Kami akhirnya pulang ke kota kami setelah menikmati liburan dari Bali. Bukannya merasa segar setelah liburan tapi malah menambah penat pikiranku karena aku mesti mencari bukti kalau Mas Rian masih berhubungan dengan Sekar. Untungnya aku sudah menyimpan tangkapan layar percakapan mereka di ponselku, siapa tahu suatu saat ini bisa berguna dan bahkan menjadi barang bukti.
* * Aku membantu Bibi Tia, asisten rumah tangga di rumah orangtua Mas Rian untuk menyiapkan sarapan pagi. Menu pagi ini sederhana saja, nasi goreng ayam dan juga teh hangat. Kami masih tinggal bersama orangtua Mas Rian. Dia masih enggan kuajak untuk membeli rumah sendiri. Katanya masih betah tinggal dengan orangtuanya, padahal jika uang kami berdua di gabung untuk membeli rumah sebenarnya cukup. Sementara di sini ada Kak Rona, kakak pertama perempuan Mas Rian bersama suaminya, Mas Beni dan anaknya, Denis. Mereka sebenarnya tiga bersaudara, Mas Rian merupakan anak bungsu. Kak Resa, kakak kedua Mas Rian tinggal di komplek yang berbeda bersama suaminya, Mas Joni dan anaknya, Dion.Aku menyiapkan sarapan pagi dengan menuangkan nasi goreng ke piring mereka masing-masing. Kadang aku merasa seperti pembantu. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka bilang masakanku enak. Sayangnya aku hanya bisa memasakkan mereka di waktu pagi saja karena aku kan juga harus bekerja ke tempatku menjahit. Aku biasanya sudah pulang pada sore hari namun ketika kebanjiran orderan kadang aku pulang sampai malam.Kami pun sarapan pagi bersama. Ada Papa mertua, Mama mertua, Mas Rian, Kak Rona, Mas Beni, dan si kecil Denis yang masih berusia tiga tahun."Kamu sudah hamil belum Hil?" tanya Mama mertua memecahkan keheningan karena sedari tadi tidak ada yang berbicara."Belum, Ma," jawabku tersenyum kecil."Memang belum ada tanda-tanda?" tanya beliau lagi."Mama nih gimana sih? Kalau belum hamil ya belum ada tanda-tanda. Beda dong kayak aku yang baru menikah besoknya langsung hamil," celetuk Kak Rona menyindirku."Iya ya, Ron. Kamu begitu menikah langsung hamil. Sedangkan Rian dan Hilda sudah tiga bulan menikah belum juga isi ya. Padahal Mama pengen banget nih punya cucu dari Rian. Apalagi cucu perempuan," sahut Mama juga ikut-ikutan menyindirku."Sabar ya Ma. Kami juga sedang berusaha nih. Iya kan Hil?" Mas Rian menatapku dengan lembut."Lagipula kami sudah ke dokter kandungan dan hasilnya kami berdua sehat kok." Mas Rian menambahkan."Kalau kalian sehat kenapa belum punya anak? Masa Rian yang mandul? Hilda kali yang mandul. Turunan keluarga kami kan begitu menikah langsung hamil," balas Kak Rona lagi.Sedari awal Kak Rona ini memang tidak menyukaiku. Kalau Mama mertua sikapnya padaku sering plin-plan dan susah di tebak. Kadang baik, kadang juga ketus apalagi bila dengan putrinya ini."Namanya hamil itu rezeki dari Sang Kuasa, Kak," jawabku dengan sopan. "Kami kan belum di kasih jadinya kami harus banyak bersabar. Lagipula kami sudah ke dokter kandungan dan juga minum vitamin penyubur kandungan dari dokter.""Halah, kalau mandul ya mandul aja, Hil. Nggak usah sok menceramahiku. Aku kan lebih dulu hamil dan melahirkan. Jelas saja aku lebih pengalaman.Aku tersenyum miris. Malas menanggapi omongannya yang sombong."Makanya kamu lebih baik berhenti saja Hil menjadi penjahit. Kamu fokus saja untuk menjalani program hamil." Mama mertua memberi saran."Maaf, Ma. Hilda nggak bisa. Kalau nggak punya kerjaan Hilda akan bosan dan jenuh," jawabku sesopan mungkin."Kamu tu ya, Hil. Di bilangi mertua kok malah ngeyel," Tukas Kak Rona."Sudahlah Kak, Ma. Hilda kan hanya mengisi hari-harinya dengan hobinya. Lagipula aku sudah memberikan Hilda izin untuk meneruskan usahanya," balas Mas Rian sambil mengusap kepalaku yang tertutup hijab.Mas Rian memang baik. Sering membelaku di hadapan keluarganya. Tapi anehnya kenapa dia masih mengejar Sekar.Kak Rona dan Mas Beni ini masih menumpang pada orangtua, kerjaan saja Mas Beni masih ikut bekerja menjadi karyawannya Papa di kantor beliau. Sedangkan Kak Rona hanya di rumah saja yang kerjaannya hanya arisan serta berkumpul dengan teman-teman sosialitanya. Si Denis saja yang mengurus adalah baby sitter.Papa mertua memang mempunyai perusahaan sepatu, sedangkan Ibu Mertua yang mengurus pemasaran dan penjualannya.Mas Rian bekerja di perusahaan yang menjual minuman bersoda. Dia tidak ikut bekerja dengan Papanya. Mas Rian sengaja bekerja di lain perusahaan karena katanya ingin hidup mandiri.Selesai makan aku ke kamar, berdandan dengan bedak tipis dan memakai lipstik warna pink. Hari ini aku harus membantu Yuni, karyawanku untuk menjahit pakaian karena kami ada orderan lima buah gaun pendamping pengantin atau yang sekarang di kenal dengan nama bridesmaid yang harus selesai dalam waktu tiga hari."Mas, berangkat dulu ya, Hil," kata Mas Rian sambil mengecup keningku."Oh iya ini ada uang untuk kamu jajan." Mas Rian menyelipkan beberapa uang ratusan ribu di kantong gamisku."Kok di kasih uang lagi? Kemarin uang yang di kasih Mas masih ada," jawabku karena aku tak mau di cap matre lagi olehnya."Sudahlah Hil nggak usah kamu pikirkan. Itu jatah untuk kamu. Mas berangkat ke kantor dulu ya." Aku mencium tangan Mas Rian. Mas Rian pun mengambil tasnya dan berlalu.Heran aku apa sih maksud Mas Rian memberikanku uang terus. Sedangkan aslinya malah playing victim.Aku menuruni tangga. Baru saja sampai di lantai bawah. Ada yang mengomentari."Wah tukang jahit udah siap aja nih berangkat?" Aku tahu sebenarnya Kak Rona hanya ingin mengolok-olokku saja."Iya nih kak, alhamdulillah hari ini aku banyak orderan. Jadi secepatnya harus selesai," jawabku sambil memasang masker agar terhindar dari debu karena aku hanya naik sepeda motor saja."Hah, masa tukang jahit biasa aja kok bisa orderannya banyak?" Tanya Kak Rona seolah tidak percaya dengan perkataanku."Alhamdulillah, Kak. Rezeki kan nggak ada yang menyangka. Ya udah Kak, aku berangkat dulu ya nanti telat. Assalammu alaikum," pamitku pada Kak Rona."Halah, baru jadi tukang jahit biasa aja sudah berlaga banget." Samar-samar aku masih mendengar jawaban dari Kak Rona yang ketus.Biar saja masih jadi tukang jahit biasa. Siapa tahu nanti bisa jadi penjahit terkenal!Sesampainya di rumah jahitku. Rencananya aku akan menambah karyawan baru sebanyak dua orang karena orderan yang semakin menumpuk membuat kami keteteran dan kelelahan."Yun, kamu udah siap lemburkan untuk hari ini?" tanyaku pada Yuni."Siap, Kak Hilda. Yuk kita semangat," jawab Yuni dengan semangat empat lima sambil menyingsingkan lengan bajunya.Kami berdua asyik membuat pola gaun dan menjahit. Tak terasa hari sudah beranjak siang."Permisi, apakah di sini masih menerima orderan menjahit?" tanya seseorang di depan. Suaranya sangat aku kenal. Sepertinya itu Kak Rona. Waduh jangan sampai Kak Rona tahu kalau aku menjahit di sini. Aku mengintip dari balik gorden. Benar saja itu Kak Rona."Yun, kamu saja deh yang melayani pelanggan itu!" suruhku pada Yuni."Loh emang kenapa, Kak?" tanya Yuni heran. "Biasanya kan Kakak yang melayani pelanggan.""Anu, Yun. Aku agak pusing nih dan juga lagi nanggung," jawabku yang masih berkutat menjahit salah satu gaun."Oh gitu. Baiklah, Kak."Yuni pun akhirnya melayani Kak Rona. Duh jangan sampai Kak Rona tahu kalau aku pemilik tempat menjahit di sini. Karena keluarga Mas Rian hanya tahu kalau aku karyawan menjahit saja. Belum saatnya mereka tahu. Nanti akan ada saatnya kok mereka semua tahu. Hehehe.***"Selamat siang Bu. Ada yang bisa kami bantu?" sapa Yuni dengan ramah kepada Kak Rona. "Aku mau menjahit gaun untuk ke acara pernikahan temanku. Soalnya ke penjahit langganannya katanya orderan penuh. Jadi aku ke sini deh," jawab Kak Rona. Aku tidak tahu ekspresi mereka karena aku hanya mendengarkan di balik gorden."Baik Bu. Tapi orderan menjahit kami juga penuh. Kalau Ibu berkenan, gaunnya jadi minggu depan." "Oh iya tidak apa-apa. Pas aja itu." "Baik Bu. Saya ukur dulu ya badan Ibu agar bajunya pas dan cocok." Yuni kemudian mengukur badan Kak Rona dan mencatatnya di buku, lalu ia menggambar model bajunya seperti yang di inginkan Kak Rona.Yuni menyerahkan nota upah menjahit gaun Kak Rona. Jadi Kak Rona wajib membayar uang muka dulu."Wah murah banget ini daripada di penjahit langgananku. Awas ya kalau hasilnya nggak memuaskan," ancam Kak Rona.Duh belum apa-apa kok main ancam-ancaman segala. Kecuali bajunya sudah jadi tapi tidak sesuai kehendaknya okelah dia boleh komplain."Ibu
"Hari ini Papa akan mengumumkan pembagian warisan. Papa sengaja membagi warisan ketika Papa masih hidup agar nanti kalian tidak rebutan harta yang Papa wariskan ketika Papa sudah meninggal nanti." "Semua anak sudah mendapatkan jatah masing-masing," kata Papa menambahkan."Yang pertama untuk Mama. Mama mendapatkan rumah di kawasan Kelapa Hijau dan perusahaan Papa.""Untuk Rona mendapat rumah yang ada di kawasan Semanggi. Resa mendapatkan rumah di kawasan Mengkudu." Papa melanjutkan."Kemudian. Rian dan Hilda mendapatkan rumah di kawasan Manggis beserta satu buah mobil pajero yang Papa miliki." "Loh kenapa kami hanya mendapatkan rumah, Pa? Sedangkan suami kami kok nggak di beri? Malah Rian dan Hilda mendapatkan rumah tiga tingkat? Sedangkan rumah yang kami dapat hanya tingkat dua?" protes Kak Rona. "Iya nih, Pa. Rian dan Hilda malah dapat mobil juga. Ini namanya nggak adil kalo gini," sahut Kak Resa juga ikut-ikutan. Padahal mereka juga sudah mempunyai mobil pajero, sedangkan Mas Ria
"Kamu yakin kalau pernikahan kita akan di resmikan ke KUA?" tanya Mas Rian ketika kami berada di kamar."Memangnya kenapa Mas?" Aku bertanya sambil menyisir rambutku."Ah nggak apa-apa. Hanya saja...""Hanya saja gimana?""Kamu beneran cinta kan sama aku?" tanya Mas Rian dengan nada serius.Aku menghentikan menyisir rambutku. Baru pertama kali ini dia menanyakan pertanyaan yang menurutku seperti anak muda yang baru saja pacaran.Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku jadi ingat chat Mas Rian dengan Anita dan juga dengan Sekar. Seketika luka yang ingin segera kuhapus itu menganga kembali."Kamu sudah persiapkan berkas pernikahan kita ke KUA kan?" tanya Mas Rian lagi."Belum, Mas. Lagi pula sepertinya sudah terkumpul juga di lemariku. Jadi tidak susah lagi besok untuk mengambilnya.""Oh begitu. Baiklah kalau semuanya sudah siap."Aku heran dengan sikap Mas Rian, tadi sewaktu Papa memintanya untuk segera meresmikan pernikahan kami wajahnya begitu pucat. Namun sekarang malah kembali ceria
Ternyata mereka sekarang chat di aplikasi Whatsapp! Uh sudah berani skalian rupanya. Langsung saja kubuka chat yang di namai 'Sekar Sayang' itu.[Sayang, Mas di suruh menikah resmi dengan Hilda bagaimana ini?] kata Mas Rian sepertinya nampak panik.[Ya sudahlah. Lagian kan kita sudah rujuk. Nggak apa-apa. Nanti kalau Mas sudah bosan tinggal ceraikan aja dia, bikin aja alasannya kalau Hilda nggak hamil-hamil. Gampang kan?] balas Sekar. Aku kaget ketika menemukan kenyataan lagi bahwa mereka sudah rujuk. Lalu apa sebenarnya alasan Mas Rian mau saja ketika Papanya menyuruh kami meresmikan pernikahan? [Wah, betul juga ya. Itu alasan gampang. Lagipula kan Hilda wanita bodoh, mudah saja di bohongi!] [Tuh kan. Apa ku bilang! Manfaatkan saja dia Mas selagi bisa. Jangan sampai gagal, Mas. Ini kesempatan emas lho. Aku rela saja Mas Rian menikah resmi dengannya. Tapi Mas janji lho harus segera menceraikan dia kalau tujuan Mas sudah tercapai.]Aku mengepalkan tanganku dengan kuat. Setega itu di
Pergi ku rasa adalah keputusan yang terbaik daripada harus menanggung rasa sakit seumur hidup.Aku keluar dari pagar rumah keluarga Mas Rian. Sekali lagi aku menengok ke belakang. Selamat tinggal semua kenangan indah yang kau berikan Mas. Selamat tinggal juga rasa sakit yang selama ini kutahan demi mempertahankan keutuhan rumah tangga kita. Aku berjalan menyusuri trotoar jalan hingga akhirnya aku memesan taksi online. Tak sampai 5 menit orderan taksiku datang.Akhirnya sampai di rumahku. Walau mataku masih sembab. Tapi aku yakin, aku tidak dapat menyembunyikan kesedihannya di hadapan Ayah dan Bundaku.Tok, tok, tok..Aku mengetuk pintu rumahku. Bunda yang membuka pintu rumahku. Aku pun langsung masuk dan memeluk Bunda. Tangis yang sedari tadi tidak dapat kubendung lagi."Sabar ya, Nak. Bunda yakin kamu wanita yang kuat. Sesungguhnya Nak ujian dari Allah itu bermacam-macam. Manusia yang di uji oleh Allah adalah dia hamba yang terpilih. Insya Allah, kamu bisa melewati ini semua." Bund
"Terus aku harus bagaimana?" pinta Mas Rian. "Apa aku harus ceraikan Sekar?" Ceraikan Sekar katanya? Untuk apa? Sedangkan hati Mas Rian saja sudah tidak ada untukku. "Kamu mau menceraikan Sekar, Mas? Sedangkan kalian baru saja rujuk. Pernikahan bukan buat permainan, Mas!" Aku menampik. "Tidak semudah itu Mas menceraikan seseorang. Sekar juga wanita sama sepertiku. Buat apa kau melukai lagi hatinya dengan main cerai, rujuk lagi, kemudian rujuk lagi," sambungku dengan kesal."Tapi Hil. Jujur Mas menyesal telah menyesal membiarkanmu tadi malam pergi. Mas juga sedang tersulut emosi. Mas nggak mau berpisah sama kamu. Makanya Mas dan Mama menyusulmu kemari dan ingin menjemputmu pulang." Kulirik Mama sedang menangis dan menyeka air matanya dengan tisu. Mungkin beliau juga tidak menyangka anak laki-laki yang begitu di banggakan malah berkhianat."Mama nggak menyangka kamu akan bersikap seperti ini, Yan! Kalau begini Mama sudah gagal mendidikmu. Sudah Mama bilang jangan rujuk dengan Sekar
Hari ini seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan dalam hidupku namun mengetahui kenyataan bahwa Mas Rian telah mengkhianati pernikahan kami."Sudah, Sayang. Nggak usah bersedih ya. Kamu harus tetap bahagia hari ini," hibur Bunda. Aku hari ini tetap mengenakan gaun sederhana berwarna putih tulang yang sudah kujahit sendiri, Yuni menambahkan payet di beberapa bagian gaun. Katanya agar terlihat lebih manis. Tak lupa kugunakan hijab segi empat yang menutup dada dengan warna yang senada.Polesan makeup tipis oleh Mbak perias menambah segar penampilanku hari ini. Meskipun kulihat awan mendung di wajahku. Aku harus tetap terlihat tegar.Lani dan Wenda, sahabatku semenjak SMA datang dan langsung memelukku."Kamu yang sabar ya, Hil," kata Lani sambil mengusap kepalaku."Insya Allah, Allah akan menggantikan dengan pria yang lebih baik." Wenda menimpali."Aamiin, Allahumma Aamiin," jawabku terharu atas sikap mereka yang penuh dengan ketulusan."Aku harus banyak-banyak bersyukur aja. A
Mataku mengerjap beberapa kali. Cahaya lampu berwarna putih menyilaukan mataku. Aku pun membuka mata. Ah aku dimana? Kurasakan perih di bawah perutku, tanganku pun aku karena tertancap selang infus, dan di hidungku juga di pasang selang oksigen.Ya Allah aku kenapa? Aku mencoba mengingat deretan kejadian sebelum aku berada di sini. Ketika mencoba mengingatnya, kepalaku malah pusing."Bunda, Ayah. Aku dimana?" tanyaku secara tiba-tiba."Alhamdulillah kamu sudah sadar,Nak." Bunda menghampiri dan mengelus tanganku."Kamu sekarang sedang di rumah sakit, Nak. Kamu sedang di rawat. Tadi kamu pingsan," jawab Ayah dengan lembut.Aku menatap Ayah dan Bunda bergantian."Bun, kenapa bagian bawah perut Hilda sakit?"Mereka berdua saling berpandangan. Kemudian Bunda menangis. Ayah langsung memeluk dan menenangkan Bunda."Yah, kenapa kalian menangis? Hilda sudah membuat kesalahan ya kepada Ayah dan Bunda?" balasku heran."Enggak. Hilda enggak ada salah sama Ayah dan Bunda," jawab Bunda menangis pil