Entahlah, rasanya sangat tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Mas Rohim. Tapi percaya tak percaya, itu lah yang telah dia perbuat.
Mungkin salahku juga, aku terlalu naif menjadi orang. Aku menganggap semua orang akan baik jika kita juga berlaku baik. Tapi nyatanya? Zonk!
Mungkin salahku juga, aku terlalu percaya dengan pendirian ku, bahwa "Jodohmu adalah cerminan dirimu" Kukira, jika aku selalu jujur, makan pasangan kita pasti akan jujur. Tapi nyatanya? Sandiwara yang kuterima!
"Yaudah ... kita ke rumah sakit sekarang! Kenapa kamu nggak bilang, sih! Kalau kamu sakit, kamu sendiri yang akan tersiksa! Kalau sudah merasakan tak enak badan, harusnya kamu langsung ngomong! Biar Mas antar ke rumah sakit! Jadi kamu nggak akan merasakan sakit yang berlebih hingga nangis kayak gini!"
Bukan tubuhku yang sakit, Mas! Bukan tubuhku pula yang tersiksa! Tapi hati ini Mas yang sakit! Sakit teramat sangat! Sakit namun tak berdarah! Dan kamulah yang membuatku sakit!
Aku tersenyum, senyum yang dipaksakan. Kuraih tangan Mas Rohim yang membingkai wajahku. Kuturunkan dengan perlahan. "Nggak apa-apa, Mas! Aku udah minum obat, kok. Ini sudah rada mendingan. Oh ya, Mas. Obat nya mana? Besok pagi kan kamu akan berangkat lagi ke kota. Nanti takutnya kelupaan!"
Mas Rohim menelan saliva dengan susah payah. Entahlah, setelah terbongkarnya kebohongan yang dilakukannya, malah membuatku semakin memperhatikan tingkah kecil yang dilakukan oleh suamiku.
"Oh ... iya. Mas sudah siapin kok!" ucapnya dengan mengulas senyum.
G*la! Pandai sekali suamiku ini. Disaat seperti ini ia masih bisa tersenyum. Bahkan senyum itu terlihat tulus dan manis sekali. Bukan seperti senyum saat orang sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.
Pantas saja aku tak mampu mengendus b*ngkai yang disimpan suamiku. Lah, suamiku saja aktingnya sungguh luar biasa.
"Mana?" Aku menengadahkan tanganku.
"Iya-iya, Sayang. Oh iya, Mas bisa minta tolong?"
"Apa, Mas?"
"Tolong ambilkan minum. Mas haus sekali. Tenggorokan rasanya kering kerontang!" ucapnya sambil mengelus lehernya.
Ck, pintar juga suamiku ini. Aku yakin, bukan hanya ini bangkai ini yang disembunyikan. Pasti banyak bangkai-bangkai lain yang menunggu ku untuk membongkarnya.
Tunggu tanggal mainnya, Mas!
Satu hal yang harus segera aku lakukan. Aku harus mencari tahu, apa alasan yang membuat suamiku memberikanku pil KB, yang artinya ia menginginkan ku untuk menunda momongan.
"Baiklah, Mas! Aku ambilkan dulu ya!" ucapku semanis mungkin. Walaupun rasanya ingin kucabik-cabik mulut lelaki itu.
Sabar Rumi ... sabar!
*********
"Ini Mas minumnya. Rumi letakkan disini ya!" ucapku sambil meletakkan segelas air diatas nakas. Kulihat Mas Rohim sedang berbaring sambil memainkan game yang ada di ponselnya.
"Iya, Sayang ... taruh saja disitu! Oh iya ... obatnya sudah Mas masukkin di botol obat yang lama."
Lagi-lagi aku tersenyum kecut.
"Kenapa dijadikan satu, Mas? Lalu mana botolnya? Biar Rumi buang!" ucapku sambil mendekat ke arah suamiku.
"Botolnya Mas bawa. Soalnya kemarin ada teman Mas yang ingin membeli obat itu. Katanya ingin dibawa untuk dijadikan contoh."
Ha ha ha ... lihatlah, suamiku lancar sekali saat berbicara. Padahal apa yang diucapkannya adalah suatu kebohongan.
Mas Rohim meletakkan ponselnya, lalu beranjak dari pembaringan nya. Diraihnya gelas yang tadi kubawa. Mas Rohim mulai meneguk air yang telah kusiapkan.
"Mas, sejak kemarin perut Rumi rasanya mual-mual terus. Kadang tubuh rasanya tiba-tiba lemas. Rumi sudah telat tiga minggu. Apa Rumi hamil ya?"
"Uhuk ... uhuk."
"Pelan-pelan dong, Mas, minumnya!" Aku beranjak lalu kuusap punggung suamiku. Ck, suamiku terbatuk dan menyemburkan air dari mulutnya setelah mendengar kalimat sandiwaraku.
Sebenarnya semua itu hanya kebohongan. Aku tidak telat datang bulan. Bahkan, bulan ini aku sudah datang bulan. Bahkan, aku sudah suci sebelum Mas Rohim pulang.
"Eh, iya. Maaf, Sayang. Lantainya jadi basah deh!"
"Kamu kenapa? Sepertinya kamu kaget mendengar ucapan Rumi?
"Nggak apa-apa. Mas hanya seneng saja mendengar kalau kamu telat datang bulan!" ucapnya sambil meletakkan kembali gelas diatas nakas.
"Mas senang nggak kalau Rumi hamil?"
Ditariknya tubuhku ke dalam dekapannya. Mas Rohim memelukku dengan erat.
"Pasti seneng dong! Coba besok pagi kamu tespek ya. Barang kali kamu hamil beneran!"
Aku mengangguk.
Mas Rohim melepas pelukannya. Diambilnya ponsel yang sempat dicampakkannya.
"Mas keluar sebentar ya. Bentar aja, kok!" Aku mengangguk.
Terlihat ia beringsut dari ranjang lalu berjalan menuju pintu. Dibukanya daun pintu.
Dengan langkah mengendap, kuikuti kemana perginya suamiku. Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres.
Bagaimana aku tak curiga? Setelah mendengar ucapanku, ia langsung pergi meninggalkanku dengan membawa ponselnya.
Biasanya, jika seorang suami mendengar keluhan istrinya saat mual-mual dan datang bulan, suaminya akan terlihat begitu antusias. Ia akan mengelus perut istrinya, meskipun masih dalam keadaan rata. Dan membisikkan kata-kata manis untuk calon jabang bayinya.
Suamiku menghentikan langkahnya di teras rumah. Didaratkan tubuhnya di kursi teras rumah. Aku berdiri dibalik jendela. Kuamati setiap gerakan yang dilakukan oleh lelaki yang telah membersamaiku dan membohongiku lima tahun lamanya.
Mas Rohim mengutak-atik benda pipih miliknya. Mungkin ia akan menghubungi seseorang. Karena terlihat ia menempelkan ponselnya di telinga kanannya.
Kutempelkan telingaku di kaca jendela. Berharap bisa mendengar percakapan yang dilakukan oleh suamiku.
Saat suamiku sedang berbincang dengan seseorang di seberang telepon. Aku merasa ada tangan seseorang yang menyentuh pundakku. Sempat tubuhku tersentak kaget.
Aku menoleh kebelakang. Aku meringis saat melihat sosok yang berdiri di belakangku sedang tersenyum.
Bersambung ya.
Pov Rohim"Mas, sejak kemarin perut Rumi rasanya mual-mual terus. Kadang tubuh rasanya tiba-tiba lemas. Rumi sudah telat tiga minggu. Apa Rumi hamil ya?""Uhuk ... uhuk." Aku terbatuk saat mendengar ucapan Rumi, istriku. Air yang sudah berada dalam mulutku seketika tersembur hingga membasahi lantai kamar.Bagaimana tidak kaget? Lima tahun sudah ia kuberikan pil KB, tapi kenapa kali ini ia bisa hamil? Ah, tiba-tiba kepalaku terasa pening sekali!"Pelan-pelan dong, Mas, minumnya!" Rumi mengusap punggungku."Eh, iya. Maaf, Sayang. Lantainya jadi basah deh!""Kamu kenapa? Sepertinya kamu kaget mendengar ucapan Rumi? "Nggak apa-apa. Mas hanya seneng saja mendengar kalau kamu telat datang bulan!" ucapku berusaha setenang mungkin."Mas senang nggak kalau Rumi hamil?" Kutarik tubuh mungil Rumi ke dalam dekapanku. Bukannya aku tak senang. Tapi aku tak siap dengan konsekuensi yang harus kuterima jika Rumi hamil. "Pasti seneng dong! Coba besok pagi kamu tespek ya. Barang kali kamu hamil bener
"Sayang ... Mas berangkat dulu, ya," pamit Mas Rohim. "Iya, Mas!" ucapku lalu kuambil tas milik suamiku dan kuberikan padanya."Kamu di rumah baik-baik. Jangan lupa minum obatnya terus. Jangan sampai bolong! Kalau memang sudah positif beneran, baru berhenti ya!" Aku mengangguk.Ck, begitulah suamiku. Tiada hentinya mengingatkan ku untuk meminum obat itu. Dulu aku merasa senang sekali. Tapi sekarang? Entahlah.Begitu perih dan sakit, saat kutahu kalau suamiku tak menginginkan malaikat kecil dari rahimku. Entahlah, apa kesalahanku. Apa alasannya pun aku belum tahu. Dan pastinya aku akan mencari tahu!Tadi pagi Mas Rohim memintaku untuk melakukan testpack. Tapi kuberikan alasan kalau aku belum membeli testpack.Padahal, ada satu box testpack di dalam laci meja riasku yang sering kugunakan setiap aku telat datang bulan.Ya, bisa dibilang aku selalu telat datang bulan. Entah telat lima hari atau pun satu minggu.Ya begitulah namanya perempuan yang mengharapkan kehadiran janin di rahim, ba
*Keesokan hari, di pagi hari*Aku berjalan menghampiri Ibu yang sedang duduk santai di teras rumah. Kubawa tas jinjing yang berisi beberapa helai pakaianku dan perlengkapan yang kubutuhkan untuk beberapa hari kedepan, tak lupa pula kubawa tas selempang yang kugunakan untuk menyimpan ponsel dan juga dompetku."Bu, Rumi pamit dulu, ya!" Kucium punggung tangan Ibu mertua.Saat aku ingin melepas tangan Ibu, beliau malah menggenggam tanganku. Kuhela napas panjang. Aku berjongkok menyejajarkan tubuh Ibu yang sedang duduk di kursi."Apapun yang terjadi, Ibu harap kamu akan memaafkan Rohim dan juga Ibu. Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Ibu!" ucap Ibu dengan suara parau. Seperti seseorang yang sedang menahan tangis."Insyaallah, Bu. Sebisa mungkin, Rumi akan memaafkan kesalahan Mas Rohim. Tapi ... jika kesalahan Mas Rohim sangat fatal, Rumi mohon maaf ... maaf karena Rumi akan memilih jalan Rumi sendiri," ucapku pelan, tapi mampu membuat air mata Ibu menetes."Sebentar lagi Mba
"Apa kamu kenal yang namanya Pak Rohim yang bekerja disini sebagai staff biasa? Ada istrinya yang mencari!" Security itu menunjuk kearahku.A'an menoleh ke arahku. Saat pandangan kami saling bertemu, tiba-tiba kedua netranya melotot. Seperti melihat hantu yang begitu menyeramkan. Raut wajahnya pun juga terlihat kaget dengan kehadiranku.A'an langsung membuang muka. Menatap kembali security yang tadi memanggilnya."Hey ... kamu tahu nggak yang namanya Pak Rohim!? Ditanya kok malah diem!""Pasti kenal, Pak. Karena Mas A'an ini teman suami saya. Mas, bisa minta tolong panggilkan Mas Rohim?" Sebentar saja kok!"Terlihat Mas A'an menelan saliva dengan susah. Wajahnya pun terlihat seperti orang yang sedang takut, bingung, ah entahlah."Malah diem aja! Sana! panggilkan suaminya mbak ini!" "Aduh mbak Rumi, saya masih diminta untuk foto copy. Mbak mau nunggu dulu?" ucapnya sambil menunjukkan lembaran kertas di tangannya."Iya, Mas! Nggak apa-apa. Lagian Mas Rohim dari tadi di telfon nggak dia
Kepalaku berdenyut sakit. Masalah yang mendera terasa begitu pelik. Terlalu banyaknya teka-teki yang harus kupecahkan.Mulai dari Pil KB, Mas Rohim yang seorang manager, dan sekarang, hingga Mas Rohim memiliki istri lain. Apakah semua itu saling berkaitan? Atau yang mana dulu yang harus aku selidiki untuk mencari tahu jawabannya? Ah, kepalaku terasa begitu pening. Pening sekali!"Bu, dia datang!" ucap rekan Pak Dermawan yang membuyarkan lamunanku."Mana, Pak?" ucapku dengan bola mata kesana-kemari untuk mencari sosok yang dimaksud rekan Pak Dermawan."Itu loh, Bu!" jawabnya dengan jemari menunjuk ke arah gerbang.Kedua netraku menyipit saat melihat sosok perempuan yang baru saja melewati gerbang. Terlihat perempuan itu berjalan memasuki kawasan perkantoran ini. Badannya tinggi semampai. Ditambah balutan dress selutut berwarna merah maroon, memakai high heels, rambut hitam legam lurus tergerai, bermata bening, bulu mata lentik. Apalagi polesan make up di wajahnya, menambah kesan kecan
Satu jam lamanya aku menunggu perebut suami orang itu keluar. Tak lama kemudian, sosok yang kutunggu-tunggu telah menampakkan batang hidungnya.Mataku tak berkedip memandangnya. Setiap langkah dan gerakannya tak luput dari sorotan mataku.Langkah itu semakin mendekat dan mendekat. "Mari, Pak!" sapa perempuan itu saat melewati pos security. Sepertinya ia tak tahu siapa aku. Ya, mungkin wanita itu tak tahu kalau sebenarnya Mas Rohim sudah memiliki istri sah, yaitu aku.Kedua satpam itu mengangguk. Kuambil dua lembar uang berwarna merah. Kuberikan kepada kedua security itu sebagai imbalan atas info yang mereka berikan.Kedua satpam itu menerima dengan wajah berbinar. Ucapan kata terima kasih terucap dari bibir mereka.Terlihat wanita itu mulai masuk ke dalam mobil. Bergegas aku berlari menuju pangkalan ojek online yang ada di seberang kantor ini.Tak lupa kubawa juga tas jinjing yang berisi beberapa helai bajuku."Ikuti mobil itu, Pak!" ucapku sambil mengenakan helm yang disodorkan oleh
Aku berjalan memasuki rumah yang begitu megah.Mataku memandang ke tiap sudut ruang tamu yang begitu besar ini. Tiba-tiba kedua netraku memandang sesuatu yang mampu membuatku berdiri mematung.Dengan pandangan nanar aku melihat sebuah foto dengan ukuran yang besar terpampang dengan jelas di dinding ruang tamu.Tubuhku membeku. Jangankan ingin bergerak, untuk bernapas saja rasanya teramat susah.Di foto itu terlihat foto suamiku bersama seorang perempuan, suamiku menggendong anak kecil kisaran umur dua tahun, dan perempuan itu memeluk seorang anak lelaki yang ku tafsir berumur tujuh tahun.Tidak hanya itu yang membuatku kaget, disana terlihat jelas sosok ibu mertua yang duduk diapit oleh mereka. Senyum tercetak jelas di bibir orang-orang yang ada di foto itu.Apa maksud semua ini, Tuhan? Apa sebenarnya perempuan itu seorang janda beranak satu, lalu dinikahi oleh suamiku dan menghasilkan bayi perempuan itu?Ya Tuhan ... kenapa takdirku begitu buruk?Mas Rohim ... tega sekali kamu melak
Akhirnya kuterima secarik kertas itu. Kata demi kata mulai kubaca. Hati ini terasa sakit yang teramat sakit. Lagi-lagi Mas Rohim menabur garam diatas luka yang baru saja ia torehkan.Kuremas lembaran kertas itu. Sesak, perih dan kecewa melebur menjadi satu. Seperti inikah ternyata sosok suami yang telah membersamaiku selama lima tahun ini?Pandangan ini terasa mengabur seiring air mata yang mulai menganak sungai. Bibir ini tak mampu berucap sepatah katapun. Tes.Air mata mulai menetes dari sudut mata. Aku menangis dalam diam. Hanya air mata yang keluar sebagai bentuk betapa sakit dan kecewanya diri ini."Sekarang kamu sudah tahu, kan? Sudah percaya?" tanya perempuan itu dengan enteng, bahkan tak merasa bersalah sedikitpun.Aku diam terpaku. Masih mencerna kejadian yang saat ini kulalui. Benarkah semua ini?"Ya," ucapku dengan bibir gemetar. Hanya satu kata itulah yang mampu keluar dari bibirku. Ingin kucaci dan kumaki perempuan itu, tapi bibir ini terasa kelu. Tenggorokan terasa begi