih menu g**gle pada ponselku. Kuketik nama obat yang tertera pada bungkusan obat yang saat ini ada di tanganku.

Mataku membelalak saat membaca tulisan yang ada di layar ponselku. 

Bersambung ya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
W rasa itu sh obat supaya ndak hamil
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status