Wajah Arfa mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat, hingga memperlihatkan buku-buku jarinya. Melihat Alena yang masih belum sadarkan diri, terbaring lemah di ruang perawatan VIP.
Pria itu sedikit membungkuk, mencium kening Aleena dengan lembut seraya berbisik, "Cepatlah bangun, aku akan membalaskan rasa sakit yang kau derita."Kembali menegakkan tubuhnya, Arfa lalu melangkah keluar meninggalkan ruang perawatan tersebut."Apa kau akan pergi?" tanya Alex, begitu melihat kemunculan Arfa dari balik pintu.Mengangguk samar lalu berkata, "Ada sesuatu yang harus aku selesaikan, kau tetaplah disini," titah Arfa, melihat arloji di pergelangan tangannya. "Segera kabari aku jika Aleena sudah sadarkan diri," imbuhnya."Baik, kau tidak perlu kuatir," sahut Alex.Memandangi punggung Arfa yang semakin menjauh, Alex kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi tunggu yang ada di depan kamar inap Aleena.Mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, Arfa melajukan kendaraan roda empat itu menuju ke arah rumahnya.Laura yang sedang duduk santai, menikmati aktivitasnya berselancar di dunia maya sampai tidak menyadari kedatangan Arfa.Wanita itu sekali-kali terlihat tersenyum seorang diri membaca komentar teman-temannya pada status yang diunggahnya pada salah satu akun media sosial mliknya."Kau terlihat sangat bahagia sekali."Laura tersentak kaget, mendengar suara yang terdengar begitu dingin, menusuk ulu hatinya."Ma-mas Arfa? Ka-kapan Mas Arfa sampai?" Laura bertanya, terbata-bata.Wajahnya berubah pucat, mendapati tatapan tajam dari Arfa, yang setajam ujung belati. Dingin dan menusuk.Sementara Arfa mengabaikan pertanyaanya. Pria itu melonggarkan dasi yang terasa mencekik di lehernya.Bagaikan singa lapar yang siap menerkam buruannya, Arfa melangkah, mendekati Laura dengan tatapan membunuh. Pria itu berkata, "Wanita kesayanganku, yang dulu pernah menyelamatkan aku, terluka akibat ulahmu.""Mas, dia bukan siapa-siapamu! Akulah wanita yang seharusnya kau cinta dan kau sayang," tegas Laura, memberanikan diri menatap Arfa.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus wanita itu. Laura memegangi pipinya yang terasa panas. Kedua matanya mulai berembun menahan sakit."Demi wanita jalang itu, Mas Arfa tega menyakiti istri sendiri," desis Laura, meneteskan air mata, memperlihatkan kesedihan yang mendalam di wajahnya."Istri?" ulang Arfa. "Jangan pernah bermimpi aku akan menganggapmu sebagai istriku! Jika bukan karena Mama, aku sudah melemparmu keluar dari dulu!" seru Arfa dengan penuh kemarahan."Mas, aku begitu tulus mencintaimu! Akulah yang berada di sampingmu! Merawatmu! Di saat kamu koma!"Plak!Bermaksud menggoyahkan keyakinan Arfa dengan mengungkit semua pengorbanannya selama ini, tapi justru sebuah tamparan yang didapatkan oleh Laura."Bahkan aku lebih rela memilih mati daripada harus dirawat olehmu," tandas Arfa.Tidak ada kehangatan, cinta ,apalagi kasih sayang yang terpancar di mata pria itu. Hanya rasa kebencian dan amarah yang selama ini bersemayam di dadanya."Jangan kau kira aku tidak tahu, jika kau lah yang ingin mencelakakan aku!" geram Arfa semakin murka.Tubuh Laura membeku. Tidak menyangka, jika Arfa sudah mengetahui dalang dibalik kecelakaan yang menimpanya hampir satu tahun yang lalu.Tapi bukan Laura namanya, jika ia mau mengakui perbuatannya. Memutar otaknya dengan cepat, mencari penyanggahan untuk membela diri."Tapi setidaknya aku harus berterima kasih kepadamu, karena kecelakaan itu aku bertemu dengan Aleena, wanita yang telah menyelamatkan dan merawatku," imbuh Arfa."Mas aku tidak mungkin melakukan itu! Kau bahkan tahu jika aku sangat mencintai dan menyayangimu!" tukas Laura dengan cepat. "Dan bisa jadi itu adalah sebuah konspirasi yang di rencanakan oleh wanita jalang itu agar bisa mendekatimu!"Plak!Sebuah tamparan kembali dihadiahkan oleh Arfa di wajah Laura, begitu wanita itu selesai berkata."Apa istimewanya jalang itu Mas! Apa!" jerit Laura. Menahan sakit, sudut bibinya berdarah karena tamparan Arfa."Dia teramat istimewa bagiku, kau tidak ada apa-apanya bila dibanding dengannya," sahut Arfa. Penuh penekanan di setiap katanya. Seolah ingin menegaskan jika Aleena begitu spesial baginya.Dengan kasar Arfa menjambak rambut Laura, lalu menyeret tubuh wanita ke kamar tamu yang ada di lantai bawah."Mas ... sakit, tolong lepaskan," pinta Laura dengan wajah memohon."Sakit?" ulang Arfa. "Bahkan di saat Aleena memohon kepadamu, kau bahkan semakin menyiksanya!" teriak Arfa. Suaranya begitu menggelegar di seluruh penjuru ruangan.Tanpa menghiraukan jerit tangis Laura, Arfa kembali menyeret tubuh wanita itu lalu membawanya masuk ke dalam kamar tamu.Sementara itu di rumah sakit, tepatnya di depan ruang perawatan Aleena, Alex terlihat sedang berbicara dengan seorang pria berwajah sangat tampan, dan bertubuh tinggi atletis. Di samping pria tampan tersebut tampak berdiri seorang wanita berwajah cantik. Beberapa pengawal terlihat berjaga tidak jauh dari tempat itu.Dapat dilihat, jika Alex begitu hormat kepada pria tampan itu."Aku tidak ingin melihatnya kembali terluka.""Maaf, Tuan. Kali ini saya sedikit terlambat," sahut Alex, penuh penyesalan."Aku ingin melihatnya, sebentar saja."Gegas Alex membukakan pintu untuk pria tampan tersebut.Melangkah pelan mendekati ranjang Aleena. Menatap wajah lelap itu dengan penuh kerinduan."Berlianku, maaf." Membelai wajah lelap itu dengan penuh kasih sayang.Meraih tangan Aleena, mencium punggung tangannya dengan lembut sembari memejamkan kedua matanya."Kau harus bahagia, aku akan selalu ada untukmu." Berbisik lembut, mendaratkan sebuah ciuman hangat di kening wanita itu.Pria tampan itu berbalik, kembali melangkah keluar dengan perasaan sedih."Mas Byan."Deg!Jantung pria itu seakan ingin meloncat keluar, mendengar wanita itu menyebut namanya, lirih.Menghembuskan nafas lega, begitu mengetahui jika Aleena hanya mengigau."Ternyata kau masih mengingatku, Berlian."Alex bergegas kembali membukakan pintu untuk pria tampan itu, sambil membungkuk hormat."Jangan ulangi kesalahanmu lagi, Alex.""Baik, Tuan," sahut Alex, dengan penuh hormat."Karina, kau menetaplah dulu di sini barang beberapa hari, temani dia.""Bagaimana denganmu?" Wanita bernama Karina itu bertanya, dengan wajah kuatir."Aku bisa menjaga diriku sendiri.""Baiklah," sahut Karina, dengan perasaan tidak menentu.Dengan langkah lebar, pria tampan itu beranjak meninggalkan ruang perawatan Aleena, di ikuti oleh beberapa pengawal yang terlihat siaga menjaganya."Aku tau kau sangat menderita," gumam Karina."Sekali lagi kau berani menyentuhnya, aku tidak akan segan menendangmu keluar dari rumah ini!" sentak Arfa.Mengempaskan tubuh Laura kelantai dengan kasar.Puas melampiaskan kemarahannya, Arfa meninggalkan Laura begitu saja. Tidak peduli dengan jerit tangis wanita itu. Justru Arfa tersenyum bahagia. Kepuasan tergambar di wajahnya. Sakit yang di rasakan Aleena telah ia balaskan. Begitu fikirnya.Melajukan mobilny kembali ke rumah sakit, meninggalkan rumah mewah yang tidak pernah memberinya rasa bahagia sejak ia terbangun dari koma. Arfa berharap setelah ini Laura tidak akan berani macam-macam lagi dengan Aleena.Setelah kepergian Arfa, Laura bangkit, berjalan tertatih menuju kamarnya. Luka di wajah dan sekujur tubuhnya, tidak dapat mengalahkan rasa sakit dan luka di hatinya.Tersenyum miris di depan cermin, menatap pantulan wajahnya yang teramat menyedihkan. Tangannya terulur ke permukaan cermin, mengusap pantulan wajah lalu bertanya padanya, "Apa kau sudah kalah kali ini, Laura?"Menj
Seorang wanita berdiri di tempat persembunyiannya. Mengamati dari jarak aman. Berharap pria yang sedang duduk di depan ruang perawatan Aleena segera menyingkir.Seolah semesta mendengarkan doanya, tak lama Kemudian pria itu bangkit dari duduknya, lalu pergi.Dengan cepat memakai jas Dokter yang tersampir di pundak. Tidak lupa memakai kaca mata dan masker yang menutupi sebagian wajahnya.Melangkah dengan tenang. Sesekali membalas sapaan dan anggukan beberapa perawat dan Dokter yang berpapasan dengannya di lorong.Berhenti sejenak di depan ruang perawatan Aleena. Memutar gagang kunci dengan sangat pelan, mendorongnya ke dalam tanpa menimbulkan suara.Dari balik masker yang di kenakannya, wanita misterius itu menyeringai kecil begitu melihat target utamanya sedang tertidur lelap.Bersiap menyuntikkan sesuatu ke dalam botol infus yang tergantung di samping Aleena. Tiba-tiba terdengar suara gagang pintu yang di putar dan dorong dari luar.Apakah sudah waktunya pemeriksaan?Alex menatap ke
"Aku ada urusan lain. Tetap di sini dan jangan kemana-mana! Jaga Aleena baik-baik!"Arfa melongok mendengar perintah Alex. Anak buahnya itu sudah berani memerintahnya, seakan dialah bos nya di sini."Kau!"Alex main nyelonong begitu saja, tidak perduli kedua mata Arfa yang mendelik dengan telunjuk mengarah ke wajahnya."Tuan Arfa!"Seorang Dokter muncul dari balik pintu menyerukan namanya."Nyonya Aleena sudah sadarkan diri, sebentar lagi pasien akan kami pindahkan ke ruang perawatan," terang sang Dokter."Bolehkan aku melihatnya sekarang?" "Sebentar lagi pasien akan kami pindahkan, Tuan Arfa silahkan menunggu di sini," jawab Dokter dengan ramah.Tidak lama kemudian pintu ruang HCU kembali terbuka, cukup lebar, memperlihatkan beberapa perawat yang sedang mendorong emergency bed keluar dari ruangan tersebut. Perasaan lega menyelimuti hati Arfa, melihat Aleena yang sudah sadarkan diri dan sedang menatap ke arahnya sembari tersenyum."Tuan Arfa, kita pindahkan Nyonya Aleena sekarang."
"Dia istriku!"Bagai tersengat aliran listrik ribuan voltase, tubuh Nyonya Miranda seketika menegang. Kilat amarah terlihat di kedua matanya. Menatap nyalang ke arah dua insan yang sedang berpelukan."Lalu di mana Laura!" "Aku tidak tahu!" Arfa benar-benar menunjukkan rasa tidak senang dan ketidakpeduliannya terhadap wanita itu.Namun, jawaban itulah yang justru memancing kemarahan Nyonya Miranda melesat berada pada puncaknya.Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Arfa, namun tidak berarti apa-apa bagi pria itu. Jangankan hanya sebuah tamparan, nyawa pun akan siap Ia berikan untuk wanita yang sangat dicintainya.Alena yang semakin ketakutan menyembunyikan wajahnya di dalam pelukan Arfa. Tubuh wanita itu gemetar kedua tangannya mencengkeram dengan kuat lengan Arfa."Sssttt, tenanglah sayang. Semua akan baik-baik saja." Mengusap punggung Alena dengan lembut, berharap agar wanita itu sedikit mendapatkan ketenangan."Ternyata wanita jalang Ini yang telah membuatmu menyia-nyiakan
Tubuh Alex menjulang di depan pintu. Menghalangi Laura yang ingin masuk dalam ruang perawatan Aleena."Aku mohon, izinkan aku masuk. Aku hanya ingin bertemu Aleena dan meminta maaf kepadanya," mohon Laura dengan suara lemah.Wajah pucat, bibir kering, rambut diikat dengan asal seperti tidak terurus. Kesedihan tergambar begitu jelas di wajah wanita itu. Sorot mata putus asa seolah tidak ada harapan lagi dalam kehidupannya.Dan siapapun, pasti akan menaruh iba melihatnya.Siapapun?Alex tersenyum samar. Melipat kedua tangannya di dada. Pria itu lalu berkata, " Aku tidak bermaksud menghalangimu, aku hanya kuatir kau justru akan jatuh pingsan di dalam. Apalagi kau terlihat sangat lemah.""Kau tidak perlu kuatir. Biarpun aku harus mati bersimpuh di hadapan Aleena, itu tidak masalah yang penting aku sudah meminta maaf kepadanya. Aku hanya sedang berusaha menerima semua ini dengan ikhlas," tutur Laura.Wanita itu menunduk, menyembunyikan air mata yang sudah beranak sungai di wajahnya.Alex m
Arfa mengacak rambutnya, frustasi. Berbagai cara telah ia lakukan untuk membujuk Aleena yang sedang merajuk. Cemburu lebih tepatnya.Salah siapa?Aleena sendiri yang memintanya untuk bersikap baik kepada Laura. Setengah memaksa juga."Sayang, aku tidak sungguh-sungguh melakukannya. Kau sendiri yang mendorongku dari belakang untuk menangkapny."Aleena melengos. Masih tidak sudi melihat Arfa."Terlihat sekali kalau Mas Arfa sangat mencemaskan keadaanya! Aku tidak suka," kata Aleena.Arfa tersenyum. Akhirnya wanita itu mau bersuara juga setelah sejak tadi hanya diam membisu."Aku menyukainya," desis Arfa."Apa!" sosor Aleena dengan mata melotot.Arfa terkekeh. Ternyata wanitanya galak juga kalau sedang cemburu."Aku menyukainya—rasa cemburumu, sayang."Berbisik di telinga Aleena. Menjilat leher wanita itu, sangat erotis."Nggak usah merayu!" ketus Aleena.Memalingkan wajahnya yang merona, malu."Kenapa wajah kamu merona, sayang, aku semakin ingin memakanmu," goda Arfa."Iisshh. Apaan sih
Sepanjang perjalanan pulang menuju ke apartemen, Arfa terus saja menekuk wajahnya. Bibir mengerucut, seperti ibu-ibu yang kurang uang belanja."Mas Arfa," panggil Aleena dengan lembut.Arfa tidak menggubris. Tangan bersedekap, pandangan lurus menatap ke depan."Apa, Mas Arfaa marah?" tanya Alena, tersenyum geli.Arfa melengos. Memiringkan tubuhnya ke arah jendela. Sudah seperti anak kecil yang sedang merajuk karena tidak dibelikan mainan incarannya.Membuat Aleena semakin gemas dan berniat untuk menggodanya.Perlahan, dengan gerakan erotis Aleena membelai dada bidang milik Arfa dari arah belakang. Menyisir setiap jengkal pahatan menggoda yang terbungkus kemeja berwarna hitam."Jangan coba-coba menggodaku," Ketus Arfa, berusaha menyingkirkan tangan Aleena di tubuhnya.Alerna tertawa. Gerakan tangannya semakin bertambah liar turun ke bawah."Mas Arfa terlihat sangat menggemaskan kalau sedang merajuk. Seperti bayi yang ingin menyusu pada ibunya." Alena menekan kata 'Menyusu' pada kalimat
Arfa menutup pintu menggunakan satu kakinya. Pria itu benar-benar terlihat tidak sabar."Kita sudah sampai, sayang. Bersiaplah menerima serangan balasan dariku," bisik Arfa.Pria itu membaringkan tubuh Aleena di atas tempat tidur besar miliknya. Dan langsung saja mengungkung tubuh wanita itu di bawahnya.Bersiap ingin melancarkan aksinya ketika tiba-tiba saja Aleena berseru, "Aaah, lega rasanya sudah keluar dari rumah sakit!"Wanita itu menggeliat, merentangkan kedua tangannya ke atas seperti habis bangun tidur, lalu tersenyum lebar ke arah Arfa yang sedang menatap lapar ke arahnya."Jangan mencari alasan untuk menghindari ku lagi, sayang," kata Arfa penuh penekanan."Aku hanya ingin mandi terlebih dahulu, Mas Arfa. Aku ingin bercinta denganmu dalam keadaan segar dan harum," kilah Aleena.Arfa tersenyum smirk. Tangan pria itu terulur, mengusap bibir Aleena dengan lembut. Perlahan Arfa mendekatkan wajahnya lalu berkata dengan setengah berbisik, "Bagiku kau tetap wangi dan segar, biarpu