POV Rumi.Ponsel yang tergeletak di atas bantal berdering, pertanda ada pesan masuk. Kuambil lalu kutekan tombol power. Nomor asing yang tertera pada bagian pengirim pesan tersebut. Kuusap benda pipih itu.[Selamat malam, Rum. Ini aku Rendra. Masih ingat atau sudah lupa?] Begitulah bunyi pesan tersebut. [Selamat malam juga. Alhamdulillah, masih ingat kok.] Kutulis balasan untuk Rendra, yang kusisipi emot senyum.Tak berselang lama, ponsel bergetar. Pertanda ada panggilan masuk, dan nomor asing yang ternyata milik Rendra lah yang menghubungi. "Kenapa malam-malam kok telfon segala?" lirihku dengan kedua netra memandangi layar ponsel. Dengan ragu, akhirnya kuangkat panggilan tersebut."Halo, assalamualaikum," ucapku saat panggilan baru saja kuangkat. "waalaikum salam," balas seseorang yang ada di seberang sana."Bagaimana kabarmu, Rum?" tanya Rendra. Memang, setelah pertemuan waktu aku mendaftarkan gugatan ceraiku, Rendra tak pernah menghubungiku."Alhamdulillah, baik. Ada apa ya, Ren?
Ditengah obrolan kami, tiba-tiba ada suara menyela. "Loh, kamu disini?" Sontak, aku menoleh ke arah sumber suara. "Rendra?!" ucapku saat melihat Rendra berdiri di sampingku. "Siapa, Rum? Teman?" tanya Ibuku. Bergegas Rendra menyalami kedua orang tuaku secara bergantian."Iya, Bu. Teman waktu sekolah," ucapku."Eh, silahkan duduk, Nak ....""Rendra, Pak, namanya," selaku."Silahkan duduk, Nak Rendra!" ucap Ibu melanjutkan. Terlihat Rendra mengangguk, lalu menggeser kursi, lantas duduk di kursi tepat di sampingku."Habis sidang?" tanya Rendra dan aku mengangguk."Loh, Nak Rendra tahu permasalahan Rumi?!""Kalau soal perceraian, Rendra memang sudah tahu, Bu. Soalnya, waktu mendaftarkan gugatan perceraian, Rumi bertemu Rendra!" ucapku. Terlihat kedua orang tuaku mengangguk. "Memang dasar tuh si mantan suami Rumi! Tega-teganya melakukan itu dengan Rumi. Padahal ... kami yang merawatnya pun nggak pernah menyakiti Rumi dengan begitu kejamnya!" geram Ibu. "Udah, Bu. Jangan begitu! Memang ta
Akhirnya kulajukan kendaraan kami masing-masing menuju rumah. Namun, saat kami sudah sampai, terlihat ada sosok perempuan, yang sebentar lagi akan menjadi mantan Ibu mertuaku, sedang duduk di teras rumah. Seketika berbagai pertanyaan mulai timbul memenuhi isi kepala. Untuk apa ia datang kemari? Apa dia akan berusaha membujukku, setelah anak lelakinya tak berhasil membawaku kembali?Dengan langkah malas, aku mendekat. Sedikitpun sudah tak ada lagi rasa hormat untuk perempuan yang selama lima tahun ini begitu kusayangi."Ada apa kemari?! Mau membawa Rumi?! Jangan harap!" sungut Ibuku. Terlihat Bapak mendekat ke arah kami. Sedangkan calon Mantan Ibu mertua hanya berdiri dengan wajah yang begitu terlihat sedih."Bapak dan Ibu masuk ke dalam dulu, ya. Biarkan kami bicara dua orang," pintaku kepada kedua orang tuaku."Jangan sampai kamu kembali ke rumah itu, Rum! Ibu tak terima kamu diperlakukan seperti itu!" sungut Ibuku. "Sudah, Bu. Biarkan mereka bicara dulu! Kita masuk yuk!" ajak Bapak.
POV Rohim6 bulan kemudian."Assalamualaikum," ucapku saat aku sudah berada di depan pintu rumah Ibu. "Waalaikum salam," jawab seseorang dari dalam rumah. Tak berselang lama, pintu mulai terbuka. Hingga menampilkan sosok perempuan yang selama ini kuminta untuk menemani Ibu. Bik Minah namanya."Bagaimana dengan keadaan Ibu, Bik?" tanyaku sambil berjalan menuju kamar Ibu. Terdengar Bik Minah menghembuskan napas kasar. "Ibu selalu mencari Mbak Rumi, Pak. Kalau tidur pun selalu memanggil nama Mbak Rumi," ucap Bik Minah yang membuatku menghembuskan napas panjang."Ya sudah. Rohim ke kamar Ibu dulu!" ucapku.Aku terus melangkah menuju kamar Ibu dengan perasaan tak karuan. Tak bisa dipungkiri jika Ibu memang begitu menyayangi Rumi. Perempuan itu begitu baik dan sayang dengan Ibu. Pasti berat sekali jika tiba-tiba harus berpisah. Apalagi selama ini, Ibu dan Rumi tinggal seatap.Dengan pelan, kubuka daun pintu agar tak menimbulkan suara. Saat pintu terbuka sempurna, terlihatlah Ibu yang sedan
Setelah selesai berbincang, kuputuskan untuk keluar dari rumah Ibu. Namun, saat kaki ini akan melangkah masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba ...."Pak ...." Terdengar suara Bik Minah memanggilku. Sontak kuurungkan niatku untuk masuk ke dalam mobil. Aku memutar tubuh. Terlihat Bik Minah berdiri terpaku dengan raut wajah khawatir sembari memainkan kesepuluh jemarinya. Kedua alisku saling bertautan. "Ada apa, Bik?" tanyaku. "Bisa bicara sebentar, Pak?" Dengan sedikit ragu, Bik Minah menjawab ucapanku. Aku mengangguk. "Diluar aja ya, Bik. Takut Ibu marah kalau masih melihatku disini.""Baik, Pak."Akhirnya aku melangkah kembali menuju teras rumah lalu kudaratkan tubuhku di kursi yang terbuat dari rotan yang ada di teras. Pun juga dengan Bik Minah."Ada apa, Bik?" ucapku memecah keheningan. Tadi katanya pengen bicara, tapi malah diam."Begini, Pak ...." "Katakanlah, Bik! Aku tak punya banyak waktu," ucapku. Wajah Bik Minah seperti enggan untuk mengatakan sesuatu. Membuat diri ini semakin bing
Butuh waktu tiga jam lamanya untuk sampai di rumah. Saat baru saja aku keluar dari mobil, kedua netraku melihat Ragil berdiri di depan pintu sembari kedua tangan yang bertolak pinggang. Raut wajahnya terlihat begitu murka."Ternyata masih punya takut juga kamu, Mas!" bentak Ragil. Tak kuhiraukan ucapannya. Aku terus melangkah. "Mas!" Dengan nada keras, Ragil memanggilku hingga membuat langkah ini seketika terhenti. "Ada apa?" ucapku dengan berusaha santai. "Kamu diajak ngomong malah ngeloyor pergi!" sungut Ragil dengan napas memburu. Kuhembuskan napas panjang. "Kemasi semua barangmu dan juga anak-anak!" Perintahku yang tak bisa di ganggu gugat. Mendengar perintahku, raut wajah yang sebelumnya terlihat bengis, berubah menjadi bingung. Bahkan kedua alisnya saling bertautan dengan kening berkerut tajam."Mulai saat ini kita akan tinggal di rumah Ibu!" Ragil membelalakkan kedua bola matanya. "Apa katamu, Mas?! Kau ingin mengajak kami akan tinggal di rumah Ibumu?!" "Ya! Mulai sekarang!
Jam terus berlalu, tak terasa aku sudah sampai di depan rumah. Dada ini bergemuruh dengan hebat, saat melihat pemandangan di depan mata.Bergegas kuparkir kendaraanku di bahu jalan, tak memungkinkan juga kubawa masuk ke halaman. Begitu banyak orang berkerumun di gerbang rumah. Ambulance terparkir dengan cantik di depan rumah dengan suara sirine yang berbunyi.Seketika dada bergemuruh dengan hebat. Pikiran terburuk menghantui pikiranku.Ibu ....Apa yang terjadi dengan Ibuku, Tuhan? Berikanlah aku kesempatan untuk membahagiakan Ibuku. Jangan biarkan aku hidup dihantui dengan rasa penuh penyesalan.Dengan tergopoh, bergegas aku keluar dari mobil. Dengan pikiran berkecamuk aku melangkah mendekat. Suara bisik-bisik terdengar. Saat tubuh ini terus melangkah hingga melewati kerumunan, kedua netraku menangkap tubuh ibu yang dibopong oleh orang-orang berpakaian medis.Langkahku terhenti. Tubuhku membeku. Dada bergemuruh dengan begitu hebatnya. Dengan pandangan nanar, kutatap mereka yang membo
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang begitu tak asing terbatuk-batuk. Lebih tepatnya pura-pura batuk. Bergegas kuurai pelukanku. Lalu menoleh ke arah sumber suara. Terlihat sosok lelaki itu berdiri tak jauh dari tempat kami."Sepertinya ada yang lagi ngomongin Bapak nih, Nak Rendra." Canda Bapak yang sedang berdiri di samping Rendra. Bergegas aku bangkit dari tempat duduk ku pun juga Ibu. Entah sejak kapan Kedua lelaki itu berdiri di sana."Loh, Nak Rendra ada disini?" tanya Ibu yang dibalas anggukan oleh Rendra."Ibu ini bagaimana sih, dari tadi ada kamu kok nggak denger. Untung tadi Bapak pulang dari kebun, kalau nggak ... mungkin Rendra sudah jamuran berada di di depan rumah. Tamu kok dibiarin di depan aja tanpa dibukakan pintu. Eh kalian malah sedang asyik di sini."Kan Ibu enggak dengar, Pak. Maaf ya Nak Rendra." Rendra mengangguk sembari bibir mengulas senyum."Tapi apa benar yang dikatakan oleh Bapak, kalau Nak Rendra sudah lama berada di depan?" tanya ibu yang memasang raut