Share

Bab 4

Entahlah, rasanya sangat tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Mas Rohim. Tapi percaya tak percaya, itu lah yang telah dia perbuat.

Mungkin salahku juga, aku terlalu naif menjadi orang. Aku menganggap semua orang akan baik jika kita juga berlaku baik. Tapi nyatanya? Zonk!

Mungkin salahku juga, aku terlalu percaya dengan pendirian ku, bahwa "Jodohmu adalah cerminan dirimu" Kukira, jika aku selalu jujur, makan pasangan kita pasti akan jujur. Tapi nyatanya? Sandiwara yang kuterima!

"Yaudah ... kita ke rumah sakit sekarang! Kenapa kamu nggak bilang, sih! Kalau kamu sakit, kamu sendiri yang akan tersiksa! Kalau sudah merasakan tak enak badan, harusnya kamu langsung ngomong! Biar Mas antar ke rumah sakit! Jadi kamu nggak akan merasakan sakit yang berlebih hingga nangis kayak gini!" 

Bukan tubuhku yang sakit, Mas! Bukan tubuhku pula yang tersiksa! Tapi hati ini Mas yang sakit! Sakit teramat sangat! Sakit namun tak berdarah! Dan kamulah yang membuatku sakit!

Aku tersenyum, senyum yang dipaksakan. Kuraih tangan Mas Rohim yang membingkai wajahku. Kuturunkan dengan perlahan. "Nggak apa-apa, Mas! Aku udah minum obat, kok. Ini sudah rada mendingan. Oh ya, Mas. Obat nya mana? Besok pagi kan kamu akan berangkat lagi ke kota. Nanti takutnya kelupaan!"

Mas Rohim menelan saliva dengan susah payah. Entahlah, setelah terbongkarnya kebohongan yang dilakukannya, malah membuatku semakin memperhatikan tingkah kecil yang dilakukan oleh suamiku.

"Oh ... iya. Mas sudah siapin kok!" ucapnya dengan mengulas senyum.

G*la! Pandai sekali suamiku ini. Disaat seperti ini ia masih bisa tersenyum. Bahkan senyum itu terlihat tulus dan manis sekali. Bukan seperti senyum saat orang sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.

Pantas saja aku tak mampu mengendus b*ngkai yang disimpan suamiku. Lah, suamiku saja aktingnya sungguh luar biasa.

"Mana?" Aku menengadahkan tanganku.

"Iya-iya, Sayang. Oh iya, Mas bisa minta tolong?" 

"Apa, Mas?"

"Tolong ambilkan minum. Mas haus sekali. Tenggorokan rasanya kering kerontang!" ucapnya sambil mengelus lehernya.

Ck, pintar juga suamiku ini. Aku yakin, bukan hanya ini bangkai ini yang disembunyikan. Pasti banyak bangkai-bangkai lain yang menunggu ku untuk membongkarnya.

Tunggu tanggal mainnya, Mas!

Satu hal yang harus segera aku lakukan. Aku harus mencari tahu, apa alasan yang membuat suamiku memberikanku pil KB, yang artinya ia menginginkan ku untuk menunda momongan.

"Baiklah, Mas! Aku ambilkan dulu ya!" ucapku semanis mungkin. Walaupun rasanya ingin kucabik-cabik mulut lelaki itu.

Sabar Rumi ... sabar!

*********

"Ini Mas minumnya. Rumi letakkan disini ya!" ucapku sambil meletakkan segelas air diatas nakas. Kulihat Mas Rohim sedang berbaring sambil memainkan game yang ada di ponselnya.

"Iya, Sayang ... taruh saja disitu! Oh iya ... obatnya sudah Mas masukkin di botol obat yang lama."

Lagi-lagi aku tersenyum kecut.

"Kenapa dijadikan satu, Mas? Lalu mana botolnya? Biar Rumi buang!" ucapku sambil mendekat ke arah suamiku.

"Botolnya Mas bawa. Soalnya kemarin ada teman Mas yang ingin membeli obat itu. Katanya ingin dibawa untuk dijadikan contoh."

Ha ha ha ... lihatlah, suamiku lancar sekali saat berbicara. Padahal apa yang diucapkannya adalah suatu kebohongan.

Mas Rohim meletakkan ponselnya, lalu beranjak dari pembaringan nya. Diraihnya gelas yang tadi kubawa. Mas Rohim mulai meneguk air yang telah kusiapkan.

"Mas, sejak kemarin perut Rumi rasanya mual-mual terus. Kadang tubuh rasanya tiba-tiba lemas. Rumi sudah telat tiga minggu. Apa Rumi hamil ya?"

"Uhuk ... uhuk."

"Pelan-pelan dong, Mas, minumnya!" Aku beranjak lalu kuusap punggung suamiku. Ck, suamiku terbatuk dan menyemburkan air dari mulutnya setelah mendengar kalimat sandiwaraku.

Sebenarnya semua itu hanya kebohongan. Aku tidak telat datang bulan. Bahkan, bulan ini aku sudah datang bulan. Bahkan, aku sudah suci sebelum Mas Rohim pulang. 

"Eh, iya. Maaf, Sayang. Lantainya jadi basah deh!"

"Kamu kenapa? Sepertinya kamu kaget mendengar ucapan Rumi? 

"Nggak apa-apa. Mas hanya seneng saja mendengar kalau kamu telat datang bulan!" ucapnya sambil meletakkan kembali gelas diatas nakas.

"Mas senang nggak kalau Rumi hamil?" 

Ditariknya tubuhku ke dalam dekapannya. Mas Rohim memelukku dengan erat.

"Pasti seneng dong! Coba besok pagi kamu tespek ya. Barang kali kamu hamil beneran!"

Aku mengangguk.

Mas Rohim melepas pelukannya. Diambilnya ponsel yang sempat dicampakkannya.

"Mas keluar sebentar ya. Bentar aja, kok!" Aku mengangguk.

Terlihat ia beringsut dari ranjang lalu berjalan menuju pintu. Dibukanya daun pintu.

Dengan langkah mengendap, kuikuti kemana perginya suamiku. Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres.

Bagaimana aku tak curiga? Setelah mendengar ucapanku, ia langsung pergi meninggalkanku dengan membawa ponselnya.

Biasanya, jika seorang suami mendengar keluhan istrinya saat mual-mual dan datang bulan, suaminya akan terlihat begitu antusias. Ia akan mengelus perut istrinya, meskipun masih dalam keadaan rata. Dan membisikkan kata-kata manis untuk calon jabang bayinya.

Suamiku menghentikan langkahnya di teras rumah. Didaratkan tubuhnya di kursi teras rumah. Aku berdiri dibalik jendela. Kuamati setiap gerakan yang dilakukan oleh lelaki yang telah membersamaiku dan membohongiku lima tahun lamanya.

Mas Rohim mengutak-atik benda pipih miliknya. Mungkin ia akan menghubungi seseorang. Karena terlihat ia menempelkan ponselnya di telinga kanannya.

Kutempelkan telingaku di kaca jendela. Berharap bisa mendengar percakapan yang dilakukan oleh suamiku.

Saat suamiku sedang berbincang dengan seseorang di seberang telepon. Aku merasa ada tangan seseorang yang menyentuh pundakku. Sempat tubuhku tersentak kaget.

Aku menoleh kebelakang. Aku meringis saat melihat sosok yang berdiri di belakangku sedang tersenyum.

Bersambung ya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Ada tangan yg sentuh pundakku
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status