Share

Part 2

Zelda sangat menikmati waktunya berendam di jacuzzi di dalam kamar pribadinya. Aroma vanila yang menguar dari pembakaran lilin aromaterapi serasa memberikan rileksasi pada tubuh lelahnya. Dia memejamkan mata saat merasakan air hangat memasuki pori-pori kulit di sekujur tubuhnya. Ketika sangat larut menikmati sensasi yang diterima kulitnya, perhatian Zelda teralih oleh deringan ponsel di pinggir jacuzzi.

“Andri,” gumam Zelda saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

Setelah mengeringkan tangannya dengan handuk kecil yang di letakkan di samping ponselnya, Zelda mengangkat telepon dari Andri. “Ada apa, An?” tanyanya langsung.

“Hei, tidak bisakah kamu berbasa-basi dengan calon suamimu, Sayang?” Andri terkekeh mendengar pertanyaan Zelda.

“Aku sedang malas berbasa-basi dengan orang yang mengganggu acaraku bersantai,” jawab Zelda pura-pura kesal sambil memainkan air di jacuzzi-nya.

“Bersantai? Kamu bisa bersantai saat calon suamimu ini tengah pusing dan kesepian?” tanya Andri dengan nada protes yang dibuat-buat. “Ngomong-ngomong, bersantai seperti apa yang sedang kamu lakukan sekarang?” selidik Andri saat telinganya samar-samar mendengar kecipak air.

Zelda tersenyum mendengar gerutuan dan pertanyaan menyelidik dari lawan bicaranya di seberang sana. “Baru beberapa jam saja kita terpisah, kamu sudah pusing dan kesepian seperti itu, Sayang,” Zelda terkekeh menjawab pertanyaan Andri. “Oh ya, sekarang aku dan calon anak yang masih di rahimku sedang berendam air hangat, An.” Zelda mengulum senyum saat sengaja menggoda laki-laki yang akan menjadi suaminya.

“Zelda,” Andri menggeram menyadari nada menggoda Zelda. Dia menjambak rambutnya saat merasakan adik kesayangannya bereaksi ketika pikiran nakalnya membayangkan kepolosan tubuh Zelda.

Zelda tertawa ketika merasa Andri termakan godaannya. Dia berani memastikan jika laki-laki yang digodanya kini tengah mengumpat dan dilanda frustrasi. Tanpa permisi dan meminta persetujuan, dia memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. “Selamat berfrustrasi ria, Andri Saputra Himawan,” ucap Zelda pada dirinya sendiri setelah menaruh kembali ponselnya di tempat semula.

•••

Andri mengusap kasar wajahnya saat mengetahui Zelda memutuskan sepihak sambungan teleponnya. Kekesalannya semakin memuncak ketika ingin melakukan video call, ternyata Zelda telah menonaktifkan ponselnya.

“Argh! Zelda, kamu benar-benar berhasil membuatku frustrasi dan menyiksaku malam ini,” geram Andri sambil kembali menjambak rambutnya.

Usai menjambak rambutnya sendiri, Andri mengempaskan tubuhnya di ranjang, tempat biasanya dia dan Zelda berbagi kehangatan. “Zel, aku sangat membutuhkanmu sekarang,” gumamnya. “Aku ingin mendekap tubuhmu yang selalu bisa memberikan kenyamanan,” sambungnya sambil memejamkan mata dan membayangkan sedang memeluk calon istrinya.

Bukannya merasa lebih baik setelah membayangkan kehangatan tubuh Zelda, akan tetapi Andri semakin gelisah, terlebih adik kesayangannya kian berontak dan mengharapkan lepas dari kungkungannya. Dia segera duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahnya. “Argh! Maafkan aku, Adikku, malam ini terpaksa kita harus berendam air dingin,” ujarnya nelangsa sambil melihat ke arah adiknya yang masih bersembunyi.

Dengan langkah gontai, Andri menuju kamar mandi untuk meredam hasratnya yang sudah di ubun-ubun karena merindukan belaian Zelda. Selain berendam karena hasratnya yang tidak tersalurkan, dia juga ingin melepaskan penat atas efek perdebatannya dengan orang tuanya di kediaman Himawan.

•••

Zelda menarik selimut agar menutupi seluruh tubuhnya saat mendengar deringan ponsel di atas nakas. Tidak hanya itu, dia bahkan menggunakan guling untuk menghalau deringan tersebut memasuki gendang telinganya. Dia bernapas lega saat ponselnya berhenti berdering. Namun, itu tidak berlangsung lama, sebab dengan lancangnya benda kesanyangannya tersebut kembali mengeluarkan suara yang memekakan indera pendengarannya.

Dengan kesal Zelda menurunkan selimut dari kepalanya dan mengambil benda yang sedari tadi mengganggu tidurnya tanpa membuka mata. Tidak peduli siapa yang menghubunginya pagi-pagi buta, dia menyapa si penelepon dengan nada ketus dan membentak, “Ya!”

Zelda langsung membuka mata saat mendengar kekehan di seberang sana. Untuk memastikan pendengarannya, dia melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. “Andri! Kamu tidak ada kerjaan ya, selain mengganggu waktu istirahatku?!” hardik Zelda. Kekesalannya semakin menjadi saat melihat jarum pendek pada jam di atas nakas menunjuk di pertengahan antara angka tiga dan empat.

“Aku tidak bisa tidur, Zel. Mataku sulit sekali terpejam,” jawab Andri jujur meski suaranya terkesan merajuk.

Bola mata Zelda membesar mendengar jawaban dari Andri. “Yang tidak bisa terpejam kan matamu, jadi apa hubungannya denganku?”

“Aku tidak bisa tidur gara-gara merindukanmu, Sayang,” balas Andri sambil tersenyum membayangkan wajah kesal Zelda.

“Andri, ini masih pagi buta, jadi jangan menggombal agar aku tersanjung,” Zelda mengingatkan dengan nada tidak bersahabat.

“Hei, siapa yang sedang menggombal, Sayang? Aku berkata yang sebenarnya. Lagi pula, apakah salah jika aku merindukan wanita yang sebentar lagi menjadi istriku?” Andri mengulum senyum saat berkata seperti itu. Dia yakin lawan bicaranya sedang merona sekaligus bertambah kesal mendengar perkataannya.

Zelda merasa pipinya menghangat, mendengar perkataan Andri yang jelas-jelas tengah menggombalinya. “Sudahlah, An, jangan menggombal terus. Gombalanmu itu tidak berpengaruh apa-apa padaku. Sudah ya, An, aku masih sangat mengantuk,” ujar Zelda sambil berpura-pura menguap. Semenjak meladeni pembicaraan Andri, rasa kantuk Zelda perlahan menghilang.

“Zel, sebenarnya aku juga sangat mengantuk, tapi mataku ini sulit sekali terpejam. Maukah kamu menyanyikan lagu pengantar tidur untukku?” pinta Andri memelas tanpa menghiraukan ucapan Zelda.

Zelda kembali melebarkan pupil matanya. “Hei, jangan seperti anak kecil yang harus dikeloni supaya tertidur,” hardiknya.

“Atau maukah kamu memelukku agar aku lekas tertidur?” Andri mengabaikan hardikan Zelda, tapi malah semakin melayangkan gombalannya.

“Andri!” Zelda benar-benar geram karena Andri semakin intens menggombalinya. Untung saja laki-laki tersebut hanya menelepon bukan melakukan video call, jadi wajah memerahnya tidak terlihat.

Andri berusaha menghentikan tawanya saat mendengar kekesalan Zelda telah memuncak, meski tidak dipungkiri dia merasa terhibur terhadap ulahnya tersebut. Dia jamin jika saat ini mereka berhadapan, Zelda akan memukulinya membagi buta dengan bantal. Bahkan menendang bokongnya hingga terempas dari ranjang.

“Zel,” panggil Andri lembut setelah beberapa saat terdiam.

“Hm,” jawab Zelda seadanya. Dia masih kesal dengan tindakan Andri yang tidak berhenti mengerjainya dengan gombalannya itu.

Andri tersenyum simpul mendengar nada bicara Zelda yang masih kesal. “Masih marah?” tanyanya memastikan.

“An, kalau kamu terus menggangguku dengan gombalanmu itu, lebih baik aku tutup saja pembicaraan ini,” jawab Zelda dengan nada malas sambil menyisir rambutnya menggunakan tangan.

Andri terkekeh. “Maafkan aku kalau begitu, Zel. Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu, ini mengenai hubungan kita ke depannya. Berhubung kamu masih mengantuk, nanti saja kita bahas. Sebaiknya sekarang kamu lanjutkan saja tidurmu,” ujar Andri lembut.

Zelda memperbaiki posisi duduknya. “Tunggu,” sela Zelda cepat. “An, apakah kamu sudah memberi tahu orang tuamu mengenai kehamilanku dan niatmu ingin menikahiku?” tanya Zelda menebak.

“Iya, dan reaksi mereka seperti dugaanku. Mereka terkejut sekaligus marah,” beri tahu Andri jujur.

“Mungkin saat aku memberi tahu orang tuaku, reaksinya pasti tidak jauh berbeda dengan orang tuamu, An,” Zelda menimpali.

“Kamu mau berubah pikiran?” selidik Andri.

Zelda mengernyit. “Berubah pikiran?” Zelda mengulang pertanyaan Andri.

“Iya, kamu berubah pikiran dan tidak mau aku nikahi,” jawab Andri tanpa basa-basi.

Mulut Zelda menganga mendengar jawaban frontal laki-laki yang telah mengganggu waktu tidur nyenyaknya. “Hei! Kalau kamu tidak menikahiku, lalu bagaimana dengan nasib janin di rahimku ini? Bukankah awalnya ini idemu yang sangat menginginkanku menampung benihmu di rahimku, sehingga aku mau melepas kontrasepsi dan kamu hamili,” hardiknya.

Andri meringis mendengar tanggapan Zelda. “Hei, Zel, tenanglah. Tadi aku hanya iseng saja bertanya. Aku pasti akan menikahimu dan membesarkan anak kita bersama. Lebih baik aku membangun rumah tangga denganmu meski kita tidak saling mencintai, daripada hidup bersama wanita pilihan orang tuaku.”

“Awas saja kalau kamu berani mengingkari ucapanmu ini, tahu sendiri nanti apa akibatnya,” ancam Zelda.

“Kamu buktikan saja ucapanku itu,” Andri menanggapi. “Oh ya, Zel, kapan rencananya kamu akan memberi tahu orang tuamu, terutama Papamu mengenai kehamilanmu? Apa perlu aku yang memberitahukannya langsung? Atau kita beri tahukan saja bersama, untuk menghindari hal di luar perkiraan?” sambungnya.

“Maksudmu hal di luar perkiraan seperti apa?” Zelda tidak mengerti dengan yang dimaksud Andri.

“Papamu akan memukulmu mungkin, mengingat ibu tirimu pasti memanfaatkan kesempatan ini untuk melukaimu. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk denganmu, terlebih janin di rahimmu. Janin tersebut merupakan senjata ampuhku untuk terlepas dari perjodohan yang diinginkan orang tuaku,” jelas Andri tanpa memedulikan perasaan Zelda.

“Baiklah. Kita akan melakukannya berdua, tapi saat ini Papaku sedang berada di Jakarta. Ketika beliau kembali, aku akan memberitahumu dan kita katakan kondisiku yang tengah mengandung anakmu kepadanya.” Zelda pada akhirnya menyetujui dan menerima tawaran Andri.

Andri mengangguk meski tidak dilihat Zelda. “Kalau begitu kamu tidurlah lagi dan terima kasih telah menemaniku. Sampaikan salam sayang dan rinduku pada calon anak kita, Mama,” pintanya sebelum menutup telepon.

“Hm,” balas Zelda dan kemudian memutus sambungan teleponnya. “Sepertinya Andri sangat menginginkan anak ini. Mama yakin, kelak kamu akan mendapat banyak kasih sayang dari kami, meski orang tuamu merencanakan kehadiranmu dengan tujuan tertentu,” ujar Zelda sambil mengelus perut ratanya dari luar baby doll-nya.

•••

Karena masih kesulitan memejamkan mata setelah beberapa saat menyudahi obrolannya dengan Zelda, akhirnya Andri menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Dia ingin keluar dan mencari udara segar daripada berada di kamarnya tanpa bisa tidur, terlebih sebentar lagi matahari mulai menjalankan tugasnya dengan menyinari jagat raya.

“Mencari udara segar sambil menantikan kemunculan sang surya sepertinya bukanlah pilihan yang buruk,” ucap Andri pada dirinya sendiri setelah berada di depan wastafel kamar mandi.

Tanpa mengulur waktu lagi Andri segera membasuh wajahnya. Setelahnya, dia mengganti kimono tidurnya menggunakan pakaian santai yang cocok dikenakan mengunjungi pantai.

Di lain tempat, Zelda terus saja berguling ke kanan dan kiri tanpa bisa melanjutkan kembali tidurnya, seperti harapan. Dia meraba sisi tempat tidurnya yang kosong dan mengambil ponselnya di sana untuk melihat jam digital. “Uh, sudah jam setengah enam ternyata,” gumamnya.

Setelah melakukan peregangan sebentar pada tubuhnya, Zelda mengubah posisinya menjadi duduk sebelum menuruni ranjang. Saat kakinya sudah menyentuh lantai, dia langsung menuju lemari pakaian dan mengambil sepotong tanktop, celana panjang kain berbahan rayon, dan cardigan, kemudian membawanya ke kamar mandi. Dia ingin memulai aktivitas paginya dengan berjalan-jalan menyusuri bibir pantai sambil menunggu sinar matahari menyapa bumi.

Hanya perlu waktu beberapa menit Zelda mengganti pakaian sekaligus mencuci wajah. Kini dia sudah siap menuju pantai Matahari Terbit yang berada di daerah Sanur. Saat tinggal beberapa langkah mencapi pintu utama, gerakan kakinya terhenti oleh sapaan seseorang. Dia menoleh dan tersenyum ketika melihat kening orang yang menyapanya mengernyit.

“Kamu mau ke mana pagi-pagi begini, Nak?” tanya Bi Yuni ingin tahu.

Zelda menghampiri asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja kediaman Pagory. “Aku mau ke pantai melihat matahari terbit, Bi. Bibi, mau ikut?” ujar Zelda sambil mengerling.

Bi Yuni terkekeh sebelum menggeleng. “Oh, Bibi kira kamu mau ke mana. Bibi masih menyiapkan sarapan untuk Nyonya.”

Zelda pura-pura kecewa dengan mencebikkan bibirnya. “Yah, padahal aku ingin mengajak Bibi melihat betapa indahnya matahari yang baru menampakkan diri dan sinarnya itu. Lagi pula, sesekali biarkan Nyonya Besar menyiapkan sarapannya sendiri. Mamaku saja dulu tidak pernah mengharuskan Bibi menyiapkan sarapan,” ujar Zelda sambil memperlihatkan mimik masamnya saat membawa keberadaan ibu tirinya.

“Nak, sifat orang berbeda-beda. Karena di sini Bibi sebagai pekerja, jadi sudah sewajarnya melakukan kewajiban,” Bi Yuni menasihati. “Oh ya, kamu pergi sendiri atau dengan Nak Andri?” tanya Bi Yuni mengalihkan pembicaraan.

Zelda menghela napas. “Sendiri, Bi. Andri mungkin masih tenggelam dalam mimpinya. Ya sudah, kalau Bibi tidak mau ikut, aku pergi sekarang. Oh ya, nanti sekalian aku sarapan di luar.” Zelda mencium punggung tangan kanan Bi Yuni sebelum melanjutkan langkahnya mencapai pintu utama.

“Jangan sarapan sembarangan dan hati-hati,” Bi Yuni mengingatkan. “Andaikan Zelda dan Andri menjadi sepasang kekasih, pasti keduanya sangat serasi,” ujarnya dalam hati saat melihat punggung Zelda menghilang di balik pintu utama yang kokoh.

•••

Andri duduk sambil menekuk lututnya di atas susunan batu karang yang berfungsi menahan abrasi air laut di Pantai Matahari Terbit. Semilir angin laut yang berembus memberi rasa sejuk pada tubuhnya. Matanya masih setia menanti sapaan sinar sang surya sambil memandang tenangnya air laut. Ternyata banyak juga orang seperti dirinya, menantikan kemunculan matahari. Orang-orang tersebut turut mengajak teman dan keluarga mereka sambil saling bercengkerama satu sama lain, bahkan terlihat sepasang wisatawan asing berangkulan mesra menanti munculnya pusat dari tata surya. Melihat pemandangan di sekelilingnya membuat Andri tersenyum kecut, karena saat ini dirinya hanya sendirian.

Ketika sibuk meratapi kesendiriannya, kening Andri mengernyit saat matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya berada tidak jauh dari tempatnya duduk. Dia pun menyipitkan mata untuk memastikan penglihatannya. Setelah meyakini jika sosok yang tengah berdiri sambil menatap laut dan mengeratkan cardingan itu, tidak lain lawan bicaranya di telepon tadi, Andri segera bangun dari duduknya kemudian berlari. Dia ingin mengejutkan wanita yang kini sibuk menggerak-gerakkan telapak kakinya pada lembutnya pasir hitam.

“Sedang apa di sini, hm?” ujar Andri sambil memeluk dari belakang tubuh wanita yang tadi dihampirinya.

Meski tubuhnya sempat menegang karena tiba-tiba dipeluk dari belakang, Zelda akhirnya mengembuskan napas lega saat hidungnya mencium aroma tubuh yang sangat dikenalnya. Dia menjauhkan kedua tangan Andri dari tubuhnya dengan sedikit kasar karena tidak terima atas tindakan laki-laki itu yang membuatnya terkejut. “Andri, kamu benar-benar keterlaluan ya?! Sudah mengganggu tidur nyenyakku, sekarang malah membuatku terkejut dengan pelukanmu yang tiba-tiba!” hardik Zelda setelah menghadap laki-laki tinggi sekaligus ayah dari janinnya.

Andri menyengir dan mengusap tengkuk kepalanya yang tidak apa-apa. “Iya, aku minta maaf,” ujarnya cengengesan.

“Kamu senang jika aku kena serangan jan ….” Zelda tidak bisa melengkapi kalimatnya karena Andri telah mengecup bibirnya.

Setelah cukup menghentikan kalimat Zelda dengan kecupannya, Andri berkata, “Jangan dilanjutkan lagi, sebaiknya kita lihat dulu matahari yang telah siap menyapa bumi dan seluruh penghuninya.” Tanpa menunggu tanggapan, dia menggiring tubuh Zelda agar duduk dan menyaksikan tujuan utama mereka mendatangi tempat ini.

“Cantik,” Zelda mengomentari cahaya yang di keluarkan sang surya di pagi hari.

“Iya,” Andri menyetujui. “Tidak kalah cantik wanita yang kini tengah bersamaku dan dalam rangkulanku,” sambungnya tanpa mengalihkan pandangan.

“An, jangan mulai lagi,” Zelda memperingatkan dengan nada yang sengaja dibuat ketus, meski sebenarnya dia merona terhadap pujian Andri.

Andri mengulum senyum saat ekor matanya menangkap wajah merona Zelda. Dia mengeratkan rangkulannya pada wanita yang kini menyandarkan kepala pada bahunya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, keduanya menikmati indahnya sinar matahari di pagi hari.   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status