Share

Part 3

Puas menyaksikan matahari terbit, Andri menemani Zelda yang lebih memilih berjalan-jalan di sekitar bibir pantai sambil bermain air laut daripada mengitari jogging track. Keduanya terlihat seperti pasangan berbahagia yang tengah memadu kasih dan menikmati masa bulan madu. Bahkan, Andri dengan sukarela membawakan sandal milik Zelda yang dari tadi memang dilepasnya.

“Zel, kita sarapan di sekitar sini saja ya,” Andri mengusulkan ketika Zelda mengatakan sudah puas berjalan-jalan. “Kamu mau sarapan apa?” tanyanya saat Zelda menyetujui usulnya.

“Ketupat dan sate ikan marlin. Di sana banyak warung yang menjual menu tersebut.” Dengan antusias Zelda menunjuk tempat yang dimaksud sambil memakai kembali sandalnya.

“Sate ikan marlin? Sejak kapan kamu mengonsumsi ikan laut?” Andri tidak memercayai pendengarannya mengenai makanan yang dipilih Zelda sebagai menu sarapannya.

“Baru-baru ini. Sudahlah, An, jangan banyak tanya lagi. Perutku sudah sangat lapar.” Dengan malas Zelda menarik tangan Andri menuju penjual menu makanan yang ingin disantapnya.

“Aneh,” cibir Andri yang pasrah saat tangannya ditarik.

Zelda menghentikan langkah kakinya ketika samar-samar telinganya mendengar cibiran Andri. “Kalau kamu tidak mau ikut, ya sudah. Aku bisa pergi sendiri. Lagi pula kita juga tidak sengaja bertemu di sini. Jadi, tidak ada keharusan kita sarapan bersama atau kamu menuruti keinginanku.” Dengan kasar Zelda mengempaskan tarikannya pada tangan Andri dan bergegas melanjutkan langkahnya.

Andri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dengan cepat dia mengejar Zelda yang berjalan tergesa. “Hei, jangan marah. Aku hanya merasa aneh saja karena tidak biasanya kamu menikmati makanan yang berbahan dasar ikan, terlebih ikan laut. Kita akan sarapan bersama dan berburu sate ikan marlin.” Meski ucapannya diabaikan, tapi Andri tetap merangkul bahu Zelda dan mengajaknya mencari warung yang pengunjungnya tidak terlalu ramai.

“Tersenyumlah, Sayang. Malu dilihat orang karena pagi-pagi wajahmu sudah cemberut dan ditekuk seperti itu. Takutnya mereka berpikir jika kemarin malam aku tidak memberimu jatah dan kurang maksimal memuaskanmu,” bisik Andri menggoda.

Bisikan Andri ternyata ampuh dan mampu merebut perhatian Zelda, walau wanita tersebut menatapnya garang. Meski ditatap nyalang, tapi sangat jelas terlihat olehnya pipi wanita yang kini bersamanya bersemu merah. Andri terkekeh dan cepat mengecup pipi merona tersebut.

“Lama-lama pipimu ini aku gigit karena warnanya sudah mirip seperti udang rebus,” ucap Andri sambil berjalan merangkul pinggang Zelda.

“Dasar, Perayu Ulung. Laki-laki penggoda,” cibir Zelda sambil menunduk, menyembunyikan rona merah pada pipinya.

“Hanya padamu saja. Oh ya, si perayu ulung ini sebentar lagi akan menjadi suamimu, Zel. Jadi, siapkanlah amunisi sebanyak-banyaknya untuk menangkal semua rayuan dan godaanku,” Andri tidak mau kalah membalas cibiran Zelda.

Zelda mendengkus dan memutar bola matanya. Dia tidak akan pernah menang jika sisi kecerewetan laki-laki di sampingnya ini sudah keluar dari kurungannya. “Mungkin karena Tante Zara mempunyai satu anak, jadi kecerewetannya beliau wariskan kepada Andri,” Zelda membatin.

***

Zelda mengabaikan tatapan nyalang Daramikha yang tengah menikmati sarapannya di meja makan. Tanpa memberi salam, Zelda menuju kamarnya untuk membersihkan diri sebelum berangkat kerja. Dia hanya tersenyum samar ketika mendengar umpatan yang di alamatkan kepadanya atas sikapnya oleh wanita tersebut.

“Umpatlah aku sesuka hatimu, Nyonya Besar,” cibir Zelda sebelum memasuki kamar tidurnya.

“Jika anak itu tetap berada di rumah ini, maka hidupku tidak akan pernah tenang. Aku harus bisa membuatnya keluar dari sini, bila perlu anak kurang ajar itu diusir oleh Papanya sendiri. Hanya ada satu cara membuat anak itu pergi selamanya dari tempat ini. Aku yakin Papanya pasti menyetujui ideku ini, dan keinginanku mendepak anak itu tidak terlalu kelihatan. Daramikha, kamu memang jenius. Tidak salah Luan memilihmu menjadi istrinya.” Daramikha membanggakan dirinya sendiri atas pemikirannya menyingkirkan Zelda.

“Bibi,” panggil Daramikha lantang kepada asisten rumah tangganya.

“Iya, Nyonya. Ada yang Nyonya perlukan lagi?” tanya Bi Yuni setelah tergopoh-gopoh.

Daramikha menggeleng. “Bi, dari mana anak pembangkang itu pagi-pagi?” tanyanya setelah menyesap teh hangatnya.

“Yang Nyonya maksud Nona Zelda?” tanya Bi Yuni pura-pura tidak paham.

Daramikha mengangguk malas. “Memangnya siapa lagi di rumah ini yang suka membangkang?” jawabnya sinis.

“Tadi Nona Zelda bilang kepada saya mau ke Sanur, menyaksikan matahari terbit di pantai, Nyonya,” beri tahu Bi Yuni seadanya.

“Dengan siapa dia pergi melihat matahari terbit?” Daramikha menatap penuh selidik Bi Yuni setelah mendengar pemberitahuannya.

“Sendirian, Nyonya,” jawab Bi Yuni kembali.

“Sekarang pergilah,” usir Daramikha tidak sopan.

“Baiklah, Nyonya. Saya permisi,” pamit Bi Yuni dan membungkuk.

***

Zara dan Ivan kembali membahas mengenai ucapan putra semata wayangnya kemarin malam. Keduanya masih marah atas tindakan kurang ajar Andri, apalagi anaknya itu secara langsung menolak permintaan mereka. Zara sangat tidak terima karena putranya akan menikahi wanita yang selama ini dinilainya mempunyai pergaulan liar dan selalu keluar masuk kelab malam. Dari kenalannya dia juga mengetahui jika Zelda sering berganti pasangan kencan. Bahkan, menjadi wanita simpanan lelaki hidung belang.

“Argh!” Zara membanting sendok makannya di atas piring dengan kasar saat membayangkan Zelda benar menjadi menantunya.

“Ada apa, Ma?” Ivan menghentikan aktivitasnya menikmati roti panggang setelah melihat tindakan istrinya.

“Mama masih tidak terima bahwa Andri menolak permintaan kita mentah-mentah, Pa. Mama tidak mau wanita liar itu menjadi menantu di keluarga ini,” geram Zara.

“Papa juga berharap Andri berubah pikiran dan menyetujui permintaan kita. Namun, yang menjadi masalah sekarang, Zelda tengah mengandung dan benih itu milik Andri. Kita tidak bisa gegabah mengambil keputusan dalam hal ini, karena dampaknya akan sangat serius terhadap kondisi keuangan perusahaan. Mama tahu sendiri, Luan baru saja menanamkan sahamnya di perusahaan kita dan jumlahnya tidak sedikit,” Ivan menanggapinya dengan ekspresi frustrasi. “Jumlah saham yang Luan tanamkan jauh lebih besar dibandingkan milik ayahnya Ruhan,” sambungnya.

“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Menyetujui pernikahan mereka dan menerima wanita liar itu menjadi menantuku? Ini akan menjadi mimpi burukku seumur hidup.” Dengan tidak kalah frustrasinya Zara membalas penjelasan panjang lebar suaminya.

“Untuk sementara kita terpaksa harus mengalah dan menuruti keinginan Andri. Papa tidak mau Luan menarik kembali saham yang sudah ditanamkannya di perusahaan kita jika dia mengetahui Andri telah menghamili anak semata wayangnya. Setelah Andri menikah dengan Zelda baru kita pikirkan cara untuk memisahkan mereka dan melanjutkan rencana semula. Mama harus memendam sebentar ketidaksukaanmu terhadap Zelda agar nama baik keluarga kita tidak tercoreng oleh kelakuan Andri,” ucap Ivan memberi pengertian.

“Namun, bagaimana kita menjelaskan dengan keluarga Atmaja mengenai pembatalan pertunangan ini?” Zara meneguk cepat air putih di gelasnya karena saking frustrasinya.

“Tidak ada pembatalan, hanya kita tangguhkan dulu. Pertunangan itu akan dilanjutkan ketika Andri sudah menceraikan Zelda,” cetus Ivan.

“Jika Andri tidak mau?” tanya Zara.

“Pasti mau, Papa sudah mengetahui kelemahan terbesar Andri. Papa pastikan kali ini anak itu tidak akan berani menentang, apalagi menolak permintaan kita,” Ivan meyakinkan istrinya.

Meski masih diliputi keragu-raguan, tapi Zara tetap mengangguk saat menangkap sorot mata yang dipancarkan suaminya sangat meyakinkan. “Walau pada kenyataannya Zelda menjadi menantuku, tapi aku tidak akan pernah menganggapnya seperti itu. Status menantu tidak akan membuat penilaianku terhadapnya berubah,” ucapnya dalam hati.

***

Zelda memasuki mobil yang terparkir di samping pintu gerbang rumahnya. Bukan miliknya, melainkan mobil yang menjemputnya dan akan mengantarnya ke tempat kerja. Meski Papanya memiliki perusahaan yang banyak diincar para pencari kerja, tapi Zelda tidak mau bekerja di sana. Dia tidak mau mendengar nyinyiran karyawan di sana jika dirinya bekerja di tempat itu. Bukannya dihormati, kemungkinan besar kemampuan yang dimilikinya akan diragukan dan dirinya dianggap aji mumpung karena pemilik perusahaan adalah Papanya. Oleh karena itu, dia bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang ekspor impor, sebagai staf administrasi. Untungnya pemilik perusahaan dan rekan kerjanya tidak ada yang menyadari jika dirinya adalah anak dari Luan Pagory, seorang pengusaha properti sukses.

“Siap?” tanya Andri yang juga telah mengenakan setelan kantornya.

“Let’s go,” jawab Zelda usai memasang seatbelt.

“Nanti aku jemput saat jam makan siang,” beri tahu Andri yang telah melajukan mobilnya.

Zelda mengangguk sambil mencari keberadaan biskuit gandum cokelat di dalam clutch-nya. Biskuit yang tadi sempat dibelinya di sebuah mini market sepulang dari menyaksikan matahari terbit.

“Bagi, Zel,” pinta Andri sambil membuka mulutnya.

“Ish,” desis Zelda. Dia tidak terima makanannya diminta. Anehnya, dia tetap memberikan dan memasukkan biskuit yang telah lebih dulu digigitnya ke mulut Andri. “Makan saja, bekas gigitanku jauh lebih enak,” sambungnya tanpa rasa bersalah saat Andri ingin protes.

Mata Andri membola mendengar ucapan Zelda, tapi dia tetap mengunyah biskuit tersebut. “Jangankan bekas gigitanmu, disuruh menggigit bagian tertentu tubuhmu pun aku mau. Pastinya itu jauh lebih enak dibandingkan biskuit ini,” balas Andri sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Aw! Hentikan, Zel,” perintah Andri sambil berusaha melepaskan tangan Zelda yang mencubit pinggangnya.

“Makanya, kalau ngomong itu jangan asal.” Zelda melepaskan tangannya dan tersenyum menang saat melihat Andri mengusap pinggangnya sendiri akibat cubitannya. “An, sepertinya lemak di pinggangmu sudah bertambah banyak. Biasanya aku sering kesal sendiri karena selalu gagal saat mencubit pinggangmu, sebab tidak ada daging yang berhasil dicubit tanganku. Namun, sekarang rasanya sangat mudah mencubit pinggangmu ini,” tambahnya sambil kembali ingin melancarkan aksi tangannya, tapi Andri berhasil menghindar.

“Jangan mulai malas berolahraga, An,” Zelda mengingatkan.

Andri menoleh dan tersenyum menyeringai. “Yang kamu katakan benar, Zel. Aku harus lebih sering berolahraga, terutama saat malam hari dan tentunya bersamamu.” Untuk mengantisipasi cubitan yang diterimanya lagi, Andri dengan cepat memegang tangan Zelda dan menahannya.

“Andri!” geram Zelda karena Andri terus saja menggodanya. Zelda menarik kasar tangannya agar terlepas dan kembali melanjutkan memasukkan biskuit cokelat ke mulutnya. “An, ingat kata dokter, usia kandunganku masih muda dan sangat rawan jika kamu sering menengok anak kita. Artinya, sementara waktu ini kamu harus berusaha menahan diri untuk tidak menyentuhku,” Zelda mengingatkan sambil mengunyah biskuitnya.

“Ah,” desah Andri kecewa dan itu membuat Zelda terkekeh.

“Sabar ya, Pa. Tunggu aku hingga berusia tiga atau empat bulan dulu, baru Papa boleh menengokku,” ejek Zelda dengan menirukan suara anak kecil sambil mencubit lembut pipi Andri yang cemberut.

Andri menepis tangan Zelda yang mencubit pipinya, tapi calon istrinya tersebut tidak menghiraukannya. Bahkan, Zelda terus saja menertawakannya sambil tetap memberinya biskuit yang sudah digigitnya terlebih dahulu.

“Hanya wanita ini yang bisa membuatku tidak berkutik dengan tingkahnya. Anehnya aku belum mempunyai rasa cinta layaknya sepasang kekasih kepadanya, padahal sebentar lagi kita akan menikah dan dia telah mengandung anakku,” Andri membatin di sela-sela aktivitas mengunyahnya.

“Zel, apa tidak sebaiknya kamu resign dari tempat kerjamu dan pindah ke perusahaanku? Kamu bisa menjadi sekretarisku, dan aku pasti dengan senang hati menerimamu,” Andri bersuara setelah Zelda usai menertawakannya. “Kenapa?” tanyanya kembali saat Zelda menggeleng.

“Kalau bekerja satu kantor denganmu dan menjadi sekretarismu, aku pastikan pekerjaan kita tidak ada yang beres, karena kamu akan sibuk mengajakku bercinta,” jawab Zelda frontal.

Andri terbatuk mendengar jawaban frontal Zelda. “Ish! Aku bicara serius dan menawarkanmu pekerjaan yang lebih bagus.” Andri menjewer telinga Zelda saat wanita itu menyelipkan anak rambutnya.

“Nanti setelah resmi menjadi istrimu saja aku berhenti bekerja dan kamu yang harus bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan hidupku,” ucap Zelda sambil mengusap telinganya.

“Itu sudah pasti. Namun, kamu juga harus melayaniku dan mengurus semua kebutuhanku. Aku mencari uang dan kamu mengurus kebutuhan rumah tangga kita.” Andri tersenyum saat mengatakan itu, apalagi Zelda membalasnya dengan kekehan.

“Hubungan seperti apa yang akan kami bina nanti? Menjadi suami istri, tapi tanpa ada cinta di dalamnya,” batin Zelda bertanya-tanya.

***

“Zelda,” panggil Anita, wanita yang bekerja satu kantor dengan Zelda.

“Hai, Nit,” Zelda membalas sapaan Anita sambil memberikan senyum manisnya. “Kenapa jalan kaki?” selidik Zelda saat melihat keringat memenuhi kening rekan kerjanya.

“Mobilku berulah lagi, jadinya aku terpaksa ke kantor jalan kaki,” jawab Anita sambil menerima tissue yang diberikan Zelda untuk menyeka keringatnya.

“Mogok di mana?” tanya Zelda berbasa-basi.

“Untungnya tidak jauh dari bengkel Reza. Zel, kamu bawa air minum?” tanya Anita karena merasa tenggorokannya kering.

 Tanpa menjawab Zelda tersenyum dan mengambilkan botol air mineral dari dalam cluth-nya. “Minumlah,” ujarnya.

“Ah, leganya. Terima kasih, Zel,” ucap Anita yang diangguki Zelda.

“Ayo kita masuk, Nit. Ngobrolnya sambil jalan saja,” ajak Zelda sambil terkekeh.

Anita menyetujui. “Oh ya, Zel, pulang nanti aku numpang mobilmu ya,” pinta Anita.

Zelda menghentikan langkahnya. “Nit, sebelumnya aku minta maaf. Hari ini aku tidak membawa mobil, melainkan diantar,” beri tahunya dengan nada bersalah.

“Ah,” desah Anita kecewa. Namun itu tidak lama, karena secepatnya dia tersenyum dan menerima jawaban Zelda. “Tidak apa-apa, Zel. Nanti aku bisa menggunakan jasa taksi atau ojek online saja,” ucapnya menenangkan.

“Kenapa kamu tidak suruh saja pacarmu yang menjemput?”

“Kami sedang bertengkar,” jawab Anita dengan ekspresi murung.

“Oh.” Zelda hanya meresponsnya singkat, sebab dia paling anti mencampuri urusan orang lain jika tidak ada hubungan dengan dirinya sendiri.

“Ya sudah, kalau begitu selamat bekerja, Zel,” ucap Anita saat sudah berada dekat meja kerjanya.

“Iya, kamu juga ya,” balas Zelda setelah meletakkan cluth-nya di atas meja kerjanya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status