Share

Mr. Wolfy and His Siren Mate (INDONESIA)
Mr. Wolfy and His Siren Mate (INDONESIA)
Penulis: Kennie Re

1. Gadis Berambut Perak

Seorang pria dengan postur tegap berjalan memasuki kelab malam yang penuh hingar-bingar. Langkahnya yakin akan menemukan sesuatu yang ia cari. Seperti apa yang dikatakan oleh seseorang yang ia kenal, bahwa di tempat itu, ia harus menemukan seorang gadis dengan ciri seperti yang disebutkan olehnya.

Pandangannya tajam mengedar ke seluruh penjuru ruangan dengan lampu temaram, mencari sosok yang sesuai dengan ciri yang telah ia kantongi.

Pertama kali, tatapannya terarah ke ruang VIP, di mana gadis dengan warna rambut serupa pasti ada di sana. Tidak mungkin rasanya kalau gadis dengan tampilan mewah dan penggambaran luar biasa itu ada di barisan tamu yang biasa-biasa saja.

Apalagi kalau dia hanyalah seorang pegawai kelab. Atau mereka-mereka yang masuk dengan menggunakan kartu pass gratis.

“Hey, tampan. Apakah kau mencari seseorang?” sapa salah seorang gadis yang melewati tubuh pria yang masih tegap di tempatnya itu. Ia tak ingin duduk kecuali dengan gadis yang ia cari.

Pria itu mengangguk.

“Apakah rambutmu berwarna perak?” tanya pria itu.

“Apa? Rambutku tidak berwarna perak, sayang, tetapi blonde. Apa bedanya? Kau akan tetap mengerang keras menikmati permainanku. Bagaimana?”

Cukup menggoda bagi pria itu, rasanya. Namun, tidak. Tidak untuk saat ini. Karena inilah tujuannya mengapa ia harus mencari si gadis berambut perak itu, karena ia tidak bisa melakukannya dengan siapa pun, selain gadis itu.

SIAPA PUN!

Beberapa gadis lain lantas mendekatinya, sama seperti yang pertama.

Wajar saja, pria seperti Maximillian Reynz, pengusaha muda dengan karisma tak tertandingi, meski terkenal sebagai salah satu Kasanova paling diburu oleh para gadis dari berbagai kalangan usia, dan menjadi bahan fantasi wanita yang mendambakan belaiannya, ia seorang tipe pemilih.

Langkahnya terhenti saat dirinya tiba di sebuah meja bar. Apa salahnya kalau dia mampir dan minum sebentar saja? Lagi pula, malam ini terlalu indah untuk ia habiskan dengan wanita misterius. Bagaimana kalau ia mencoba sekali lagi, memilih seorang perempuan untuk ia ajak bermalam?

“Hey, kata temanku kau tadi menolaknya. Namun, aku yakin kau tidak akan menolak jika itu denganku.” Seorang perempuan mendekatinya dengan penuh percaya diri.

Dari pakaiannya, Max bisa menyimpulkan kalau wanita itu adalah seorang pole dancer, atau bisa jadi penari telanjang.

Max mendengkus.

“Mengapa kau percaya diri kalau kau lebih baik dibanding temanmu? Apa warna rambutmu?” tanya Max, sama seperti yang ditanyakannya pada wanita sebelumnya.

“Hitam. Tapi aku bisa mewarnainya jadi apa pun yang kau mau. Aku berani jamin.”

“Persetan dengan rambut perak!”

Max menarik wanita itu ke sudut ruangan, mulai melancarkan aksinya dengan mengecupi tiap inci permukaan kulit wanita yang telah siap dengan apa oun yang akan Max lakukan padanya.

Wanita itu mendesah, sesekali mengerang. Max belum melakukan apa-apa terhadapnya, tetapi di beberapa permukaan tubuhnya sudah mulai terasa sensasi yang biasa ia rasakan ketika birahinya meninggi.

‘Tidak, tidak ... tidak boleh seperti ini! Fuck!’ rutuknya dalam hati. Seperti kejadian sebelumnya, wanita itu mendelik sejenak menemukan kenyataan bahwa ia tengah bercumbu dengan makhluk mengerikan. Wanita itu menjerit histeris, lalu pingsan.

***

Fuck!

Max tak henti merutuki kesialannya. Ia tak ingat kapan hal semacam ini pertama kali terjadi. Tak ada yang mengatakan apa pun padanya. Ia merasa ini adalah sebuah kutukan. Namun, mengapa saat dalam keadaan biasa dia masih berupa dirinya yang biasanya.

Namun, menjelang usianya yang ke dua puluh lima tahun, ia mulai menunjukkan gejala aneh.

Ia tak lagi bisa bebas meniduri wanita sesuka hati karena mereka rata-rata akan kabur atau pingsan bahkan di awal permainan.

Sialan!

Lagi, Max mengumpat tak karuan. Seharusnya di usianya ini ia mulai memikirkan untuk memiliki kekasih atau bisa jadi selamanya menjadi don juan, tak masalah baginya.

Namun, dengan kondisinya yang seperti ini, memangnya bisa?

Baru beberapa langkah keluar dari bangunan yang sebelumnya ia datangi, langkahnya terhenti. Dari kejauhan ia melihat sebuah keributan yang terjadi antara seorang wanita dengan beberapa pria berpakaian serba hitam. Max bisa melihat, pria-pria itu tampaknya menginginkan sesuatu dari sang wanita, meski ia tak tahu apa yang mereka mau.

Terjadi tarik-menarik antara salah seorang dari mereka dengan wanita bertudung itu. Mulanya Max tak ingin pedulikan apa yang mereka lakukan. Hidupnya sudah cukup rumit beberapa waktu terakhir. Ia tak ingin berurusan dengan hal lain yang akan membawa masalah baru baginya.

Ia kemudian hendak masuk ke mobil yang dikemudikan seorang sopir, malam ini ia sengaja pergi ke mana pun tidak dengan berkendara sendiri. Apa pun bisa terjadi dalam pencariannya terhadap gadis berambut perak itu.

Bisa saja ia berakhir di ranjangnya, atau bahkan membuat beberapa wanita pingsan karena ketakutan—seperti yang terjadi beberapa menit lalu.

“Lepaskan aku, bajingan! Kau tidak bisa mengambil milikku sembarangan!” pekik gadis itu, yang terdengar lamat-lamat di telinga Max. Pria itu memelankan gerakan tangannya yang hendak menutup pintu mobil, tetapi urung ia lakukan.

“Kita jalan sekarang, Tuan?” tanya sopirnya. Max tak menjawab, hanya memberi isyarat dengan tangannya.

Sopirnya mengangguk pelan, kemudian bergeming, menanti perintah dari Max yang sedang merasa terusik akan kejadian yang tengah terjadi tak jauh dari tempatnya. Ia ingin mengabaikan apa pun itu, tetapi sisi lain dirinya memaksa untuk turun tangan.

Setidaknya ia ingin tahu apa yang sedang terjadi di sana.

“Kau harus membayar hutangmu, atau kau akan pulang tanpa membawa apa pun, bahkan kehormatanmu sekali pun!” sentak pria dengan tubuh paling besar di antara lainnya.

Gadis itu masih tetap memegangi tasnya dan bersikeras tak akan memberikan apa pun yang ia punya.

“Aku sudah katakan padamu, beri aku waktu! Dan jangan dengarkan pria pemabuk itu! Aku tak akan pernah mau mengikuti keinginannya untuk menjadi wanita penghibur! Kau dengar itu?!”

“Gadis ini sungguh keras kepala! Dalton, pegangi tangannya!”

Gadis itu berusaha untuk melepaskan diri, ia menjerit meminta tolong, tetapi jalanan itu terlalu sepi untuk dilewati orang-orang. Hanya beberapa pengunjung kelab yang akan hilir-mudik. Namun, tidak mungkin juga akan menolong gadis itu jika melihat bagaimana tampilan beberapa pria yang berseteru dengannya.

Max menggeleng, tak sabar melihat kejadian yang tidak juga menemukan titik terang. Ia bahkan masih juga tidak tahu apa yang terjadi sampai gadis itu begitu bersikeras tidak ingin ikut dengan pria-pria itu.

Apakah mungkin ia adalah putri dari seorang konglomerat yang kini dicari karena melarikan diri?

“Hey, bung, apa yang terjadi?” tanya Max, mendekat dan memandang secara bergantian ke arah gadis itu kemudian pria yang masih ngotot hendak membawanya pergi.

“Ini bukan urusanmu. Enyahlah!” hardik pria itu, merasa kalau Max telah mengganggu pekerjaannya.

“Tuan, tolong aku! Mereka akan membawaku untuk dijual ke tempat pelacuran, tolong, bebaskan aku!” rintih gadis itu dengan suara merdunya. Max tertegun sesaat, nyaris tenggelam dalam buaian intonasi suara gadis itu. Namun, di detik berikutnya, ia tersadar dan menoleh pada sang gadis.

“Tutup matamu, Nona. Jangan buka sebelum aku menyuruhmu!”

Ivory mengangguk, kemudian mulai memejamkan mata. Tak sedikit pun ia mengintip, karena ia tak ingin mengkhianati pria yang akan menjadi dewa penolongnya hari ini.

Gadis itu sempat mendengar Max berbincang dengan beberapa pria yang hendak membawanya—seperti tengah bernegosiasi. Max mengatakan dengan tegas kalau dirinya akan membayar hutang yang dipunyai gadis itu, berapa pun jumlahnya.

Sayangnya, pria-pria itu juga membeberkan kenyataan bahwa ayah gadis bernama Ivory itu sudah menjualnya pada seseorang dikarenakan hutang yang tak akan pernah bisa dibayar, karena jumlahnya yang terlampau banyak.

Bahkan saat Max mengatakan kalau dirinya akan melunasi semuanya, pria-pria itu tetap bersikeras.

Max tidak bisa bersabar lagi.

Dari apa yang Ivory dengar, hanya geraman dan suara baku hantam serta tumbukan antara benda tumpul yang jatuh menghantam aspal. Juga beberapa kali suara tembakan yang membuat Ivory menunduk dan bersembunyi.

Ia tidak mau mati konyol karena keributan itu.

Dan tanpa ia sadari, Max sudah berada di sampingnya, mengulurkan tangan demi membantu gadis itu berdiri.

“Semua sudah baik-baik saja. Bangunlah, Nona.”

Ivory yang semula merunduk dan menutupi kedua telinga dengan tangannya, akhirnya mendongak dan menemukan Max berdiri di dekatnya dengan tanpa menggunakan kemejanya. Napasnya terengah, dikarenakan ia telah berhasil menghajar beberapa pria besar yang sejak tadi mengganggu Ivory.

Gadis itu melongo melihat pemandangan di hadapannya.

Pria-pria bertubuh besar itu tergeletak tak berdaya. Max berhasil mengalahkannya dengan terlalu mudah. Siapa sebenarnya pria itu?

“K-kau mengalahkan mereka sendiri? Tanpa senjata?” tanya Ivory dengan tatapan takjub. “Luar biasa!”

“Mengapa mereka memaksamu untuk ikut dengan mereka? Apakah benar seperti yang kau dan mereka katakan?”

Ivory mengangguk. Ia kemudian bergegas merapikan dirinya dan hendak pergi saat kemudian Max mencekal lengannya.

“Kau mau ke mana?”

“Maafkan aku, Tuan. Terima kasih atas bantuanmu, tapi aku harus pergi sebelum Benjamin Agony mendengar kalau orang suruhannya tak berhasil membawaku. Ia akan datang dan—“

Max mencekal lengan gadis itu lebih erat. Matanya tak lepas memerhatikan apa yang terselip di balik telinga gadis itu yang sejak tadi mengusik perhatiannya. Ia tak mungkin salah lihat, sejak tadi tak satu pun wanita yang memiliki apa yang ia cari, tetapi gadis ini, jelas dialah orangnya.

“Rambutmu berwarna perak?”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Kennie Re
Terima kasih kak...
goodnovel comment avatar
Kennie Re
Salam kenal kak. Terima kasih sudah mampir, semoga suka sama ceritanya...
goodnovel comment avatar
Rema Melani
mulai penasaran...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status