Share

Part 9

Usai menikmati makan malam di salah satu restoran pilihannya, Andri mengajak Zelda ke kediaman Himawan. Andri melakukannya bukan tanpa dasar, melainkan sesuai dengan permintaan sang ibu kemarin malam di vila setelah acara resepsi pernikahan mereka selesai. Sebenarnya Zara meminta Andri ke kediaman Himawan saat pagi hari, tapi dia malas melakukannya. Andri lebih memilih menikmati waktu pagi hingga sore harinya bersama Zelda di vila, mumpung mereka hanya berdua. Walau tidak bisa mengurung Zelda seharian di dalam kamar seperti kebanyakan pengantin baru, tapi mereka memanfaatkan waktunya untuk menikmati keindahan pemandangan di sekitar vila.

Kini untuk pertama kalinya, Zelda berada di dalam kamar pribadi Andri. Meski sudah sering tinggal dan tidur seranjang di apartemen Andri, tapi Zelda tetap merasa canggung saat berada di dalam kamar pribadi suaminya tersebut. Mulai sekarang kamar ini akan menjadi tempat ternyamannya beristirahat, terlebih bersama Andri.

“Kamu menyukai suasana dan interior kamarku?” tanya Andri berbisik. Kedua lengannya kini memeluk pinggang Zelda dari belakang.

Andri terkekeh saat merasakan tubuh Zelda menegang sekaligus terkejut karena pertanyaan dan tindakannya yang tiba-tiba. Bukannya meminta maaf atas perbuatannya, Andri malah menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Zelda. Bahkan, dia dengan lancang memberikan kecupan berulang kali dan menyesapnya.

“An, hentikan!” Zelda menahan kepala Andri dan mencoba menjauhkannya meski susah payah, karena tubuhnya telah terangsang atas tindakan suaminya itu, mengingat leher adalah salah satu titik sensitifnya.

“Kamu belum mandi ya?” tanya Andri dan mulai mengendus-ngendus tubuh Zelda.

“Memangnya tubuhku bau ya?” Zelda mencoba mencium aroma tubuhnya sendiri, terutama bagian ketiaknya.

“Bukan bau, tapi aroma yang sudah membuatku tergoda dan berhasil membangunkan sesuatu di bawah sana,” Andri berbisik, kemudian meniup beberapa kali daun telinga Zelda.

“Andri!” Zelda kembali menegur Andri. Dia pun membalikkan badannya agar bisa berhadapan dengan suaminya. Dengan cepat dia menutup mulut Andri menggunakan telapak tangannya saat suaminya tersebut ingin mencium bibirnya. “An, besok lusa aku sudah kembali bekerja, tidak enak kalau kelamaan libur,” beri tahunya.

Zelda memang tidak memberitahukan pernikahannya kepada rekan-rekan kerjanya, karena dia berniat resign setelah beberapa minggu menikah. Dia sengaja melakukannya agar latar belakangnya yang dari keluarga terpandang tidak terbongkar.

“Zel, demi kesehatanmu dan kandunganmu, aku mohon berhentilah bekerja. Biar aku saja yang mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan kalian. Gunakan saja waktumu untuk beristirahat lebih banyak, agar anak kita di dalam sini tetap sehat,” Andri menyarankan seraya mengusap perut Zelda.

“Tapi ….”

Andri meletakkan telunjuk kanannya di bibir Zelda. “Aku tidak ingin dibantah. Tolong mengertilah. Kamu telah resmi menjadi istriku, dan sudah kewajibanku harus bertanggung jawab terhadap hidupmu. Hal ini aku lakukan demi kebaikan kalian berdua,” Andri kembali memberikan pengertian kepada Zelda dengan lembut.

Zelda menghela napas, kemudian mengangguk. “Ngomong-ngomong, sampai kapan kita akan tinggal di sini?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Kemarin dia belum sempat menanyakannya kepada sang suami. “Jujur, aku merasa kurang nyaman tinggal di sini, apalagi tatapan ibumu yang sepertinya tidak menyukai keberadaanku di rumah ini,” Zelda mengatakan dengan jujur yang tengah dirasakannya.

“Secepatnya kita akan pindah dari sini dan tinggal di apartemen, tapi untuk saat ini kamu bertahan dulu ya. Jangan terlalu dimasukkan ke hati sikap atau perkataan orang tuaku, terutama Mamaku,” pinta Andri agar Zelda berlapang dada menghadapi sikap orang tuanya.

“Baiklah, aku akan mencoba bersabar dan mengabaikan sikap tidak bersahabat mereka,” Zelda menyetujui meski dengan perasaan berat hati. “Kalau begitu aku mau mandi dulu,” imbuhnya.

Andri menahan tangan Zelda yang hendak menuju kamar mandi. “Kita mandi bersama dan bantu aku menggosok punggung,” ajaknya sambil menyeringai.

Tanpa memedulikan pelototan mata Zelda, Andri langsung menggendong tubuh sang istri dan membawanya ke kamar mandi. Untung saja kamarnya kedap suara, jadi pekikan Zelda tidak akan terdengar di luar.

***

Luan dan Daramikha menikmati sarapannya seperti biasa, sebelum mereka sibuk melakukan aktivitas masing-masing. Selama sarapan berlangsung, tidak banyak yang Luan dan Daramikha bicarakan. Luan terlihat serius membaca koran yang memang sudah tersedia di atas meja makan.

Sambil menyantap pisang bakar buatan Bi Yuni yang masih hangat, Daramikha melirik suaminya melalui sudut matanya. Dia ingin memulai obrolan dengan topik sang anak tiri yang baru kemarin melepas masa lajangnya. Setelah menelan kunyahan pisang bakarnya, Daramikha membuka suara, “Pa, nanti siang Mama akan ke kantor Papa. Kita makan siang bersama.”

“Boleh,” jawab Luan sambil melipat koran dan menaruhnya. “Masih belum sesempurna buatan Diana,” gumam Luan saat kembali menikmati pisang bakar buatan Bi Yuni.

“Papa bilang apa?” tanya Daramikha karena tidak jelas mendengar gumaman suaminya.

“Ah tidak, pisang bakarnya enak,” Luan berkilah tanpa menatap sang istri. “Oh ya, kenapa Mama jarang menyiapkan sarapan untuk kita?” tanyanya ingin tahu.

“Bosan, Pa. Lagi pula sudah ada Bi Yuni, jadi buat apa Mama harus repot-repot ikut menyiapkan sarapan. Kalau Mama sendiri yang menyiapkan sarapan, percuma jadinya kita bayar orang untuk mengerjakan pekerjaan di rumah ini,” jawab Daramikha dengan santainya. Dia tidak menyadari perubahan singkat ekspresi wajah suaminya.

Luan hanya manggut-manggut menanggapinya. “Ngomong-ngomong, bagaimana perkembangan sanggar senam Mama?” Luan kembali bertanya, kali ini menanyakan kegiatan sang istri mengenai pekerjaannya.

“Masih berjalan, Pa. Namun beberapa bulan ke belakang, yang datang tidak terlalu banyak. Mungkin penyebabnya karena sekarang tengah menjamurnya sanggar-sanggar senam baru,” beri tahu Daramikha. “Oh ya, Pa, Mama saat ini tengah jenuh mengelola sanggar, dan ingin mencoba berkecimpung di bidang butik,” sambungnya hati-hati.

Luan menaikkan satu alisnya. “Ma, di dunia bisnis tidak mengenal kata jenuh dalam mengelola usaha yang digeluti. Meskipun pada kenyataannya ada, maka si pemilik seharusnya sudah mempunyai siasat untuk menghadapi situasi tersebut,” ucap Luan. “Sekarang ini butik juga tengah menjamur. Kalau mau melakoni bidang tersebut, berarti Mama harus memulainya dari nol lagi,” imbuhnya.

“Mama bisa mengelola butik mendiang Diana, jadi Mama tidak harus memulainya dari nol lagi, Pa. Lagi pula saat ini Zelda pasti tidak sempat mengelola butik tersebut, mengingat dia tengah mengandung,” Daramikha menanggapi ucapan suaminya dengan alasan yang cukup masuk akal.

Meski sempat terkejut mendengar tanggapan Daramikha, tapi Luan tidak memperlihatkannya. “Mama kalah cepat. Zelda sudah menjual butik tersebut beserta namanya,” beri tahunya santai sambil meneliti ekspresi wajah sang istri.

Pupil mata Daramikha membesar saat mengetahui kenyataan bahwa butik yang selama ini menjadi incarannya sudah berpindah kepemilikan. Seketika kekesalannya pun kian bertambah kepada Zelda. “Kenapa Papa membiarkan Zelda menjual butik mendiang ibunya sendiri?” tanyanya tanpa bisa menyembunyikan kekesalannya.

Bersikap tak acuh, Luan hanya mengangkat kedua bahunya. “Aku tidak mempunyai wewenang menghentikan tindakan Zelda, sebab Diana memang mewariskan langsung butik tersebut kepada anaknya. Zelda mempunyai kuasa penuh atas nasib butik yang diwariskan oleh mendiang ibunya, dan aku tidak berhak ikut campur di dalamnya.” Luan masih setia memerhatikan ekspresi wajah Daramikha yang memerlihatkan keterkejutan sekaligus tidak terima. “Semua yang berhubungan dengan Diana, biarlah untuk sementara waktu aku sembunyikan dulu. Jika sudah tiba waktunya, maka aku akan memberikannya kepada orang yang paling berhak menerimanya,” sambungnya dalam hati.

“Papa sarankan, sebaiknya Mama kembali fokus mengelola sanggar senam itu, dan buatlah ide-ide kreatif yang nantinya bisa menarik minat pengunjung. Jangan menyerah hanya karena persaingan, tapi jadikanlah situasi tersebut sebagai pecut untuk memotivasi diri agar lebih maju,” Luan menyarankan sambil tersenyum hangat.

Daramikha mengangguk dan ikut tersenyum mendengar saran suaminya, meski sangat bertolak belakang dengan isi hatinya. “Buat apa aku harus repot memikirkan ide-ide kreatif untuk perkembangan sanggar itu, jika rekeningku tetap mendapat pemasukan setiap bulannya,” ucapnya dalam hati.

***

Sesuai kesepakatannya dengan Andri kemarin malam, hari ini Zelda akan ke kantor untuk mengutarakan keinginannya resign. Jika atasannya menyetujui, maka dia langsung menyerahkan surat pengunduran diri yang telah dibuatnya.

Layaknya seorang istri yang berbakti kepada suaminya, Zelda membantu Andri memilih setelan kantor dan membuatkannya simpul dasi.

“Terima kasih.” Andri mendaratkan kecupan lembut di kening dan bibir Zelda setelah dasinya terpasang sempurna.

“Kembali kasih.” Zelda membalas kecupan lembut tersebut sambil mengalungkan tangannya pada leher Andri. “Gara-gara terlalu lelap tidur dalam dekapanmu, aku sampai melupakan kewajibanku sebagai menantu di keluarga ini,” gerutunya sambil memanyunkan bibirnya.

Andri terkekeh dan kembali mengecup bibir Zelda. “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Setelah menyelesaikan semua urusanmu di kantor dan menanggalkan predikatmu sebagai wanita karier, kamu bisa setiap hari menjalankan kewajibanmu sebagai menantu di rumah ini. Bahkan, kamu juga bisa membantu menyiapkan sarapan, makan siang, dan malam,” Andri menenangkan.

“Semoga saja aku tidak dianggap sebagai menantu pemalas oleh orang tuamu, terutama Mamamu,” Zelda menanggapi perkataan suaminya dengan nada sedih.

Andri mengangguk. “Ayo kita turun dan sarapan bersama mereka,” ajaknya sambil merangkul pundak sang istri dan menggiringnya berjalan menuju ruang makan di lantai satu.

***

Setibanya di lantai satu, mereka melihat Zara dan Ivan sudah berpakaian rapi serta tengah berjalan menuju pintu utama rumah tersebut.

“Ma, Pa, kalian mau ke mana?” tanya Andri sambil mengerutkan kening.

“Kami akan sarapan bersama Ruhan dan orang tuanya,” jawab Zara sambil menyunggingkan senyum sinisnya yang dialamatkan kepada Zelda setelah berbalik.

Seketika pupil mata Andri membesar saat mendengar jawaban ibunya.

“Ruhan?” Zelda mengulang nama yang diucapkan oleh ibu mertuanya.

“Iya Ruhan. Wanita yang lebih pantas bersanding dengan putraku dan menjadi menantu di keluarga ini dibandingkan kamu,” Zara menanggapi perkataan Zelda dengan sangat sarkatik.

“Ayo, Ma, sebaiknya kita berangkat sekarang. Tidak enak jika Ruhan dan orang tuanya terlalu lama menunggu kedatangan kita,” ajak Ivan dan mendahului istrinya menuju mobil yang telah terparkir di halaman rumahnya.

“Iya, Pa. Aku juga tidak mau membuang-buang waktuku hanya untuk berbicara panjang lebar dengan wanita liar yang tengah berdiri di samping putraku.” Setelah berkata demikian, Zara bergegas menyusul suaminya. Dia tidak memedulikan reaksi wajah pasangan pengantin baru saat mendengar hinaannya, terlebih Zelda.

Zelda tertawa sumbang sebelum mendahului Andri ke meja makan. “Wanita liar. Predikat baru yang aku sandang dan diberikan langsung oleh ibu mertuaku sendiri. Hebat sekali kamu, Zelda Kinarya, karena berhasil menyandang predikat-predikat yang sungguh mengagumkan,” ejeknya pada diri sendiri.

“Maafkan perkataan dan sikap Mamaku ya, Zel.” Andri merasa sangat bersalah terhadap kelakuan ibunya. Dia juga sangat terkejut atas perkataan sarkasme yang terlontar dari mulut sang ibu.

Zelda berdecih. “Apakah kamu tidak berniat memberi suatu predikat kepada wanita liar yang telah resmi menjadi istrimu ini?” tanyanya tanpa menatap Andri yang telah duduk di sampingnya.

Andri menatap Zelda yang tengah meneguk air mineral. “Zel, jangan samakan aku dengan mereka yang memberimu predikat negatif. Predikat yang akan aku berikan kepadamu itu hanya dua, istriku dan ibu dari anakku.”

Untuk menenangkan sedikit emosi sekaligus kekesalan yang bergemuruh di dalam hati Zelda, Andri langsung memeluk pinggang istrinya dari samping. “Anggap saja angin lalu semua perkataan dan sikap Mamaku, Zel,” pintanya kembali.

Tidak ingin dilihat oleh asisten rumah tangga Andri, Zelda pun mengindahkan permintaan suaminya tersebut. “Sudahlah. Ayo kita sarapan, setelah itu antar aku ke kantor.” Dia menutup topik pembicaraan yang bisa semakin merusak mood-nya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status