Share

Bab 5

Pov Rohim

"Mas, sejak kemarin perut Rumi rasanya mual-mual terus. Kadang tubuh rasanya tiba-tiba lemas. Rumi sudah telat tiga minggu. Apa Rumi hamil ya?"

"Uhuk ... uhuk." Aku terbatuk saat mendengar ucapan Rumi, istriku. Air yang sudah berada dalam mulutku seketika tersembur hingga membasahi lantai kamar.

Bagaimana tidak kaget? Lima tahun sudah ia kuberikan pil KB, tapi kenapa kali ini ia bisa hamil? Ah, tiba-tiba kepalaku terasa pening sekali!

"Pelan-pelan dong, Mas, minumnya!" Rumi mengusap punggungku.

"Eh, iya. Maaf, Sayang. Lantainya jadi basah deh!"

"Kamu kenapa? Sepertinya kamu kaget mendengar ucapan Rumi? 

"Nggak apa-apa. Mas hanya seneng saja mendengar kalau kamu telat datang bulan!" ucapku berusaha setenang mungkin.

"Mas senang nggak kalau Rumi hamil?" 

Kutarik tubuh mungil Rumi ke dalam dekapanku. Bukannya aku tak senang. Tapi aku tak siap dengan konsekuensi yang harus kuterima jika Rumi hamil. 

"Pasti seneng dong! Coba besok pagi kamu tespek ya. Barang kali kamu hamil beneran!"

Rumi mengangguk. Kulepas pelukanku dengan perlahan.

"Mas keluar sebentar ya. Bentar aja, kok!" Rumi mengangguk.

Aku beringsut dari ranjang. Tak lupa kubawa ponsel yang sempat kucampakkan.

Langkahku terhenti di teras rumah. Kutoleh kiri-kanan dan belakang, tak ada orang. Segera kudaratkan tubuhku di kursi plastik yang ada di teras. 

Kubuka aplikasi berwarna hijau berlogo gambar telepon. Kucari nomor Ragil, dan kupilih pilihan panggil.

Berdering, tapi tak kunjung diangkat.

Kuulangi hingga tiga kali, hingga panggilan itu diangkat olehnya.

"Halo, Pah ..." ucap Ragil di seberang telepon.

"Ehm ... obat KB yang kamu berikan itu memang benar-benar manjur untuk menunda momongan nggak sih?"

"Iya, memang kenapa? Jangan bilang kalau Rumi hamil!" tebak Ragil dari seberang telepon yang membuat tenggorokan seketika tercekat. Kutekan Saliva dengan susah payah.

"Iya. Ternyata Rumi sudah telat tiga minggu!" ucapku lemas. 

"Apaaaa!?"

Langsung kujauhkan ponsel dari telingaku. Teriakan Ragil dari seberang sana sungguh membuat gendang telingaku sakit.

"Rumi hamil!" ucapku menegaskan.

"Ck, nggak mungkin Rumi hamil. Atau jangan-jangan kamu memang tak memberikan pil KB itu. Kamu ingin memiliki anak dari perempuan kampung itu kan?!" Terdengar suara Ragil menahan geram.

Aku bergeming.

Disatu sisi aku gembira, di sisi lain ada suatu hal yang mengusik pikiranku.

"Kamu ingat kan perjanjian yang telah kita buat? Kenapa kamu ingkar janji, ha?!"

"Iya ... aku ingat. Tapi ini belum positif kok. Belum juga periksa!" 

"Berdoalah semoga Rumi tak hamil beneran. Jika hamil beneran, bersiaplah menerima akibatnya!" Lagi, aku dibuat terkesiap.

"Iya ... aku tak akan ingkari janjiku. Asal kamu juga ingat janjimu!"

"Iya! Kamu tenang saja. Urus saja dulu istri kampunganmu itu! Jika dia memang benar-benar hamil, kalau perlu gugurkan saja janjinya!"

"Gila kamu!" teriakku tak terima. Bagaimana mungkin aku tega mencelakai janin yang jelas-jelas darah dagingku sendiri.

"Itu terserah kamu! Tinggal pilih dari dua pilihan!"

Aku berdecak kesal.

Tut ... Tut ... Tut.

Telpon dimatikan sepihak oleh Ragil sebelum aku menjawab ucapannya. Kuacak rambutku dengan kasar.

Arrgghh ... kepalaku pening sekali rasanya.

Kuhirup udara dalam-dalam. Berharap mampu memberikan ketenangan di dalam pikiranku.

Aku beranjak, lalu kumasukkan benda pipih itu ke dalam saku celanaku.

Aku melangkah. Tiba-tiba kedua bola mataku membola saat melihat Rumi sedang duduk bersama Ibuku.

Seketika jantung berdebar lebih kencang. Aku takut jika Rumi mendengar percakapanku saat menelfon Ragil.

Lagi, kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Kutenangkan diriku setenang mungkin. Hanya satu doa ku kali ini, mudah-mudahan Rumi tak mendengar obrolanku tadi.

"Ish ... ish ... ish, kedua wanitaku terlihat akur sekali!" ucapku lalu melangkah mendekati Ibu dan juga istriku.

"Iya, donk. Kamu mau Ibu dan istrimu berantem?" sembur Ibu. Kudaratkan tubuhku di samping Rumi.

"Kamu habis telpon siapa, Mas?" tanya Rumi yang membuat jantung ini seketika ingin lompat dari tempatnya.

"Biasa ... Ragil, ada masalah pekerjaan!"

"Oh," sahutnya. Rumi mengulas senyum.

Seketika hati ini terasa lega, itu artinya ia tak mendengar percakapan ku tadi.

"Assalamualaikum."

Kami menoleh ke arah sumber suara. Kutepuk pelan dahiku saat melihat A'an berdiri diambang pintu.

Ah, kenapa lelaki bermulut ember itu datang kemari sih! 

"Waalaikum," ucap Ibu dan juga Rumi dengan serempak. Tapi tidak denganku.

Rumi beranjak. "Mari masuk, Nak!" ucap Ibuku.

Memang, A'an ini sudah dianggap seperti keluarga oleh Ibu. Selain teman sewaktu SMA, ia juga bekerja di perusahaan tempatku bekerja. Tapi hanya menjadi seorang cleaning service.

Baru satu bulan juga ia bekerja, itu pun karena aku lah yang merekomendasikan ia di perusahaanku. Asal dengan syarat, ia tak boleh menceritakan apapun kepada Rumi. Apapun itu!

A'an melangkah masuk rumah. Rumi beranjak kebelakang. A'an mendaratkan tubuhnya di sampingku.

"Ngapain kamu kesini?" ketusku.

"Nggak boleh gitu dong! Ada teman berkunjung kok bilangnya kayak gitu!" tegur Ibuku.

"Iya. Tau tuh! Mungkin takut rahasianya kubocorkan, Bu!"

Ibu tertawa. Aku mendengkus kesal.

Si*l. Sepertinya memasukkan A'an di perusahaan tempatku bekerja merupakan kesalahan terbesarku.

"Aku kesini mau memberikan ini. Itung-itung buat balas budi karena memasukkan aku ke perusahaan!" ucap A'an sambil meletakkan sesuatu di meja.

"Silahkan diminum!" sela Rumi sambil meletakkan dua gelas kopi panas dihadapanku dan juga tamu tak diundang.

"Bawa apa nih, Mas? Kok pakai repot-repot segala!"

"Nggak repot Rum. Hanya kue. Itung-itung sebagai tanda terima kasih karena sudah dicarikan pekerjaan oleh suamimu!"

"Loh, Mas A'an satu perusahaan dengan Mas Rohim?" A'an mengangguk.

Ah, mati aku. Mudah-mudahan lelaki bermulut ember itu tak keceplosan.

"Iya. Bahkan yang merekomendasikan suamimu loh! Ya ... walaupun hanya seorang cleaning service."

Rumi menatapku dengan lekat. Ia perempuan cerdas, pasti ia mempunyai pikiran bagaimana bisa aku merekomendasikan seseorang untuk masuk ke perusahaan tempatku bekerja, padahal hanya seorang staff biasa. Kurutuki diriku sendiri. 

"Memang bisa ya, Mas, seorang staff biasa merekomendasikan orang lain untuk bekerja di perusahaannya?" tanya Rumi namun kedua manik mata itu masih menatapku.

"Loh. Suamimu ini hebat loh. Dia seorang ...."

"Aduuhhhh," keluh A'an saat kakinya kuinjak.

Aku melotot kearah lelaki bermulut ember itu. Ia hanya nyengir tanpa rasa berdosa.

"Seorang apa, Mas?"

"Maksudnya siapapun bisa merekomendasikan. Apalagi waktu itu sedang membuka lowongan sebagai cleaning service. Jadi dapat kerjaan deh!" 

"Oh, begitu. Ya sudah, Rumi tinggal dulu ya!" 

Aku bernapas lega. Sepertinya Rumi percaya dengan apa yang diucapkan oleh A'an.

"Ayo, Bu, kita ke taman samping rumah. Rumi mau membersihkan taman."

Kedua wanita beda usia itu berjalan berdampingan.

Saat kedua wanita itu hilang dari pandanganku. Kutatap A'an yang sedang melihatku dengan mulut meringis. Kuacungkan kepalan tanganku. "Awas saja sampai semuanya kamu bocorkan!" 

"Iya, maaf!"

"Kamu hanya ingin mengantarkan ini kan? Sekarang sudah kuterima. Silahkan pulang!"

"Buset, dah! Baru juga datang, belum sampai minum kopi, udah diusir aja!" protesnya. 

Lelaki bermulut ember itu meraih secangkir kopi lalu diseruput dengan pelan. Kalau diteguk, bisa meleleh tuh lidah!

"Sudah habis. Aku pulang dulu, ya!" 

"Dari tadi, kek!" 

Akhirnya dengan kepulangan tamu tak diundang itu, membuatku bernapas lega. Tak merasakan was-was dan ketar-ketir jika tiba-tiba mulutnya itu nyerocos terus tiada hentinya, lalu terbukalah semua rahasiaku.

Bersambung ya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status