Laki-laki bertubuh tinggi tengah gelisah menanti keluarnya wanita yang masih berada di kamar mandi melakukan tes urine. Hasil tes tersebut sangat menentukan salah satu hidup dari mereka sebulan lagi. Keduanya sangat berharap, hasil yang diperlihatkan oleh test pack sesuai keinginan mereka selama ini. Keinginan yang akan menjadi juru selamat untuk hidup keduanya ke depan. Bukan hanya itu, bahkan mereka akan terhindar dari hubungan dan ikatan yang dipaksakan.
Perhatian laki-laki yang sedari tadi mondar-mandir teralihkan ketika mendengar handle pintu kamar mandi diputar dari dalam. Dia mengernyit saat menatap wanita yang keluar juga terlihat gelisah seperti dirinya. “Apakah hasilnya tidak sesuai harapan?” batinnya menerka. “Zel, bagaimana?” tanya laki-laki bernama Andri dengan tidak sabar.
Bukannya menjawab, Zelda malah menyerahkan benda pipih di tangannya dengan santai kepada Andri. Dia berjalan menuju ranjang dan segera merebahkan tubuhnya. Tangannya dengan cepat menarik guling dan memeluknya untuk memperoleh kenyamanan raga serta jiwanya.
Meski sedikit kesal terhadap partner sekaligus sahabatnya karena pertanyaannya diabaikan, tapi Andri segera melihat benda pipih di tangannya untuk mengetahui hasil yang diperlihatkan. “Garis dua,” gumamnya.
Andri berjalan menghampiri nakas di samping ranjang dan mengambil kemasan test pack yang masih tergeletak asal di atasnya. Tanpa menunggu lagi, dia pun segera membaca keterangan mengenai garis dua yang ditunjukkan oleh test pack tersebut. “Berarti, kini Zelda tengah …?” Andri kembali bergumam setelah mampu mengambil kesimpulan dari keterangan yang dibacanya. Dia menatap wanita yang tengah memeluk gulingnya dengan erat.
Andri menarik sudut bibirnya ke atas karena hasil yang diperlihatkan test pack sesuai harapan, tapi dia ingin memastikannya lebih jelas kepada Zelda. “Zel, bangunlah dulu. Kita harus segera memastikannya ke dokter.” Andri menepuk pelan bahu Zelda yang berbaring memunggunginya.
Zelda mengendikkan bahu karena tidak terima acara tidurnya diganggu. “Nanti saja, An. Aku masih mengantuk.” Zelda menepis tangan Andri yang masih bertengger di bahunya.
Andri memutar bola matanya mendengar tanggapan Zelda. Dia menyeringai setelah ide jahil terbesit dalam benaknya. Tanpa aba-aba, dia membalikkan tubuh Zelda yang masih setia memeluk guling. Seringaiannya semakin lebar saat melihat Zelda bergeming atas tindakan lancangnya. Dengan gerakan cepat dia menjatuhkan diri di depan tubuh Zelda, dan menarik paksa guling tersebut serta melemparkannya.
“Andri!” hardik Zelda saat pelukannya pada guling terlepas, dan digantikan oleh tubuh Andri. Dia menatap horor laki-laki yang kini mendekapnya sambil menyeringai.
“Daripada memeluk guling itu yang jelas-jelas tidak bisa memberikanmu kehangatan, mending peluk aku saja. Aku berlipat-lipat lebih bisa memberi tubuhmu kehangatan sehingga membuat tidurmu semakin merasa nyenyak dan nyaman.” Andri mengeratkan dekapannya pada tubuh Zelda.
“Andri, lepas!” Zelda meronta agar tubuhnya bisa terlepas dari dekapan sahabatnya berbagi kehangatan.
Bukannya mengindahkan permintaan Zelda, Andri malah semakin erat mendekap tubuh di depannya. “Akan aku lepaskan jika kamu mau ke dokter untuk memeriksakan benihku yang telah berkembang di sini,” ujar Andri lembut sambil mengelus perut rata Zelda dari luar pakaiannya dengan sebelah tangannya.
Zelda berhenti meronta setelah mendengar ucapan lembut Andri. Kini dia mengamati mata teduh di hadapannya yang tengah menatapnya intens. “An, apakah jalan yang kita ambil ini benar? Apakah hanya ini jalan satu-satunya untuk kita lepas dari permintaan kolot orang tua masing-masing?” tanya Zelda saat menelaah tindakannya bersama Andri.
Andri melepaskan dekapannya dan mengubah posisi berbaringnya menjadi telentang. Dia mengembuskan napas sebelum menjawab pertanyaan Zelda yang juga menjadi tanda tanya dalam benaknya. “Zel, ditanyakan ke mana dan kepada siapapun, pasti tindakan kita tidak ada benar-benarnya. Membuatmu harus mengandung benihku dulu baru kita menikah, itu sangat tidak dibenarkan oleh siapapun. Jujur, aku sudah kehabisan akal dan cara untuk menghadapi orang tuaku yang tetap memaksakan kehendaknya padaku. Aku yakin kamu juga seperti itu, bahkan mungkin lebih dari yang kualami dan rasakan, mengingat perangai ibu tirimu.”
Zelda mengikuti posisi telentang Andri. Dia memejamkan mata saat Andri mengatakan keberadaan ibu tirinya. “Benar juga katamu, An. Aku diperlakukan layaknya boneka di rumah itu. Bahkan argumenku sedikit pun tidak pernah dipedulikan oleh mereka, terlebih Papaku. Semua keputusan yang mereka ambil merupakan titah mutlak untuk aku turuti.” Zelda menyusut cairan yang mulai mengganggu sudut matanya.
Andri menoleh saat mendengar suara serak di sampingnya. Dia kembali memosisikan tubuhnya berbaring menyamping. Dengan lembut dia menarik tubuh Zelda agar kembali berhadapan. “Sudah, jangan diteruskan. Terpenting sekarang, dengan keberadaan janin ini di rahimmu hidup kita akan berubah dan terbebas dari kekangan mereka,” Andri menenangkan sambil ikut menghapus cairan yang telah lancang keluar dari sudut mata Zelda.
“An, bagaimana jika tindakan kita ini tetap tidak berhasil?” Zelda menatap lekat mata laki-laki yang telah membuahi rahimnya saat menyuarakan ketakutannya.
“Kita tetap akan menikah, Zel. Aku tidak mau anak kita terlahir tanpa pernikahan. Kamu tidak usah mencemaskan itu. Meski bukan sepasang kekasih, tapi kita tetap harus menjadi pasangan suami istri untuk masa depan janin ini. Oleh karena itu, sebaiknya kita segera ke dokter untuk memastikan keadaan calon anakku ini. Ayo, bangun,” Andri menjelaskan. Setelah Zelda mengangguk, dia langsung menarik tangan calon ibu dari anaknya agar mengikutinya bangun.
“Kita harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk atas tindakan ini dari orang tua masing-masing,” Zelda mengingatkan setelah duduk mengikuti Andri.
Andri mengernyit. “Contohnya?” tanya Andri dan menahan tangan Zelda yang ingin menuruni ranjang.
Zelda mengecup sudut bibir Andri. “Pengusiran dan dicoret dari daftar keluarga masing-masing,” jawabnya seraya tertawa sumbang.
Andri menimpali tawa sumbang Zelda. “Semoga saja tidak sampai sejauh itu.” Andri mengecup balik bibir Zelda. Dia mengangkat Zelda dan mendudukkan di pangkuannya. “Rasanya sekarang aku ingin menunda mengajakmu ke dokter dulu,” bisiknya dan mulai mengecup bawah telinga Zelda.
Zelda menyeringai dan ingin membalas tindakan usil Andri, apalagi saat ini dia merasakan suatu benda telah mengeras di bawah bokongnya. Dengan sekali sentakan Zelda mendorong dada Andri sehingga membuatnya kembali telentang. Secepatnya dia turun dari pangkuan Andri dan ranjang.
“Ayo, kita ke rumah sakit sekarang saja. Sekalian makan siang, perutku sudah lapar.” Zelda menahan tawa saat melihat reaksi wajah kecewa Andri yang tidak bisa menyalurkan hasratnya.
“Akh, Zelda! Tunggu pembalasan dariku,” Andri menggeram saat melihat Zelda kembali memasuki kamar mandi. Apalagi kini dia mendengar Zelda terbahak di dalam kamar mandi.
“Zel, aku harap tindakan kita merupakan yang terbaik dan membuat orang tua masing-masing menyadari keegoisannya selama ini,” Andri membatin setelah duduk di pinggir ranjang.
Suasana makan malam di kediaman Himawan terasa sangat berbeda. Penyebabnya tidak lain karena, putra tunggalnya tersebut ikut bergabung. Semenjak pasangan Himawan ingin menjodohkan putra tunggalnya dengan putri salah satu rekan bisnis mereka, hubungan antara anak dan orang tua tersebut merenggang, terutama sang kepala keluarga. Bahkan terkesan tidak harmonis, sebab selalu bersilang pendapat.Bukannya Andri ingin bertindak kurang ajar atau tidak sopan terhadap orang tuanya, tapi dia juga mempunyai hak untuk menentukan sendiri masa depan dan wanita pendamping hidupnya kelak. Dia sangat menentang keinginan orang tuanya yang satu itu, karena dirinya tidak mau menikah semata-mata atas dasar perjodohan atau ada maksud terselubung di baliknya.Oleh karena itu, dia terpaksa membuat rencana bersama wanita yang juga mempunyai nasib tidak jauh berbeda dengannya. Apalagi wanita tersebut sudah sangat dekat dengannya. Bahkan mereka juga sering menghabiskan malam bersama, meski tidak ad
Zelda sangat menikmati waktunya berendam di jacuzzi di dalam kamar pribadinya. Aroma vanila yang menguar dari pembakaran lilin aromaterapi serasa memberikan rileksasi pada tubuh lelahnya. Dia memejamkan mata saat merasakan air hangat memasuki pori-pori kulit di sekujur tubuhnya. Ketika sangat larut menikmati sensasi yang diterima kulitnya, perhatian Zelda teralih oleh deringan ponsel di pinggir jacuzzi.“Andri,” gumam Zelda saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.Setelah mengeringkan tangannya dengan handuk kecil yang di letakkan di samping ponselnya, Zelda mengangkat telepon dari Andri. “Ada apa, An?” tanyanya langsung.“Hei, tidak bisakah kamu berbasa-basi dengan calon suamimu, Sayang?” Andri terkekeh mendengar pertanyaan Zelda.“Aku sedang malas berbasa-basi dengan orang yang mengganggu acaraku bersantai,” jawab Zelda pura-pura kesal sambil memainkan air di jacuzzi-nya.“Bersantai? Kamu bisa bersantai saat calon suamimu ini tengah pusing d
Puas menyaksikan matahari terbit, Andri menemani Zelda yang lebih memilih berjalan-jalan di sekitar bibir pantai sambil bermain air laut daripada mengitari jogging track. Keduanya terlihat seperti pasangan berbahagia yang tengah memadu kasih dan menikmati masa bulan madu. Bahkan, Andri dengan sukarela membawakan sandal milik Zelda yang dari tadi memang dilepasnya.“Zel, kita sarapan di sekitar sini saja ya,” Andri mengusulkan ketika Zelda mengatakan sudah puas berjalan-jalan. “Kamu mau sarapan apa?” tanyanya saat Zelda menyetujui usulnya.“Ketupat dan sate ikan marlin. Di sana banyak warung yang menjual menu tersebut.” Dengan antusias Zelda menunjuk tempat yang dimaksud sambil memakai kembali sandalnya.“Sate ikan marlin? Sejak kapan kamu mengonsumsi ikan laut?” Andri tidak memercayai pendengarannya mengenai makanan yang dipilih Zelda sebagai menu sarapannya.“Baru-baru ini. Sudahlah, An, jangan banyak tanya lagi. Perutku sudah sangat lapar.” Dengan malas Zel
Zara duduk berhadapan dengan seorang wanita di gerai coffee shop yang ada di sebuah pusat perbelanjaan. Zara mengajak wanita tersebut bertemu guna membicarakan pertunangan yang ditolak mentah-mentah oleh Andri. Di benaknya dia sudah menyusun rencana jika lawan bicara di hadapannya ini marah terhadap keputusan putranya. Sebisa mungkin dirinya akan meyakinkan wanita ini supaya menyetujui rencananya, agar tidak berdampak buruk pada perusahaan suaminya, terutama dari segi keuangan.“Apakah Tante sudah berhasil membujuk Andri agar menyetujui pertunangan yang akan berlangsung sebulan lagi?” tanya Ruhan setelah menyesap moccachino-nya. Ruhan, wanita yang diharapkan menjadi calon menantu di keluarga Himawan oleh Zara.Dengan tatapan penuh penyesalan Zara menggeleng. “Andri tetap menolaknya. Bahkan, dengan lantang dia mengatakan akan menikahi wanita yang kini tengah menampung benihnya itu.”Jawaban yang diberikan Zara langsung membuat Ruhan tersedak minumannya. “Apa?! Andri
Zelda memegang pipinya yang terasa kebas dan rahangnya berdenyut nyeri setelah telapak tangan Luan menamparnya. Tidak bisa dibendungnya lagi butiran-butiran bening yang dengan lancang menetes dari kedua sudut matanya. Bukan diakibatkan oleh tamparan keras tersebut, melainkan kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut sang papa. Satu-satunya orang tua yang dia miliki dan hormati, meski kadang perlakuan Papanya tidak seperti waktu Mamanya masih hidup.Zelda sangat tidak menyangka jika Papanya lebih dulu mengetahui mengenai kehamilannya. Padahal sesuai rencana, dia dan Andri akan memberitahukan secara bersama-sama menyangkut kehamilannya kepada sang papa. Namun, kini semuanya telah terlambat. Kemurkaan Papanya sudah tidak terbendung, apalagi ibu tirinya seolah mendapat angin segar dan memanfaatkan keadaannya dengan terus saja melancarkan provokasinya.“Hubungi sekarang juga laki-laki yang sudah menghamilimu! Papa mau membuat perhitungan dengannya!” bentak Luan dengan waja
Andri menatap intens Zelda yang belum juga membuka kelopak matanya. Sempat terbesit kecemasan dalam benaknya, tapi rasa tersebut menghilang dan berganti dengan senyuman ketika melihat kelopak mata Zelda mulai bergerak.“Selamat pagi, Zel,” sapa Andri setelah Zelda membuka matanya perlahan. “Sekarang kamu sedang berada di sebuah klinik,” beri tahunya saat melihat Zelda masih bingung dengan keberadaannya.“Tunggu sebentar ya, aku panggilkan dokter untuk memeriksa keadaanmu.” Andri mengecup dengan lembut kening Zelda sebelum keluar ruangan.Setelah Andri meninggalkan ruangan, Zelda mengingat kembali kejadian kemarin malam saat Papanya murka karena mengetahui kehamilannya. Dia meraba sudut bibir dan rahangnya yang terasa perih serta ngilu karena tindakan kasar Papanya. Sambil menghela napas, tangan Zelda mengusap perutnya yang masih datar. Dia ingin Andri segera kembali ke ruangannya dan memberitahukan keadaan janinnya, mengingat kemarin malam dirinya terpental saat be
Usai menikmati makan siang, Zelda dan Andri kembali membahas syarat yang diajukan Luan sebelum mereka menentukan pilihannya. Andri mengembuskan napas dengan keras sehingga membuat Zelda menoleh dan menatap wajah laki-laki di sampingnya yang terlihat lelah.“Zel, kedua syarat yang diajukan Papamu masing-masing memiliki risiko besar.” Andri mengacak kasar rambutnya. “Memilih salah satunya, ibarat memakan buah simalakama,” sambungnya.“Jadi?” tanya Zelda datar pada Andri.Andri menatap Zelda lekat, kemudian menghela napas pelan sebelum menyampaikan pilihannya. “Zel, aku tidak berhak memutuskan ikatan yang kamu miliki dengan Papamu. Aku harap kamu bisa menyimpulkan syarat mana yang nantinya kupilih,” jawab Andri dengan nada sendu.Zelda sangat terharu saat mengetahui Andri lebih memikirkan hubungannya dengan sang papa, dibandingkan keadaan keuangan perusahaan orang tuanya yang tengah kurang stabil. Namun, ada perasaan bersalah dan tidak enak di lubuk hatinya, seb
Dokter belum mengizinkan Zelda pulang meski hanya sebentar ketika Andri menyampaikan permintaannya. Bukan tanpa alasan permintaan Andri ditolak, melainkan karena sang dokter tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpa Zelda dan calon anaknya. Dengan berat hati Andri pun menerima keputusan dokter tersebut, apalagi demi kebaikan calon istri dan anaknya. Dia berjanji akan segera kembali ke klinik setelah pertemuan dan pembahasan keluarganya dengan orang tua Zelda selesai.Kini Andri dan keluarganya tengah duduk berhadapan dengan orang tua Zelda, tentu saja di kediaman Pagory. Pertemuan tersebut lebih didominasi oleh pembicaraan Zara dan Daramikha, sedangkan para laki-laki hanya sesekali menimpali termasuk dirinya.Meski ekspresi Luan datar saat mendengar permintaan maaf orang tuanya karena perbuatannya, tapi Andri bisa merasakan kemarahan masih menyelimuti laki-laki seumuran Papanya tersebut. Andaikan tadi Zelda tidak memberitahunya jika calon Papa mertuanya datang ke kl