PETAKA STATUS WA
Aku dan Mas Rian baru saja menikah tiga bulan lalu. Seperti pengantin baru pada umumnya, kami pasangan yang sangat bahagia. Apalagi kami juga baru saja berbulan madu. Setelah beberapa bulan lalu terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Mas Rian bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar. Sedangkan aku mempunyai sebuah usaha konveksi yang masih berkembang.Kami berbulan madu di pulau Bali dengan menyewa hotel yang lumayan mewah. Meski Mas Rian harus merogoh kocek agak dalam, tetapi itu tak masalah demi bisa memiliki waktu berdua yang berkualitas.Senja ini kami menghabiskan waktu di pantai Sanur. Kami duduk berdua beralaskan pasir putih. Kami saling bercerita, sesekali mengungkapkan rasa cinta yang menggema di dada."Kamu bahagia, Dek?" tanya Mas Rian sambil memandangku penuh cinta."Sangat. Mas sendiri?""Enggak bisa diungkapkan dengan kata-kata," sahutnya. "Terima kasih, ya, Dek. Terima kasih sudah melengkapi hidupku."Mas Rian meraih jemariku dan menciumnya mesra. Angin sepoi seolah ikut merayakan kebahagiaan yang tercipta di antara kami. Diantara manusia-manusia yang sedang menghabiskan waktu di bibir pantai ini seolah kami berdualah yang paling bahagia.Melihat matahari yang hendak kembali keperaduan, aku meminta Mas Rian mengambil potretku. Berbagai pose dengan berlatar belakang sunset pun diabadikan melalui ponsel pintar yang kami bawa. Tak terasa matahari telah usai melaksanakan tugasnya hari ini. Mas Rian mendekatiku kemudian mengajakku meninggalkan pantai."Udah mulai gelap, nih, Dek. Kita mau makan di kafe atau di hotel aja?" tawar Mas Rian saat aku melihat-lihat hasil jepretannya di ponselnya."Emmm. Kita makan di kafe aja deh, Mas. Mumpung kita liburan di Bali, jarang-jarang loh kita bisa liburan di sini," jawabku dengan sumringah."Iya juga, ya. Ya udah, ayo kita makan di kafe itu!" ajak Mas Rian sambil menunjuk kafe yang menjual makanan laut.Setiba di kafe sana, aku memutuskan untuk makan makanan kesukaanku yaitu kepiting jumbo asam manis. Sedangkan Mas Rian memilih menu cumi udang tepung porsi besar. Kami makan dengan lahap di temani es kelapa muda yang segar.Setelah kenyang kami memutuskan untuk kembali ke kamar hotel."Mas mau mandi nih, udah gerah," kata Mas Rian sambil mengambil handuk yang di gantung di balik pintu. "Iya, Mas. Kalau begitu kamu mandi duluan saja, ya!" jawabku sambil melepas hijabku."Kenapa kita nggak mandi berdua aja, Hil? Mas kangen nih mandi berdua dengan kamu," goda Mas Rian."Ah, Mas! Kan, kita sudah sering melakukannya di rumah. Hehe," balasku malu-malu."Ya udah. Kalau begitu, aku mandi duluan, ya?" Mas Rian mengeringkan matanya dengan manja kepadaku.Aku kembali mengambil ponsel Mas Rian karena aku ingin mengirim foto-foto tadi ke ponselku. Muncul keinginanku untuk mengupload salah satu foto tadi. Selama ini Mas Rian jarang memasang foto kami berdua. Baik sewaktu masih pacaran dulu maupun sekarang kami telah menikah. Alasannya karena katanya kurang nyaman memamerkan hal-hal bersifat pribadi kepada publik.Aku pun memasang fotoku sebagai status di WA Mas Rian. Kuberi judul, "kecantikanmu seperti indahnya senja di hari ini." Terkesan berlebihan memang, tetapi sekali-kali, kan, tidak apa-apa. Beberapa menit kemudian sebuah pesan muncul. Tertera nama Anita sebagai pengirimnya. Sepertinya Anita ini temannya Mas Rian. Karena sebelumnya Mas Rian pernah bercerita tentang Anita. Dengan penasaran kubuka pesan itu. Biasanya aku tak pernah mau membuka pesan dari teman Mas Rian karna menurutku itu privasi masing-masing tetapi entah mengapa hatiku tergerak untuk membuka pesan dari Anita. Kuusapkan jariku pada layar ponsel Mas Rian. Kubuka pesan dari Anita.[Loh, ini yang namanya Hilda ya, Yan?][Iya, emang kenapa, Nit?] Aku membalas pesan dari Anita berpura-pura seolah Mas Rian yang membalas. Karena penasaran aku tak langsung menutup chat Anita. Aku malah menggeser chat Anita dan Mas Rian ke atas karena ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan lewat WA.Aku pun membaca satu persatu chat mereka dari awal. Dadaku dibuat panas oleh pesan-pesan yang Mas Rian kirim pada Anita. Mas Rian membahas usiaku yang terpaut beberapa tahun darinya. Malukan dia?Ia juga membahas tentang uang yang ia berikan padaku. Bukankah memang seorang suami wajib menafkahi istrinya?Lalu uang untuk kedua orang tuaku pun diungkit juga. Dadaku benar-benar terbakar membacanya. Apa maksudnya Mas Rian membahas semua ini pada Anita?Sampai akhirnya mataku terpaku pada sebuah nama disebut Mas Rian dalam percakapan itu. Sekar. Hatiku benar-benar terbakar.Benarkah? Benarkah Mas Rian telah menipuku?Ponsel di tangan akhirnya terjatuh memecah keheningan kamar ini.***Ya Allah sesak dadaku, membaca pesan dari Mas Rian. Tega sekali dia seperti itu padaku. Aku bahkan sudah terlanjur mempercayainya selama ini. Sebenarnya aku dan Mas Rian memang sudah lama kenal karena kami dulu teman satu kampus di salah satu kampus swasta dan satu jurusan juga tetapi kami berbeda kelas. Harusnya aku sudah lulus kuliah tapi karena aku sempat tidak lanjut kuliah dulu karena dulu aku bekerja di warung makan. Jadilah aku mahasiswa paling tua di angkatan dari segi umur. Aku pun waktu itu juga tahu Mas Rian pacaran dengan Sekar karena mereka sering saling berkomentar di facebook. Kalau di kampus, aku dan teman-teman yang lain juga sering meledek Mas Rian di kampus membahas tentang Mas Rian dan Sekar yang sering saling melempar komentar di facebook. Bahkan aku juga berteman dengan Sekar di facebook, kami juga pernah saling sapa walau di dunia nyata kami belum sempat bertemu bertatap muka.Akhirnya kami pun lulus. Ada yang melamar di perusahaan maupun menjadi pengusaha sepe
Kami akhirnya pulang ke kota kami setelah menikmati liburan dari Bali. Bukannya merasa segar setelah liburan tapi malah menambah penat pikiranku karena aku mesti mencari bukti kalau Mas Rian masih berhubungan dengan Sekar. Untungnya aku sudah menyimpan tangkapan layar percakapan mereka di ponselku, siapa tahu suatu saat ini bisa berguna dan bahkan menjadi barang bukti.* * Aku membantu Bibi Tia, asisten rumah tangga di rumah orangtua Mas Rian untuk menyiapkan sarapan pagi. Menu pagi ini sederhana saja, nasi goreng ayam dan juga teh hangat. Kami masih tinggal bersama orangtua Mas Rian. Dia masih enggan kuajak untuk membeli rumah sendiri. Katanya masih betah tinggal dengan orangtuanya, padahal jika uang kami berdua di gabung untuk membeli rumah sebenarnya cukup. Sementara di sini ada Kak Rona, kakak pertama perempuan Mas Rian bersama suaminya, Mas Beni dan anaknya, Denis. Mereka sebenarnya tiga bersaudara, Mas Rian merupakan anak bungsu. Kak Resa, kakak kedua Mas Rian tinggal di komple
"Selamat siang Bu. Ada yang bisa kami bantu?" sapa Yuni dengan ramah kepada Kak Rona. "Aku mau menjahit gaun untuk ke acara pernikahan temanku. Soalnya ke penjahit langganannya katanya orderan penuh. Jadi aku ke sini deh," jawab Kak Rona. Aku tidak tahu ekspresi mereka karena aku hanya mendengarkan di balik gorden."Baik Bu. Tapi orderan menjahit kami juga penuh. Kalau Ibu berkenan, gaunnya jadi minggu depan." "Oh iya tidak apa-apa. Pas aja itu." "Baik Bu. Saya ukur dulu ya badan Ibu agar bajunya pas dan cocok." Yuni kemudian mengukur badan Kak Rona dan mencatatnya di buku, lalu ia menggambar model bajunya seperti yang di inginkan Kak Rona.Yuni menyerahkan nota upah menjahit gaun Kak Rona. Jadi Kak Rona wajib membayar uang muka dulu."Wah murah banget ini daripada di penjahit langgananku. Awas ya kalau hasilnya nggak memuaskan," ancam Kak Rona.Duh belum apa-apa kok main ancam-ancaman segala. Kecuali bajunya sudah jadi tapi tidak sesuai kehendaknya okelah dia boleh komplain."Ibu
"Hari ini Papa akan mengumumkan pembagian warisan. Papa sengaja membagi warisan ketika Papa masih hidup agar nanti kalian tidak rebutan harta yang Papa wariskan ketika Papa sudah meninggal nanti." "Semua anak sudah mendapatkan jatah masing-masing," kata Papa menambahkan."Yang pertama untuk Mama. Mama mendapatkan rumah di kawasan Kelapa Hijau dan perusahaan Papa.""Untuk Rona mendapat rumah yang ada di kawasan Semanggi. Resa mendapatkan rumah di kawasan Mengkudu." Papa melanjutkan."Kemudian. Rian dan Hilda mendapatkan rumah di kawasan Manggis beserta satu buah mobil pajero yang Papa miliki." "Loh kenapa kami hanya mendapatkan rumah, Pa? Sedangkan suami kami kok nggak di beri? Malah Rian dan Hilda mendapatkan rumah tiga tingkat? Sedangkan rumah yang kami dapat hanya tingkat dua?" protes Kak Rona. "Iya nih, Pa. Rian dan Hilda malah dapat mobil juga. Ini namanya nggak adil kalo gini," sahut Kak Resa juga ikut-ikutan. Padahal mereka juga sudah mempunyai mobil pajero, sedangkan Mas Ria
"Kamu yakin kalau pernikahan kita akan di resmikan ke KUA?" tanya Mas Rian ketika kami berada di kamar."Memangnya kenapa Mas?" Aku bertanya sambil menyisir rambutku."Ah nggak apa-apa. Hanya saja...""Hanya saja gimana?""Kamu beneran cinta kan sama aku?" tanya Mas Rian dengan nada serius.Aku menghentikan menyisir rambutku. Baru pertama kali ini dia menanyakan pertanyaan yang menurutku seperti anak muda yang baru saja pacaran.Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku jadi ingat chat Mas Rian dengan Anita dan juga dengan Sekar. Seketika luka yang ingin segera kuhapus itu menganga kembali."Kamu sudah persiapkan berkas pernikahan kita ke KUA kan?" tanya Mas Rian lagi."Belum, Mas. Lagi pula sepertinya sudah terkumpul juga di lemariku. Jadi tidak susah lagi besok untuk mengambilnya.""Oh begitu. Baiklah kalau semuanya sudah siap."Aku heran dengan sikap Mas Rian, tadi sewaktu Papa memintanya untuk segera meresmikan pernikahan kami wajahnya begitu pucat. Namun sekarang malah kembali ceria
Ternyata mereka sekarang chat di aplikasi Whatsapp! Uh sudah berani skalian rupanya. Langsung saja kubuka chat yang di namai 'Sekar Sayang' itu.[Sayang, Mas di suruh menikah resmi dengan Hilda bagaimana ini?] kata Mas Rian sepertinya nampak panik.[Ya sudahlah. Lagian kan kita sudah rujuk. Nggak apa-apa. Nanti kalau Mas sudah bosan tinggal ceraikan aja dia, bikin aja alasannya kalau Hilda nggak hamil-hamil. Gampang kan?] balas Sekar. Aku kaget ketika menemukan kenyataan lagi bahwa mereka sudah rujuk. Lalu apa sebenarnya alasan Mas Rian mau saja ketika Papanya menyuruh kami meresmikan pernikahan? [Wah, betul juga ya. Itu alasan gampang. Lagipula kan Hilda wanita bodoh, mudah saja di bohongi!] [Tuh kan. Apa ku bilang! Manfaatkan saja dia Mas selagi bisa. Jangan sampai gagal, Mas. Ini kesempatan emas lho. Aku rela saja Mas Rian menikah resmi dengannya. Tapi Mas janji lho harus segera menceraikan dia kalau tujuan Mas sudah tercapai.]Aku mengepalkan tanganku dengan kuat. Setega itu di
Pergi ku rasa adalah keputusan yang terbaik daripada harus menanggung rasa sakit seumur hidup.Aku keluar dari pagar rumah keluarga Mas Rian. Sekali lagi aku menengok ke belakang. Selamat tinggal semua kenangan indah yang kau berikan Mas. Selamat tinggal juga rasa sakit yang selama ini kutahan demi mempertahankan keutuhan rumah tangga kita. Aku berjalan menyusuri trotoar jalan hingga akhirnya aku memesan taksi online. Tak sampai 5 menit orderan taksiku datang.Akhirnya sampai di rumahku. Walau mataku masih sembab. Tapi aku yakin, aku tidak dapat menyembunyikan kesedihannya di hadapan Ayah dan Bundaku.Tok, tok, tok..Aku mengetuk pintu rumahku. Bunda yang membuka pintu rumahku. Aku pun langsung masuk dan memeluk Bunda. Tangis yang sedari tadi tidak dapat kubendung lagi."Sabar ya, Nak. Bunda yakin kamu wanita yang kuat. Sesungguhnya Nak ujian dari Allah itu bermacam-macam. Manusia yang di uji oleh Allah adalah dia hamba yang terpilih. Insya Allah, kamu bisa melewati ini semua." Bund
"Terus aku harus bagaimana?" pinta Mas Rian. "Apa aku harus ceraikan Sekar?" Ceraikan Sekar katanya? Untuk apa? Sedangkan hati Mas Rian saja sudah tidak ada untukku. "Kamu mau menceraikan Sekar, Mas? Sedangkan kalian baru saja rujuk. Pernikahan bukan buat permainan, Mas!" Aku menampik. "Tidak semudah itu Mas menceraikan seseorang. Sekar juga wanita sama sepertiku. Buat apa kau melukai lagi hatinya dengan main cerai, rujuk lagi, kemudian rujuk lagi," sambungku dengan kesal."Tapi Hil. Jujur Mas menyesal telah menyesal membiarkanmu tadi malam pergi. Mas juga sedang tersulut emosi. Mas nggak mau berpisah sama kamu. Makanya Mas dan Mama menyusulmu kemari dan ingin menjemputmu pulang." Kulirik Mama sedang menangis dan menyeka air matanya dengan tisu. Mungkin beliau juga tidak menyangka anak laki-laki yang begitu di banggakan malah berkhianat."Mama nggak menyangka kamu akan bersikap seperti ini, Yan! Kalau begini Mama sudah gagal mendidikmu. Sudah Mama bilang jangan rujuk dengan Sekar