*Dua bulan kemudian*Terdengar adzan subuh berkumandang, mataku mengerjap pelan, lalu kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Kedua mataku terbuka sempurna, namun saat aku menoleh ke samping, tak kutemukan Mas Rendra di sana. Sudah menjadi kebiasaanya, bangun terlebih dulu di saat aku masih terlelap.Tak berselang lama terdengar derap langkah mendekati kamar, sedetik kemudian daun pintu terbuka. Terlihat Mas Rendra yang hanya mengenakan handuk yang terlilit sebatas pinggang, berjalan masuk."Tumben belum dibangunin, udah bangun duluan," ucap Mas Rendra sembari mengambil baju di dalam almari. Itulah kebiasaan Mas Rendra, dia bukan tipe lelaki yang semuanya harus kusediakan. Padahal aku pun juga ingin melayani suamiku. Ia hanya memintaku untuk memasak makanan untuknya. Kalau tugas membersihkan rumah sudah dilakukan oleh Art yang bekerja di sini. "Iya, Mas," jawabku sekenanya. "Buruan mandi. Mas tunggu sholat subuh berjamaah," ucapnya seraya memakai baju yang baru diambil olehnya. Aku men
Mendengar penuturanku, Ustadzah Humaira tersenyum. Lalu menjawab, "Kamu bulan ini sudah datang bulan?" "Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Pandu yang kubalas dengan mengangkat kedua bahuku, padahal aku tahu ia pun tak lihat gerakanku."Masa iya hamil?" gumamku. "Mas Rendra, belikan testpack buat Nak Rumi," pinta Ustadzah Humaira. Terlihat Mas Rendra mengangguk cepat dan tanpa permisi ia langsung melenggang pergi."Dulu saya juga seperti ini loh. Waktu hamil di trimester pertama, nggak bisa kena air. Baru lihat air aja udah merinding. Perut terasa mual."Seketika aku kembali mengingat kejadian akhir-akhir ini. Sama seperti yang dikatakan oleh Ustadzah Humaira. Tapi masa iya aku hamil?Kutepuk pelan jidatku, saat aku teringat sudah satu bulan aku tak datang bulan. Ya, Tuhan... bagaimana mungkin aku tak mengerti?Mudah-mudahan kali ini aku benar-benar hamil.Allah... berikanlah mukjizatmu."Gimana? Udah inget kapan terakhir datang bulan?" tanya Ustadzah dan aku mengangguk."Kapan?""Tepat di
Tak hentinya kata syukur kupanjatkan. Betapa baiknya Tuhan padaku. Sesuatu yang kunantikan beratahun-tahun lamanya, kini telah ada di dalam rahimku.Allah. Terimakasih. Harus berapa kali kuucapkan rasa syukur dan terima kasih atas bentuk karuania terbesarmu. Sungguh... rasa bahagia yang tak bisa kuungkapkan."Bagaimana mungkin kamu bisa telat selama satu bulan tapi nggak menyadarinya? Kasihan kan calon anakku diajak kerja," ucap Mas Rendra."Aku mana tahu, Mas. Dulu aku tuh sering sekali telat seperti ini, jadi kupikir ya biasa aja. Nggak tahu juga kalau hamil.""Untung aja si Adek memberikan sinyal seperti itu sama Bundanya. Coba kalau enggak, mungkin kamu nggak akan tahu kalau sedang hamil." mas Rendra tak hentinya berbicara. Aku hanya diam, tak ingin menjawab ucapannya."Yaudah. Kita periksa sekarang. Biar tahu bagaimana kondisi janin di dalam rahimmu, aku nggak mau ya dia kenapa-kenapa," ucap Mas Rendra seraya beranjak dari ranjang lalu melangkah menuju almari.Setelah beberapa sa
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Terdengar Mbok Siti memanggilku beberapa kali.Pelan aku beringsut dari ranjang. Melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbok?" tanyaku saat pintu sudah terbuka."Ada Ibu dan Bapak," ucap Mbok Siti."Di mana, Mbok?" "Di ruang tamu, Bu.""Iya, Mbok. Terima kasih." Mbok Siti mengangguk, lalu melangkah pergi."Siapa Rum?" tanya Mas Rendra dengan tubuh yang masih berbaring."Ibu sama Bapak." "Wah... sepertinya Ibu dan Bapak merasa kalau akan mendapatkan cucu. Makanya tiba-tiba datang ke sini tanpa memberi kabar," ucap Mas Rendra seraya beringsut dari pembaringan. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya."Yuk kita ke sana," ucap Mas Rendra dan aku mengangguk.Kami pun melangkah beriringan. Namun aku dibuat terkejut bukan main saat melihat seseorang yang duduk di samping ibuku."Mas Rohim?" lirihku tak percaya saat melihat Mas Rohim, istrinya dan juga mantan mertuaku ada di sana."Siapa?" bisik Mas Rendra tepat di telingaku."Mantan suami dan mant
"Assalamualaikum ..." Suara salam terdengar dari balik pintu, diikuti dengan ketukan halus."Waalaikum salam," jawabku. Segera kucampakkan ponsel yang sedari tadi berada di genggamanku, lalu bergegas menuju pintu. Aku melangkah dengan perasaan senang bukan main. Aku tahu betul siapa pemilik suara itu. Dia adalah Mas Rohim, suamiku.Kuputar anak kunci, lalu kubuka daun pintu. Pemandangan pertama yang kulihat adalah sosok suamiku dengan bibir yang sedang tersenyum manis. Segera kucium punggung tangannya dengan takdzim."Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang," ucapku dengan lega."Kenapa? Kangen?" goda Mas Rohim."Iya, lah, Mas! Seminggu hanya bertemu satu kali. Siapa yang nggak kangen coba! Apalagi hitungannya kita masih pengantin baru! Harusnya tuh, ya, kita kemanapun berdua!" gerutuku.Ya, bisa dibilang kami LDR-an. Bertemu hanya saat Mas Rohim libur kerja. Suamiku akan pulang hari jum'at sore, dan minggu pagi ia akan kembali ke kota.Aku tinggal di kampung, sementara suamiku tinggal di
Saat aku sedang berselancar di aplikasi dunia biru, tiba-tiba ponsel milik Mas Rohim bergetar. Kuambil ponsel itu. Nama Ragil yang terpampang sebagai pemanggilnya. Ingin kuangkat, tapi aku ragu. Karena selama ini, aku tak pernah menyentuh benda pipih milik suamiku. Kuletakkan kembali ponsel itu. Akhirnya panggilan dimatikan. Tapi tak lama kemudian, nomor tersebut memanggil kembali. Kubiarkan lagi. Namun, nomor tersebut terus berusaha menghubungi. Aku tahu siapa ragil. Ia adalah teman sekantor suamiku. Karena takut ada suatu hal yang penting. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon tersebut.Kuangkat panggilan itu, lalu kutempelkan di daun telingaku."Halo, Pah ... kamu udah sampai? Kok pesanku nggak kunjung dibalas?" cecar seseorang dari seberang telepon, saat panggilan baru saja kuangkat. Tapi mampu membuat tubuhku tersentak."Assalamualaikum," ucapku tanpa memperdulikan ucapan dari suara wanita yang ada diseberang sana. Meskipun berbagai pikiran buruk berkelebatan.Tanpa men
Saat aku sedang merapikan nakas di samping ranjang. Kedua netraku tertuju pada botol obat penyubur yang biasanya aku konsumsi.Tiba-tiba teringat, kalau obat itu hanya sisa dua butir. Akhirnya kuputuskan mengambil sendiri obat yang ada di dalam tas suamiku, seperti yang dikatakannya kemarin malam. Kalau tak kuambil sekarang, takutnya kelupaan. Toh Mas Rohim esok pagi akan kembali ke kota. Kuambil tas milik suamiku, kubuka resleting utama. Aku tak menemukan apapun.Lalu kucari di setiap saku tas, tak kunjung menemukannya juga. Tapi aku hanya menemukan box kecil. Kemasannya berwarna biru dan bergambar seorang perempuan. "And*l*n," lirihku saat membaca nama obat tersebut. Kurasa nama obat ini sungguh tak asing di telingaku. Kubuka box tersebut, ada dua strip obat. Yang masing-masing strip masih utuh isinya.Obat yang sering diberikan Mas Rohim kemasannya botol. Sedangkan obat yang saat ini kutemukan kemasannya berbeda. Jadi dipastikan ini bukan untukku.Karena rasa penasaran, akhirn
Entahlah, rasanya sangat tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Mas Rohim. Tapi percaya tak percaya, itu lah yang telah dia perbuat.Mungkin salahku juga, aku terlalu naif menjadi orang. Aku menganggap semua orang akan baik jika kita juga berlaku baik. Tapi nyatanya? Zonk!Mungkin salahku juga, aku terlalu percaya dengan pendirian ku, bahwa "Jodohmu adalah cerminan dirimu" Kukira, jika aku selalu jujur, makan pasangan kita pasti akan jujur. Tapi nyatanya? Sandiwara yang kuterima!"Yaudah ... kita ke rumah sakit sekarang! Kenapa kamu nggak bilang, sih! Kalau kamu sakit, kamu sendiri yang akan tersiksa! Kalau sudah merasakan tak enak badan, harusnya kamu langsung ngomong! Biar Mas antar ke rumah sakit! Jadi kamu nggak akan merasakan sakit yang berlebih hingga nangis kayak gini!" Bukan tubuhku yang sakit, Mas! Bukan tubuhku pula yang tersiksa! Tapi hati ini Mas yang sakit! Sakit teramat sangat! Sakit namun tak berdarah! Dan kamulah yang membuatku sakit!Aku tersenyum, senyum yang