Share

Part 7

Usai menikmati makan siang, Zelda dan Andri kembali membahas syarat yang diajukan Luan sebelum mereka menentukan pilihannya. Andri mengembuskan napas dengan keras sehingga membuat Zelda menoleh dan menatap wajah laki-laki di sampingnya yang terlihat lelah.

“Zel, kedua syarat yang diajukan Papamu masing-masing memiliki risiko besar.” Andri mengacak kasar rambutnya. “Memilih salah satunya, ibarat memakan buah simalakama,” sambungnya.

“Jadi?” tanya Zelda datar pada Andri.

Andri menatap Zelda lekat, kemudian menghela napas pelan sebelum menyampaikan pilihannya. “Zel, aku tidak berhak memutuskan ikatan yang kamu miliki dengan Papamu. Aku harap kamu bisa menyimpulkan syarat mana yang nantinya kupilih,” jawab Andri dengan nada sendu.

Zelda sangat terharu saat mengetahui Andri lebih memikirkan hubungannya dengan sang papa, dibandingkan keadaan keuangan perusahaan orang tuanya yang tengah kurang stabil. Namun, ada perasaan bersalah dan tidak enak di lubuk hatinya, sebab gara-gara dia perusahaan Himawan akan kehilangan investor serta modal usaha.

“An, aku akan membalas tindakanmu yang lebih memilihku dibanding saham-saham Papaku di perusahaan orang tuamu. Aku juga bisa melakukan hal yang sama sebagai ucapan terima kasihku,” ucap Zelda dalam hati.

“Siapa?” Zelda bertanya saat mendengar ponsel Andri berbunyi sehingga membuatnya mengurungkan keinginannya untuk berterima kasih.

“Mamaku,” jawab Andri setelah melihat nama orang yang menghubunginya. “Aku angkat sebentar ya, Zel. Kamu kembalilah beristirahat,” Andri menambahkan sambil beranjak dari duduknya. Dia mencium kening Zelda sebelum keluar ruangan untuk mengangkat telepon yang masih berdering.

Zelda mengangguk dan memberikan senyum tipisnya. Dia harus mencari cara untuk bisa membujuk Luan agar tidak benar-benar menarik sahamnya di perusahaan Himawan. Dia tidak mau dianggap membawa kesialan di keluarga calon suaminya.

***

“Iya, Ma,” Andri menjawab telepon dari Zara setelah berada di luar ruang rawat Zelda.

“Di mana kamu, An?” tanya Zara usai melakukan pertemuan dengan Daramikha.

“Memangnya ada apa, Ma?” Andri balik bertanya tanpa lebih dulu menjawab pertanyaan sang ibu.

“Ke rumah sekarang! Ada yang serius ingin Mama bicarakan mengenai hubunganmu dengan wanita liar itu.” Setelah mengatakan itu Zara langsung memutus sambungan teleponnya. Dia tidak ingin mendengar tanggapan Andri mengenai sebutan kasarnya untuk Zelda.

“Ada apa lagi ini?” Andri bertanya kesal pada dirinya sendiri setelah mendengar perintah Mamanya yang dinilai sangat otoriter.

Setelah memasukkan ponsel ke saku celana selututnya yang berwarna cokelat, Andri mengusap-usap tengkuk kepalanya sebelum kembali ke ruangan Zelda.

“Kenapa melamun?” tegur Andri setelah berada di dalam ruangan dan melihat Zelda hanya menatap langit-langit yang bewarna putih.

“Siapa yang melamun, An?” sahut Zelda tanpa mengubah posisinya. “Aku tidak melamun, hanya saja mataku yang sulit terpejam,” kilahnya.

“Alasan.” Andri mengecup ringan bibir Zelda. “Pasti kamu ingin aku temani tidur ya?” godanya dan mulai menggeser tubuh Zelda agar lebih ke tengah ranjang, kemudian dia ikut berbaring di sampingnya.

“An, turun! Aku tidak mau kita dilihat oleh salah satu perawat di sini jika mereka tiba-tiba masuk,” protes Zelda dan berusaha menjauhkan tubuhnya yang mulai didekap oleh Andri.

“Kamu tenang saja, pintunya sudah aku kunci. Jika ada perawat atau dokter yang masuk memeriksa keadaanmu, mereka harus mengetuk pintunya terlebih dulu. Sekarang kamu tidurlah, biar kesehatanmu cepat pulih dan segera bisa pulang.” Andri tidak mengindahkan upaya Zelda yang terus saja ingin menjauhkan tubuhnya, malah dia semakin berusaha mendekap calon istrinya tersebut.

“An, ponselku mana?” Zelda menanyakan keberadaan ponselnya yang tadi dibawakan Bi Yuni kepada Andri.

“Di laci nakas. Jangan main ponsel dulu,” tegur Andri setelah memberitahukan keberadaan ponsel Zelda. “Ayo tidur,” ajaknya kembali.

“Baiklah, Papa.” Zelda menghirup aroma tubuh laki-laki yang kini mendekapnya.

***

Daramikha menyambangi Luan yang tengah memeriksa dokumen dari sekretarisnya di ruang kerjanya. Dia ingin memberitahukan mengenai kedatangan keluarga Himawan saat makan malam nanti.

“Apakah Papa masih sibuk?” tanya Daramikha setelah berada di ruang kerja Luan.

Luan mengangkat kepala yang tadinya menunduk setelah mendengar pertanyaan sang istri. “Memangnya kenapa? Apa ada hal penting?” tanyanya balik dan kembali melanjutkan memeriksa dokumennya.

“Tentu saja ada, Pa. Nanti malam keluarga Himawan akan datang untuk membicarakan masalah Zelda dan putra mereka,” beri tahu Daramikha langsung. Dia bisa merasakan bahwa suaminya tengah enggan berbasa-basi dengan siapa pun, termasuk dirinya.

“Hanya itu? Jika iya, tolong tinggalkan ruangan ini. Masih ada banyak dokumen yang harus aku periksa,” usir Luan secara halus kepada Daramikha.

Ingin rasanya Daramikha marah karena Luan berani mengusirnya, tapi mengingat saat ini suasana hati suaminya sangat kacau, jadi dia memakluminya. “Jangan melupakan waktu istirahatmu, Sayang,” ucapnya mengingatkan. Dia mendaratkan kecupan ringan pada pelipis sang suami sebelum meninggalkan ruang kerja tersebut.

Baru beberapa menit Daramikha meninggalkan ruangannya, Luan menerima sebuah pesan dari sang anak. Ternyata Zelda memintanya datang sebentar ke klinik. Andaikan Luan lupa mengenai kondisi Zelda saat ini, dia tidak akan mau menuruti permintaan anaknya tersebut. Tanpa mengirimkan balasan, dia menyudahi memeriksa dokumen yang masih menumpuk di atas meja kerjanya, kemudian beranjak dari kursinya.

***

Zelda menghela napas saat pesannya tidak dibalas, tapi dia yakin jika sang papa telah membacanya. Saat tadi Andri berpamitan akan pulang ke rumah karena orang tuanya ingin membahas sesuatu, Zelda segera menghubungi Papanya untuk membicarakan syarat yang hendak dipilih oleh calon suaminya.

Zelda menoleh saat mendengar pintu terbuka dan langkah kaki memasuki ruangannya. Dia memperbaiki posisi duduknya dan memaksakan tersenyum saat laki-laki yang sangat dihormati, berjalan mendekati ranjangnya dengan ekspresi datar.

“Silakan duduk, Pa,” Zelda mempersilakan dengan nada gugup.

“Sebaiknya langsung saja katakan pilihanmu terhadap syarat yang Papa ajukan,” ucap Luan setelah menduduki kursi yang ada di samping ranjang Zelda.

Zelda menghela napas ketika melihat sikap Papanya. “Andri tidak mau memutuskan hubunganku dengan orang tuaku, jadi dia merelakan saham yang Papa tanamkan di perusahaannya ditarik kembali.” Tanpa berbasa-basi Zelda langsung memberi tahu Luan.

“Pilihan yang tepat. Berarti laki-laki tersebut serius denganmu, bukan menghamilimu hanya demi harta,” balas Luan sehingga membuat Zelda terenyak mendengarnya.

“Jadi, Papa menilai Andri sebagai laki-laki yang silau harta? Dengan menghamiliku sebagai salah satu caranya untuk memperoleh harta Papa? Kenapa pikiran Papa sempit dan picik sekali?” Zelda tidak menyangka jika maksud sang papa memberinya kedua syarat tersebut karena harta.

“Perlu kamu ingat baik-baik, Zel, air mengalir itu selalu ke hilir bukan ke hulu, begitu juga dengan sifat seseorang. Karena kamu sudah memutuskan, setelah menikah kalian harus tinggal bersama Papa untuk menghindari niat-niat terselubung dari calon suamimu itu,” Luan mengatakannya tanpa ekspresi sehingga semakin membuat Zelda heran dan kesal.

“Jika aku tidak mau?” Karena tersulut emosi, Zelda berani menantang sang papa. “Bukankah sudah sewajarnya anak perempuan mengikuti di mana suaminya tinggal setelah menikah? Apakah dulu saat Papa dan Mama menikah, kalian diminta tinggal di rumah orang tua Mama?” cecar Zelda.

“Zelda!” hardik Luan. “Ternyata benar yang ibu tirimu katakan, bahwa kamu kini sudah menjadi anak pembangkang dan sulit diatur. Bahkan, sopan santunmu terhadap orang yang usianya jauh lebih tua sudah tidak ada,” sambungnya.

Zelda mendengkus. “Wajar aku menjadi anak pembangkang karena diriku bukan robot yang seenaknya saja bisa diatur, terlebih oleh wanita bermuka dua seperti istri Papa itu,” balas Zelda tanpa takut.

“Zelda, jaga mulutmu! Walau bagaimanapun wanita yang kamu maki itu, kini sudah menjadi istriku sekaligus ibumu juga.” Emosi Luan mulai tersulut, dia menatap nyalang putri semata wayangnya.

“Pada kenyataannya wanita itu memang istri Papa, tapi bukan berarti dia bisa menjadi ibuku. Ibuku hanya satu, dan beliau adalah Diana. Selamanya hanya Diana seorang yang menjadi ibuku!” Meski mata Zelda sudah berkaca-kaca, tapi dia dengan lantang membalas ucapan Papanya.

Zelda menggigit bibir bawahnya saat telapak tangan Luan kembali menampar pipinya karena ucapannya. Dia menahan nyeri yang kembali dirasakannya, terutama pada hatinya. “Sejak menikahi wanita itu, sudah berulang kali tangan hangat Papa menamparku. Betapa hebatnya pengaruh wanita bernama Daramikha itu terhadap sikap dan kepribadianmu, Pa. Namun, meski demikian aku tetap akan menghargaimu sebagai orang tuaku, tapi tidak dengan istrimu itu, Papa.” Zelda segera menyusut air matanya setelah mengatakan yang ada dalam benaknya.

“Pa, sebagai anakmu bolehkah aku meminta sebuah permintaan? Bukankah selama kepergian Mama, aku tidak pernah meminta apa pun kepada Papa?” Zelda kembali bersuara setelah mengatur napasnya yang mulai terasa menyesaki rongga dadanya.

“Katakan,” Luan mempersilakan dengan nada dingin dan tanpa menatap wajah Zelda.

Zelda menarik napasnya dalam-dalam sebelum menyampaikan permintaannya. “Jangan tarik saham Papa di keluarga Himawan, sebagai gantinya aku akan menyerahkan kepemilikan butik pemberian Mama untuk Papa kelola sepenuhnya. Jika itu belum cukup, tidak usah mencantumkan namaku sebagai ahli waris Papa kelak.” Walau terasa berat saat menyerahkan peninggalan mendiang sang ibu, tapi Zelda terpaksa melakukannya agar tidak menimbulkan kekacauan di keluarga Andri.

Luan tercengang mendengar permintaan sang anak, tapi dia tidak mau memedulikannya karena egonya melarang. “Dengan kata lain, berarti kamu lebih memilih memutuskan hubungan kita?”

Zelda tersenyum getir. “Sedikit pun aku tidak pernah berniat ingin memutuskan hubungan dengan orang tua kandungku sendiri, apalagi di dalam tubuhku mengalir kental darah Papa. Meskipun Papa tidak menganggapku sebagai anak lagi karena keputusanku ini, tapi Luan Pagory tetaplah Papa kandungku.”

Luan terkesiap mendengar tanggapan Zelda. “Ternyata cintamu sangat besar terhadap laki-laki yang belum tentu bisa membahagiakanmu, sampai-sampai kamu juga merelakan peninggalan mendiang ibu kandungmu sendiri,” ucapnya dengan nada mengejek dan meragukan.

Zelda mengulas senyum tipis. “Hal tersebut bukan masalah besar buatku, lagi pula aku menyerahkan peninggalan mendiang ibuku kepada suaminya sendiri. Selain itu, aku melakukannya karena sebuah alasan yang jelas,” Zelda menimpali.

“Alasan apa?” selidik Luan.

“Karena aku tidak mau dianggap sebagai menantu pembawa sial oleh keluarga calon suamiku,” jawab Zelda sejujurnya.

“Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusan akhirmu. Oh ya, kalau nanti kamu menemui masalah di keluarga barumu, jangan pernah mendatangi kediaman Pagory dan berkata ingin mengubah keputusan agar dikasihani,” Luan memperingatkan. Dia pun beranjak dari tempat duduknya dan mulai meninggalkan ruang rawat Zelda.

“Kenapa Papa terlihat sangat tidak menyukai orang tua Andri? Padahal dulu Papa tidak pernah mempermasalahkan aku dekat dengan siapa pun, asalkan mereka baik padaku,” tanya Zelda pada dirinya sendiri setelah punggung Luan menghilang di balik pintu ruangannya.

***

Andri tergesa-gesa memasuki kediaman orang tuanya karena Zara terus saja menghubunginya, padahal dia sudah mengatakan akan segera datang. Dia hanya berharap tujuan orang tuanya mengajak bertemu bukan menyuruhnya meninggalkan Zelda atau menggugurkan calon anaknya. Dia juga sudah menyiapkan alasan jika saja orang tuanya menanyakan perihal kondisi wajahnya yang masih membiru karena dihajar oleh calon ayah mertuanya.

“Akhirnya kamu datang juga.” Suara wanita dari lantai dua membuat Andri yang berjalan menuju ruang keluarga mendongak.

“Kenapa Mama terus saja menghubungiku, padahal aku sudah mengatakan akan segera datang? Memangnya hal sepenting apa yang ingin Mama bicarakan denganku?” cecar Andri kesal sambil mengamati sang ibu menuruni anak tangga.

“Sangat penting dan akan berimbas pada kelangsungan perusahaan kita, terutama proyek yang sedang dikerjakan Papamu sekarang,” jawab Zara dengan anggunnya.

“Maksud Mama?” tanya Andri sambil menyipitkan mata. Dia tidak melepaskan perhatiannya pada gerak-gerik ibunya yang kini menuju sofa di ruang keluarga.

“Duduklah dulu, Sayang. Bukankah akan lebih nyaman jika kita bicara dalam posisi duduk,” ajak Zara setelah duduk dan menumpukan kakinya satu sama lain.

Tanpa menanggapi ucapan Zara, Andri mengambil tempat duduk di seberang ibunya. Dia menanti Zara kembali membuka mulut dan memberitahunya mengenai ucapannya tadi.

“Nanti kita akan berkunjung ke kediaman Pagory untuk membicarakan mengenai pernikahanmu dengan Zelda, mengingat kamu sudah lancang menghamili putri semata wayang mereka. Jika bukan karena saham yang ditanamkan Luan cukup besar pada proyek Papamu, Mama tidak akan melakukan ini dan merestui hubungan kalian. Apalagi Mama sudah mempunyai calon untuk kamu jadikan istri.” Tanpa perasaan Zara mengatakan secara gamblang ketidakikhlasannya menjadikan Zelda menantu.

Andri tersenyum miris mendengar pengakuan ibunya. “Meskipun Zelda tidak sedang mengandung anakku, aku tetap akan menikahinya. Dengan atau tanpa restu dari Mama. Simpan saja calon menantu yang telah Mama pilihkan untukku itu hingga para manusia pindah tempat tinggal ke planet lain,” balas Andri tidak kalah tajam.

Zara geram karena putranya membalas perkataannya dengan sangat lancang, seolah pilihannya tersebut tidak berbobot. Tidak mau berdebat apalagi sampai membuat Andri pergi dan menggagalkan rencana yang telah disusunnya, maka Zara memilih mengabaikannya saja. “Ngomong-ngomong, kenapa dengan wajahmu?” tanyanya mengalihkan suasana.

“Ada orang yang mengusikku, jadi aku menghajarnya dan kami terlibat baku hantam,” jawab Andri santai.

Zara menggeleng mendengar jawaban santai yang putranya berikan. “Ya sudah, kalau begitu sebaiknya obati dulu agar nanti tidak terlalu kelihatan saat berkunjung ke rumah calon istrimu itu,” suruh Zara.

“Jam berapa kita ke rumah Zelda?” Andri memastikan.

“Setelah makan malam. Mama harap kamu makan malam di sini dan kita bersama-sama ke kediaman Pagory,” beri tahu Zara.

“Baiklah, tapi saat ini aku masih ada urusan. Setelah urusanku selesai, aku akan kembali untuk makan malam bersama kalian,” ucap Andri sambil berdiri dari duduknya.

Setelah berpamitan Andri meninggalkan ibunya seorang diri di ruang keluarga. Dia akan kembali ke klinik dan memberi tahu Zelda mengenai kedatangan orang tuanya nanti ke rumahnya. Tidak hanya itu, dia juga akan menghubungi Luan untuk menyampaikan pilihan atas syarat yang diajukannya, sebelum orang tuanya mengetahui kenyataan bahwa dirinya telah membuat keputusan. Selain itu, jika diizinkan oleh dokter, dia ingin membawa Zelda pulang sebentar ke kediaman Pagory untuk ikut membahas tentang pernikahan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status