Share

Bab 6

"Sayang ... Mas berangkat dulu, ya," pamit Mas Rohim. 

"Iya, Mas!" ucapku lalu kuambil tas milik suamiku dan kuberikan padanya.

"Kamu di rumah baik-baik. Jangan lupa minum obatnya terus. Jangan sampai bolong! Kalau memang sudah positif beneran, baru berhenti ya!" Aku mengangguk.

Ck, begitulah suamiku. Tiada hentinya mengingatkan ku untuk meminum obat itu. Dulu aku merasa senang sekali. Tapi sekarang? Entahlah.

Begitu perih dan sakit, saat kutahu kalau suamiku tak menginginkan malaikat kecil dari rahimku. Entahlah, apa kesalahanku. Apa alasannya pun aku belum tahu. Dan pastinya aku akan mencari tahu!

Tadi pagi Mas Rohim memintaku untuk melakukan testpack. Tapi kuberikan alasan kalau aku belum membeli testpack.

Padahal, ada satu box testpack di dalam laci meja riasku yang sering kugunakan setiap aku telat datang bulan.

Ya, bisa dibilang aku selalu telat datang bulan. Entah telat lima hari atau pun satu minggu.

Ya begitulah namanya perempuan yang mengharapkan kehadiran janin di rahim, baru telat sehari pun akan melakukan tes kehamilan.

Sekarang aku tahu, ternyata aku sering telat karena kandungan dari pil KB yang selalu aku konsumsi. Ternyata mempengaruhi menstruasi hingga tidak bisa normal dan tepat waktu.

Kuantar suamiku sampai teras rumah pun juga Ibu. 

"Bu, Rohim berangkat dulu. Baik-baik di rumah ya!" ucap Mas Rohim lalu mencium punggung tangan Ibu. Ibu mengangguk. Mas Rohim mendekatiku.

"Sayang ... mas berangkat dulu. Titip Ibu ya!" Aku mengangguk. Segera kuraih tangan suamiku lalu kucium punggung tangannya dengan takdzim.

Meskipun rasa kecewa mendera. Tapi bagaimana pun juga Mas Rohim adalah suamiku. Jadi aku harus bersikap baik pula. Meskipun hanya sandiwara belaka.

Mas Rohim mulai menyalakan mesin sepeda motornya lalu melajukan kendaraan roda dua nya.

Kuajak Ibu masuk ke dalam rumah setelah sosok Mas Rohim hilang dari pandanganku. Kutemani Ibu yang sedang menonton televisi. 

"Bu, Rumi ingin cerita." Ibu mertua menoleh ke arahku. Diraihnya remote tv, lalu volume suara beliau kurangi.

"Ada apa, Sayang?"

"Soal Mas Rohim!" Kedua alis Ibu mertua saling bertautan.

Aku ingin sedikit mengurangi sesak di dalam dada. Barang kali jika aku bercerita dengan Ibu, beban di dalam pikiran sedikit berkurang.

Tiba-tiba ucapan Ibu mertua terngiang dalam telingaku 'Ibu harap, apapun yang terjadi, kamu tak akan meninggalkan suamimu dan juga Ibu. Sefatal apapun kesalahan suamimu, Ibu harap kamu sudi memaafkan kami.'

Apakah ucapan Ibu kala itu ada hubungannya dengan pil KB yang di berikan oleh suamiku yang bersandiwara seolah-olah ia memberikan obat penyubur? 

Ah ... kenapa kepalaku terasa semakin pusing.

Masa iya, Ibu tega melakukan itu sama aku? Bukankah kami sama-sama perempuan? Apakah Ibu juga ikut bekerja sama dengan suamiku? Apakah selama lima tahun ini aku hidup dikelilingi dengan orang-orang yang penuh sandiwara?

Arrgghh ... kenapa aku juga ikut mencurigai Ibu? Padahal aku hanya ingin berbagi cerita. Barang kali beliau akan memberikan saran, apa yang sebaiknya aku lakukan.

Apakah aku juga salah jika aku turut curiga dengan Ibu? Soalnya, setiap aku menyebut kata 'anak', kedua netra Ibu selalu berkaca-kaca. Seperti seseorang yang menahan tangis.

Dulu kupikir, Ibu merasa kasihan denganku, karena lima tahun menjalani biduk rumah tangga, aku tak kunjung hamil juga.

Semua ini memang gara-gara Mas Rohim, aku menjadi curiga dengan siapapun.

Suamiku yang notabenenya merupakan orang terdekatku saja tega membohongiku, apalagi orang lain?

"Hey ... ada apa dengan Rohim?" tanya Ibu dengan menyentuh tanganku yang membuatku tersentak kaget.

"Eh ... maaf, Bu."

"Kamu kenapa? Sepertinya ada masalah yang begitu pelik hingga membuat menantu Ibu ini sampai melamun!" Ibu mengelus pipiku. Aku tersenyum simpul.

"Sebentar, Bu!" Aku beranjak lalu bergegas berjalan menuju kamar. 

Kuambil sebotol obat itu dan kubawa menuju ruang tamu.

Ibu menatapku dengan raut wajah bingung. Aku duduk di samping Ibu.

"Soal ini, Bu!" Kutunjukkan sebotol obat itu didepan Ibu. Seketika, raut wajah Ibu berubah menjadi pucat pasi.

Ada apa dengan Ibu. Kenapa raut wajah Ibu berubah seketika? Apa Ibu tahu semuanya? Apa dugaanku memang benar, kalau Ibu tahu soal Pil KB ini?

"Ke-kenapa dengan botol obat itu? Bu-bukankah itu obat penyubur mu? Bu-bukankah itu obat yang selalu kamu minum" Dengan gagap Ibu berbicara. Kuletakkan botol obat itu di depan Ibu.

Aku mengangguk. "Ini bukan obat penyubur. Ini pil KB!" jawabku dengan tegas.

Ibu langsung menoleh ke arahku. Sepertinya beliau juga kaget.

Entah kaget karena tahu kalau ternyata aku meminum pil KB, atau kaget karena aku telah mengetahui kebohongan ini.

Kutatap dengan lekat kedua manik mata Ibu mertua, aku ingin mencari jawaban dari sorot mata itu.

Lambat laun, cairan bening menganak sungai di kedua netra Ibu.

"Ibu tahu semuanya?" 

Ibu membuang muka. Pandangannya kembali lurus kedepan. 

Diusapnya sudut mata itu dengan jemarinya.

"Bu ... apa Ibu tahu semuanya?" Kuulangi pertanyaanku saat Ibu tak kunjung menjawab ucapanku.

Ibu bergeming. Bukannya menjawab pertanyaanku. Malah suara Isak tangis semakin terdengar.

"Jawab, Bu!" ucapku dengan menaikkan volume suara. Sepertinya aku sudah dibatas kesabaranku.

Aku mendengkus kesal. Kuhirup udara dalam-dalam. Kupegang tangan Ibu.

"Bu ... jika Ibu memang mengetahui soal ini. Katakan, apa alasan Mas Rohim melakukan semua ini padaku, Bu? Bukankah Ibu juga tahu, kalau Rumi ingin segera memiliki momongan?" ucapku saat tangis Ibu sedikit mereda.

"Pergilah ke kota! Cari tahu semuanya! Kamu akan mendapatkan jawabannya!" ucap Ibu dengan sedikit meremas tanganku.

"Kenapa aku harus ke kota, Bu? Ibu tinggal jawab aja apa susahnya sih!" Aku menahan geram.

"Tinggal katakan saja apa alasan Mas Rohim melakukan itu. Bereskan?!"

Ibu menghela napas panjang. Diremasnya kembali tanganku.

"Ibu tak sanggup jika harus menceritakan semuanya dengan mu! Ibu tak sanggup, Nak!"

"Semuanya?" tanyaku dengan memicingkan kedua netraku. Ibu mengangguk lemah.

"Itu artinya, banyak yang tidak aku ketahui?" 

Ibu mengangguk. Dilepaskannya tanganku. Pandangan Ibu lurus ke depan.

Ck, betapa b*d*hnya diriku. Banyak hal yang tidak aku ketahui. Banyak hal kebohongan yang dilakukan suamiku. Banyak bangkai yang ditimbun rapat oleh Mas Rohim, tapi selama itu pula aku tak mengendus sedikitpun!

Dada terasa begitu sesak. Sakit dan perih, itulah yang kurasakan saat ini. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Berharap emosi tak menguasai diriku.

"Baiklah, Bu, jika Ibu memang tak mau mengatakan pada Rumi. Rumi akan mencari tahu sendiri. Pantang bagi Rumi untuk kembali pulang, sebelum Rumi membongkar kebohongan Mas Rohim!" ucapku dengan tegas.

Aku beranjak lalu berjalan menuju kamarku.

Bersambung lagi, ya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Baharudin Haris
seru juga ya tapi sayang mesti beli koin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status