Max berjalan tanpa tujuan. Tidak! Tujuannya tentu saja ke rumah. Ia harus menemui orang yang mungkin bisa menyelamatkannya dari dosa yang telah ia lakukan. Ia telah melenyapkan gadis itu. Ivory pasti sudah mati karena terjatuh ke laut yang dingin dan dalam. Ditambah, dengan ketinggian antara jembatan dan permukaan laut, tak mungkin jika tubuhnya tidak terempas.
Kalau pun gadis itu selamat, mungkin ia akan mengalami gegar otak lalu hilang ingatan. Namun, sepertinya itu lebih baik ketimbang kehilangan nyawa.Max masuk ke dalam rumah, bajunya compang-camping tak keruan karena perubahannya yang sembarangan dan mulai tidak terkontrol. Ia tak mengerti mengapa itu bisa terjadi, tetapi begitulah kenyataannya.Ia adalah seorang monster sekarang. Ditambah lagi dirinya sudah melenyapkan seorang gadis yang tak punya andil atas kondisinya.“Mirielle! Kau di mana, Elle!” panggil Max, tergesa dan tampak gurat cemas di wajahnya. Saudara kembarnya yang sejak tadi mengurung diri di kamar, terjingkat kala Max akhirnya merangsek masuk ke ruangan pribadinya.“Jeez, Max! Apa yang kau lakukan di kamarku?” sergah Mirielle yang merasa terganggu akan kehadiran Max. Nyaris saja ia menyiramkan cairan di tangannya ke arah kakaknya itu.“Whoah! Apa yang kau pegang itu? Apakah itu wolfsbane?” tanya Max yang tak habis pikir dengan hobi sang adik yang selalu membuat eksperimen ramuan aneh di dalam ruang pribadinya. “Kau harus meminta ayah dan ibu untuk menyediakan ruang laboratorium untukmu! Itu sangat berbahaya, Elle!”Mirielle tergelak melihat ekspresi Max yang ketakutan kala gelas kimia di tangan Mirielle kini berada tepat di depan wajahnya.Mirielle memberi isyarat agar Max menunggu, sementara dirinya perlahan menuangkan cairan itu ke dalam ampul yang berbeda, kemudian menyimpannya di dalam lemari pendingin yang juga berada di dalam kamarnya.Sungguh, kamar Mirielle lebih mirip laboratorium kimia ketimbang sebuah kamar.“Katakan itu pada ayah dan ibu, karena aku sudah meminta sampai puluhan kali. Dan hanya dijawab dengan lirikan,” ungkap Mirielle yang kemudian menyadari kalau saudara kembarnya baru saja mengalami masalah.Ia menoleh tiba-tiba dan menatap ke dalam iris hazel milik pria di hadapannya. Jika sudah begitu, tak mungkin Max bisa berbohong dari adiknya itu.“Apa yang terjadi, Max? Apakah kau telah melakukan kesalahan?”Max yang ditodong pertanyaan seperti itu, hanya mondar-mandir sembari meremas rambut ikalnya.Ia mengingat kembali bagaimana kejadian, asal mula pertemuannya dengan Ivory, lalu bagaimana dirinya berniat melenyapkan Ivory hingga terjatuh dari jembatan. Ingatan itu membuatnya memejamkan matanya dengan paksa. Andai bisa, ia ingin melupakan semua yang pernah ia lakukan bersama gadis itu. Namun, jelas ia tak akan mampu.Bahkan hingga saat ini, aroma tubuh Ivory masih terus berputar di rongga hidung Max yang mau tak mau membawa kenangan malam indah dengan gadis itu.“Elle, aku yakin kau pasti mengetahui sesuatu. Kau selalu menjadi yang paling tahu, kau bahkan bisa meramal apa pun.”“Apa maksudmu? Aku bukan cenayang, Max, aku tak bisa meramal!” elaknya. Padahal apa yang dikatakan Max mengenai dirinya hampir seratus persen benar.Max mengambil paksa apa yang ada di tangan Mirielle dan ia akan pastikan tidak akan mengembalikan sebelum Mirielle menjawab pertanyaan yang akan ia ajukan untuknya.“Max, hey! Itu berbahaya, Max, kembalikan padaku!” Mirielle mencoba mengambil kotak yang ada di tangan Max, tetapi pria itu bergerak lebih cepat dan berhasil menyembunyikan benda itu dari pandangan Mirielle. “Baiklah, katakan apa yang kau ingin aku lakukan. Katakan sekarang, sebelum aku berubah pikiran!”Sebuah kebetulan bagi Max untuk menanyakan banyak hal pada saudara kembarnya mengenai Ivory. Bisa saja Mirielle tahu, apakah gadis itu sudah mati atau masih hidup dan berada di suatu tempat.“Elle, apakah kau mengetahui tentang gadis bernama Ivory?” tanya Max, agak takut jika Mirielle bisa membaca bahwa ia telah melakukan hal buruk terhadap gadis itu.Mirielle yang semula tak tertarik dengan apa yang menjadi pertanyaan Max, kini justru tampak berkonsentrasi dan mencoba untuk menemukan keberadaan gadis itu. Sekaligus mencari tahu segala hal tentang Ivory dan hubungannya dengan Max.Mirielle memusatkan perhatian dan konsentrasinya. Sepasang matanya berubah memutih seluruhnya, dan tak lama ia telah kembali menjadi dirinya yang sebenarnya. Namun, ia justru menggeleng.“Maafkan aku, Max, aku tidak bisa menemukan apa pun tentang gadis itu. Mungkin ia tak pernah ada di dunia ini. Apakah dia adalah tokoh anime favoritmu? Atau mungkin gadis yang hadir dalam mimpimu? Gadis khayalanmu? Yang mana tebakanku yang benar?” Desak Mirielle, masih berpura-pura tidak mengetahui apa-apa.“Aku serius, Elle! Apakah kau benar-benar tidak mengetahui apa pun tentangnya? Kau tidak melihat apa-apa dalam pandanganmu?”Mirielle menggeleng dan dengan sengaja menanti reaksi Max yang tampak tertunduk kecewa.“Baiklah kalau begitu. Aku akan ke kamarku. Thanks, Elle.”Mirielle hanya memandang punggung Max yang menjauh dan menghilang seiring dengan pintu kamarnya yang ditutup perlahan.***Di kedalaman lautan yang dalam, tak terkira berapa kedalamannya hingga membuat tubuh gadis itu nyaris tenggelam ke dasarnya. Ivory perlahan membuka mata. Ia merasa seperti tengah terikat tetapi kaki dan tangannya masih bisa bergerak.Sesak, itu yang ia rasakan saat ini, terlebih ketika matanya tak menemukan apa pun selain kegelapan dan dingin yang menusuk ke tulangnya.Di mana ia berada saat ini? Apakah ia tengah disekap oleh pria berbulu itu? Mengapa rasanya tubuhnya kesulitan untuk bergerak? Atau jangan-jangan ...Mata Ivory kini terbuka sempurna. Kedua bola matanya yang sewarna safir tampak berkilau dan sekitarnya yang semula gelap, mulai terlihat. Ia berusaha menggerakkan kedua kaki dan tangannya, agar bisa naik ke permukaan.Cahaya rembulan mulai terlihat olehnya, tanda bahwa sebentar lagi ia akan selamat.Ivory berenang menepi dan sekuat tenaga untuk naik ke pesisir. Ia merebahkan tubuh di atas pasir yang hangat. Napasnya terengah setelah berusaha berjuang untuk tetap hidup, dan kini ia patut bersyukur karena tak ada yang kurang dari dirinya.Tiba di tepian, angin berembus menerpa kulitnya yang telanjang, membuatnya bergidik sesaat karena dinginnya. Ia harus bersyukur karena masih bernyawa meski ia sadari pakaian yang semula ia kenakan telah terlepas dan menghilang entah di mana. Bisa jadi terbawa arus tanpa ia sadari.Ingatannya terpecah, berserakan seperti potongan puzzle yang belum sepenuhnya lengkap. Ia masih berusaha mengumpulkan semuanya.Mata Ivory terpejam, seolah berusaha mengingat kejadian yang menimpanya secara berurutan. Mengenai kesialannya karena telah dijual oleh sang ayah untuk membayar hutang-hutang yang dimiliki oleh pria itu, lalu bertemu seorang pria misterius dengan pesona luar biasa yang menyelamatkannya dari anak buah Benjamin Agony, kemudian ...Ah! Kepala Ivory terasa pening dan berdenyut. Perlahan ia berusaha bangkit, sembari mengumpulkan potongan kejadian yang cukup membuatnya frustasi karena begitu sulit untuk mengingatnya.Ketika ia berhasil mengingat satu kejadian, maka kejadian lainnya akan menghilang begitu saja. Satu hal yang tak mungkin ia lupakan adalah malam indahnya bersama Max yang membawa ingatan lain perlahan bermunculan ketika dirinya berusaha membawa memori itu kembali.Indah ... tetapi menyakitkan.“Shit! Dasar pria gila! Hampir saja aku kehilangan nyawa. Apa sebenarnya yang ada di pikirannya? Dia bilang aku pembawa sial? Kalau begitu, selamat menikmati kesialanmu mulai sekarang, serigala bodoh!” umpat Ivory yang masih menyeret tubuhnya untuk lebih ke tepian.Bagian tubuhnya terasa nyeri—dari pinggang ke bawah, terlebih pinggangnya yang tampaknya tergores karang tajam saat ia dengan nekat melompat dari jembatan, hingga kini ia lihat luka itu mengeluarkan cairan merah segar.“Ah! Apa yang terjadi padaku? Ini sungguh sakit!” Ivory menyentuh luka itu perlahan dan tatapannya terhenti pada bagian tubuhnya, dari pinggang ke bawah yang tak lagi berupa sepasang kaki, melainkan sebuah sirip yang sangat besar dan berkilauan.Berkilauan dan indah. Namun, membuat Ivory bergidik ngeri kala menyadari bahwa sesuatu yang tampak indah itu adalah bagian tubuhnya sendiri.“Tidak mungkin!”Ivory merasa jantungnya berdegup tak karuan, napasnya memburu—berusaha memusnahkan benda aneh yang seperti melekat pada bagian tubuhnya ini. Ia adalah seorang manusia, bukan ikan! Namun, mengapa kini dirinya tak jauh berbeda dengan apa yang barusan menyelinap di kepalanya?Benarkah apa yang dilihatnya saat ini bahwa ia adalah seekor makhluk air yang juga termasuk makhluk mitologi dan tak akan pernah dipercaya keberadaannya?Putri duyung hanyalah dongeng pengantar tidur. Sangat sulit baginya mempercayai kalau dirinya adalah bagian dari makhluk mitologi, sama seperti Max yang seorang manusia serigala!Ivory tak akan pernah percaya itu!Gadis itu bangkit, sudah bukan lagi waktunya untuk meratapi nasib, karena bisa saja seseorang menyadari keberadaannya di sana. Dan dengan penampilannya saat ini, bisa saja orang-orang akan beramai-ramai menjadikannya bahan tontonan atau bahkan membawanya untuk dikuliti dan dijadikan santapan makan malam.Ivory bergidik membayangkan hal-hal mengerikan itu
Max berusaha menelusuri keberadaan Ivory keesokan harinya. Tepat di bawah jembatan di mana ia nyaris menghabisi nyawa gadis itu. Dan memang, ia sudah melakukannya. Ivory kini tak lagi ada di dunia ini. Namun, setidaknya Max bisa menemukan jasad gadis itu.Bisa jadi ada di dalam lautan, atau di mana pun di sekitar tempatnya berdiri saat ini.Max bisa saja meminta bantuan Mirielle, adiknya, untuk memastikan di mana keberadaan Ivory dan apakah gadis itu masih hidup atau sudah mati. Namun, sejak semalam Mirielle enggan mengatakan apa pun mengenai Ivory meski Max telah mendesaknya.Mirielle tahu segalanya, tetapi ia selalu menyimpan untuk dirinya sendiri. Dan gadis itu tak suka kalau disebut sebagai cenayang.“Di mana kau, Ivory?” gumamnya sendiri. Ia tetap berjalan menelusuri pesisir pantai hingga melihat sesuatu yang membuatnya yakin bahwa Ivory memang pernah berada di sana.Pakaian yang dikenakan Ivory malam tadi, koyak tak berbentuk, tetapi Max ingat betul warnanya yang sangat serasi d
“Benda ini akan kusimpan. Kau tak perlu lagi bertanya mengenai gadis itu, Max. Kau sudah menyusahkan banyak orang, kau tahu itu?!” omel Mirielle, saat tahu sang kakak kembali menemuinya demi memastikan beberapa kepingan menyerupai logam yang warnanya sedikit tak lazim.Mirielle bisa saja mencari tahu mengenai benda itu, atau pun mengenai Ivory. Namun, ia tak lakukan. Tidak semudah itu.Ia sudah tahu apa yang terjadi pada Max yang membuat dirinya terus mencari gadis itu. Dan Mirielle yakin, jika ia membantu Max, pada akhirnya pria itu akan membuat masalah lagi.“Mengapa kau begitu tega pada kakakmu, Elle?! Aku tahu kau pasti sudah tahu di mana keberadaan Ivory.”Mirielle memutar tubuh dan menancapkan tatapannya pada manik sewarna kiwi milik pria di hadapannya, kemudian terus memandanginya tanpa teralihkan. Memang begitu niat Mirielle, untuk mengintimidasi Max agar ia berterus terang atas apa yang telah ia lakukan terhadap gadis itu.“A-aku hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh nenek
Tak penting siapa pria bernama Benjamin yang kini tengah mengungkung Ivory menjadi tawanannya. Karena yang paling penting saat ini adalah pria itu memperlakukan Ivory dengan sangat baik.Bahkan terlalu baik jika dibandingkan dengan perlakuan Max terhadapnya.Terlebih setelah pria itu berhasil mengembalikan kaki Ivory, gadis itu merasa sangat berterima kasih.“Mengapa kau berbuat baik terhadapku? Apa yang kau inginkan?” tanya Ivory, masih dengan nada skeptis yang tak mungkin akan sirna meski dengan perlakuan baik dari Benjamin sekali pun.Ia tetap saja akan bertanya mengenai asal-usul pria dengan tampilan menawan itu.“Aku adalah mimpi indahmu, Ivy. Kau tak perlu cemas, karena aku tidak akan menyakitimu.”Ivory masih tak percaya. Ia menajamkan tatapan ke arah pria itu demi menemukan kebenaran di dalam bola matanya yang berkilau.“Kau pasti memiliki tujuan buruk. Katakan padaku!”Benjamin terkekeh.“Apa menurutmu seperti itu? Boleh saja jika kau berpikir begitu. Namun, kau bisa buktikan
Ivory duduk termangu memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Wajahnya memberengut, teringat kejadian di kelab yang membuat perasaannya bercampur aduk. Ia kesal sekaligus malu. Benjamin harus tahu apa yang dilakukan anak buahnya itu yang membuat Ivory tidak bisa menikmati malam pestanya beberapa jam lalu. “Jadi Black menghajar pria itu?” tanya Benjamin sembari menyodorkan segelas minuman untuk Ivory. Ivory meraih gelasnya tetapi tidak memberi respon sama sekali. Ia masih marah, tentu saja. Meski ia tak tahu, apa alasan dirinya kesal pada sikap Black barusan. Pria itu dimandat oleh Benjamin untuk menjaganya, jadi wajar saja ia bertindak saat ada pria yang menyentuh Ivory. “Dan kau marah padaku padahal Black yang memukul pria itu. Memangnya siapa pria itu sampai kau begitu kesal, hm?” “Bukan siapa-siapa, Ben. Hanya tamu yang ingin melihat tarianku. Dan anak buahmu yang berlebihan itu justru membuatku malu!” Benjamin tergelak mendengar omelan Ivory yang justru terdengar beg
Ivory kembali melakukan apa yang ia suka. Mulanya ia tak berniat untuk keluar dari kamarnya—bagaimana pun, kelab ini bukan tempat yang sesuai untuknya. Namun, ia sering kali merasa bosan, dan saat pertama kali melangkahkan kaki memasuki kelab, ketertarikannya akan tiang dansa itu membuatnya ketagihan. Benjamin adalah seorang yang cemburuan. Ia memerintahkan Black dan Blue untuk menjaga selama Ivory berada di atas meja dansa. Dan kedua pengawal itu melakukannya dengan baik. “Black, kau dengar aku! Aku tidak mau kau mengulangi apa yang kau lakukan kemarin. Apa kau mengerti?” tegas Ivory saat mereka berada di ruang ganti khusus. Black berada di luar ,sementara Ivory di dalam dan menukar pakaiannya dengan kostum yang telah disediakan untuknya. Suara Ivory terdengar sampai ke tempat Black, tetapi pria itu dilanda kegalauan. Ia menerima perintah dari Benjamin agar tak ada seorang pun yang bisa menyentuh Ivory, sementara gadis pembangkang itu menginginkan kelonggaran. Namun, jika Black
“Bagaimana bisa ia melepaskan diri?” tanya Benjamin pada anak buahnya, geram. Matanya memerah, bukan lantaran karena amarah melainkan memang itulah wujud asli Benjamin dan semua tahu itu. Namun, tak berbeda dari Benjamin, mereka semua adalah berasal dari ras yang sama. Benjamin masih berusaha menahan amuknya. Ia tak percaya Ivory bisa kabur begitu saja karena ia masih dalam bentuk mermaid dan mustahil ia bisa keluar dari akuarium tanpa bantuan siapa pun. “Apakah ada dari kalian yang telah membantunya?” Lagi, pria itu mengintimidasi para pengawal yang ia tugaskan untuk berjaga. Dan salah satunya adalah Black yang secara khusus ia tunjuk untuk menjadi penjaga khusus untuk Ivory. Semua tertunduk mendengar pertanyaan Benjamin. Tak ada satu pun yang berani buka suara. Bahkan Black. “Kau ... apakah kau melakukan sesuatu terhadapnya?” serang Benjamin pada Black. Lelaki itu mengangkat wajah dan siap untuk menceritakan segala hal yang sesungguhnya tak bisa ia percayai. “Ia ... tiba-tiba
“Di mana Max?” tanya Mirielle pada ibu dan ayahnya saat tengah menikmati makan malam bersama. Keduanya saling berpandangan dengan alis yang tampak berkerut. “Apakah tidak ada di kamarnya? Bukankah kau bareu saja dari sana?” tanya Marion, yang berusaha menekan rasa cemasnya karena memang Max tidak kelihatan sejak siang tadi setelah mereka sedikit bersitegang. Namun, Mirielle menggeleng. “Aku memang dari sana dan ia tidak ada. Apa mungkin ja menemui Ivy di danau?” gumamnya bermonolog. Ia kemudian melanjutkan makan dan beranjak untuk mencari keberadaan Max. Namun, dengan cepat Marion menahan lengan putrinya dan membawanya ke sudut ruangan agar pembicaraan mereka tidak terdengar oleh William atau lainnya. “Siapa gadis itu, Elle? Apakah ia—“ “Kau tidak perlu cemas, Ma. Ia gadis biasa yang memang bukan manusia biasa. Tapi memangnya kenapa? Bukankah kita semua juga bukan manusia?” jawab Elle, terdengar santai. “Ya, aku tahu dan tidak mencemaskan kita. Max ... bisa saja ia memangsa gad