Pov Rohim
"Mas, sejak kemarin perut Rumi rasanya mual-mual terus. Kadang tubuh rasanya tiba-tiba lemas. Rumi sudah telat tiga minggu. Apa Rumi hamil ya?"
"Uhuk ... uhuk." Aku terbatuk saat mendengar ucapan Rumi, istriku. Air yang sudah berada dalam mulutku seketika tersembur hingga membasahi lantai kamar.
Bagaimana tidak kaget? Lima tahun sudah ia kuberikan pil KB, tapi kenapa kali ini ia bisa hamil? Ah, tiba-tiba kepalaku terasa pening sekali!
"Pelan-pelan dong, Mas, minumnya!" Rumi mengusap punggungku.
"Eh, iya. Maaf, Sayang. Lantainya jadi basah deh!"
"Kamu kenapa? Sepertinya kamu kaget mendengar ucapan Rumi?
"Nggak apa-apa. Mas hanya seneng saja mendengar kalau kamu telat datang bulan!" ucapku berusaha setenang mungkin.
"Mas senang nggak kalau Rumi hamil?"
Kutarik tubuh mungil Rumi ke dalam dekapanku. Bukannya aku tak senang. Tapi aku tak siap dengan konsekuensi yang harus kuterima jika Rumi hamil.
"Pasti seneng dong! Coba besok pagi kamu tespek ya. Barang kali kamu hamil beneran!"
Rumi mengangguk. Kulepas pelukanku dengan perlahan.
"Mas keluar sebentar ya. Bentar aja, kok!" Rumi mengangguk.
Aku beringsut dari ranjang. Tak lupa kubawa ponsel yang sempat kucampakkan.
Langkahku terhenti di teras rumah. Kutoleh kiri-kanan dan belakang, tak ada orang. Segera kudaratkan tubuhku di kursi plastik yang ada di teras.
Kubuka aplikasi berwarna hijau berlogo gambar telepon. Kucari nomor Ragil, dan kupilih pilihan panggil.
Berdering, tapi tak kunjung diangkat.
Kuulangi hingga tiga kali, hingga panggilan itu diangkat olehnya.
"Halo, Pah ..." ucap Ragil di seberang telepon.
"Ehm ... obat KB yang kamu berikan itu memang benar-benar manjur untuk menunda momongan nggak sih?"
"Iya, memang kenapa? Jangan bilang kalau Rumi hamil!" tebak Ragil dari seberang telepon yang membuat tenggorokan seketika tercekat. Kutekan Saliva dengan susah payah.
"Iya. Ternyata Rumi sudah telat tiga minggu!" ucapku lemas.
"Apaaaa!?"
Langsung kujauhkan ponsel dari telingaku. Teriakan Ragil dari seberang sana sungguh membuat gendang telingaku sakit.
"Rumi hamil!" ucapku menegaskan.
"Ck, nggak mungkin Rumi hamil. Atau jangan-jangan kamu memang tak memberikan pil KB itu. Kamu ingin memiliki anak dari perempuan kampung itu kan?!" Terdengar suara Ragil menahan geram.
Aku bergeming.
Disatu sisi aku gembira, di sisi lain ada suatu hal yang mengusik pikiranku.
"Kamu ingat kan perjanjian yang telah kita buat? Kenapa kamu ingkar janji, ha?!"
"Iya ... aku ingat. Tapi ini belum positif kok. Belum juga periksa!"
"Berdoalah semoga Rumi tak hamil beneran. Jika hamil beneran, bersiaplah menerima akibatnya!" Lagi, aku dibuat terkesiap.
"Iya ... aku tak akan ingkari janjiku. Asal kamu juga ingat janjimu!"
"Iya! Kamu tenang saja. Urus saja dulu istri kampunganmu itu! Jika dia memang benar-benar hamil, kalau perlu gugurkan saja janjinya!"
"Gila kamu!" teriakku tak terima. Bagaimana mungkin aku tega mencelakai janin yang jelas-jelas darah dagingku sendiri.
"Itu terserah kamu! Tinggal pilih dari dua pilihan!"
Aku berdecak kesal.
Tut ... Tut ... Tut.
Telpon dimatikan sepihak oleh Ragil sebelum aku menjawab ucapannya. Kuacak rambutku dengan kasar.
Arrgghh ... kepalaku pening sekali rasanya.
Kuhirup udara dalam-dalam. Berharap mampu memberikan ketenangan di dalam pikiranku.
Aku beranjak, lalu kumasukkan benda pipih itu ke dalam saku celanaku.
Aku melangkah. Tiba-tiba kedua bola mataku membola saat melihat Rumi sedang duduk bersama Ibuku.
Seketika jantung berdebar lebih kencang. Aku takut jika Rumi mendengar percakapanku saat menelfon Ragil.
Lagi, kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Kutenangkan diriku setenang mungkin. Hanya satu doa ku kali ini, mudah-mudahan Rumi tak mendengar obrolanku tadi.
"Ish ... ish ... ish, kedua wanitaku terlihat akur sekali!" ucapku lalu melangkah mendekati Ibu dan juga istriku.
"Iya, donk. Kamu mau Ibu dan istrimu berantem?" sembur Ibu. Kudaratkan tubuhku di samping Rumi.
"Kamu habis telpon siapa, Mas?" tanya Rumi yang membuat jantung ini seketika ingin lompat dari tempatnya.
"Biasa ... Ragil, ada masalah pekerjaan!"
"Oh," sahutnya. Rumi mengulas senyum.
Seketika hati ini terasa lega, itu artinya ia tak mendengar percakapan ku tadi.
"Assalamualaikum."
Kami menoleh ke arah sumber suara. Kutepuk pelan dahiku saat melihat A'an berdiri diambang pintu.
Ah, kenapa lelaki bermulut ember itu datang kemari sih!
"Waalaikum," ucap Ibu dan juga Rumi dengan serempak. Tapi tidak denganku.
Rumi beranjak. "Mari masuk, Nak!" ucap Ibuku.
Memang, A'an ini sudah dianggap seperti keluarga oleh Ibu. Selain teman sewaktu SMA, ia juga bekerja di perusahaan tempatku bekerja. Tapi hanya menjadi seorang cleaning service.
Baru satu bulan juga ia bekerja, itu pun karena aku lah yang merekomendasikan ia di perusahaanku. Asal dengan syarat, ia tak boleh menceritakan apapun kepada Rumi. Apapun itu!
A'an melangkah masuk rumah. Rumi beranjak kebelakang. A'an mendaratkan tubuhnya di sampingku.
"Ngapain kamu kesini?" ketusku.
"Nggak boleh gitu dong! Ada teman berkunjung kok bilangnya kayak gitu!" tegur Ibuku.
"Iya. Tau tuh! Mungkin takut rahasianya kubocorkan, Bu!"
Ibu tertawa. Aku mendengkus kesal.
Si*l. Sepertinya memasukkan A'an di perusahaan tempatku bekerja merupakan kesalahan terbesarku.
"Aku kesini mau memberikan ini. Itung-itung buat balas budi karena memasukkan aku ke perusahaan!" ucap A'an sambil meletakkan sesuatu di meja.
"Silahkan diminum!" sela Rumi sambil meletakkan dua gelas kopi panas dihadapanku dan juga tamu tak diundang.
"Bawa apa nih, Mas? Kok pakai repot-repot segala!"
"Nggak repot Rum. Hanya kue. Itung-itung sebagai tanda terima kasih karena sudah dicarikan pekerjaan oleh suamimu!"
"Loh, Mas A'an satu perusahaan dengan Mas Rohim?" A'an mengangguk.
Ah, mati aku. Mudah-mudahan lelaki bermulut ember itu tak keceplosan.
"Iya. Bahkan yang merekomendasikan suamimu loh! Ya ... walaupun hanya seorang cleaning service."
Rumi menatapku dengan lekat. Ia perempuan cerdas, pasti ia mempunyai pikiran bagaimana bisa aku merekomendasikan seseorang untuk masuk ke perusahaan tempatku bekerja, padahal hanya seorang staff biasa. Kurutuki diriku sendiri.
"Memang bisa ya, Mas, seorang staff biasa merekomendasikan orang lain untuk bekerja di perusahaannya?" tanya Rumi namun kedua manik mata itu masih menatapku.
"Loh. Suamimu ini hebat loh. Dia seorang ...."
"Aduuhhhh," keluh A'an saat kakinya kuinjak.
Aku melotot kearah lelaki bermulut ember itu. Ia hanya nyengir tanpa rasa berdosa.
"Seorang apa, Mas?"
"Maksudnya siapapun bisa merekomendasikan. Apalagi waktu itu sedang membuka lowongan sebagai cleaning service. Jadi dapat kerjaan deh!"
"Oh, begitu. Ya sudah, Rumi tinggal dulu ya!"
Aku bernapas lega. Sepertinya Rumi percaya dengan apa yang diucapkan oleh A'an.
"Ayo, Bu, kita ke taman samping rumah. Rumi mau membersihkan taman."
Kedua wanita beda usia itu berjalan berdampingan.
Saat kedua wanita itu hilang dari pandanganku. Kutatap A'an yang sedang melihatku dengan mulut meringis. Kuacungkan kepalan tanganku. "Awas saja sampai semuanya kamu bocorkan!"
"Iya, maaf!"
"Kamu hanya ingin mengantarkan ini kan? Sekarang sudah kuterima. Silahkan pulang!"
"Buset, dah! Baru juga datang, belum sampai minum kopi, udah diusir aja!" protesnya.
Lelaki bermulut ember itu meraih secangkir kopi lalu diseruput dengan pelan. Kalau diteguk, bisa meleleh tuh lidah!
"Sudah habis. Aku pulang dulu, ya!"
"Dari tadi, kek!"
Akhirnya dengan kepulangan tamu tak diundang itu, membuatku bernapas lega. Tak merasakan was-was dan ketar-ketir jika tiba-tiba mulutnya itu nyerocos terus tiada hentinya, lalu terbukalah semua rahasiaku.
Bersambung ya.
"Sayang ... Mas berangkat dulu, ya," pamit Mas Rohim. "Iya, Mas!" ucapku lalu kuambil tas milik suamiku dan kuberikan padanya."Kamu di rumah baik-baik. Jangan lupa minum obatnya terus. Jangan sampai bolong! Kalau memang sudah positif beneran, baru berhenti ya!" Aku mengangguk.Ck, begitulah suamiku. Tiada hentinya mengingatkan ku untuk meminum obat itu. Dulu aku merasa senang sekali. Tapi sekarang? Entahlah.Begitu perih dan sakit, saat kutahu kalau suamiku tak menginginkan malaikat kecil dari rahimku. Entahlah, apa kesalahanku. Apa alasannya pun aku belum tahu. Dan pastinya aku akan mencari tahu!Tadi pagi Mas Rohim memintaku untuk melakukan testpack. Tapi kuberikan alasan kalau aku belum membeli testpack.Padahal, ada satu box testpack di dalam laci meja riasku yang sering kugunakan setiap aku telat datang bulan.Ya, bisa dibilang aku selalu telat datang bulan. Entah telat lima hari atau pun satu minggu.Ya begitulah namanya perempuan yang mengharapkan kehadiran janin di rahim, ba
*Keesokan hari, di pagi hari*Aku berjalan menghampiri Ibu yang sedang duduk santai di teras rumah. Kubawa tas jinjing yang berisi beberapa helai pakaianku dan perlengkapan yang kubutuhkan untuk beberapa hari kedepan, tak lupa pula kubawa tas selempang yang kugunakan untuk menyimpan ponsel dan juga dompetku."Bu, Rumi pamit dulu, ya!" Kucium punggung tangan Ibu mertua.Saat aku ingin melepas tangan Ibu, beliau malah menggenggam tanganku. Kuhela napas panjang. Aku berjongkok menyejajarkan tubuh Ibu yang sedang duduk di kursi."Apapun yang terjadi, Ibu harap kamu akan memaafkan Rohim dan juga Ibu. Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Ibu!" ucap Ibu dengan suara parau. Seperti seseorang yang sedang menahan tangis."Insyaallah, Bu. Sebisa mungkin, Rumi akan memaafkan kesalahan Mas Rohim. Tapi ... jika kesalahan Mas Rohim sangat fatal, Rumi mohon maaf ... maaf karena Rumi akan memilih jalan Rumi sendiri," ucapku pelan, tapi mampu membuat air mata Ibu menetes."Sebentar lagi Mba
"Apa kamu kenal yang namanya Pak Rohim yang bekerja disini sebagai staff biasa? Ada istrinya yang mencari!" Security itu menunjuk kearahku.A'an menoleh ke arahku. Saat pandangan kami saling bertemu, tiba-tiba kedua netranya melotot. Seperti melihat hantu yang begitu menyeramkan. Raut wajahnya pun juga terlihat kaget dengan kehadiranku.A'an langsung membuang muka. Menatap kembali security yang tadi memanggilnya."Hey ... kamu tahu nggak yang namanya Pak Rohim!? Ditanya kok malah diem!""Pasti kenal, Pak. Karena Mas A'an ini teman suami saya. Mas, bisa minta tolong panggilkan Mas Rohim?" Sebentar saja kok!"Terlihat Mas A'an menelan saliva dengan susah. Wajahnya pun terlihat seperti orang yang sedang takut, bingung, ah entahlah."Malah diem aja! Sana! panggilkan suaminya mbak ini!" "Aduh mbak Rumi, saya masih diminta untuk foto copy. Mbak mau nunggu dulu?" ucapnya sambil menunjukkan lembaran kertas di tangannya."Iya, Mas! Nggak apa-apa. Lagian Mas Rohim dari tadi di telfon nggak dia
Kepalaku berdenyut sakit. Masalah yang mendera terasa begitu pelik. Terlalu banyaknya teka-teki yang harus kupecahkan.Mulai dari Pil KB, Mas Rohim yang seorang manager, dan sekarang, hingga Mas Rohim memiliki istri lain. Apakah semua itu saling berkaitan? Atau yang mana dulu yang harus aku selidiki untuk mencari tahu jawabannya? Ah, kepalaku terasa begitu pening. Pening sekali!"Bu, dia datang!" ucap rekan Pak Dermawan yang membuyarkan lamunanku."Mana, Pak?" ucapku dengan bola mata kesana-kemari untuk mencari sosok yang dimaksud rekan Pak Dermawan."Itu loh, Bu!" jawabnya dengan jemari menunjuk ke arah gerbang.Kedua netraku menyipit saat melihat sosok perempuan yang baru saja melewati gerbang. Terlihat perempuan itu berjalan memasuki kawasan perkantoran ini. Badannya tinggi semampai. Ditambah balutan dress selutut berwarna merah maroon, memakai high heels, rambut hitam legam lurus tergerai, bermata bening, bulu mata lentik. Apalagi polesan make up di wajahnya, menambah kesan kecan
Satu jam lamanya aku menunggu perebut suami orang itu keluar. Tak lama kemudian, sosok yang kutunggu-tunggu telah menampakkan batang hidungnya.Mataku tak berkedip memandangnya. Setiap langkah dan gerakannya tak luput dari sorotan mataku.Langkah itu semakin mendekat dan mendekat. "Mari, Pak!" sapa perempuan itu saat melewati pos security. Sepertinya ia tak tahu siapa aku. Ya, mungkin wanita itu tak tahu kalau sebenarnya Mas Rohim sudah memiliki istri sah, yaitu aku.Kedua satpam itu mengangguk. Kuambil dua lembar uang berwarna merah. Kuberikan kepada kedua security itu sebagai imbalan atas info yang mereka berikan.Kedua satpam itu menerima dengan wajah berbinar. Ucapan kata terima kasih terucap dari bibir mereka.Terlihat wanita itu mulai masuk ke dalam mobil. Bergegas aku berlari menuju pangkalan ojek online yang ada di seberang kantor ini.Tak lupa kubawa juga tas jinjing yang berisi beberapa helai bajuku."Ikuti mobil itu, Pak!" ucapku sambil mengenakan helm yang disodorkan oleh
Aku berjalan memasuki rumah yang begitu megah.Mataku memandang ke tiap sudut ruang tamu yang begitu besar ini. Tiba-tiba kedua netraku memandang sesuatu yang mampu membuatku berdiri mematung.Dengan pandangan nanar aku melihat sebuah foto dengan ukuran yang besar terpampang dengan jelas di dinding ruang tamu.Tubuhku membeku. Jangankan ingin bergerak, untuk bernapas saja rasanya teramat susah.Di foto itu terlihat foto suamiku bersama seorang perempuan, suamiku menggendong anak kecil kisaran umur dua tahun, dan perempuan itu memeluk seorang anak lelaki yang ku tafsir berumur tujuh tahun.Tidak hanya itu yang membuatku kaget, disana terlihat jelas sosok ibu mertua yang duduk diapit oleh mereka. Senyum tercetak jelas di bibir orang-orang yang ada di foto itu.Apa maksud semua ini, Tuhan? Apa sebenarnya perempuan itu seorang janda beranak satu, lalu dinikahi oleh suamiku dan menghasilkan bayi perempuan itu?Ya Tuhan ... kenapa takdirku begitu buruk?Mas Rohim ... tega sekali kamu melak
Akhirnya kuterima secarik kertas itu. Kata demi kata mulai kubaca. Hati ini terasa sakit yang teramat sakit. Lagi-lagi Mas Rohim menabur garam diatas luka yang baru saja ia torehkan.Kuremas lembaran kertas itu. Sesak, perih dan kecewa melebur menjadi satu. Seperti inikah ternyata sosok suami yang telah membersamaiku selama lima tahun ini?Pandangan ini terasa mengabur seiring air mata yang mulai menganak sungai. Bibir ini tak mampu berucap sepatah katapun. Tes.Air mata mulai menetes dari sudut mata. Aku menangis dalam diam. Hanya air mata yang keluar sebagai bentuk betapa sakit dan kecewanya diri ini."Sekarang kamu sudah tahu, kan? Sudah percaya?" tanya perempuan itu dengan enteng, bahkan tak merasa bersalah sedikitpun.Aku diam terpaku. Masih mencerna kejadian yang saat ini kulalui. Benarkah semua ini?"Ya," ucapku dengan bibir gemetar. Hanya satu kata itulah yang mampu keluar dari bibirku. Ingin kucaci dan kumaki perempuan itu, tapi bibir ini terasa kelu. Tenggorokan terasa begi
Dengan langkah cepat, aku keluar dari rumah itu. Tak kuhiraukan Mas Rohim yang terus berteriak memanggil namaku."Bang, anterin ke terminal, ya!" ucapku kepada Abang ojek yang tadi kuminta untuk menungguku."Sekarang, Neng?" tanya tukang ojek dan aku mengangguk. Kuraih helm yang diberikan oleh tukang ojek itu. Di sepanjang perjalanan, bibirku menutup dengan rapat. Sesekali tukang ojek itu melirikku dari kaca spion, mungkin dia menyadari perubahan sikapku.***********Saat aku sudah berada di depan rumah Ibu mertua, kedua netraku melihat mobil yang belum pernah kulihat terparkir di depan rumah."Assalamualaikum," ucapku yang membuat orang yang sedang berbincang di ruang tamu langsung menoleh ke arahku.Tanpa menunggu balasan dari salamku, bergegas aku berjalan menuju kamar."Rum ... maafkan, Mas!" ucap Mas Rohim yang mengejar langkahku.Ya, orang yang kumaksud adalah Mas Romi dan sang ibunda tercinta.Dicekalnya pergelangan tanganku yang membuat langkah ini seketika terhenti.Aku memu