"Selamat siang Bu. Ada yang bisa kami bantu?" sapa Yuni dengan ramah kepada Kak Rona.
"Aku mau menjahit gaun untuk ke acara pernikahan temanku. Soalnya ke penjahit langganannya katanya orderan penuh. Jadi aku ke sini deh," jawab Kak Rona. Aku tidak tahu ekspresi mereka karena aku hanya mendengarkan di balik gorden."Baik Bu. Tapi orderan menjahit kami juga penuh. Kalau Ibu berkenan, gaunnya jadi minggu depan." "Oh iya tidak apa-apa. Pas aja itu." "Baik Bu. Saya ukur dulu ya badan Ibu agar bajunya pas dan cocok." Yuni kemudian mengukur badan Kak Rona dan mencatatnya di buku, lalu ia menggambar model bajunya seperti yang di inginkan Kak Rona.Yuni menyerahkan nota upah menjahit gaun Kak Rona. Jadi Kak Rona wajib membayar uang muka dulu."Wah murah banget ini daripada di penjahit langgananku. Awas ya kalau hasilnya nggak memuaskan," ancam Kak Rona.Duh belum apa-apa kok main ancam-ancaman segala. Kecuali bajunya sudah jadi tapi tidak sesuai kehendaknya okelah dia boleh komplain."Ibu bisa melihat di sini hasil dari kami menjahit. Insya Allah kami amanah," kata Yuni yang sepertinya menunjuk arah rak gantung tempat kami menaruh baju yang sudah selesai kami jahit."Hmmm. Boleh juga hasilnya ternyata bagus juga ya. Ya sudah, ini aku bayar uang muka dulu," balas Rona dengan nada merajuk.Aku tersenyum membayangkan ekspresinya yang pongah itu. Sebelum berkomentar alangkah baiknya melihat hasil baju jahitan kami dan Yuni dulu."Baik Bu. Saya catat. Makasih ya." Kemudian Kak Rona berlalu. Aku dan Yuni menyelesaikan orderan menjahit yang menumpuk. Aku pulang sore hari saja. Aku rencana ingin lembur tapi tidak jadi karena efek baru beberapa hari pulang dari Bali badanku masih agak capek.* * Malam ini aku harus bisa membuka ponsel Mas Rian karena dia selalu bersama ponselnya. Jadi aku terkadang susah sekali membuka ponsel Mas Rian karena dia pun membawanya ketika dia mandi.Ponsel Mas Rian ternyata tergeletak di samping nakas. Aku harus segera membukanya. Mumpung Mas Rian sepertinya di sedang di bawah atau di ruang kerjanya.Dengan cepat aku mengklik tombol tangkapan layar di ponselnya serta mengirimkan langsung ke ponselku lewat WA dan segera menghapus riwayat chat kami. Aku seperti sedang menghadapi pelakor saja. Apa aku sebenarnya yang di anggap pelakor oleh mereka. Ah masa bodo! Aku segera ke dapur agar lebih leluasa membaca hasil tangkapan layar percakapan antara Mas Rian dan Sekar. Biasanya aku juga sering membantu Bi Tia. Aha! Apa aku bertanya pada Bi Tia soal hubungan mereka?"Bi, masak apa malam ini?" tanyaku."Masak sup daging aja Non. Udah Non nggak usah membantu Bibi," jawab Bi Tia. "Nggak apa Bi. Aku udah biasa membantu Bundaku di dapur. Bi, ada yang mau aku tanyakan?" "Apa itu Non? Kayaknya serius?" "Begini Bi. Mas Rian dan Sekar sudah pernah menikah sebelum denganku?" Praaank. Bi Tia yang rupanya sedang mengelap piring tiba-tiba menjatuhkan piring yang sedang dia lap. "Oh Non maaf piringnya jadi pecah." Sepertinya Bi Tia kaget dengan pertanyaanku."Iya Bi. Sini aku bantuin membersihkannya." Aku membantu Bi Tia membersihkan beling pecahan piring tersebut.Setelah semuanya selesai. Bi Tia meneruskan perkataannya."Kenapa Non jadi tahu soal pernikahan Den Rian dan Non Sekar? Padahal kan Tuan dan Nyonya apalagi kakak-kakaknya Den Rian mereka semua kompak menyembunyikan hal ini dari Non Hilda." Aku menghela nafas. Jadi mereka semua menyembunyikan hal ini dariku?"Tapi jangan salah sangka dulu Non. Sebenarnya Tuan menentang Den Rian menikah dengan Non Sekar. Tetapi Nyonya dan kedua kakak Den Rian yang setuju." Bi Tia celingak-celinguk, mungkin dia takut ada yang mendengar percakapan kami."Terus?" sambungku penasaran. "Mereka menikah cuma setahun. Setelah itu... "Belum sempat Bi Tia meneruskan kata-katanya Mas Rian datang. Kami semua akhirnya diam."Sayang, tadi aku cari kamu kemana-mana ternyata kamu di sini ya?" tanya Mas Rian sambil merangkul pinggang dari belakang. "Kamu masak apa sayang?" tanyanya lagi.""Masak sup daging sapi kesukaanmu," jawabku sambil tersenyum. "Hmm aromanya enak sekali. Ambilkan sekarang dong untukku! Aku udah lapar nih." Aku segera melayani Mas Rian. Aku mengambilkan nasi, sup daging, dan juga air putih. Mas Rian makan di dapur. "Makasih, Sayang," balasnya sambil mengecup tanganku. Ayo kamu makan juga di sini temani aku." "Tapi aku belum lapar, Mas," kataku lirih karena aku masih penasaran dengan hubungan Mas Rian dan Sekar mendadak rasa laparku hilang."Ah kenapa kalau makan mesti menunggu lapar? Ayo ambil juga nasinya. Bukankah lebih enak makan berdua?" ajaknya lagi.Benar juga lebih enak makan berdua. Aku pun makan berdua dengan Mas Rian. Meskipun hatiku sakit tapi harus kutahan. Lagipula aku menemukan fakta baru lagi. Ternyata benar Mas Rian dan Sekar pernah menikah dan pernikahan mereka berumur setahun! Wah lama juga ternyata. Aku masih penasaran hal apa yang menyebabkan mereka bercerai?Aku belum bisa membaca hasil tangkapan layar ponselnya Mas Rian malam ini karena Mas Rian terus menempel denganku dan meminta jatahnya sebagai suami. Permainan kita masih berlanjut Mas!* * Keesokan harinya.Di malam hari.Semua saudara perempuan Mas Rian. Kak Rona dan Kak Resa, juga para suami dan anak-anak mereka. Aku, Mas Rian, Mama, dan Papa."Ada apa ini sebenarnya, Mas?" bisikku pada Mas Rian."Katanya Papa mau mengumumkan hal penting malam ini. Tetapi aku juga nggak tahu Papa mau bilang apa," jawab Mas Rian yang juga bertanya-tanya. "Baiklah karena kita semua sudah berkumpul di sini. Papa akan mengumumkan pengumuman penting untuk kalian," kata Papa di sebelah Papa ada pengacara pribadi beliau, namanya Pak Aldi.Kenapa Papa membawa pengacaranya ya ke hadapan kami ya? Jangan-jangan.."Hari ini Papa akan mengumumkan pembagian warisan. Papa sengaja membagi warisan ketika Papa masih hidup agar nanti kalian tidak rebutan harta yang Papa wariskan ketika Papa sudah meninggal nanti." "Semua anak sudah mendapatkan jatah masing-masing," kata Papa menambahkan."Yang pertama untuk Mama. Mama mendapatkan rumah di kawasan Kelapa Hijau dan perusahaan Papa.""Untuk Rona mendapat rumah yang ada di kawasan Semanggi. Resa mendapatkan rumah di kawasan Mengkudu." Papa melanjutkan."Kemudian. Rian dan Hilda mendapatkan rumah di kawasan Manggis beserta satu buah mobil pajero yang Papa miliki." "Loh kenapa kami hanya mendapatkan rumah, Pa? Sedangkan suami kami kok nggak di beri? Malah Rian dan Hilda mendapatkan rumah tiga tingkat? Sedangkan rumah yang kami dapat hanya tingkat dua?" protes Kak Rona. "Iya nih, Pa. Rian dan Hilda malah dapat mobil juga. Ini namanya nggak adil kalo gini," sahut Kak Resa juga ikut-ikutan. Padahal mereka juga sudah mempunyai mobil pajero, sedangkan Mas Ria
"Kamu yakin kalau pernikahan kita akan di resmikan ke KUA?" tanya Mas Rian ketika kami berada di kamar."Memangnya kenapa Mas?" Aku bertanya sambil menyisir rambutku."Ah nggak apa-apa. Hanya saja...""Hanya saja gimana?""Kamu beneran cinta kan sama aku?" tanya Mas Rian dengan nada serius.Aku menghentikan menyisir rambutku. Baru pertama kali ini dia menanyakan pertanyaan yang menurutku seperti anak muda yang baru saja pacaran.Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku jadi ingat chat Mas Rian dengan Anita dan juga dengan Sekar. Seketika luka yang ingin segera kuhapus itu menganga kembali."Kamu sudah persiapkan berkas pernikahan kita ke KUA kan?" tanya Mas Rian lagi."Belum, Mas. Lagi pula sepertinya sudah terkumpul juga di lemariku. Jadi tidak susah lagi besok untuk mengambilnya.""Oh begitu. Baiklah kalau semuanya sudah siap."Aku heran dengan sikap Mas Rian, tadi sewaktu Papa memintanya untuk segera meresmikan pernikahan kami wajahnya begitu pucat. Namun sekarang malah kembali ceria
Ternyata mereka sekarang chat di aplikasi Whatsapp! Uh sudah berani skalian rupanya. Langsung saja kubuka chat yang di namai 'Sekar Sayang' itu.[Sayang, Mas di suruh menikah resmi dengan Hilda bagaimana ini?] kata Mas Rian sepertinya nampak panik.[Ya sudahlah. Lagian kan kita sudah rujuk. Nggak apa-apa. Nanti kalau Mas sudah bosan tinggal ceraikan aja dia, bikin aja alasannya kalau Hilda nggak hamil-hamil. Gampang kan?] balas Sekar. Aku kaget ketika menemukan kenyataan lagi bahwa mereka sudah rujuk. Lalu apa sebenarnya alasan Mas Rian mau saja ketika Papanya menyuruh kami meresmikan pernikahan? [Wah, betul juga ya. Itu alasan gampang. Lagipula kan Hilda wanita bodoh, mudah saja di bohongi!] [Tuh kan. Apa ku bilang! Manfaatkan saja dia Mas selagi bisa. Jangan sampai gagal, Mas. Ini kesempatan emas lho. Aku rela saja Mas Rian menikah resmi dengannya. Tapi Mas janji lho harus segera menceraikan dia kalau tujuan Mas sudah tercapai.]Aku mengepalkan tanganku dengan kuat. Setega itu di
Pergi ku rasa adalah keputusan yang terbaik daripada harus menanggung rasa sakit seumur hidup.Aku keluar dari pagar rumah keluarga Mas Rian. Sekali lagi aku menengok ke belakang. Selamat tinggal semua kenangan indah yang kau berikan Mas. Selamat tinggal juga rasa sakit yang selama ini kutahan demi mempertahankan keutuhan rumah tangga kita. Aku berjalan menyusuri trotoar jalan hingga akhirnya aku memesan taksi online. Tak sampai 5 menit orderan taksiku datang.Akhirnya sampai di rumahku. Walau mataku masih sembab. Tapi aku yakin, aku tidak dapat menyembunyikan kesedihannya di hadapan Ayah dan Bundaku.Tok, tok, tok..Aku mengetuk pintu rumahku. Bunda yang membuka pintu rumahku. Aku pun langsung masuk dan memeluk Bunda. Tangis yang sedari tadi tidak dapat kubendung lagi."Sabar ya, Nak. Bunda yakin kamu wanita yang kuat. Sesungguhnya Nak ujian dari Allah itu bermacam-macam. Manusia yang di uji oleh Allah adalah dia hamba yang terpilih. Insya Allah, kamu bisa melewati ini semua." Bund
"Terus aku harus bagaimana?" pinta Mas Rian. "Apa aku harus ceraikan Sekar?" Ceraikan Sekar katanya? Untuk apa? Sedangkan hati Mas Rian saja sudah tidak ada untukku. "Kamu mau menceraikan Sekar, Mas? Sedangkan kalian baru saja rujuk. Pernikahan bukan buat permainan, Mas!" Aku menampik. "Tidak semudah itu Mas menceraikan seseorang. Sekar juga wanita sama sepertiku. Buat apa kau melukai lagi hatinya dengan main cerai, rujuk lagi, kemudian rujuk lagi," sambungku dengan kesal."Tapi Hil. Jujur Mas menyesal telah menyesal membiarkanmu tadi malam pergi. Mas juga sedang tersulut emosi. Mas nggak mau berpisah sama kamu. Makanya Mas dan Mama menyusulmu kemari dan ingin menjemputmu pulang." Kulirik Mama sedang menangis dan menyeka air matanya dengan tisu. Mungkin beliau juga tidak menyangka anak laki-laki yang begitu di banggakan malah berkhianat."Mama nggak menyangka kamu akan bersikap seperti ini, Yan! Kalau begini Mama sudah gagal mendidikmu. Sudah Mama bilang jangan rujuk dengan Sekar
Hari ini seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan dalam hidupku namun mengetahui kenyataan bahwa Mas Rian telah mengkhianati pernikahan kami."Sudah, Sayang. Nggak usah bersedih ya. Kamu harus tetap bahagia hari ini," hibur Bunda. Aku hari ini tetap mengenakan gaun sederhana berwarna putih tulang yang sudah kujahit sendiri, Yuni menambahkan payet di beberapa bagian gaun. Katanya agar terlihat lebih manis. Tak lupa kugunakan hijab segi empat yang menutup dada dengan warna yang senada.Polesan makeup tipis oleh Mbak perias menambah segar penampilanku hari ini. Meskipun kulihat awan mendung di wajahku. Aku harus tetap terlihat tegar.Lani dan Wenda, sahabatku semenjak SMA datang dan langsung memelukku."Kamu yang sabar ya, Hil," kata Lani sambil mengusap kepalaku."Insya Allah, Allah akan menggantikan dengan pria yang lebih baik." Wenda menimpali."Aamiin, Allahumma Aamiin," jawabku terharu atas sikap mereka yang penuh dengan ketulusan."Aku harus banyak-banyak bersyukur aja. A
Mataku mengerjap beberapa kali. Cahaya lampu berwarna putih menyilaukan mataku. Aku pun membuka mata. Ah aku dimana? Kurasakan perih di bawah perutku, tanganku pun aku karena tertancap selang infus, dan di hidungku juga di pasang selang oksigen.Ya Allah aku kenapa? Aku mencoba mengingat deretan kejadian sebelum aku berada di sini. Ketika mencoba mengingatnya, kepalaku malah pusing."Bunda, Ayah. Aku dimana?" tanyaku secara tiba-tiba."Alhamdulillah kamu sudah sadar,Nak." Bunda menghampiri dan mengelus tanganku."Kamu sekarang sedang di rumah sakit, Nak. Kamu sedang di rawat. Tadi kamu pingsan," jawab Ayah dengan lembut.Aku menatap Ayah dan Bunda bergantian."Bun, kenapa bagian bawah perut Hilda sakit?"Mereka berdua saling berpandangan. Kemudian Bunda menangis. Ayah langsung memeluk dan menenangkan Bunda."Yah, kenapa kalian menangis? Hilda sudah membuat kesalahan ya kepada Ayah dan Bunda?" balasku heran."Enggak. Hilda enggak ada salah sama Ayah dan Bunda," jawab Bunda menangis pil
PoV AuthorSementara Pak Wira tertawa terbahak-bahak. Rian menatap Hilda dengan tajam."Papa, benar apa yang di katakan Mas Rian. Yang anak Papa kan Mas Rian, kenapa malah Hilda yang akan Papa berikan warisan?" sela Hilda dengan perasaan tak enak."Hilda, Papa memberikan warisan kepadamu karena Papa yakin kamu dapat mengelola harta Papa dengan baik. Papa berharap setelah nanti Papa tiada, harta Papa yang kamu kelola bisa bermanfaat terhadap sesama juga," sahut Pak Wira dengan bijak."Papa jahat! Kenapa Papa nggak percaya dengan Rian? Papa malah percaya dengan orang yang baru Papa kenal beberapa bulan ini." balas Rian dengan kesal."Lho kenapa kamu harus marah-marah begitu Rian? Bukannya kalau Papa serahkan pada Hilda, dia bisa memperbesar usaha menjahitnya bukan?" "Tapi Hilda kan nggak mau kembali sama Rian, Pa. Kalau Papa serahkan sama Hilda, Rian jadi nggak kebagian apa-apa dong?" sungut Rian. "Karena Papa dan Mama sudah berulang kali menasehatimu agar jangan rujuk dengan Sekar! T