Share

5. Melarikan Diri

Ivory bergegas membereskan barang-barangnya, karena ia tak lagi berniat untuk berjualan di tempat yang sama. Ia masih sempat mendengar geraman dan teriakan bosnya sebelum ia pergi dari kantor dan ia pastikan tak akan kembali ke tempat itu lagi.

Ia takut kalau pria itu nantinya akan mencari dan memintanya kembali bekerja.

Ya ... itu hanya pikiran Ivory yang mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Pria sombong seperti Max tak akan pernah membutuhkan orang sepertinya, bukan?

Kalau pun Max mencari dan meminta sesuatu dari Ivory, maka Ivory akan pastikan tak akan pernah memberikan kesempatan seujung kuku pun untuk pria itu. Ia tak ingin terluka untuk ke sekian kalinya.

Baru saja Ivory hendak pergi, ponselnya berdering begitu nyaring hingga ia bergegas untuk menjawab panggilan itu sebelum suara telepon genggamnya itu terdengar hingga ke luar rumah. Jangan sampai siapa pun mengetahui keberadaannya.

“Ivy, di mana kau?” tanya si penelepon di seberang.

Ivory tahu siapa yang menghubunginya, tentu saja Jane. Gadis itu tidak akan bisa jika Ivory sebentar saja tidak ada di hadapannya.

“A-aku ... Jane, jangan cari aku untuk beberapa waktu ke depan. Aku harus sedikit menjernihkan pikiran,” ucap Ivory.

“Apa? Kau mau ke mana? Tidak! Kau tidak boleh ke mana pun. Kau tahu? Aku punya kabar baik, kau harus kembali ke kantor!”

Ivory tak berani menebak-nebak apa sebenarnya yang tengah terjadi, tetapi sekali lagi, bahkan berkali-kali Jane memaksanya untuk kembali ke kantor.

“Ayolah, Ivy, please ... ini mengenai si bos apakah kau tidak ingin tahu apa yang terjadi? Oh, salah! Bukan itu yang seharusnya kukatakan. Jadi begini, aku ingin tahu apa yang telah kau lakukan pada pria itu, Ivy. Karena ia seperti orang yang terkena mantra cinta.”

“Apa? Apa maksudmu?” tanya Ivory, tak mengerti.

Sejak kapan si sombong dan angkuh itu jatuh cinta, bahkan Jane mengatakannya dengan jelas kalau Max seperti sedang terkena mantra cinta. Atas dasar apa gadis itu berkata demikian? Apakah telah terjadi sesuatu pada pria itu?

“Jane, kumohon, kita lanjutkan lagi nanti, oke? Aku harus pergi!”

Tanpa permisi, Ivory mengakhiri perbincangan mereka melalui telepon dan kemudian ia bergegas melanjutkan apa tang telah ia rencanakan.

Perasaannya tak enak, seolah akan terjadi sesuatu terhadapnya. Ia tak boleh lengah dan berhenti di tempat yang sepi, dan tentu saja itu artinya ia harus berhati-hati.

Ivory mempercepat langkahnya. Ia merasa seseorang tengah mengikutinya kini. Ia tak yakin apakah itu hanya perasaannya, atau memang benar bahwa seseorang kini tengah menguntitnya.

Gadis itu berusaha semampunya untuk menghindar, bahkan ia kini mulai berlari agar bisa menjauh dari pandangan penguntit dan ia bisa bebas.

Sayangnya, realita sering kali tak seindah khayalan dan harapan. Itulah yang terjadi pada Ivory yang tak menyadari bahwa sosok yang mengikutinya itu tengah menerjang dan membuat gadis itu tergolek di bawah kungkungannya.

“Mau lari ke mana kau, Ivy? Kau telah berani menipuku, Nona berambut perak. Jadi kau harus terima akibatnya,” ucap makhluk setengah manusia dan setengah serigala itu, menyeringai.

“Tidak, tunggu! Bagaimana bisa kau menyebutku penipu, huh?! Aku sudah lakukan apa yang kau minta, bukan? Lalu, apa lagi ini?”

“Kau masih berani bertanya ‘apa lagi’? Kau lihat aku! Sejak tadi aku tidak bisa kembali menjadi wujud asliku, ini pasti karena ulahmu! Karena aku tidur denganmu, kutukan ini jadi semakin menjadi! Kau pembawa sial, Ivy!” geram makhluk itu dengan suara bass yang menyeramkan.

Ivory bergidik kala mendengar tudingan bahwa dirinya pembawa sial. Sejak tadi, bulu kuduknya tak juga berhenti meremang.

Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Max, bahwa Ivory adalah pembawa sial. Buktinya, keluarganya kini tak lagi mau mengakuinya. Ia dibuang dan terlunta seorang diri. Tak ada seorang pun yang bersedia menolong saat dirinya terpuruk.

Bahkan beberapa orang menghinanya sama seperti yang ditudingkan oleh Max—kalimat kejam yang diucapkan penuh kebencian.

Dan saat ini, Max masih berusaha untuk mencengkeram batang tenggorok Ivory dengan kedua tangannya yang tiap-tiap jemarinya ditumbuhi kuku yang panjang dan tajam—mengimpit tubuh gadis itu pada bagian titian jembatan yang terbuat dari besi, terasa dingin di permukaan kulit Ivory.

Di bawah sana, terdapat lautan yang kedalamannya tak bisa terhitung kedalamannya. Dan lagi, berapa derajat suhunya saat ini? Ivory mungkin akan membeku jika tercebur dan tenggelam di dasarnya.

Apakah ini akan menjadi hari terakhirnya? Apakah Max akan benar-benar membunuhnya? Bagaimana jika iya? Meski sejak lama Ivory hidup seorang diri, tetap saja, ia tak ingin mati konyol di tangan makhluk buas itu.

Ivory jadi menyesali keputusannya untuk melewati jalan sepi ini. Seharusnya ia masuk ke kawasan kumuh dengan rumah rapat, agar bisa mengetuk salah satu pintu dan bersembunyi di sana.

Kini, dirinya sudah berada di sini, dengan Max yang terus menatapnya nyalang dengan hasrat untuk melenyapkannya, berbeda dengan Max yang dilihat Ivory kemarin malam—tidak dengan tujuan untuk menghabisi nyawa Ivory melainkan untuk bertukar peluh dengannya.

Gadis itu bahkan nyaris jatuh cinta pada Max karena mengira pria ini memiliki karakter yang luar biasa.

“Tuan, kumohon lepaskan aku! Ekh!” Ivory berusaha menghitung mundur, seolah ia pasrah degan malaikat maut yang tampaknya sudah berdiri di ambang pintu rumahnya.

Baru kali ini ia melihat tatapan bengis dari seseorang, setelah sekian lama tidak terlalu banyak bergaul dengan siapa pun yang tidak ia inginkan. Dan mulanya ia merasa nyaman berada di dekat Max. Namun, tentu saja, itu ketika Max bukan sosok angkuh yang ternyata adalah bosnya.

Kini, berada dalam persimpangan antara hidup dan mati, ia tak bisa berbuat apa pun. Ivory pasrah, tak peduli apa pun yang hendak dilakukan oleh Max, meski ia harus meregang nyawa saat ini juga, Ivory tak akan lagi melawan.

Selama ini ia tak memiliki siapa pun, maka biarlah ... biar saja jika ia harus mati.

Tubuh Ivory melemah, seluruh sarafnya juga mengendur. Cengkeraman yang semual begitu kuat juga kini terasa nyaris terlepas, hingga Ivory menangkap tatapan penyesalan, terlebih Max yang semula berwujud makhluk buas itu kini kembali dengan bentuknya sebagai pria rupawan yang sempat menawan hati Ivory untuk semalam.

“Ivy ... apakah aku—“

Ivory tak memberi kesempatan Max untuk bicara. Ia tak ingin mendengar apa pun. Ia melepaskan diri dari Max dan menjatuhkan serta menceburkan diri ke lautan di bawah jembatan tempat Max mengeksekusinya.

“IVY! Apa yang kau lakukan? IVY! Di mana kau?!”

Max terus memanggil gadis itu seperti orang kerasukan. Ia bahkan sudah berniat untuk ikut melompat ke bawah sana, tetapi beberapa orang mengira dirinya hendak mengakhiri hidup dan lalu menghalanginya.

Lantas, bagaimana dengan Ivory di bawah sana? Ia mungkin sudah tak bernyawa, tenggelam di dasar lautan itu, dan tak akan pernah ada yang menemukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status