Share

Part 6

Andri menatap intens Zelda yang belum juga membuka kelopak matanya. Sempat terbesit kecemasan dalam benaknya, tapi rasa tersebut menghilang dan berganti dengan senyuman ketika melihat kelopak mata Zelda mulai bergerak.

“Selamat pagi, Zel,” sapa Andri setelah Zelda membuka matanya perlahan. “Sekarang kamu sedang berada di sebuah klinik,” beri tahunya saat melihat Zelda masih bingung dengan keberadaannya.

“Tunggu sebentar ya, aku panggilkan dokter untuk memeriksa keadaanmu.” Andri mengecup dengan lembut kening Zelda sebelum keluar ruangan.

Setelah Andri meninggalkan ruangan, Zelda mengingat kembali kejadian kemarin malam saat Papanya murka karena mengetahui kehamilannya. Dia meraba sudut bibir dan rahangnya yang terasa perih serta ngilu karena tindakan kasar Papanya. Sambil menghela napas, tangan Zelda mengusap perutnya yang masih datar. Dia ingin Andri segera kembali ke ruangannya dan memberitahukan keadaan janinnya, mengingat kemarin malam dirinya terpental saat berusaha melerai tindakan anarkis Papanya.

“Anak kita selamat, kamu tidak usah khawatir,” beri tahu Andri saat melihat Zelda mengusap perutnya dan tatapan matanya menerawang ke langit-langit ruangan.

Zelda menoleh ke sumber suara. Karena saking seriusnya memikirkan keadaan calon buah hatinya, sehingga dia tidak menyadari Andri telah kembali ke ruang rawatnya. Ingin sekali rasanya Zelda mengeluarkan suara untuk mengucap syukur, tapi rasa perih pada sudut bibirnya membuatnya terpaksa mengurungkan niat, jadi dia hanya bisa mengangguk lemah sebagai responsnya.

“Selamat pagi, Bu,” sapa dokter yang akan memeriksa Zelda. “Saya periksa dulu keadaannya ya,” ucap sang dokter saat Zelda membalas sapaannya hanya dengan senyuman tipis.

“Saya sarankan, sebaiknya Ibu dirawat dulu selama beberapa hari untuk pemulihan. Setelah kondisinya benar-benar stabil, baru Ibu boleh pulang.” Usai melakukan pemeriksaan, dokter tersebut memberi saran kepada Zelda dan Andri.

“Baiklah, Dok,” Andri menyetujui tanpa meminta pertimbangan Zelda terlebih dulu.

“Kalau begitu saya permisi dulu. Oh ya, sarapan untuk Ibu Zelda sebentar lagi akan diantarkan,” ucap sang dokter sebelum meninggalkan ruang rawat Zelda.

Andri dan Zelda hanya menanggapinya dengan anggukan.

“An, bantu aku duduk,” pinta Zelda lirih yang sesekali meringis menahan nyeri saat berbicara.

“Sudah nyaman?” tanya Andri setelah memosisikan punggung Zelda menyandar.

Zelda mengangguk. “An, minum,” Zelda kembali meminta karena tenggorokannya terasa sangat kering.

Dengan sigap Andri mengambil segelas air mineral yang ada di atas nakas dan membantu Zelda meminumnya. “Lagi?” tanyanya.

Zelda menggeleng. “Cukup,” jawabnya.

Andri kembali menaruh gelas dan kini duduk menyamping di ranjang Zelda. Tangannya membersihkan sisa air yang ada di sudut bibir Zelda. Saat mendengar Zelda meringis karena sudut bibirnya disentuh, dengan cepat Andri mengecupnya.

“Semoga luka robek di sudut bibirmu ini cepat sembuh setelah aku cium,” ucap Andri dengan nada bercanda agar bisa menghibur calon istrinya.

Zelda memukul bahu Andri dengan tangannya yang tidak terpasang infus. Andaikan rahangnya tidak ngilu, pasti dia sudah meneriaki laki-laki yang tengah menggodanya ini.

“Permisi, Pak. Saya membawakan sarapan untuk Ibu Zelda.” Kedatangan seorang perawat yang membawa nampan berisi sepiring bubur putih menginterupsi kebersamaan Andri dan Zelda.

“Terima kasih,” ucap Andri saat menerima nampan yang dibawa perawat tersebut.

“Selesai sarapan, nanti tolong berikan obat ini kepada Ibu Zelda ya, Pak,” beri tahu perawat sambil menunjukkan obat untuk Zelda. Setelah Andri mengiyakan, perawat tersebut pun undur diri.

“Mama, sekarang sarapan dulu ya agar segera pulih. Ayo, mulutnya dibuka.” Andri mulai mengarahkan sendok berisi bubur ke mulut Zelda.

Meskipun merasa geli dengan panggilan Andri, tapi Zelda tetap menuruti permintaan laki-laki yang duduk menyamping di depannya, sebab perutnya memang tengah lapar. Meski susah payah Zelda membuka mulut, tapi dia tetap menerima suapan yang diangsurkan Andri.

Ketika bubur di piring sudah hampir habis, deringan ponsel Andri menginterupsi keheningan mereka. “Bi Yuni,” beri tahunya dan meletakkan piring di pangkuan Zelda. “Aku angkat sebentar ya, Zel,” ucapnya menenangkan dan mengusap wajah Zelda yang terlihat cemas.

“Iya, Bi,” jawab Andri tanpa menghentikan usapan tangannya.

“Nak, bagaimana keadaan Nona Zelda?” tanya Bi Yuni setelah Andri menjawab panggilan teleponnya.

“Zelda dan calon bayinya baik-baik saja, Bi,” beri tahu Andri. Kini dia memindahkan tangannya ke perut Zelda dan kembali mengelusnya.

“Syukurlah, Bibi sangat khawatir. Oh ya, di rumah sakit mana Nona dirawat?” Bi Yuni kembali bertanya diikuti desahan lega mengetahui keadaan anak majikannya.

“Zelda dirawat di klinik bersalin di dekat kediaman Pagory, Bi.” Tanpa menutupi keberadaannya, Andri memberitahukan tempat Zelda dirawat.

“Oh, di Klinik Bersalin Anugerah? Baiklah, nanti setelah makan siang Bibi ke sana membawakan kalian makanan,” ucap Bi Yuni.

“Aku tidak tahu nama klinik ini, Bi. Oh ya, Bi, kalau ke sini tolong bawakan beberapa potong pakaian untuk Zelda,” pinta Andri.

“Baiklah. Ya sudah, kalau begitu Bibi tutup dulu teleponnya ya.” Setelah disetujui Andri, Bi Yuni menyudahi obrolannya.

Tanpa disadari dan diketahui Bi Yuni, obrolannya dengan Andri melalui telepon didengar oleh Luan yang memang tengah mencarinya. Luan awalnya ingin memberitahukan kepada wanita yang seumuran dengan mendiang ibunya bahwa dirinya akan mengunjungi makam Diana. Namun, setelah mengetahui keberadaan putrinya, dia menunda keinginannya mengunjungi makam mendiang sang istri dan beralih akan menemui anaknya terlebih dahulu.

***

Bukan hal sulit bagi Luan untuk menemukan ruangan tempat anaknya dirawat, sebab klinik tersebut tidak terlalu besar dan pasiennya pun hanya beberapa saja. Luan mengangguk setelah perawat yang mengantarnya ke ruangan Zelda mohon pamit. Sebelum mengetuk pintu putih di depannya, Luan menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Setelah merasa cukup memasok oksigen ke paru-parunya, dia mulai mengetuk pintu dan menunggunya beberapa saat agar dibuka dari dalam.

Berbeda dengan suasana di dalam ruangan, kegiatan Andri yang ingin menghibur Zelda menggunakan tindakan jahil dan menggodanya terinterupsi oleh ketukan pintu dari luar. Dia mendesah kecewa dan membenamkan wajahnya pada belahan dada Zelda serta menggerutu karena kegiatannya diganggu.

“Cepat buka pintunya, An,” perintah Zelda sambil menjauhkan wajah Andri dan mengelusnya dengan lembut.

Tanpa menanggapi perintah Zelda, Andri menegakkan tubuh yang tadinya membungkuk. Dia mengecup bibir Zelda dengan cepat sebelum menghampiri pintu dan membukanya.

Ekspresi wajah Andri yang sebelumnya terlihat santai kini menegang dan mengeras setelah membuka pintu ruang rawat Zelda.

“Buat apa Anda datang ke sini?” tanya Andri dingin tanpa mengizinkan tamu yang datang masuk ke ruangan Zelda.

“Status Zelda masih sebagai putri saya, maka saya berhak melihat keadaannya tanpa ada seorang pun yang melarang,” jawab Luan tidak kalah dingin. Dia memasuki ruangan meski tanpa dipersilakan.

Ingin rasanya Andri menarik kerah baju laki-laki yang telah bertindak anarkis terhadap anak kandungnya sendiri, tetapi dia mencoba meredam keinginannya agar tidak membuat keributan. Tanpa berkata-kata Andri mengekori laki-laki yang akan menjadi calon mertuanya menuju ranjang Zelda. Mengikuti nalurinya, dia berdiri di samping ranjang Zelda saat melihat wanita tersebut menundukkan kepala ketika mengetahui tamu yang menjengguknya.

“Kedatangan saya ke sini bukan ingin mendengarkan pembelaan atas perbuatan kalian. Bukan juga ingin meminta maaf mengenai tindakan saya kemarin malam,” ucap Luan setelah duduk di kursi yang ada di sisi ranjang Zelda tanpa disuruh.

“Lalu apakah ingin memastikan bahwa Anda telah berhasil membuat Zelda keguguran? Jika itu tujuannya, sayang sekali keinginan Anda tidak menjadi kenyataan. Saya dan Zelda masih diizinkan bersama calon buah hati kami,” jawab Andri datar.

Luan tersenyum miring. “Baguslah kalau calon buah hati kalian selamat. Saya doakan agar selamanya dia baik-baik saja,” balas Luan tanpa mengalihkan tatapan datarnya dari wajah Zelda yang masih tertunduk.

“Oh ya, langsung saja ke inti tujuan kedatangan saya ke sini. Saya mempunyai syarat agar kalian berdua bisa melangsungkan pernikahan.” Luan berhenti berbasa-basi dan langsung menyampaikan tujuannya.

“Syarat?” tanya Andri mengulang, sedangkan Zelda langsung mengangkat wajahnya meski tidak bersuara.

“Jika kamu menikah dan menjadi menantu di keluarga Himawan, maka hubungan di antara kita berakhir,” beri tahu Luan tanpa basa-basi kepada Zelda yang masih terkejut. “Atau kalian tetap bisa menikah, tetapi semua saham saya di perusahaan Himawan akan saya tarik kembali. Pilihan ada di tangan kalian berdua.” Setelah mengajukan syarat tersebut Luan berdiri dari duduknya.

Luan menggeleng saat melihat Zelda hendak berbicara. Dia yakin putrinya itu ingin menyampaikan protes, sebab sangat jelas terlihat dari sorot matanya.

“Segera hubungi saya setelah kalian memutuskan syarat mana yang dipilih. Oh ya, saya sarankan jangan terlalu banyak mengulur waktu sebab perut Zelda semakin hari kian membesar.” Tanpa memedulikan reaksi Zelda dan Andri, Luan meninggalkan ruang perawatan sang anak sesukanya.

Sepeninggal Luan, Zelda dan Andri masih bungkam. Mereka tengah sibuk mencerna perkataan sekaligus syarat yang diajukan Luan. Kedua syarat tersebut mempunyai konsekuensi masing-masing dan sangat sulit jika harus dipilih salah satu.

“An,” panggil Zelda memecah keheningan. Dia tahu keadaan keuangan perusahaan Andri sedang tidak stabil dan saham yang ditanamkan Papanya sangat berpengaruh terhadap kegiatan operasionalnya.

“Tenanglah, Zel, kita pasti bisa menemukan jalan keluar terbaik.” Andri mengecup puncak kepala Zelda dan menenangkannya meski pikirannya juga tengah kalut.

***

Sejak pertemuannya waktu itu di pusat perbelanjaan, Daramikha dan Zara kini sering berhubungan entah secara langsung atau melalui telepon. Tentu saja Zara yang memulainya, tujuannya untuk memastikan bahwa Daramikha bisa membujuk Luan agar tidak menarik kembali sahamnya di perusahaan sang suami.

Seperti sekarang keduanya membuat janji temu di Karma Kandara, tempat spa langganan Daramikha yang berlokasi di daerah Ungasan. Daramikha memanfaatkan pertemuan ini untuk membahas mengenai pernikahan Zelda dan Andri meski pasangan tersebut belum memberikan jawaban atas syarat yang diberikan Luan, tentu saja tanpa pengetahuan Zara. Daramikha juga akan memastikan bahwa niatnya ingin mendepak Zelda dari keluarganya sendiri tidak tercium atau diketahui oleh calon besannya. Dia tidak ingin Zara meminta timbal balik atas niat terselubungnya itu. Biarlah hanya Zara yang terlihat meminta bantuan padanya agar pernikahan Zelda dan Andri berlangsung lancar, serta kondisi keuangan perusahaan Himawan aman.

“Mikha, apakah Luan sudah mengetahui kehamilan Zelda?” tanya Zara yang punggungnya dimanjakan oleh tangan-tangan therapist profersional.

“Sudah. Luan marah besar,” jawab Daramikha sambil memejamkan mata.

“Apakah Andri mengetahuinya?” Zara kembali bertanya.

“Ya. Luan sudah memarahi keduanya dan meminta Andri agar segera membawa orang tuanya ke rumah kami,” Daramikha berbohong agar pernikahan Zelda dan Andri secepatnya terlaksana.

Zara mengernyit. “Andri tidak mengatakan apa pun kepada kami. Bahkan, dia sendiri belum pulang,” ucap Zara apa adanya. “Tapi kamu tenang saja, kami pasti akan ke rumahmu untuk meminta maaf sekaligus membicarakan pernikahan mereka,” sambungnya.

“Baiklah, dengan senang hati aku akan menunggu kehadiran dan niat baik kalian,” balas Daramikha. “Niat baik kalian menjauhkan hidupku selamanya dari Zelda,” Daramikha menambahkan dalam hati.

“Tapi kamu harus ingat, Mikha. Pastikan Luan tidak menarik kembali sahamnya dari perusahann suamiku karena masalah ini,” Zara mengingatkan.

Daramikha mengangguk. “Seharusnya kamu tanyakan kepada anak dan calon menantumu itu, sebab nasib perusahaan suamimu berada pada keputusan mereka,” ucapnya dalam hati.

***

Bi Yuni menepati ucapannya. Dia mendatangi klinik tempat Zelda dirawat dan membawa beberapa potong pakaian untuk sang anak majikan serta menu makan siang. Air mata Bi Yuni menetes saat melihat keadaan Zelda yang wajahnya pucat.

“Bibi, jangan menangis. Aku tidak apa-apa,” ucap Zelda menenangkan sambil menghapus air mata Bi Yuni.

“Tuan Andri di mana, Nak?” tanya Bi Yuni setelah menyudahi tangisannya. Dia kini duduk menyamping di pinggir ranjang Zelda.

“Katanya mau ke apartemen sebentar mengambil pakaian ganti.” Zelda memperbaiki posisi duduknya agar tegak.

“Apa kata dokter mengenai kandunganmu, Nak?” Bi Yuni mengelus perut Zelda.

“Dia baik-baik saja dan kelak akan menjadi anak yang kuat, Bi.” Zelda ikut mengelus perutnya.

“Ngomong-ngomong, sejak kapan kalian menjalin hubungan?” selidik Bi Yuni karena merasa tergelitik terhadap hubungan Andri dengan Zelda. Dia juga masih terkejut atas keadaan Zelda yang tengah berbadan dua.

Ditanya seperti itu membuat Zelda bingung sendiri, sebab dia atau Andri tidak pernah mengikrarkan kata cinta dan hubungan mereka pun hanya sebatas sahabat sekaligus partner di ranjang. Zelda tidak mungkin mengatakan dengan jujur kepada wanita yang telah ikut merawatnya dari kecil. Baru saja dia akan memberikan jawaban bohongnya, suara pintu terbuka menginterupsinya. Zelda menghela napas lega karena Andri sudah kembali. Dia akan menyuruh laki-laki itu untuk mewakili menjawab pertanyaan Bi Yuni.

“Sudah dari tadi, Bi?” tanya Andri saat memasuki ruang rawat Zelda sambil menjinjing carryall bag favoritnya.

“Kurang lebih sudah setengah jam, Tuan,” jawab Bi Yuni dan ingin berdiri dari tempat duduknya.

“Duduk saja, Bi,” suruh Andri sambil berjalan. “Oh ya, kalian lanjutkan saja mengobrol, aku mau mandi dulu,” sambungnya kembali.

“Kenapa tidak sekalian saja tadi mandi di apartemenmu, An?” tegur Zelda saat melihat Andri mulai mengambil handuk di dalam tas yang dibawanya.

“Aku mengkhawatirkanmu yang sendirian di sini, Zel,” Andri menyahut sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Zelda dan itu tidak luput dari perhatian Bi Yuni.

Bi Yuni tertawa. “Sepertinya Bibi tidak harus menunggu lagi jawaban darimu, Nak,” ucapnya kepada Zelda yang diikuti tawa ringan.

“Jawaban apa?” tanya Andri cepat. Dia mengurungkan langkahnya menuju kamar mandi dan berbalik menghampiri ranjang Zelda.

“Bibi tadi bertanya kepada Zelda mengenai sejak kapan kalian menjalin hubungan, tapi belum sempat dijawab,” Bi Yuni mengulangi pertanyaannya tadi.

“Oh itu, kisah kami terbilang unik, Bi. Tidak ada pernyataan cinta seperti pasangan lainnya, tapi hubungan kami serius ke langkah berikutnya, makanya kini Zelda mengandung anakku. Sebenarnya itu semua salahku yang kebablasan menendang bola hingga membobol gawang Zelda, Bi.” Kalimat akhir dari penjelasan Andri langsung membuat Bi Yuni dan Zelda terenyak. Namun, tidak lama setelah itu Bi Yuni tertawa lebar, sedangkan Zelda merasa wajahnya kepanasan dan malu karena kegiatan pribadinya dibicarakan.

“Dasar muda-mudi sekarang, selalu terlambat memikirkan akibat dari tindakannya,” komentar Bi Yuni sambil menggelengkan kepala.

“Ya sudah, sana cepat mandi setelah itu kita makan siang bersama,” tegur Zelda agar Andri tidak semakin membuat wajahnya kepanasan.

“Nak, Bibi tidak bisa berlama-lama di sini. Karena Tuan dan Nyonya pergi, makanya Bibi datang lebih awal,” ucap Bi Yuni. “Bibi pulang sekarang ya,” tambahnya.

Zelda dan Andri tidak bisa menolak permintaan Bi Yuni. Mereka mengangguk dan kembali mengucapkan terima kasih kepada Bi Yuni atas kesediaannya membantu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status