Share

Pergi adalah jalan terbaik

Ternyata mereka sekarang chat di aplikasi W******p! Uh sudah berani skalian rupanya. Langsung saja kubuka chat yang di namai 'Sekar Sayang' itu.

[Sayang, Mas di suruh menikah resmi dengan Hilda bagaimana ini?] kata Mas Rian sepertinya nampak panik.

[Ya sudahlah. Lagian kan kita sudah rujuk. Nggak apa-apa. Nanti kalau Mas sudah bosan tinggal ceraikan aja dia, bikin aja alasannya kalau Hilda nggak hamil-hamil. Gampang kan?] balas Sekar. 

Aku kaget ketika menemukan kenyataan lagi bahwa mereka sudah rujuk. Lalu apa sebenarnya alasan Mas Rian mau saja ketika Papanya menyuruh kami meresmikan pernikahan? 

[Wah, betul juga ya. Itu alasan gampang. Lagipula kan Hilda wanita bodoh, mudah saja di bohongi!] 

[Tuh kan. Apa ku bilang! Manfaatkan saja dia Mas selagi bisa. Jangan sampai gagal, Mas. Ini kesempatan emas lho. Aku rela saja Mas Rian menikah resmi dengannya. Tapi Mas janji lho harus segera menceraikan dia kalau tujuan Mas sudah tercapai.]

Aku mengepalkan tanganku dengan kuat. Setega itu dia tenyata Mas Rian kepadaku. 

[Mas kan tahu sekarang kalau aku sedang hamil. Aku nggak mau kalau nanti aku melahirkan tanpa di temani Mas. ]

[Jangan berpikir begitu ya, Kar. Aku akan bertanggung jawab. Ya, aku tahu aku suami orang. Tapi janin yang di kandung itu adalah anakku. Bagaimanapun aku harus bertanggung jawab! Sekarang juga Hilda belum hamil, mudah saja kan untuk meninggalkannya nanti?] 

Astaghfirullah. Buruknya hatimu Sekar. Bahkan Sekar sudah hamil. Artinya Mas Rian bahkan selama menikah denganku sudah berhubungan lagi dengan Sekar. Ah Mas Rian mungkin terlalu cinta dengan Sekar!

Panas, perih, dan sakit kini kurasakan. Aku selama ini begitu mudah terbuai dan percaya akan janji Mas Rian kepadaku bahwa dia akan selalu mencintaiku. Benar-benar polos aku sehingga mudah sekali mereka tipu. Tapi kali ini saatnya aku tak boleh lemah dan harus melawan mereka.

"Hilda!" panggil Mas Rian. Sedangkan air mataku semakin deras mengalir. 

"Hilda, dari tadi aku mencarimu. Ternyata kamu di sini. Kami tadi sedang membicarakan persiapan acara di rumah Ayah dan Bundamu. Maaf ,kamu tadi aku cuekin."

Posisiku masih membelakangi Mas Rian. Kemudian aku menoleh kepadanya dan menatapnya nanar.

"Sayang, kenapa kamu menangis? Ada masalah apa?" tanyanya lagi, seolah tak ada rasa bersalah atas permainan dia dan Sekar yang mereka lakukan di belakangku.

Tanpa menjawab sepatah katapun, aku segera berlari meninggalkan Mas Rian.

"Hilda, tunggu! Kamu kenapa sih? Kok kamu aneh banget hari ini." 

Aku segera berlari ke kamar dan Mas Rian mengejarku. Sesampainya di kamar, aku melempar ponselnya ke ranjang untung tidak ke lantai. Masih mending. Aku masih punya hati untuk tidak menghancurkan ponselnya. 

Rupanya Mas Rian kaget karena aku tadi melempar ponselnya.

"Oh, jadi ponselku ada denganmu. Pantes aku cari-cari tadi nggak ada," balasnya dengan santai.

Aku tak lagi menghiraukan ucapan darinya. Segera kubuka lemari dan kumasukkan pakaian dan dokumenku ke dalam koper besar yang terletak di atas lemari yang sudah ku ambil sebelumnya.

"Hilda apa maksudnya dengan ini semua? Kenapa kamu memasukkan semua baju-bajumu ke dalam koper? Tolong jelaskan semuanya kepadaku." 

"Sudahlah, Mas! Semuanya sudah jelas! Nggak ada lagi yang perlu kujelaskan," kataku lirih sambil menyeka air mataku dengan ujung pashmina yang kupakai.

"Hil, kamu ini kenapa sih? Nggak usah deh kekanak-kanakan seperti ini! Pakai acara ngambek nggak jelas segala!" 

"Sudahlah, Mas. Nggak usah pura-pura tidak mengerti! Bukankah kamu senang kalau aku pergi dari kehidupan kalian? Aku sadar, aku hanya orang ketiga perusak hubungan kalian," kataku sambil menyambar tas tanganku.

Mas Rian melirik ponselnya. Rupanya dia baru paham penyebab aku begini karena ponselnya.

"Oh! Iya, sekarang aku baru paham! Kenapa kamu jadi seperti ini! Kamu tadi habis membuka ponselku kan! Hayo ngaku, Hil! Nggak mungkin kamu begini kalau nggak ada apa-apa," sahut Mas Rian, tuh kan keluar sifat aslinya yang mulut lemes itu. 

"Kalau iya, kenapa? Masalah Mas? Aku sebenarnya sudah tahu sejak kita liburan ke Bali! Aku pikir, aku bisa kuat menutupi rasa perih dan luka yang menjalar menyelingkupi batinku. Ternyata aku salah, Mas! Aku bukan Wonder Woman, aku tak sekuat itu!" 

"Dasar kamu lancang sekali, Hil! Berani benar kamu membuka ponselku tanpa izin dariku!"

Plaaak.

Tangan Mas Rian melayang di pipi kiriku. Ya Allah, sakit. Bahkan Ayahku saja belum pernah menamparku. Rasa sakit menjalar di pipiku, tapi lebih sakit lagi setelah tahu kalau selama ini di tipunya.

Aku tidak tinggal diam. Aku maju dan menampar balik dia. Huh, rasakan! Memang dia saja yang bisa menamparku?

"Kurang aj*r kamu, Hil! Berani benar kamu menamparku. Kamu nggak pernahkah di ajarkan sopan santun oleh kedua orangtuaku?" 

"Hah? Apa aku nggak salah dengar? Untuk apa kamu menyebut orangtuaku? Sedangkan kamu saja sudah menipuku. Apa itu juga nggak di ajarkan oleh orangtuamu. Dengar ya Mas! Biarpun kamu laki-laki, aku nggak akan takut untuk melawanmu!" 

Aku bergegas mengangkat koperku meninggalkan kamar ini. Aku menuruni tangga setengah berlari. Tekad ku sudah bulat untuk segera mengakhiri rasa sakit ini. 

"Hilda tunggu! Hilda!" Mas Rian berusaha mengejarku.

Ketika sampai di ruang tamu. Aku yang kalah tenaga dengannya, karena dia berhasil mencengkeram tangan kiri ku.

"Jangan pergi, Hil! Kamu pikir kamu bisa menang melawanku, hah?" Mas Rian membentakku.

"Mas, lepas Mas!" kataku meronta-ronta.

Mama dan Kak Rona datang mendengar keributan kami dengan Mas Rian.

"Ada apa ini? Kok kalian pada ribut? Ada masalah apa sebenarnya!" celetuk Mama.

Mas Rian akhirnya melepaskan cengkeraman tangannya. Sakit juga pergelangan tanganku akibat cengkeramannya.

"Iya nih. Wow, Hilda mau kemana malam-malam begini bawa koper besar lagi! Hmmm pasti mau kabur ya!" Kak Rona ikut menimpali.

"Hilda berani membuka ponsel Rian tanpa seizin Rian, Ma! Apalagi dia juga sudah berani menampar Rian! Istri nggak tahu diri dia, Ma!" kata Rian membuatku geram. Pintar sekali dia membalikkan fakta yang sesungguhnya.

"Oh ya? Kamu kenapa begitu, Hil? Mama pikir kamu istri yang baik buat Rian. Apalagi penampilanmu yang berhijab, kami rasa awalnya kamu bisa membuat Rian menjadi orang yang lebih baik. Ternyata dugaan kami selama ini salah!" sahut Mama termakan omongan Mas Rian. Mama, Kak Rona, dan Kak Resa memang selama ini belum berhijab.

"Ma! Nggak usah menuduh Hilda seperti itu. Siapa yang tahan kalau selama ini Mas Rian menipu Hilda!" jawabku membela diri. 

"Heh, udik! Sudahlah kamu nggak usah membela diri! Percuma. Karena kami nggak ada yang percaya sama kamu!" 

"Baik!" Mas Rian berusaha menengahi. "Silakan kamu pergi dari sini Hil! Tapi tinggalkan kartu ATM dan kartu kredit yang aku berikan untuk kamu!"

Aku membuka dompet ku. Aku ambil kartu kredit, kartu ATM, dan beberapa lembar uang ratusan ribu yang dia beri tempo hari. Aku lemparkan itu semua tepat di wajahnya Rian.

"Nih ambil! Aku juga nggak butuh harta darimu!" balasku dengan ketus.

"Eh ponselnya. Itu pasti Rian juga kan yang membelikan," kata Kak Rona melihat ponselku yang berlogo apel di gigit.

"Hahaha maaf saja ya, Kak. Ini ponsel aku beli atas hasil jerih payahku sendiri. Jangan salah sangka kalau ini pemberian adikmu!" ujarku dengan sinis.

"Kamu keterlaluan banget, Hil! Sombong lagi! Sok! Kita lihat bakalan jadi apa kamu setelah angkat kaki dari rumah ini! Apa kamu bisa bertahan tanpa harta dariku?" sahut Mas Rian dengan gayanya yang pongah.

"Oke Mas! Kita lihat saja. Akan kita buktikan nanti! Siapa yang lebih sukses setelah ini? Aku atau kamu?" kataku sambil membawa koperku keluar rumah.

"Hilda tunggu! Kamu nggak boleh seperti itu! Kita kan bisa bicarakan baik-baik dengan kepala dingin," teriak Mama.

"Ma, sudahlah! Ngapain kita mengerjai Hilda? Biarkan saja. Apa dia bisa hidup tanpaku!" Mas Rian menahan Mama yang akan mengejarku. 

"Iya, Ma. Biarin aja. Hilda kan bucin sama Rian." 

Aku terus berjalan tanpa mengindahkan kata-kata mereka. Aku harus pergi!

* *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status