Share

Part 4

Zara duduk berhadapan dengan seorang wanita di gerai coffee shop yang ada di sebuah pusat perbelanjaan. Zara mengajak wanita tersebut bertemu guna membicarakan pertunangan yang ditolak mentah-mentah oleh Andri. Di benaknya dia sudah menyusun rencana jika lawan bicara di hadapannya ini marah terhadap keputusan putranya. Sebisa mungkin dirinya akan meyakinkan wanita ini supaya menyetujui rencananya, agar tidak berdampak buruk pada perusahaan suaminya, terutama dari segi keuangan.

“Apakah Tante sudah berhasil membujuk Andri agar menyetujui pertunangan yang akan berlangsung sebulan lagi?” tanya Ruhan setelah menyesap moccachino-nya. Ruhan, wanita yang diharapkan menjadi calon menantu di keluarga Himawan oleh Zara.

Dengan tatapan penuh penyesalan Zara menggeleng. “Andri tetap menolaknya. Bahkan, dengan lantang dia mengatakan akan menikahi wanita yang kini tengah menampung benihnya itu.”

Jawaban yang diberikan Zara langsung membuat Ruhan tersedak minumannya. “Apa?! Andri masih menolakku dan kini dia menghamili wanita lain?! Lelucon macam apa ini, Tante?” Ruhan berang dan memberikan tatapan penuh intimidasi kepada Zara yang tetap bersikap tenang di hadapannya.

“Ini bukanlah lelucon, Ruhan, tapi sebuah kenyataan pahit dan sangat mengecewakan. Kamu kira Tante senang mendengar kabar itu dan menerima dengan tangan terbuka wanita yang dihamili Andri agar menjadi menantu di keluarga Himawan? Tidak, Han. Tante sangat tidak senang. Bahkan, Tante berharap hal tersebut hanyalah mimpi buruk di siang bolong,” ucap Zara sambil menahan kesal sekaligus amarah. Dia tidak terpengaruh oleh kemarahan yang diperlihatkan wanita sexy di depannya.

“Siapa wanita itu, Tante?” tanya Ruhan menyelidik sambil mengontrol intonasi bicaranya.

“Zelda. Putri tunggal dari Luan Pagory,” Zara menjawab dengan nada yang sangat datar.

“Zel-da,” Ruhan mengulang nama wanita yang dimaksud Zara dengan penuh penekanan. Gemeletuk giginya sangat jelas terdengar setelah melihat Zara mengangguk.

“Han, saat ini Tante tidak bisa menghalangi niat Andri menikahi Zelda, sebab nanti akan berimbas pada keadaan keuangan perusahaan kami, mengingat saham yang ditanamkan Luan Pagory cukup besar,” ungkap Zara dengan berat hati. “Makanya, karena hal tersebutlah Tante mengajakmu bertemu dan membahas sebuah rencana untuk mereka,” sambungnya.

“Rencana? Rencana apa yang Tante maksud?” Ruhan menatap penuh tanya ke arah Zara.

“Rencana yang bertujuan agar pertunangan kalian bisa menjadi kenyataan, tapi tentunya setelah pernikahan Andri dengan wanita liar itu berlangsung,” beri tahu Zara sambil menyeringai. “Perlu kamu ketahui, Han, Tante tidak pernah bermimpi mempunyai menantu seperti Zelda. Wanita yang kerjaannya selalu keluar masuk kelab malam. Mau ditaruh di mana kehormatan keluarga kami jika mengharapkan dia menjadi menantu Tante,” Zara menambahkan dengan ekspresi geram.

“Lalu apa yang akan Tante lakukan agar rencana tersebut terealisasi? Ingat ya, Tante, aku tidak pernah mau berbagi apalagi berpoligami dan menjadi istri kedua. Aku bukan tipe wanita seperti menantu kedua Vanya Sakera, yang sekarang keberadaannya entah di mana,” Ruhan memperingatkan dengan tegas.

Zara tersenyum tipis. “Tentu saja kamu tidak akan berpoligami, Sayang. Lagi pula Tante juga tidak mau pusing karena memiliki dua orang menantu sekaligus, apalagi berbeda karakter. Mengenai caranya, tentu saja dengan membuat mereka tidak pernah akur dan terus menciptakan kesalahpahaman di antara keduanya.” Dengan penuh percaya diri Zara menyampaikan idenya.

Ruhan tampak berpikir dan menimbang ucapan Zara. “Apakah Tante yakin jika rencana ini berhasil dan tidak berdampak pada keadaan perusahaan kita masing-masing, mengingat Luan Pagory juga menanamkan sahamnya di tempat Papaku?” tanya Ruhan memastikan.

“Tante sangat yakin, Sayang. Kamu percayalah pada Tante,” ucap Zara meyakinkan.

“Baiklah, kalau begitu biar aku saja yang memberi tahu Papa mengenai batalnya pertunangan ini,” balas Ruhan menyetujui. “Akan tetapi, berapa lama waktu yang Tante butuhkan untuk menghancurkan dan memisahkan mereka?” tanyanya.

Zara tersenyum lebar. “Yang jelas sebelum anak Andri di rahim wanita liar itu menatap dunia,” jawabnya tegas. “Oh ya, Han, sesekali Tante akan membutuhkan bantuanmu untuk memuluskan rencana ini,” Zara melanjutkan.

Ruhan mengangguk. “Tenang saja. Dengan senang hati aku akan membantumu, Tante.”

“Baiklah, kalau begitu Tante pulang dulu.” Zara berdiri dan berpamitan dengan Ruhan yang masih setia menduduki kursinya.

“Silakan. Tante, duluan saja,” balas Ruhan sambil tersenyum tipis. “Karena kamu sudah berani menolakku mentah-mentah, maka tunggulah pembalasan dariku, Andri,” gumam Ruhan setelah Zara menjauh dari tempat duduknya.

***

Sambil menanti kedatangan Andri yang akan mengajaknya makan siang bersama, Zelda menunggu di lobi tempatnya bekerja. Sesekali dia memeriksa ponselnya menanti balasan atas pesan yang dikirimkannya kepada sang ayah. Sebenarnya dia lebih enak berbicara langsung, akan tetapi setelah nomor telepon Papanya dihubungi beberapa kali, panggilan darinya selalu saja dialihkan. Oleh karena itu dia memilih mengirimkan pesan dan apabila sudah mendapat jawaban, baru Papanya akan ditelepon lagi agar lebih jelas.

Zelda tersenyum ketika sudah melihat kedatangan mobil Andri. Dia memasukkan ponsel di tangannya ke cluth yang dibawanya. Tanpa diinstruksikan, Zelda menghampiri mobil Andri yang sudah berhenti tepat di depan lobi dan tidak lama kemudian dia pun segera masuk.

“Usai makan siang kamu akan kembali ke kantor, Zel?” Andri bertanya saat mobilnya mulai melaju dengan perlahan.

Zelda memiringkan duduknya dan menatap Andri. “Memangnya kenapa?” tanyanya balik.

Dengan sebelah tangannya yang sengaja dilepaskan dari kemudi mobil, Andri menyentil pelan kening Zelda. “Bisa tidak, kalau ditanya jangan membalasnya dengan pertanyaan kembali? Kamu hanya cukup menjawabnya, ya atau tidak,” protes Andri.

Zelda terkekeh mendengar protes laki-laki di sampingnya, yang raut wajahnya terlihat masam. “Maaf, maaf. Aku harus kembali ke kantor karena masih ada pekerjaan yang menungguku,” jawab Zelda pada akhirnya. Dia menarik sebelah tangan Andri yang tadi digunakan menyentil keningnya, kemudian menciumnya bertubi-tubi sebagai ungkapan permintaan maaf.

“Ah,” Andri mendesah kecewa dengan jawaban Zelda.

“Kenapa?” tanya Zelda penasaran. “An, kita makan siang di restoran seafood saja ya. Aku ingin menikmati ikan bakar sambal matah,” sambungnya. Dia berulang kali menelan salivanya saat membayangkan lezatnya ikan bakar bertabur sambal matah yang pedas dan segar karena perasan jeruk nipis.

“Zel, sepertinya kamu sudah mulai ngidam,” Andri mengomentari permintaan wanitanya. Dia menggeleng dan terkekeh saat melihat Zelda berulang kali menelan saliva karena saking inginnya menikmati menu tersebut.

“Bisa jadi. Dari beberapa hari ini aku tergila-gila dengan olahan ikan laut, padahal dulu paling anti,” balas Zelda setelah meneguk air mineral yang ada di mobil Andri. “Oh ya, pertanyaanku belum dijawab. Kenapa kamu mendesah kecewa begitu tadi?” Zelda kembali menanyakan pertanyaan yang belum mendapat jawaban.

Andri tersenyum. Sebelah tangannya mengelus perut Zelda yang masih datar. “Jangan buat Mama ngidam yang aneh-aneh ya, Sayang,” pintanya kepada calon anaknya.

“Kalau Mama ngidamnya aneh-aneh, sudah ada Papa yang harus memenuhinya.” Seolah sang anak mendengar permintaan Papanya, Zelda pun mewakilinya menjawab dengan nada khas anak kecil. “An, cepat jawab pertanyaanku. Jangan membuatku dilanda rasa penasaran,” pinta Zelda menuntut dengan ekspresi cemberut.

Andri kembali terkekeh melihat wajah cemberut Zelda. “Kalau kamu tidak kembali ke kantor, aku ingin mengajakmu ke tempat Feby melihat-lihat cincin untuk pernikahan kita nanti,” beri tahunya.

“Feby? Kenapa harus ke tempat Feby? Rindu dengan keadaan sang mantan?” selidik Zelda tanpa mengalihkan tatapannya.

Andri menyengir dan mengusap-usap belakang lehernya. “Dave merekomendasikan tempat Feby saat aku bertanya padanya tadi. Katanya desain perhiasan di tempat Feby sangat bagus. Dave juga mengatakan jika saat pernikahannya, dia membeli perhiasan di sana untuk kedua istrinya,” Andri menjelaskan sambil memerhatikan jalanan di depannya. “Katanya lagi, desain cincin untuk pernikahannya yang kedua sangat sederhana, tapi berhasil membuatnya jatuh cinta kepada pemakainya,” sambungnya kembali.

“Oh, aku kira kamu sengaja ingin ke tempat Feby karena ada tujuan terselebung. Seperti merindukannya mungkin,” goda Zelda sambil terkekeh. “Apakah kamu juga ingin jatuh cinta padaku, seperti Dave kepada istri keduanya setelah memakai cincin pernikahan desain dari Feby?” selidik Zelda dengan nada menggoda.

“Zelda,” Andri geram karena tidak terima diejek sekaligus digoda. Dia mencubit pipi Zelda sehingga langsung membuat wanita itu menampar tangannya. “Feby sudah menjadi milik orang dan dia juga sekarang hanya masa laluku,” tekannya sambil membelai pipi yang tadi dicubitnya.

“Ngomong-ngomong mengenai Dave, bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia sudah menemukan keberadaan istri dan anaknya?” Zelda mengalihkan pembahasan.

Andri mengembuskan napas. “Dilihat dari keadaannya, aku perkirakan dia belum berhasil menemukan istri dan anaknya. Oh ya, aku bahkan sampai lupa dengan wajah istri keduanya itu,” jawab Andri.

“Sama. Aku juga sudah lupa. Dulu Dave tidak pernah membawa istri keduanya jika menghadiri sebuah acara. Paling yang selalu diajak si Keisha. Oh ya, aku juga tidak menyangka jika hidup Keisha berakhir tragis. Kasihan Dave dan Keisha, rumah tangga mereka hancur lebur. Namun, aku merasa jauh lebih iba terhadap nasib istri kedua dan anaknya yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya,” Zelda menimpali. “An, siapa nama istri kedua Dave? Aku benar-benar lupa,” lanjutnya.

Andri tampak berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan Zelda. “Kalau tidak salah namanya Titha. Ya, benar Titha namanya. Tadi juga Dave menyebut nama tersebut berulang kali.”

Zelda mengangguk. “Semoga saja mereka cepat dipertemukan. Namun, yang terpenting Titha mau memaafkan semua kesalahan Dave dan mereka kembali membina rumah tangga serta menjadi orang tua yang disegani oleh anak-anaknya kelak.”

Andri menyetujui. “Kamu jangan hanya berdoa untuk mereka saja, tapi kita juga. Sebentar lagi buah hati kita juga akan lahir,” ucap Andri sambil memelankan laju mobilnya saat sudah memasuki parkir sebuah restoran seafood.

“Tentu saja aku juga berdoa untuk kebahagiaan rumah tangga kita dan si kecil,” balas Zelda sambil mengelus perutnya. “An, aku tidak mengerti dengan perasaanku sekarang. Apakah rasa yang kini membuncah di dalam diriku hanya karena pengaruh hormon kehamilan saja?” tambahnya dalam hati.

***

Matahari sudah berpindah ke barat, menandakan hari sudah memasuki sore. Karena hari ini weekend, jam pulang kerja di kantor Zelda pun lebih cepat dari biasanya. Sesuai kesepakatannya dengan Andri, setelah jam kantor berakhir mereka akan langsung ke tempat Feby untuk melihat koleksi desain cincin pernikahan. Agar wajah lelahnya terlihat lebih segar setelah menyelesaikan tumpukan pekerjaannya, Zelda membasuhnya di toilet khusus karyawan dan memolesnya kembali dengan make up tipis.

Puas melihat tampilan wajahnya yang sudah lebih segar di cermin, Zelda mengalihkan perhatiannya saat mendengar ringtone ponselnya. “Iya, An,” sapanya sambil sekali lagi merapikan rambutnya menggunakan sebelah tangan.

“Sepertinya aku tidak tepat waktu menjemputmu karena masih mengantri di SPBU. Jam kantormu sudah bubar?” Andri memberitahukan keterlambatannya terlebih dulu agar Zelda tidak marah.

“Tidak apa, An. Jam kantorku sudah bubar, tapi aku masih di toilet sedang membasuh wajah,” jawab Zelda sambil bersiap meninggalkan toilet setelah memastikan penampilannya sempurna.

“Sama siapa?” tanya Andri cepat.

Zelda tersenyum mendengar nada khawatir calon suaminya. “Sendirian saja, tapi kamu tidak perlu khawatir karena aku sudah akan meninggalkan toilet,” ucapnya menenangkan.

“Baiklah, tunggu aku sebentar lagi,” pinta Andri.

“Iya, aku akan setia menunggu kedatanganmu,” balas Zelda dan ikut terkekeh saat mendengar kekehan di seberang sana. “Aku matikan teleponnya ya, An.” Zelda langsung memutus sambungan teleponnya setelah Andri menyetujuinya.

***

Feby tidak henti-hentinya tersenyum geli dan menggeleng saat melihat calon pasangan pengantin di depannya. Dia tidak menyangka jika wanita yang akan menjadi pendamping mantan kekasihnya adalah salah satu teman sekaligus rivalnya dulu. Wanita yang dulu sangat dicemburuinya sewaktu dia dan Andri masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.

“Feb, berhenti menatapku seperti itu! Aku tahu apa yang sekarang berkelebat dalam pikiranmu,” tegur Zelda ketus saat melihat senyum Feby yang dianggap mengejeknya.

“Jangan dulu berprasangka buruk padaku, Zel,” balas Feby sambil tersenyum lebih lebar.

“An, bukankah kedatangan kita ke sini untuk melihat cincin pernikahan? Sebaiknya kita segera melihatnya, agar tidak terlalu banyak membuang waktu,” ucap Zelda pada Andri yang dari tadi hanya diam dan terlihat canggung saat berhadapan dengan Feby.

Bukannya tersinggung dengan makna terselubung atas perkataan Zelda, Feby malah tidak bisa menahan diri lagi untuk memendam tawanya. “An, sepertinya calon istrimu tidak betah berlama-lama berada di sini dan melihatku,” godanya sambil mengerling ke arah Zelda yang kembali memberinya tatapan tajam.

Tanpa sadar Andri ikut mengulum senyum saat melihat ekspresi wajah Zelda. Dengan cepat dia merangkul pinggang Zelda dan mengecup pipinya tanpa perlu merasa malu melakukannya di depan Feby. “Feb, kami mau melihat desain-desainmu,” ucapnya pada Feby yang mengangguk.

“Ayo, kalian ikuti aku,” ajak Feby dan mendahului berjalan. “Sungguh, aku belum percaya jika ternyata kalian akan menikah dan menjadi suami istri,” Feby kembali menyuarakan ketidakpercayaannya.

“Mungkin ini yang dinamakan dengan jodoh dan takdir, Feb,” Andri menanggapi dengan gamang. Dia tersenyum kecut karena Feby tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya.

“Feb, bukan berarti aku menjadi wanita perebut mantan kekasih orang ya,” celetuk Zelda asal.

Feby membalik badan dan mengernyit, mencoba mencerna celetukan Zelda, begitu juga dengan Andri yang menatap wanita di sampingnya karena tidak mengerti akan maksud ucapan tersebut. Namun, tidak lama kemudian, Feby terbahak setelah menelaah celetukan temannya itu. Bahkan, karena menilai saking konyolnya perkataan Zelda sehingga membuat kedua sudut matanya berair.

“Zel, yang namanya mantan, siapa pun boleh memilikinya. Dan hingga kini belum ada istilah wanita perebut mantan kekasih, suami, atau istri orang,” ucap Feby yang masih menertawakan celetukan asal Zelda. Tidak mau tawanya terus menggema, dia kembali melanjutkan langkahnya.

Andri menyentil kening Zelda setelah mengerti celetukannya. “Dasar kamu, aneh-aneh saja. Karena sudah menjadi mantan Feby dan tidak terikat dengan siapa-siapa, makanya aku berani menjalin hubungan bersamamu,” Andri menimpali sambil melirik Feby yang berjalan mendahului mereka hanya menggeleng. “Terlebih kita sudah intens melakukan kegiatan layaknya pasangan suami istri di atas ranjang. Bahkan, kini kamu telah mengandung benihku sebagai hasil kegiatan rutin kita,” tambahnya berbisik agar tidak didengar oleh Feby.

“Diam! Jangan membahas urusan ranjang di sini,” hardik Zelda pelan dan mereka tetap berjalan mengekori Feby.

“Semoga kalian memang berjodoh dan ditakdirkan bersama dalam membina rumah tangga, seperti diriku yang sudah mendapat kebahagiaan atas kehadiran suami serta buah hatiku,” ucap Feby dalam hati. Dia berdoa untuk kebahagiaan laki-laki yang pernah singgah di hatinya.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status