Share

Noda Lipstik dan Bekas Gigitan

"Mas Arfa, ja-jangan," ucap Aleena dengan wajah tegang.

Meronta sekuat apapun, ia tidak akan mampu mengalahkan tenaga Arfa. Aleena memilih pasrah ketika Arfa menumpahkan rasa cinta dan rindu kepadanya.

Setelah pria itu puas melumat bibirnya, menciumi seluruh wajahnya, barulah Arfa menghentikan aksinya.

"Akhirnya rinduku sedikit terobati," ucap Arfa, tersenyum puas. Pria itu lalu memilih berbaring di sisi Aleena, mendekap erat tubuh wanita yang sangat di rindukannya itu.

Raut bahagia terlihat jelas di wajah pria itu. Tidak perduli jika Aleena terus meronta, mencoba melepaskan diri dari dekapannya.

"Dasar pria mesum menyebalkan," gerutu Aleena dengan wajah kesal, sambil memukul dada Arfa berulang kali.

"Marahlah sepuasmu, aku akan dengan senang hati menerimanya," kekeh Arfa.

"Menyebalkan. Bahkan di tempat kerja saja masih sempat berbuat cabul. Uuhhg." Aleena yang kesal nekat menggigit leher Arfa dengan gemas. Bukannya kesakitan, pria itu justru menekan kepala Aleena agar semakin dalam terbenam di ceruk lehernya.

"Apakah merah?" Arfa mengusap bekas gigitan Aleena di lehernya dengan senyum bahagia

"Mas Arfa lihat saja sendiri," jawab Aleena pura-pura tidak peduli, namun ke dua matanya fokus melihat bekas gigitannya di leher Arfa. Terlihat merah, dan begitu jelas. Membuat wanita itu menyunggingkan senyum tipis di bibirnya.

"Sekarang, bolehkah aku menggigitmu?" pinta Arfa dengan wajah polos, membuat Aleena langsung melotot tajam ke arahnya.

"Aku mau pulang, lama-lama berada di ruangan ini membuatku gila," tutur Aleena, kembali mencoba melepaskan pelukan lengan Arfa di perutnya.

"Aku masih merindukanmu," ungkap Arfa, tidak rela melepaskan pelukannya.

"Tubuhku terasa sakit semua, sofa ini terlalu sempit untuk kita berdua Mas Arfa," jelas Aleena, berharap pria itu mau melepaskannya.

"Kalau begitu, ayo kita ke kamar saja."

"Ngawur!" sergah Aleena yang justru membuat Arfa tergelak.

"Berjanjilah, kau akan bekerja denganku mulai besok, ya," pinta Arfa dengan penuh pengharapan.

"Aku tidak mau!" ketus Aleena.

"Kalau begitu jangan harap aku akan melepaskanmu," sahut Arfa. Pria itu segera bangkit, lalu dengan cepat kembali mengungkung tubuh Aleena di bawahnya.

"Mas Arfa mau apa?" Aleena menyilangkan kedua tangannya di depan dada, begitu Arfa kembali bersiap menerkamnya.

"Memakanmu," jawab Arfa singkat. Pria itu menyeringai lebar, menatap lapar ke arah tubuh wanita di bawahnya.

Tangannya mulai terulur, mencoba melepas hijab yang di kenakan Aleena, tidak perduli berapa kali wanita itu menepis tangannya dengan kasar.

"Mas, jangan!" seru Aleena, begitu Arfa berhasil melepaskan hijab yang di pakainya. Namun Arfa menulikan pendengarannya. Pria itu semakin terlihat bernafsu melihat wajah Aleena yang tanpa hijab.

Sesekali Arfa membasahi bibir bawahnya dengan ujung lidah, membuat Aleena begidik ngeri melihatnya.

"Aku harus mendapatkanmu kali ini, jika kau tetap menolak tawaranku," ujar Arfa, yang terdengar seperti sebuah ancaman.

"Aku tidak takut dengan ancamanmu, bukankah dulu Mas Arfa sering melakukannya kepadaku?" sahut Aleena, berpura-pura bersikap tenang.

"Tapi kali ini aku tidak main-main, Aleena," desis Arfa, lalu mengalihkan pandangannya ke arah dada Aleena, yang membusung tepat di depan wajahnya.

Arfa kembali mengulurkan tangannya, mencoba membuka risleting pakaian yang di kenakan Aleena.

"Stop! Oke. Aku akan bekerja dengan Mas Arfa!" seru Aleena dengan wajah gusar. Ia tidak menyangka, jika kali ini Arfa tidak main-main dengan ancamannya.

Arfa tersenyum lebar. Hatinya bahagia bukan main, rencananya memaksa wanita itu ternyata berhasil.

"Kau tau, aku sangat bahagia mendengarnya, Aleenaku sayang," ujar Arfa, sambil membelai wajah wanita itu dengan lembut.

"Sekarang lepaskan aku Mas Arfa," pinta Aleena.

"Kemarilah," ucap Arfa, lalu membantu Aleena untuk bangkit.

"Jangan pernah menolakku lagi Aleena, aku tidak akan pernah menerima penolakan darimu," ujar Arfa. Pria itu kemudian melepaskan ikatan rambut Aleena, kembali merapikan surai indah milik wanita itu, kemudian mengikatnya kembali.

"Apa kau tidak merindukan aku Aleena?" tanya Arfa, sambil memakaikan hijab ke kepala Aleena.

"Sudah aku bilang, aku tidak sudi merindukan pria yang sudah beristri," jawab Aleena, berusaha menyembunyikan gejolak hatinya.

"Bukankah dulu kau berkata, jika dirimu adalah istriku? Milikku? Bahkan semesta pun tidak berhak memisahkan kita?"

Aleena terdiam. Wanita itu lalu memilih bangkit dari duduknya, setelah Arfa selesai merapikan hijab di kepalanya.

"Aku akan pulang." Pamit Aleena, lalu menyambar tas miliknya di atas meja.

"Aku akan mengantarmu," ujar Arfa yang sudah berdiri di belakang Aleena.

"Aku bisa pulang sendiri," tukas Aleena.

"Aku tidak menerima penolakan Aleena," sahut Arfa. Pria itu meraih tangan Aleena, menggenggamnya dengan erat lalu membawanya menuju pintu keluar.

Ceklek

Begitu pintu di buka, sosok Laura sudah berdiri di depan pintu dengan kotak makanan di tangannya.

"Mas Arfa," sapa Laura dengan suara lembut.

Aleena yang terkejut melihat kehadiran Laura, langsung menunduk dalam sambil melepaskan genggaman tangan Arfa.

Laura yang juga terkejut melihat sosok wanita muda nan cantik di samping suaminya, langsung bertanya dengan tatapan curiga, "Siapa wanita ini Mas?"

"Laura? Ada perlu apa kau datang ke kantorku?" Arfa balas bertanya dengan wajah dingin, tanpa berniat menjawab pertanyaan Laura.

"Aku mengantar bekal makan siang untuk Mas Arfa," jawab Laura dengan lembut. "Siapa wanita ini Mas?" Laura kembali bertanya.

Sesaat kemudian wanita itu menyipitkan ke dua matanya, begitu melihat noda lipstik di kemeja Arfa. Tidak hanya itu, Laura juga dapat dengan jelas melihat bekas gigitan di leher suaminya.

"Apa kamu benar-benar tega melakukannya di belakangku, Mas?" Laura bertanya seorang diri di dalam hati, dengan perasaan pilu.

Wanita itu mencengkram kuat kotak makanan yang di bawanya. Menahan rasa sakit dan sesak di dada. Seolah ada ribuan sembilu yang menyayat hatinya. Sakit, perih dan pedih, itulah yang di rasakannya saat ini.

"Sudah aku bilang, kau tidak perlu repot mengantar bekal makan siang untukku, aku tidak akan pernah memakannya. Sekarang kembali lah, aku masih ada urusan penting," ucap Arfa.

"Tapi Mas ...."

"Kau boleh menunggu di sini jika mau," sahut Arfa.

Dengan menahan air mata, Laura memandangi kepergian suaminya bersama wanita lain. Bahkan dengan mesra Arfa memeluk pinggang Aleena, tanpa memperdulikan perasaan istrinya.

Tubuh Laura langsung luruh ke lantai. Seperti wanita yang tidak berguna, Laura menangis tersedu di depan ruangan Arfa, suaminya.

"Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan menyingkirkan siapa saja yang berani mendekati Mas Arfa, termasuk wanita jalang ini," gumam Laura serayak mengepalkan kedua tangannya dengan kuat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status