Beberapa tahun kemudian ... “Apakah kau percaya itu, Max? Kau lihatlah putra-putri kita. Mereka kini berusia delapan belas tahun dan—oh! Apakah kau dulu juga mengalami ini? Usia berapa kau berubah menjadi dewasa?” tanya Ivory saat sadar bahwa si kembar, Isaac dan Mackenzie telah berubah menjadi berusia delapan belas tahun di usia mereka yang kelima. Max tertawa mendengar komentar polos Ivory. Ia lantas meraih wanita itu dalam dekapannya dan mengecup bibirnya sekilas. “Di usia tiga tahun aku berubah menjadi delapan belas tahun dan menjalani pelatihan dari kakek Jeremiah untuk menerima jabatan darinya sebagai seorang alpha Alsenic pack. Apakah kau tidak mengalami itu?” “Apakah aku kelihatan seperti manusia ajaib seperti kalian?” tanya Ivory yang dijawab gelak tawa oleh Max. “Baiklah, artinya usia kita terpaut sangat jauh. Kau seharusnya lebih tua dibanding diriku. Benar begitu, kan?” Ivory mengangguk, kemudian menoleh lagi pada Isaac dan Mackenzie yang telah menghabiskan sarapan mere
Seorang pria dengan postur tegap berjalan memasuki kelab malam yang penuh hingar-bingar. Langkahnya yakin akan menemukan sesuatu yang ia cari. Seperti apa yang dikatakan oleh seseorang yang ia kenal, bahwa di tempat itu, ia harus menemukan seorang gadis dengan ciri seperti yang disebutkan olehnya.Pandangannya tajam mengedar ke seluruh penjuru ruangan dengan lampu temaram, mencari sosok yang sesuai dengan ciri yang telah ia kantongi.Pertama kali, tatapannya terarah ke ruang VIP, di mana gadis dengan warna rambut serupa pasti ada di sana. Tidak mungkin rasanya kalau gadis dengan tampilan mewah dan penggambaran luar biasa itu ada di barisan tamu yang biasa-biasa saja.Apalagi kalau dia hanyalah seorang pegawai kelab. Atau mereka-mereka yang masuk dengan menggunakan kartu pass gratis.“Hey, tampan. Apakah kau mencari seseorang?” sapa salah seorang gadis yang melewati tubuh pria yang masih tegap di tempatnya itu. Ia tak ingin duduk kecuali dengan gadis yang ia cari.Pria itu mengangguk.
“Apa maumu?” selidiknya. Tangannya mengacungkan sebilah pisau dan menodongkan ke arah Max. “Tunggu! Jangan marah dulu, aku tak akan menyakitimu. Aku akan membayarmu mahal. Berapa pun yang kau minta!” ucap Max sembari melangkah maju, mengikis jarak antara dirinya dan gadis itu. Gadis itu tak langsung menjawab perkataan Max. Namun, perlahan ia menurunkan benda yang ada di tangannya. Gadis itu kini menilik penampilan pria berjas dengan rambut coklat ditata sedikit berantakan, tatapan mata tajam dengan iris hazel memukau dan menghipnotis gadis itu untuk sesaat. Ia hampir saja langsung mengatakan setuju saat itu juga. “Apa yang harus kulakukan sampai kau berani memberi penawaran tinggi? Aku tidak mau menjadi kurir narkotika atau human traficking,” jawabnya. “Bukan semuanya. Aku mau kau melepaskan kutukan yang ada padaku.” Gadis itu terkekeh. Sulit dipercaya! Pria dengan penampilan modern seperti Max masih percaya takhayul yang mengatakan kalau dirinya menderita sebuah kutukan. Gadis
Sinar matahari menyeruak dari balik tirai. Jendela kaca berukuran besar memudahkan ruangan tersebut tersirami hangat sinar mentari pagi.Ivory menggeliat perlahan, berusaha melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.Ia memekik lirih kala merasakan tulang belulangnya yang terasa bagai diremukkan hingga lumat. Ia menoleh ke sampingnya, Max tak ada di sana. Di mana lelaki itu?“Selamat pagi,” sapa seorang lelaki dengan suara baritonnya yang berat. Jika orang tak tahu, mungkin akan mengira ia sudah berusia tiga puluhan, padahal ia belum mencapai angka itu.“Hey ... maaf, aku tidur seperti orang mati. Apakah kau akan bekerja?” tanya Ivory yang dijawab anggukan oleh Max.Lelaki itu kemudian duduk di dekat Ivory yang sudah bangkit setelah melilitkan selimut di dadanya. Pasti Max yang memakaikan benda itu di tubuhnya saat ia terlelap semalam.Setelah mencapai puncak, ia merasa sangat letih dan mengantuk, lalu tak sadar memejamkan mata.“Aku akan menepati janjiku.” Lelaki itu menyodorkan
“Apa kau menguntitku?” tuding Max, yang membuat Ivory mencebik.“Apa? Aku? Menguntitmu? Apa untungnya, Tuan? Kau sudah memberikan apa yang kau janjikan, bagiku sudah lebih dari cukup!”“Ya, siapa tahu kau ingin menuntut tanggung jawabku karena telah merenggut keperawananmu. Wanita jaman sekarang sering kali tidak masuk akal.” Max menggerutu, kemudian kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.“Kalau kau sudah selesai, kau bisa kembali ke tempatmu!” titahnya, dingin.Ivory memandangi Max sejenak. Lelaki itu begitu angkuh dan tak berperasaan, padahal beberapa jam lalu, ia bersikap lembut padanya dan tidak menunjukkan sikap arogansinya.Ivory tak ingin banyak bicara. Ia segera menyelesaikan pekerjaannya lalu angkat kaki dari ruangan bosnya itu.Gadis itu mengembalikan perlengkapan kembali ke tempat semula sembari menggerutu. Ia sangat menyesali kebodohannya telah membantu lelaki angkuh itu untuk lepas dari kutukan dan merelakan keperawanannya.“Andai saja aku bisa berpikir jernih tadi
Ivory bergegas membereskan barang-barangnya, karena ia tak lagi berniat untuk berjualan di tempat yang sama. Ia masih sempat mendengar geraman dan teriakan bosnya sebelum ia pergi dari kantor dan ia pastikan tak akan kembali ke tempat itu lagi.Ia takut kalau pria itu nantinya akan mencari dan memintanya kembali bekerja.Ya ... itu hanya pikiran Ivory yang mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Pria sombong seperti Max tak akan pernah membutuhkan orang sepertinya, bukan?Kalau pun Max mencari dan meminta sesuatu dari Ivory, maka Ivory akan pastikan tak akan pernah memberikan kesempatan seujung kuku pun untuk pria itu. Ia tak ingin terluka untuk ke sekian kalinya.Baru saja Ivory hendak pergi, ponselnya berdering begitu nyaring hingga ia bergegas untuk menjawab panggilan itu sebelum suara telepon genggamnya itu terdengar hingga ke luar rumah. Jangan sampai siapa pun mengetahui keberadaannya.“Ivy, di mana kau?” tanya si penelepon di seberang.Ivory tahu siapa yang menghubunginya, tent
Max berjalan tanpa tujuan. Tidak! Tujuannya tentu saja ke rumah. Ia harus menemui orang yang mungkin bisa menyelamatkannya dari dosa yang telah ia lakukan. Ia telah melenyapkan gadis itu. Ivory pasti sudah mati karena terjatuh ke laut yang dingin dan dalam. Ditambah, dengan ketinggian antara jembatan dan permukaan laut, tak mungkin jika tubuhnya tidak terempas.Kalau pun gadis itu selamat, mungkin ia akan mengalami gegar otak lalu hilang ingatan. Namun, sepertinya itu lebih baik ketimbang kehilangan nyawa.Max masuk ke dalam rumah, bajunya compang-camping tak keruan karena perubahannya yang sembarangan dan mulai tidak terkontrol. Ia tak mengerti mengapa itu bisa terjadi, tetapi begitulah kenyataannya.Ia adalah seorang monster sekarang. Ditambah lagi dirinya sudah melenyapkan seorang gadis yang tak punya andil atas kondisinya.“Mirielle! Kau di mana, Elle!” panggil Max, tergesa dan tampak gurat cemas di wajahnya. Saudara kembarnya yang sejak tadi mengurung diri di kamar, terjingkat ka
Ivory merasa jantungnya berdegup tak karuan, napasnya memburu—berusaha memusnahkan benda aneh yang seperti melekat pada bagian tubuhnya ini. Ia adalah seorang manusia, bukan ikan! Namun, mengapa kini dirinya tak jauh berbeda dengan apa yang barusan menyelinap di kepalanya?Benarkah apa yang dilihatnya saat ini bahwa ia adalah seekor makhluk air yang juga termasuk makhluk mitologi dan tak akan pernah dipercaya keberadaannya?Putri duyung hanyalah dongeng pengantar tidur. Sangat sulit baginya mempercayai kalau dirinya adalah bagian dari makhluk mitologi, sama seperti Max yang seorang manusia serigala!Ivory tak akan pernah percaya itu!Gadis itu bangkit, sudah bukan lagi waktunya untuk meratapi nasib, karena bisa saja seseorang menyadari keberadaannya di sana. Dan dengan penampilannya saat ini, bisa saja orang-orang akan beramai-ramai menjadikannya bahan tontonan atau bahkan membawanya untuk dikuliti dan dijadikan santapan makan malam.Ivory bergidik membayangkan hal-hal mengerikan itu