"Sayang ... Mas berangkat dulu, ya," pamit Mas Rohim.
"Iya, Mas!" ucapku lalu kuambil tas milik suamiku dan kuberikan padanya.
"Kamu di rumah baik-baik. Jangan lupa minum obatnya terus. Jangan sampai bolong! Kalau memang sudah positif beneran, baru berhenti ya!" Aku mengangguk.
Ck, begitulah suamiku. Tiada hentinya mengingatkan ku untuk meminum obat itu. Dulu aku merasa senang sekali. Tapi sekarang? Entahlah.
Begitu perih dan sakit, saat kutahu kalau suamiku tak menginginkan malaikat kecil dari rahimku. Entahlah, apa kesalahanku. Apa alasannya pun aku belum tahu. Dan pastinya aku akan mencari tahu!
Tadi pagi Mas Rohim memintaku untuk melakukan testpack. Tapi kuberikan alasan kalau aku belum membeli testpack.
Padahal, ada satu box testpack di dalam laci meja riasku yang sering kugunakan setiap aku telat datang bulan.
Ya, bisa dibilang aku selalu telat datang bulan. Entah telat lima hari atau pun satu minggu.
Ya begitulah namanya perempuan yang mengharapkan kehadiran janin di rahim, baru telat sehari pun akan melakukan tes kehamilan.
Sekarang aku tahu, ternyata aku sering telat karena kandungan dari pil KB yang selalu aku konsumsi. Ternyata mempengaruhi menstruasi hingga tidak bisa normal dan tepat waktu.
Kuantar suamiku sampai teras rumah pun juga Ibu.
"Bu, Rohim berangkat dulu. Baik-baik di rumah ya!" ucap Mas Rohim lalu mencium punggung tangan Ibu. Ibu mengangguk. Mas Rohim mendekatiku.
"Sayang ... mas berangkat dulu. Titip Ibu ya!" Aku mengangguk. Segera kuraih tangan suamiku lalu kucium punggung tangannya dengan takdzim.
Meskipun rasa kecewa mendera. Tapi bagaimana pun juga Mas Rohim adalah suamiku. Jadi aku harus bersikap baik pula. Meskipun hanya sandiwara belaka.
Mas Rohim mulai menyalakan mesin sepeda motornya lalu melajukan kendaraan roda dua nya.
Kuajak Ibu masuk ke dalam rumah setelah sosok Mas Rohim hilang dari pandanganku. Kutemani Ibu yang sedang menonton televisi.
"Bu, Rumi ingin cerita." Ibu mertua menoleh ke arahku. Diraihnya remote tv, lalu volume suara beliau kurangi.
"Ada apa, Sayang?"
"Soal Mas Rohim!" Kedua alis Ibu mertua saling bertautan.
Aku ingin sedikit mengurangi sesak di dalam dada. Barang kali jika aku bercerita dengan Ibu, beban di dalam pikiran sedikit berkurang.
Tiba-tiba ucapan Ibu mertua terngiang dalam telingaku 'Ibu harap, apapun yang terjadi, kamu tak akan meninggalkan suamimu dan juga Ibu. Sefatal apapun kesalahan suamimu, Ibu harap kamu sudi memaafkan kami.'
Apakah ucapan Ibu kala itu ada hubungannya dengan pil KB yang di berikan oleh suamiku yang bersandiwara seolah-olah ia memberikan obat penyubur?
Ah ... kenapa kepalaku terasa semakin pusing.
Masa iya, Ibu tega melakukan itu sama aku? Bukankah kami sama-sama perempuan? Apakah Ibu juga ikut bekerja sama dengan suamiku? Apakah selama lima tahun ini aku hidup dikelilingi dengan orang-orang yang penuh sandiwara?
Arrgghh ... kenapa aku juga ikut mencurigai Ibu? Padahal aku hanya ingin berbagi cerita. Barang kali beliau akan memberikan saran, apa yang sebaiknya aku lakukan.
Apakah aku juga salah jika aku turut curiga dengan Ibu? Soalnya, setiap aku menyebut kata 'anak', kedua netra Ibu selalu berkaca-kaca. Seperti seseorang yang menahan tangis.
Dulu kupikir, Ibu merasa kasihan denganku, karena lima tahun menjalani biduk rumah tangga, aku tak kunjung hamil juga.
Semua ini memang gara-gara Mas Rohim, aku menjadi curiga dengan siapapun.
Suamiku yang notabenenya merupakan orang terdekatku saja tega membohongiku, apalagi orang lain?
"Hey ... ada apa dengan Rohim?" tanya Ibu dengan menyentuh tanganku yang membuatku tersentak kaget.
"Eh ... maaf, Bu."
"Kamu kenapa? Sepertinya ada masalah yang begitu pelik hingga membuat menantu Ibu ini sampai melamun!" Ibu mengelus pipiku. Aku tersenyum simpul.
"Sebentar, Bu!" Aku beranjak lalu bergegas berjalan menuju kamar.
Kuambil sebotol obat itu dan kubawa menuju ruang tamu.
Ibu menatapku dengan raut wajah bingung. Aku duduk di samping Ibu.
"Soal ini, Bu!" Kutunjukkan sebotol obat itu didepan Ibu. Seketika, raut wajah Ibu berubah menjadi pucat pasi.
Ada apa dengan Ibu. Kenapa raut wajah Ibu berubah seketika? Apa Ibu tahu semuanya? Apa dugaanku memang benar, kalau Ibu tahu soal Pil KB ini?
"Ke-kenapa dengan botol obat itu? Bu-bukankah itu obat penyubur mu? Bu-bukankah itu obat yang selalu kamu minum" Dengan gagap Ibu berbicara. Kuletakkan botol obat itu di depan Ibu.
Aku mengangguk. "Ini bukan obat penyubur. Ini pil KB!" jawabku dengan tegas.
Ibu langsung menoleh ke arahku. Sepertinya beliau juga kaget.
Entah kaget karena tahu kalau ternyata aku meminum pil KB, atau kaget karena aku telah mengetahui kebohongan ini.
Kutatap dengan lekat kedua manik mata Ibu mertua, aku ingin mencari jawaban dari sorot mata itu.
Lambat laun, cairan bening menganak sungai di kedua netra Ibu.
"Ibu tahu semuanya?"
Ibu membuang muka. Pandangannya kembali lurus kedepan.
Diusapnya sudut mata itu dengan jemarinya.
"Bu ... apa Ibu tahu semuanya?" Kuulangi pertanyaanku saat Ibu tak kunjung menjawab ucapanku.
Ibu bergeming. Bukannya menjawab pertanyaanku. Malah suara Isak tangis semakin terdengar.
"Jawab, Bu!" ucapku dengan menaikkan volume suara. Sepertinya aku sudah dibatas kesabaranku.
Aku mendengkus kesal. Kuhirup udara dalam-dalam. Kupegang tangan Ibu.
"Bu ... jika Ibu memang mengetahui soal ini. Katakan, apa alasan Mas Rohim melakukan semua ini padaku, Bu? Bukankah Ibu juga tahu, kalau Rumi ingin segera memiliki momongan?" ucapku saat tangis Ibu sedikit mereda.
"Pergilah ke kota! Cari tahu semuanya! Kamu akan mendapatkan jawabannya!" ucap Ibu dengan sedikit meremas tanganku.
"Kenapa aku harus ke kota, Bu? Ibu tinggal jawab aja apa susahnya sih!" Aku menahan geram.
"Tinggal katakan saja apa alasan Mas Rohim melakukan itu. Bereskan?!"
Ibu menghela napas panjang. Diremasnya kembali tanganku.
"Ibu tak sanggup jika harus menceritakan semuanya dengan mu! Ibu tak sanggup, Nak!"
"Semuanya?" tanyaku dengan memicingkan kedua netraku. Ibu mengangguk lemah.
"Itu artinya, banyak yang tidak aku ketahui?"
Ibu mengangguk. Dilepaskannya tanganku. Pandangan Ibu lurus ke depan.
Ck, betapa b*d*hnya diriku. Banyak hal yang tidak aku ketahui. Banyak hal kebohongan yang dilakukan suamiku. Banyak bangkai yang ditimbun rapat oleh Mas Rohim, tapi selama itu pula aku tak mengendus sedikitpun!
Dada terasa begitu sesak. Sakit dan perih, itulah yang kurasakan saat ini. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Berharap emosi tak menguasai diriku.
"Baiklah, Bu, jika Ibu memang tak mau mengatakan pada Rumi. Rumi akan mencari tahu sendiri. Pantang bagi Rumi untuk kembali pulang, sebelum Rumi membongkar kebohongan Mas Rohim!" ucapku dengan tegas.
Aku beranjak lalu berjalan menuju kamarku.
Bersambung lagi, ya.
*Keesokan hari, di pagi hari*Aku berjalan menghampiri Ibu yang sedang duduk santai di teras rumah. Kubawa tas jinjing yang berisi beberapa helai pakaianku dan perlengkapan yang kubutuhkan untuk beberapa hari kedepan, tak lupa pula kubawa tas selempang yang kugunakan untuk menyimpan ponsel dan juga dompetku."Bu, Rumi pamit dulu, ya!" Kucium punggung tangan Ibu mertua.Saat aku ingin melepas tangan Ibu, beliau malah menggenggam tanganku. Kuhela napas panjang. Aku berjongkok menyejajarkan tubuh Ibu yang sedang duduk di kursi."Apapun yang terjadi, Ibu harap kamu akan memaafkan Rohim dan juga Ibu. Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Ibu!" ucap Ibu dengan suara parau. Seperti seseorang yang sedang menahan tangis."Insyaallah, Bu. Sebisa mungkin, Rumi akan memaafkan kesalahan Mas Rohim. Tapi ... jika kesalahan Mas Rohim sangat fatal, Rumi mohon maaf ... maaf karena Rumi akan memilih jalan Rumi sendiri," ucapku pelan, tapi mampu membuat air mata Ibu menetes."Sebentar lagi Mba
"Apa kamu kenal yang namanya Pak Rohim yang bekerja disini sebagai staff biasa? Ada istrinya yang mencari!" Security itu menunjuk kearahku.A'an menoleh ke arahku. Saat pandangan kami saling bertemu, tiba-tiba kedua netranya melotot. Seperti melihat hantu yang begitu menyeramkan. Raut wajahnya pun juga terlihat kaget dengan kehadiranku.A'an langsung membuang muka. Menatap kembali security yang tadi memanggilnya."Hey ... kamu tahu nggak yang namanya Pak Rohim!? Ditanya kok malah diem!""Pasti kenal, Pak. Karena Mas A'an ini teman suami saya. Mas, bisa minta tolong panggilkan Mas Rohim?" Sebentar saja kok!"Terlihat Mas A'an menelan saliva dengan susah. Wajahnya pun terlihat seperti orang yang sedang takut, bingung, ah entahlah."Malah diem aja! Sana! panggilkan suaminya mbak ini!" "Aduh mbak Rumi, saya masih diminta untuk foto copy. Mbak mau nunggu dulu?" ucapnya sambil menunjukkan lembaran kertas di tangannya."Iya, Mas! Nggak apa-apa. Lagian Mas Rohim dari tadi di telfon nggak dia
Kepalaku berdenyut sakit. Masalah yang mendera terasa begitu pelik. Terlalu banyaknya teka-teki yang harus kupecahkan.Mulai dari Pil KB, Mas Rohim yang seorang manager, dan sekarang, hingga Mas Rohim memiliki istri lain. Apakah semua itu saling berkaitan? Atau yang mana dulu yang harus aku selidiki untuk mencari tahu jawabannya? Ah, kepalaku terasa begitu pening. Pening sekali!"Bu, dia datang!" ucap rekan Pak Dermawan yang membuyarkan lamunanku."Mana, Pak?" ucapku dengan bola mata kesana-kemari untuk mencari sosok yang dimaksud rekan Pak Dermawan."Itu loh, Bu!" jawabnya dengan jemari menunjuk ke arah gerbang.Kedua netraku menyipit saat melihat sosok perempuan yang baru saja melewati gerbang. Terlihat perempuan itu berjalan memasuki kawasan perkantoran ini. Badannya tinggi semampai. Ditambah balutan dress selutut berwarna merah maroon, memakai high heels, rambut hitam legam lurus tergerai, bermata bening, bulu mata lentik. Apalagi polesan make up di wajahnya, menambah kesan kecan
Satu jam lamanya aku menunggu perebut suami orang itu keluar. Tak lama kemudian, sosok yang kutunggu-tunggu telah menampakkan batang hidungnya.Mataku tak berkedip memandangnya. Setiap langkah dan gerakannya tak luput dari sorotan mataku.Langkah itu semakin mendekat dan mendekat. "Mari, Pak!" sapa perempuan itu saat melewati pos security. Sepertinya ia tak tahu siapa aku. Ya, mungkin wanita itu tak tahu kalau sebenarnya Mas Rohim sudah memiliki istri sah, yaitu aku.Kedua satpam itu mengangguk. Kuambil dua lembar uang berwarna merah. Kuberikan kepada kedua security itu sebagai imbalan atas info yang mereka berikan.Kedua satpam itu menerima dengan wajah berbinar. Ucapan kata terima kasih terucap dari bibir mereka.Terlihat wanita itu mulai masuk ke dalam mobil. Bergegas aku berlari menuju pangkalan ojek online yang ada di seberang kantor ini.Tak lupa kubawa juga tas jinjing yang berisi beberapa helai bajuku."Ikuti mobil itu, Pak!" ucapku sambil mengenakan helm yang disodorkan oleh
Aku berjalan memasuki rumah yang begitu megah.Mataku memandang ke tiap sudut ruang tamu yang begitu besar ini. Tiba-tiba kedua netraku memandang sesuatu yang mampu membuatku berdiri mematung.Dengan pandangan nanar aku melihat sebuah foto dengan ukuran yang besar terpampang dengan jelas di dinding ruang tamu.Tubuhku membeku. Jangankan ingin bergerak, untuk bernapas saja rasanya teramat susah.Di foto itu terlihat foto suamiku bersama seorang perempuan, suamiku menggendong anak kecil kisaran umur dua tahun, dan perempuan itu memeluk seorang anak lelaki yang ku tafsir berumur tujuh tahun.Tidak hanya itu yang membuatku kaget, disana terlihat jelas sosok ibu mertua yang duduk diapit oleh mereka. Senyum tercetak jelas di bibir orang-orang yang ada di foto itu.Apa maksud semua ini, Tuhan? Apa sebenarnya perempuan itu seorang janda beranak satu, lalu dinikahi oleh suamiku dan menghasilkan bayi perempuan itu?Ya Tuhan ... kenapa takdirku begitu buruk?Mas Rohim ... tega sekali kamu melak
Akhirnya kuterima secarik kertas itu. Kata demi kata mulai kubaca. Hati ini terasa sakit yang teramat sakit. Lagi-lagi Mas Rohim menabur garam diatas luka yang baru saja ia torehkan.Kuremas lembaran kertas itu. Sesak, perih dan kecewa melebur menjadi satu. Seperti inikah ternyata sosok suami yang telah membersamaiku selama lima tahun ini?Pandangan ini terasa mengabur seiring air mata yang mulai menganak sungai. Bibir ini tak mampu berucap sepatah katapun. Tes.Air mata mulai menetes dari sudut mata. Aku menangis dalam diam. Hanya air mata yang keluar sebagai bentuk betapa sakit dan kecewanya diri ini."Sekarang kamu sudah tahu, kan? Sudah percaya?" tanya perempuan itu dengan enteng, bahkan tak merasa bersalah sedikitpun.Aku diam terpaku. Masih mencerna kejadian yang saat ini kulalui. Benarkah semua ini?"Ya," ucapku dengan bibir gemetar. Hanya satu kata itulah yang mampu keluar dari bibirku. Ingin kucaci dan kumaki perempuan itu, tapi bibir ini terasa kelu. Tenggorokan terasa begi
Dengan langkah cepat, aku keluar dari rumah itu. Tak kuhiraukan Mas Rohim yang terus berteriak memanggil namaku."Bang, anterin ke terminal, ya!" ucapku kepada Abang ojek yang tadi kuminta untuk menungguku."Sekarang, Neng?" tanya tukang ojek dan aku mengangguk. Kuraih helm yang diberikan oleh tukang ojek itu. Di sepanjang perjalanan, bibirku menutup dengan rapat. Sesekali tukang ojek itu melirikku dari kaca spion, mungkin dia menyadari perubahan sikapku.***********Saat aku sudah berada di depan rumah Ibu mertua, kedua netraku melihat mobil yang belum pernah kulihat terparkir di depan rumah."Assalamualaikum," ucapku yang membuat orang yang sedang berbincang di ruang tamu langsung menoleh ke arahku.Tanpa menunggu balasan dari salamku, bergegas aku berjalan menuju kamar."Rum ... maafkan, Mas!" ucap Mas Rohim yang mengejar langkahku.Ya, orang yang kumaksud adalah Mas Romi dan sang ibunda tercinta.Dicekalnya pergelangan tanganku yang membuat langkah ini seketika terhenti.Aku memu
Aku melangkah dengan membawa koper menuju kamar, meninggalkan Ibu dan Bapak yang masih berdiri di ambang pintu. Kurebahkan tubuhku di ranjang yang hampir lima tahun ini tak pernah kugunakan lagi. Pandanganku lurus ke atas menatap langit-langit kamar.Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Mencoba menata hati yang sempat terasa berkecamuk."Belum tidur, Nduk?" Tiba-tiba suara lelaki yang amat aku kenali terdengar."Belum ngantuk, Pak," ucapku lalu merubah posisi dari rebahan menjadi duduk. Terlihat Bapak mendekat ke arahku. Didaratkannya tubuh renta itu di sampingku. Terdengar Bapak menghembuskan napas panjang."Ceritakan sama Bapak, Nduk. Biar hati mu sedikit lega!" ucap Bapak dengan memandangku.Seharusnya sebelum sampai, aku sudah menyiapkan jawaban akan pertanyaan yang timbul dari kedua orang tuaku. Aku sampak tak terpikir, hati ini terlalu larut dalam permasalahan.Wajar saja Bapak merasa curiga, karena selama lima tahun berumah tangga dengan Mas Rohim