Saat aku sedang berselancar di aplikasi dunia biru, tiba-tiba ponsel milik Mas Rohim bergetar.
Kuambil ponsel itu. Nama Ragil yang terpampang sebagai pemanggilnya. Ingin kuangkat, tapi aku ragu. Karena selama ini, aku tak pernah menyentuh benda pipih milik suamiku.
Kuletakkan kembali ponsel itu. Akhirnya panggilan dimatikan. Tapi tak lama kemudian, nomor tersebut memanggil kembali. Kubiarkan lagi. Namun, nomor tersebut terus berusaha menghubungi.
Aku tahu siapa ragil. Ia adalah teman sekantor suamiku. Karena takut ada suatu hal yang penting. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon tersebut.
Kuangkat panggilan itu, lalu kutempelkan di daun telingaku.
"Halo, Pah ... kamu udah sampai? Kok pesanku nggak kunjung dibalas?" cecar seseorang dari seberang telepon, saat panggilan baru saja kuangkat. Tapi mampu membuat tubuhku tersentak.
"Assalamualaikum," ucapku tanpa memperdulikan ucapan dari suara wanita yang ada diseberang sana. Meskipun berbagai pikiran buruk berkelebatan.
Tanpa menjawab salamku, tiba-tiba panggilan dimatikan. Kupandangi layar ponsel itu.
Penelpon itu memanggil dengan sebutan 'Pah' , apa yang dimaksud papah? Lalu siapa yang memanggil suamiku dengan sebutan seperti itu?
"Ah, barang kali salah nomor," lirihku berusaha berfikiran positif. Meskipun, gelisah telah melanda. Jujur saja, sapaan itu membuatku berfikiran suatu hal yang bukan-bukan.
Suamiku memang sering cerita, ada teman sekantornya bernama Ragil. Seorang staff biasa juga di perusahaan tempat suamiku bekerja. Tapi menurut cerita Mas Rohim, Ragil itu seorang laki-laki. Tapi barusan yang terdengar suara seorang perempuan.
Segera kutepis prasangka buruk. Bukankah apa yang kita pikirkan, lalu itu lah yang akan terjadi?
Terdengar suara deru langkah semakin mendekat. Tak lama kemudian, daun pintu terbuka.
"Belum tidur, Sayang?" tanya suamiku sambil menutup kembali daun pintu.
Untuk menghilangkan rasa curiga, lebih baik kutanyakan saja pada orangnya langsung. Tapi jika kecurigaanku memang benar, masa iya Mas Rohim akan jujur siapa perempuan yang barusan menelpon.
Oho ... aku punya ide.
"Mas, tadi ada yang nelfon. Aku angkat aja. Habisnya nelfon terus!"
Mas Rohim mendaratkan tubuhnya diranjang. "Siapa yang telfon?"
"Namanya Ragil. Yang sering Mas ceritakan itu loh. Tapi suaranya perempuan, Mas!"
"Oh ... mungkin itu kekasih Ragil. Mungkin dia mengira Ragil sedang bersamaku. Memang, ponselnya sedang dibawa oleh pacarnya," jelas suamiku.
Seketika hati ini terasa lega. Aku yakin Mas Rohim tak berbohong. Karena jika wanita itu kekasih Mas Rohim, suamiku pasti akan gugup dan bingung untuk mencari alasan.
"Oh ... kirain siapa!"
"Kenapa? Kamu curiga? Kamu cemburu? Udah ... nggak usah mikirin yang macem-macem. Mas di kota hanya ingin mencari nafkah, nggak lebih!" tegas Mas Rohim lalu membaringkan tubuhnya di sampingku. Ditariknya selimut hingga menutupi tubuhnya sebatas dada.
Kumiringkan tubuhku. Hingga kedua netraku menatap wajah tampan suamiku.
"Mas ...."
Mas Rohim menoleh kearahku. "Kenapa? Pengen?" tanya suamiku yang sepertinya tahu keinginanku.
Aku seorang wanita normal. Pasti memiliki napsu. Toh tak berdosa juga kan jika seorang istri meminta terlebih dahulu?
Aku mengangguk.
"Sudah minum obatnya?"
"Sudah, Mas! Selalu aku minum kok. Tepat waktu! Nggak pernah bolong sekali pun!" ucapku sambil memainkan jemari di atas dada suamiku.
Mas Rohim tersenyum sambil mengacak rambutku. "Pintar sekali!"
"Iya dong, Mas! Aku kan pengen secepatnya bisa hamil! Tapi obatnya tinggal dua butir saja!"
"Kamu tenang saja. Mas sudah belikan kok. Itu ada di tas. Besok aja Mas ambilkan ya. Jangan sampai telat minum!"
Aku mengangguk.
Entah siapa yang memulai, akhirnya bibir kami saling menyatu. Menghapus jarak diantara kami. Terdengar dengan jelas napas suamiku yang sangat memburu. Napasnya terasa begitu hangat saat menerpa kulit wajah dan leherku, membuatku terhanyut dalam permainan suamiku.
*******
Suara adzan berkumandang. Membangunkan ku dari tidur lelap. Kulihat jam di dinding, ternyata sudah menunjukkan pukul setengah lima. Mata ini masih terasa ngantuk sekali, entah jam berapa aku bisa memejamkan mata. Mas Rohim meminta lagi dan lagi.
Kusingkap selimut tebal yang semalam menghangatkan tubuhku. Aku beringsut dari ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi.
Kunyalakan shower. Tetesan demi tetesan air jatuh membasahi seluruh tubuhku. Dinginnya air terasa menusuk hingga ke tulang.
Dengan cepat kuselesaikan ritual mandiku.
Tak lupa pula kulaksanakan kewajiban ku sebagai seorang muslim, yaitu dua rakaat shalat subuh.
"Mas .... bangun! Cepetan mandi terus shalat. Keburu waktunya habis!" ucapku sambil menggoyangkan lengan suamiku.
"Hmm ... aku masih ngantuk!" jawabnya dengan mata tetap terpejam.
"Ayo cepetan bangun! Keburu waktu subuhnya habis, Mas!"
Bukannya bangun, Mas Rohim malah menarik selimutnya keatas hingga menutupi kepalanya.
Dengan cepat, kutarik selimut itu.
"Ayo, bangun!"
"Ck, iya-iya."
"Jangan iya-iya aja, Mas! Ayo, buruan bangun! Aku mau masak dulu!"
Mas Rohim mendengkus kesal, lalu beranjak dari ranjang.
Kudorong tubuh itu untuk masuk kedalam kamar mandi. "Buruan mandi, lalu shalat subuh!"
*******
"Bu, makan dulu, ya!" Bergegas kuambil sarapan untuk Ibu mertuaku. Aku tak ingin beliau menunggu terlalu lama. Biar segera minum obat juga.
Ibu susah sekali untuk sarapan pagi. Biasanya Ibu akan makan kalau sudah jam delapan. Jadi aku dan suamiku sudah sarapan terlebih dahulu.
"Ibu bosen makan itu-itu terus!" Gerakan tanganku terhenti. Aku menoleh ke arah Ibu. Wajah tua itu terlihat murung.
"Lalu Ibu ingin makan apa? Ibu harus banyak makan sayur, nggak boleh makan-makanan yang berminyak. Ingat, kolesterol Ibu tinggi. Ibu ingin sehat kan? Ibu ingin menimang cucu dari rahim Rumi kan?" ucapku lembut tapi membuat kedua netra Ibu seketika berkaca-kaca.
"Jangan nangis, Bu. Maafkan Rumi, bukan maksud Rumi pelit atau apa, Rumi hanya ingin Ibu sehat, berumur panjang. Itu saja, Bu. Rumi hanya menjalankan anjuran dokter, makanan apa saja yang boleh dan yang harus dihindari!" ucapku sambil melangkah mendekati Ibu. Kupeluk Ibu dari belakang.
Ibu mengelus pucuk kepalaku. "Kamu nggak perlu meminta maaf Rum. Seharusnya Ibu yang minta maaf. Selama kamu menikah dengan Rohim, Ibu selalu merepotkanmu. Gara-gara Ibu, kamu nggak bisa ikut ke kota bareng suamimu. Maafkan Ibu, Rum ... maafkan Ibu!" Tiba-tiba ibu terisak dalam tangisnya. Kulepas pelukanku.
"Hey ... jangan kira semua itu gratis, Bu!"
Ibu menoleh ke arahku dengan kening berkerut.
"Kamu mau imbalan apa?"
"Do'akan Rumi secepatnya bisa hamil, ya, Bu! Bukankah do'a seorang Ibu mampu menembus langit?"
Ibu memegang tanganku. "Ibu harap, apapun yang terjadi, kamu tak akan meninggalkan suamimu dan juga Ibu. Sefatal apapun kesalahan suamimu, Ibu harap kamu sudi memaafkan kami," tutur Ibu yang membuatku keheranan. Kutatap kedua manik mata, perempuan pemilik surga suamiku dengan lekat.
"Memang Mas Rohim melakukan kesalahan apa, Bu?"
"Hm ... tidak ada. Mana sarapan Ibu? Ibu lapar sekali!"
Bergegas kuambil sarapan untuk Ibu. Kutahan mulutku agar tak menanyakan hal yang lebih. Meskipun saat ini berbagai macam pertanyaan ada di dalam benakku.
********
Saat aku sedang merapikan nakas di samping ranjang. Kedua netraku tertuju pada botol obat penyubur yang biasanya aku konsumsi.
Tiba-tiba teringat, kalau obat itu hanya sisa dua butir. Akhirnya kuputuskan mengambil sendiri obat yang ada di dalam tas suamiku, seperti yang dikatakannya kemarin malam.
Kucari di setiap saku tas, tapi tak kunjung menemukan obat yang aku cari. Tapi aku hanya menemukan box kecil. Kemasannya berwarna biru dan bergambar seorang perempuan.
Karena rasa penasaran, akhirnya kupilih menu g**gle pada ponselku. Kuketik nama obat yang tertera pada bungkusan obat yang saat ini ada di tanganku.
Mataku membelalak saat membaca tulisan yang ada di layar ponselku.
Bersambung ya.
Saat aku sedang merapikan nakas di samping ranjang. Kedua netraku tertuju pada botol obat penyubur yang biasanya aku konsumsi.Tiba-tiba teringat, kalau obat itu hanya sisa dua butir. Akhirnya kuputuskan mengambil sendiri obat yang ada di dalam tas suamiku, seperti yang dikatakannya kemarin malam. Kalau tak kuambil sekarang, takutnya kelupaan. Toh Mas Rohim esok pagi akan kembali ke kota. Kuambil tas milik suamiku, kubuka resleting utama. Aku tak menemukan apapun.Lalu kucari di setiap saku tas, tak kunjung menemukannya juga. Tapi aku hanya menemukan box kecil. Kemasannya berwarna biru dan bergambar seorang perempuan. "And*l*n," lirihku saat membaca nama obat tersebut. Kurasa nama obat ini sungguh tak asing di telingaku. Kubuka box tersebut, ada dua strip obat. Yang masing-masing strip masih utuh isinya.Obat yang sering diberikan Mas Rohim kemasannya botol. Sedangkan obat yang saat ini kutemukan kemasannya berbeda. Jadi dipastikan ini bukan untukku.Karena rasa penasaran, akhirn
Entahlah, rasanya sangat tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Mas Rohim. Tapi percaya tak percaya, itu lah yang telah dia perbuat.Mungkin salahku juga, aku terlalu naif menjadi orang. Aku menganggap semua orang akan baik jika kita juga berlaku baik. Tapi nyatanya? Zonk!Mungkin salahku juga, aku terlalu percaya dengan pendirian ku, bahwa "Jodohmu adalah cerminan dirimu" Kukira, jika aku selalu jujur, makan pasangan kita pasti akan jujur. Tapi nyatanya? Sandiwara yang kuterima!"Yaudah ... kita ke rumah sakit sekarang! Kenapa kamu nggak bilang, sih! Kalau kamu sakit, kamu sendiri yang akan tersiksa! Kalau sudah merasakan tak enak badan, harusnya kamu langsung ngomong! Biar Mas antar ke rumah sakit! Jadi kamu nggak akan merasakan sakit yang berlebih hingga nangis kayak gini!" Bukan tubuhku yang sakit, Mas! Bukan tubuhku pula yang tersiksa! Tapi hati ini Mas yang sakit! Sakit teramat sangat! Sakit namun tak berdarah! Dan kamulah yang membuatku sakit!Aku tersenyum, senyum yang
Pov Rohim"Mas, sejak kemarin perut Rumi rasanya mual-mual terus. Kadang tubuh rasanya tiba-tiba lemas. Rumi sudah telat tiga minggu. Apa Rumi hamil ya?""Uhuk ... uhuk." Aku terbatuk saat mendengar ucapan Rumi, istriku. Air yang sudah berada dalam mulutku seketika tersembur hingga membasahi lantai kamar.Bagaimana tidak kaget? Lima tahun sudah ia kuberikan pil KB, tapi kenapa kali ini ia bisa hamil? Ah, tiba-tiba kepalaku terasa pening sekali!"Pelan-pelan dong, Mas, minumnya!" Rumi mengusap punggungku."Eh, iya. Maaf, Sayang. Lantainya jadi basah deh!""Kamu kenapa? Sepertinya kamu kaget mendengar ucapan Rumi? "Nggak apa-apa. Mas hanya seneng saja mendengar kalau kamu telat datang bulan!" ucapku berusaha setenang mungkin."Mas senang nggak kalau Rumi hamil?" Kutarik tubuh mungil Rumi ke dalam dekapanku. Bukannya aku tak senang. Tapi aku tak siap dengan konsekuensi yang harus kuterima jika Rumi hamil. "Pasti seneng dong! Coba besok pagi kamu tespek ya. Barang kali kamu hamil bener
"Sayang ... Mas berangkat dulu, ya," pamit Mas Rohim. "Iya, Mas!" ucapku lalu kuambil tas milik suamiku dan kuberikan padanya."Kamu di rumah baik-baik. Jangan lupa minum obatnya terus. Jangan sampai bolong! Kalau memang sudah positif beneran, baru berhenti ya!" Aku mengangguk.Ck, begitulah suamiku. Tiada hentinya mengingatkan ku untuk meminum obat itu. Dulu aku merasa senang sekali. Tapi sekarang? Entahlah.Begitu perih dan sakit, saat kutahu kalau suamiku tak menginginkan malaikat kecil dari rahimku. Entahlah, apa kesalahanku. Apa alasannya pun aku belum tahu. Dan pastinya aku akan mencari tahu!Tadi pagi Mas Rohim memintaku untuk melakukan testpack. Tapi kuberikan alasan kalau aku belum membeli testpack.Padahal, ada satu box testpack di dalam laci meja riasku yang sering kugunakan setiap aku telat datang bulan.Ya, bisa dibilang aku selalu telat datang bulan. Entah telat lima hari atau pun satu minggu.Ya begitulah namanya perempuan yang mengharapkan kehadiran janin di rahim, ba
*Keesokan hari, di pagi hari*Aku berjalan menghampiri Ibu yang sedang duduk santai di teras rumah. Kubawa tas jinjing yang berisi beberapa helai pakaianku dan perlengkapan yang kubutuhkan untuk beberapa hari kedepan, tak lupa pula kubawa tas selempang yang kugunakan untuk menyimpan ponsel dan juga dompetku."Bu, Rumi pamit dulu, ya!" Kucium punggung tangan Ibu mertua.Saat aku ingin melepas tangan Ibu, beliau malah menggenggam tanganku. Kuhela napas panjang. Aku berjongkok menyejajarkan tubuh Ibu yang sedang duduk di kursi."Apapun yang terjadi, Ibu harap kamu akan memaafkan Rohim dan juga Ibu. Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Ibu!" ucap Ibu dengan suara parau. Seperti seseorang yang sedang menahan tangis."Insyaallah, Bu. Sebisa mungkin, Rumi akan memaafkan kesalahan Mas Rohim. Tapi ... jika kesalahan Mas Rohim sangat fatal, Rumi mohon maaf ... maaf karena Rumi akan memilih jalan Rumi sendiri," ucapku pelan, tapi mampu membuat air mata Ibu menetes."Sebentar lagi Mba
"Apa kamu kenal yang namanya Pak Rohim yang bekerja disini sebagai staff biasa? Ada istrinya yang mencari!" Security itu menunjuk kearahku.A'an menoleh ke arahku. Saat pandangan kami saling bertemu, tiba-tiba kedua netranya melotot. Seperti melihat hantu yang begitu menyeramkan. Raut wajahnya pun juga terlihat kaget dengan kehadiranku.A'an langsung membuang muka. Menatap kembali security yang tadi memanggilnya."Hey ... kamu tahu nggak yang namanya Pak Rohim!? Ditanya kok malah diem!""Pasti kenal, Pak. Karena Mas A'an ini teman suami saya. Mas, bisa minta tolong panggilkan Mas Rohim?" Sebentar saja kok!"Terlihat Mas A'an menelan saliva dengan susah. Wajahnya pun terlihat seperti orang yang sedang takut, bingung, ah entahlah."Malah diem aja! Sana! panggilkan suaminya mbak ini!" "Aduh mbak Rumi, saya masih diminta untuk foto copy. Mbak mau nunggu dulu?" ucapnya sambil menunjukkan lembaran kertas di tangannya."Iya, Mas! Nggak apa-apa. Lagian Mas Rohim dari tadi di telfon nggak dia
Kepalaku berdenyut sakit. Masalah yang mendera terasa begitu pelik. Terlalu banyaknya teka-teki yang harus kupecahkan.Mulai dari Pil KB, Mas Rohim yang seorang manager, dan sekarang, hingga Mas Rohim memiliki istri lain. Apakah semua itu saling berkaitan? Atau yang mana dulu yang harus aku selidiki untuk mencari tahu jawabannya? Ah, kepalaku terasa begitu pening. Pening sekali!"Bu, dia datang!" ucap rekan Pak Dermawan yang membuyarkan lamunanku."Mana, Pak?" ucapku dengan bola mata kesana-kemari untuk mencari sosok yang dimaksud rekan Pak Dermawan."Itu loh, Bu!" jawabnya dengan jemari menunjuk ke arah gerbang.Kedua netraku menyipit saat melihat sosok perempuan yang baru saja melewati gerbang. Terlihat perempuan itu berjalan memasuki kawasan perkantoran ini. Badannya tinggi semampai. Ditambah balutan dress selutut berwarna merah maroon, memakai high heels, rambut hitam legam lurus tergerai, bermata bening, bulu mata lentik. Apalagi polesan make up di wajahnya, menambah kesan kecan
Satu jam lamanya aku menunggu perebut suami orang itu keluar. Tak lama kemudian, sosok yang kutunggu-tunggu telah menampakkan batang hidungnya.Mataku tak berkedip memandangnya. Setiap langkah dan gerakannya tak luput dari sorotan mataku.Langkah itu semakin mendekat dan mendekat. "Mari, Pak!" sapa perempuan itu saat melewati pos security. Sepertinya ia tak tahu siapa aku. Ya, mungkin wanita itu tak tahu kalau sebenarnya Mas Rohim sudah memiliki istri sah, yaitu aku.Kedua satpam itu mengangguk. Kuambil dua lembar uang berwarna merah. Kuberikan kepada kedua security itu sebagai imbalan atas info yang mereka berikan.Kedua satpam itu menerima dengan wajah berbinar. Ucapan kata terima kasih terucap dari bibir mereka.Terlihat wanita itu mulai masuk ke dalam mobil. Bergegas aku berlari menuju pangkalan ojek online yang ada di seberang kantor ini.Tak lupa kubawa juga tas jinjing yang berisi beberapa helai bajuku."Ikuti mobil itu, Pak!" ucapku sambil mengenakan helm yang disodorkan oleh