“Benda ini akan kusimpan. Kau tak perlu lagi bertanya mengenai gadis itu, Max. Kau sudah menyusahkan banyak orang, kau tahu itu?!” omel Mirielle, saat tahu sang kakak kembali menemuinya demi memastikan beberapa kepingan menyerupai logam yang warnanya sedikit tak lazim.Mirielle bisa saja mencari tahu mengenai benda itu, atau pun mengenai Ivory. Namun, ia tak lakukan. Tidak semudah itu.Ia sudah tahu apa yang terjadi pada Max yang membuat dirinya terus mencari gadis itu. Dan Mirielle yakin, jika ia membantu Max, pada akhirnya pria itu akan membuat masalah lagi.“Mengapa kau begitu tega pada kakakmu, Elle?! Aku tahu kau pasti sudah tahu di mana keberadaan Ivory.”Mirielle memutar tubuh dan menancapkan tatapannya pada manik sewarna kiwi milik pria di hadapannya, kemudian terus memandanginya tanpa teralihkan. Memang begitu niat Mirielle, untuk mengintimidasi Max agar ia berterus terang atas apa yang telah ia lakukan terhadap gadis itu.“A-aku hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh nenek
Tak penting siapa pria bernama Benjamin yang kini tengah mengungkung Ivory menjadi tawanannya. Karena yang paling penting saat ini adalah pria itu memperlakukan Ivory dengan sangat baik.Bahkan terlalu baik jika dibandingkan dengan perlakuan Max terhadapnya.Terlebih setelah pria itu berhasil mengembalikan kaki Ivory, gadis itu merasa sangat berterima kasih.“Mengapa kau berbuat baik terhadapku? Apa yang kau inginkan?” tanya Ivory, masih dengan nada skeptis yang tak mungkin akan sirna meski dengan perlakuan baik dari Benjamin sekali pun.Ia tetap saja akan bertanya mengenai asal-usul pria dengan tampilan menawan itu.“Aku adalah mimpi indahmu, Ivy. Kau tak perlu cemas, karena aku tidak akan menyakitimu.”Ivory masih tak percaya. Ia menajamkan tatapan ke arah pria itu demi menemukan kebenaran di dalam bola matanya yang berkilau.“Kau pasti memiliki tujuan buruk. Katakan padaku!”Benjamin terkekeh.“Apa menurutmu seperti itu? Boleh saja jika kau berpikir begitu. Namun, kau bisa buktikan
Ivory duduk termangu memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Wajahnya memberengut, teringat kejadian di kelab yang membuat perasaannya bercampur aduk. Ia kesal sekaligus malu. Benjamin harus tahu apa yang dilakukan anak buahnya itu yang membuat Ivory tidak bisa menikmati malam pestanya beberapa jam lalu. “Jadi Black menghajar pria itu?” tanya Benjamin sembari menyodorkan segelas minuman untuk Ivory. Ivory meraih gelasnya tetapi tidak memberi respon sama sekali. Ia masih marah, tentu saja. Meski ia tak tahu, apa alasan dirinya kesal pada sikap Black barusan. Pria itu dimandat oleh Benjamin untuk menjaganya, jadi wajar saja ia bertindak saat ada pria yang menyentuh Ivory. “Dan kau marah padaku padahal Black yang memukul pria itu. Memangnya siapa pria itu sampai kau begitu kesal, hm?” “Bukan siapa-siapa, Ben. Hanya tamu yang ingin melihat tarianku. Dan anak buahmu yang berlebihan itu justru membuatku malu!” Benjamin tergelak mendengar omelan Ivory yang justru terdengar beg
Ivory kembali melakukan apa yang ia suka. Mulanya ia tak berniat untuk keluar dari kamarnya—bagaimana pun, kelab ini bukan tempat yang sesuai untuknya. Namun, ia sering kali merasa bosan, dan saat pertama kali melangkahkan kaki memasuki kelab, ketertarikannya akan tiang dansa itu membuatnya ketagihan. Benjamin adalah seorang yang cemburuan. Ia memerintahkan Black dan Blue untuk menjaga selama Ivory berada di atas meja dansa. Dan kedua pengawal itu melakukannya dengan baik. “Black, kau dengar aku! Aku tidak mau kau mengulangi apa yang kau lakukan kemarin. Apa kau mengerti?” tegas Ivory saat mereka berada di ruang ganti khusus. Black berada di luar ,sementara Ivory di dalam dan menukar pakaiannya dengan kostum yang telah disediakan untuknya. Suara Ivory terdengar sampai ke tempat Black, tetapi pria itu dilanda kegalauan. Ia menerima perintah dari Benjamin agar tak ada seorang pun yang bisa menyentuh Ivory, sementara gadis pembangkang itu menginginkan kelonggaran. Namun, jika Black
“Bagaimana bisa ia melepaskan diri?” tanya Benjamin pada anak buahnya, geram. Matanya memerah, bukan lantaran karena amarah melainkan memang itulah wujud asli Benjamin dan semua tahu itu. Namun, tak berbeda dari Benjamin, mereka semua adalah berasal dari ras yang sama. Benjamin masih berusaha menahan amuknya. Ia tak percaya Ivory bisa kabur begitu saja karena ia masih dalam bentuk mermaid dan mustahil ia bisa keluar dari akuarium tanpa bantuan siapa pun. “Apakah ada dari kalian yang telah membantunya?” Lagi, pria itu mengintimidasi para pengawal yang ia tugaskan untuk berjaga. Dan salah satunya adalah Black yang secara khusus ia tunjuk untuk menjadi penjaga khusus untuk Ivory. Semua tertunduk mendengar pertanyaan Benjamin. Tak ada satu pun yang berani buka suara. Bahkan Black. “Kau ... apakah kau melakukan sesuatu terhadapnya?” serang Benjamin pada Black. Lelaki itu mengangkat wajah dan siap untuk menceritakan segala hal yang sesungguhnya tak bisa ia percayai. “Ia ... tiba-tiba
“Di mana Max?” tanya Mirielle pada ibu dan ayahnya saat tengah menikmati makan malam bersama. Keduanya saling berpandangan dengan alis yang tampak berkerut. “Apakah tidak ada di kamarnya? Bukankah kau bareu saja dari sana?” tanya Marion, yang berusaha menekan rasa cemasnya karena memang Max tidak kelihatan sejak siang tadi setelah mereka sedikit bersitegang. Namun, Mirielle menggeleng. “Aku memang dari sana dan ia tidak ada. Apa mungkin ja menemui Ivy di danau?” gumamnya bermonolog. Ia kemudian melanjutkan makan dan beranjak untuk mencari keberadaan Max. Namun, dengan cepat Marion menahan lengan putrinya dan membawanya ke sudut ruangan agar pembicaraan mereka tidak terdengar oleh William atau lainnya. “Siapa gadis itu, Elle? Apakah ia—“ “Kau tidak perlu cemas, Ma. Ia gadis biasa yang memang bukan manusia biasa. Tapi memangnya kenapa? Bukankah kita semua juga bukan manusia?” jawab Elle, terdengar santai. “Ya, aku tahu dan tidak mencemaskan kita. Max ... bisa saja ia memangsa gad
Benjamin masih dalam pencarian terhadap Ivory dan hingga kini belum juga menemukannya. Tak ada satu pun anak buahnya yang berani muncul sebelum menemukan Ivory. Karena jelas seperti perintahnya, ia akan menghukum jika mereka kembali tanpa hasil. Benjamin mulai frustasi dan putus asa. Ia tak pernah mengira begitu gila dirinya ketika tahu kalau Ivory menghilang. Padahal sebelumnya ia tak pernah begitu terpatri pada perempuan mana pun. Semua hanya untuk bersenang-senang. Sama seperti yang ia lakukan terhadap Ivory. Kesenangan, kenikmatan, pemuasan, hanya itu yang ada di kepalanya. Dan atas apa yang Ivory berikan padanya—bahkan kepuasan seksual—ia memperlakukan Ivory layaknya ratu. Ia akan penuhi apa pun yang gadis itu inginkan. Segala yang ia kehendaki akan Benjamin penuhi. Tanpa terkecuali, karena ia tak pernah tahu, dengan siapa Ivory pertama kali bertemu dan meninggalkan hatinya. Itu adalah janjinya terhadap Ivory. Namun, Benjamin tak menyangka gadis itu melarikan diri yang artiny
Max tak terima mendengar racauan Ivory yang membuat dadanya memanas. Tak seharusnya gadis itu mengucapkan itu semua. Jika Ivory sampai mengatakan segamblang itu, maka artinya gadis itu memang menginginkan Benjamin. Bukan hanya karena ia mabuk, melainkan karena ia memang menginginkannya dari pria pucat itu. “Hentikan Ivory. Jangan katakan itu lagi. Aku—” Max tak kuasa melanjutkan perkataannya, tetapi dalam batinnya sudah bergemuruh amarah yang memuncak. Ia ingin memberi pelajaran pada gadis itu, tetapi apa? Lelaki itu tak mungkin memendam perasaannya. Ia melucuti helai demi helai pakaian yang melekat di tubuh Ivory, meraup bibir gadis itu dengan bibirnya dan mengecupnya dalam dan penuh perasaan. Ia akui atau tidak, nyatanya ia cemburu ketika mendengar Ivory menyebut nama Benjamin. Ia tak terima pria itu menyentuh Ivory meski ia juga tak punya hak untuk marah. Ivory bukan siapa-siapanya, bahkan pernah jadi seseorang yang ingin ia lenyapkan. Dan mengingat hal itu setiap kali membua