Aku melangkah dengan membawa koper menuju kamar, meninggalkan Ibu dan Bapak yang masih berdiri di ambang pintu. Kurebahkan tubuhku di ranjang yang hampir lima tahun ini tak pernah kugunakan lagi. Pandanganku lurus ke atas menatap langit-langit kamar.Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Mencoba menata hati yang sempat terasa berkecamuk."Belum tidur, Nduk?" Tiba-tiba suara lelaki yang amat aku kenali terdengar."Belum ngantuk, Pak," ucapku lalu merubah posisi dari rebahan menjadi duduk. Terlihat Bapak mendekat ke arahku. Didaratkannya tubuh renta itu di sampingku. Terdengar Bapak menghembuskan napas panjang."Ceritakan sama Bapak, Nduk. Biar hati mu sedikit lega!" ucap Bapak dengan memandangku.Seharusnya sebelum sampai, aku sudah menyiapkan jawaban akan pertanyaan yang timbul dari kedua orang tuaku. Aku sampak tak terpikir, hati ini terlalu larut dalam permasalahan.Wajar saja Bapak merasa curiga, karena selama lima tahun berumah tangga dengan Mas Rohim
Aku berlalu pergi meninggalkan Mas Rohim yang belum selesai berbicara. Lelaki itu berjalan mengekoriku, entah bagaimana pemikiran lelaki yang telah membersamaiku selama lima tahun ini, sungguh tak punya malu sama sekali.Belum sempat sampai di dapur, aku terkejut melihat Ibu yang sudah berdiri menghadang kami dengan tangan kanan membawa spatula, lalu ada sapu di tangan kirinya.Bergegas Ibu menarik tubuhku dan menyembunyikan tubuh Mungil ini dibelakangnya."Heh, mau apa kamu kesini?! Jangan harap bisa membawa putriku lagi!" ucap Ibu dengan mengarahkan spatula ke arah lelaki yang notabenenya masih sah menjadi menantunya itu. Kurang sejengkal saja, mungkin spatula itu sudah terkena wajahnya. Wajah lelaki itu terlihat pucat pasi.Ingin sekali aku tertawa saat melihat wajah Mas Rohim yang ketakutan. Sesekali lelaki itu menatapku dengan wajah menghiba. Mungkin Ia berharap aku akan membantunya."Ma—af, Bu." "Ba-Bu-Ba-Bu. Kamu pikir kamu siapa memanggilku dengan sebutan, Bu?! Nggak sudi aku
"Baik, Pak. Rohim akan pulang," ucap Mas Rohim lalu berganti menatapku. "Rum, Mas pulang dulu, ya! Jaga diri baik-baik dan pikirkan semuanya dengan pikiran dingin!" ucapnya yang tak kupedulikan sama sekali.Akhirnya lelaki itu pulang, yang pastinya tanpa membawaku.Biarlah dia meminta waktu satu Minggu. Tapi sudah kupastikan, aku tak akan berubah pikiran."Bagaimana denganmu, Rum?" tanya Bapak saat Mas Rohim telah meninggalkan rumah ini."Pak! Ibu tetap nggak bakal ngizinin kalau Rumi balik sama tuh cecunguk! Emang Bapak ikhlas putri semata wayang kita di sakiti seperti itu?!" repet Ibu. Terlihat Bapak menghela napas panjang."Nggak ada orang tua yang mau anaknya disakitin, Buk," tutur Bapak dengan lembut.Memang begitulah Bapakku, berbeda sekali dengan Ibu. Tapi aku salut dengan Bapak, selama ini masih setia mendampingi Ibu dan begitu menyayangi Ibu."Nah, makanya! Lalu kenapa Bapak masih bertanya sama Rumi? Bapak ingin Rumi balikan sama tuh laki?!" ucap Ibu dengan nada suara yang ma
Bergegas aku masuk, saat aku sedang mengambil formulir, aku tersentak kaget saat tiba-tiba seperti ada seseorang yang memegang pundakku. Aku memutar tubuh ..."Hai ...," sapa seseorang yang membuatku tersentak kaget. Aku menoleh ke arah sumber suara. Mataku menyipit, keningku berkerut saat melihat sosok lelaki sedang berdiri di hadapanku sambil mengulas senyum.Melihatku yang hanya diam, ia berkata, "Kamu lupa sama aku?" tanya lelaki itu yang seketika membuatku kembali mengorek masa lalu. Kuingat-ingat kembali, siapakah pemilik sosok wajah tersebut. Namun aku tak kunjung mengingat siapa pemilik wajah itu."Sudahlah, Rum. Tak perlu bersusah payah untuk mengingat. Lebih baik kita berkenalan lagi. Namaku Rendra," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan kanannya. Siapa lelaki itu? Apakah dia teman masa laluku? Tapi kenapa aku tak kunjung mengingatnya juga?"Hey!" "Eh, iya, Maaf." Kupalingkan wajahku, untuk menutupi rasa maluku."Namaku Rendra." "Nama saya Rumi," ucapku dan membalas u
POV Ibu Rohim.Apa yang kukhawatirkan akhirnya terjadi sudah. Menantu yang begitu menyayangiku, merawatku dengan begitu baik, kini tahu rahasia yang selama lima tahun ini kamu sembunyikan. Bangkai yang kami tertimbun, akhirnya tercium sudah.Rumi, menantuku pergi meninggalkanku. Bahkan saat aku pingsan dan masuk rumah sakit pun ia tak berniat mengunjungiku. Sesakit itu kah hatinya?Rasa bersalah terus menghantui. Ada rasa tak tega memperlakukan Rumi yang begitu baik, dengan begitu kejamnya. Namun apa boleh buat, hanya itulah jalan satu-satunya."Mana Rumi? Kamu nggak berhasil bawa menantuku kesini?" tanyaku pada Rohim. Dia baru saja datang menghampiriku yang sedang tergolek lemas di atas ranjang pasien. Bukannya menjawab, Rohim malah diam. Namun, tanpa di jawab pun aku tahu hasilnya. Pasti ia tak sanggup membawa Rumi untukku. Kuhela napas panjang."Ibu pinjam ponselmu," ucapku pada anak lelakiku. Kedua netranya menyipit. "Untuk apa, Bu?""Biar Ibu hubungi menantu Ibu. Ibu sudah hapal
POV Rumi.Ponsel yang tergeletak di atas bantal berdering, pertanda ada pesan masuk. Kuambil lalu kutekan tombol power. Nomor asing yang tertera pada bagian pengirim pesan tersebut. Kuusap benda pipih itu.[Selamat malam, Rum. Ini aku Rendra. Masih ingat atau sudah lupa?] Begitulah bunyi pesan tersebut. [Selamat malam juga. Alhamdulillah, masih ingat kok.] Kutulis balasan untuk Rendra, yang kusisipi emot senyum.Tak berselang lama, ponsel bergetar. Pertanda ada panggilan masuk, dan nomor asing yang ternyata milik Rendra lah yang menghubungi. "Kenapa malam-malam kok telfon segala?" lirihku dengan kedua netra memandangi layar ponsel. Dengan ragu, akhirnya kuangkat panggilan tersebut."Halo, assalamualaikum," ucapku saat panggilan baru saja kuangkat. "waalaikum salam," balas seseorang yang ada di seberang sana."Bagaimana kabarmu, Rum?" tanya Rendra. Memang, setelah pertemuan waktu aku mendaftarkan gugatan ceraiku, Rendra tak pernah menghubungiku."Alhamdulillah, baik. Ada apa ya, Ren?
Ditengah obrolan kami, tiba-tiba ada suara menyela. "Loh, kamu disini?" Sontak, aku menoleh ke arah sumber suara. "Rendra?!" ucapku saat melihat Rendra berdiri di sampingku. "Siapa, Rum? Teman?" tanya Ibuku. Bergegas Rendra menyalami kedua orang tuaku secara bergantian."Iya, Bu. Teman waktu sekolah," ucapku."Eh, silahkan duduk, Nak ....""Rendra, Pak, namanya," selaku."Silahkan duduk, Nak Rendra!" ucap Ibu melanjutkan. Terlihat Rendra mengangguk, lalu menggeser kursi, lantas duduk di kursi tepat di sampingku."Habis sidang?" tanya Rendra dan aku mengangguk."Loh, Nak Rendra tahu permasalahan Rumi?!""Kalau soal perceraian, Rendra memang sudah tahu, Bu. Soalnya, waktu mendaftarkan gugatan perceraian, Rumi bertemu Rendra!" ucapku. Terlihat kedua orang tuaku mengangguk. "Memang dasar tuh si mantan suami Rumi! Tega-teganya melakukan itu dengan Rumi. Padahal ... kami yang merawatnya pun nggak pernah menyakiti Rumi dengan begitu kejamnya!" geram Ibu. "Udah, Bu. Jangan begitu! Memang ta
Akhirnya kulajukan kendaraan kami masing-masing menuju rumah. Namun, saat kami sudah sampai, terlihat ada sosok perempuan, yang sebentar lagi akan menjadi mantan Ibu mertuaku, sedang duduk di teras rumah. Seketika berbagai pertanyaan mulai timbul memenuhi isi kepala. Untuk apa ia datang kemari? Apa dia akan berusaha membujukku, setelah anak lelakinya tak berhasil membawaku kembali?Dengan langkah malas, aku mendekat. Sedikitpun sudah tak ada lagi rasa hormat untuk perempuan yang selama lima tahun ini begitu kusayangi."Ada apa kemari?! Mau membawa Rumi?! Jangan harap!" sungut Ibuku. Terlihat Bapak mendekat ke arah kami. Sedangkan calon Mantan Ibu mertua hanya berdiri dengan wajah yang begitu terlihat sedih."Bapak dan Ibu masuk ke dalam dulu, ya. Biarkan kami bicara dua orang," pintaku kepada kedua orang tuaku."Jangan sampai kamu kembali ke rumah itu, Rum! Ibu tak terima kamu diperlakukan seperti itu!" sungut Ibuku. "Sudah, Bu. Biarkan mereka bicara dulu! Kita masuk yuk!" ajak Bapak.