Share

2. Sebuah Tanda

“Apa maumu?” selidiknya. Tangannya mengacungkan sebilah pisau dan menodongkan ke arah Max.

“Tunggu! Jangan marah dulu, aku tak akan menyakitimu. Aku akan membayarmu mahal. Berapa pun yang kau minta!” ucap Max sembari melangkah maju, mengikis jarak antara dirinya dan gadis itu.

Gadis itu tak langsung menjawab perkataan Max. Namun, perlahan ia menurunkan benda yang ada di tangannya.

Gadis itu kini menilik penampilan pria berjas dengan rambut coklat ditata sedikit berantakan, tatapan mata tajam dengan iris hazel memukau dan menghipnotis gadis itu untuk sesaat. Ia hampir saja langsung mengatakan setuju saat itu juga.

“Apa yang harus kulakukan sampai kau berani memberi penawaran tinggi? Aku tidak mau menjadi kurir narkotika atau human traficking,” jawabnya.

“Bukan semuanya. Aku mau kau melepaskan kutukan yang ada padaku.”

Gadis itu terkekeh. Sulit dipercaya!

Pria dengan penampilan modern seperti Max masih percaya takhayul yang mengatakan kalau dirinya menderita sebuah kutukan. Gadis itu bahkan tak tahu apa kutukan yang dialami oleh Max.

“Yang benar saja, Tuan.”

“Aku tahu ini di luar nalar, tapi ini nyata. Siapa namamu?”

“Ivory. Kau bisa memanggilku Ivy.”

“Ya, Ivy, kau tak akan percaya. Sudah puluhan wanita menjauhiku, bahkan ada yang meninggal karena terkena serangan jantung. Dan—dan mereka, maksudku anggota keluargaku mengatakan kalau aku harus mencari gadis berambut perak untuk melepaskan kutukanku.”

“Persetan dengan kutukan atau apa pun itu! Katakan saja apa yang harus kulakukan.” Ivory mulai bersikap serius kali ini.

“Tidurlah denganku. Hanya itu caranya.”

Mendengar permintaan Max, Ivory tergelak. Ini adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah ia tahu. Untuk apa ia harus percaya pada Max? Bisa saja lelaki itu hanya mencari kesenangan, dengan menjual cerita mistis dan takhayul semacam itu.

“Kau sedang bercanda, kan?” Ivory berkacak pinggang. Jelas ia tak percaya pada ucapan Max. Lelaki bertampang rupawan seperti dirinya tak akan kesulitan untuk mencari teman kencan semalam.

Mengapa harus Ivory?

“Terserah kalau kau tidak percaya. Jika ingin tahu, buktikan. Kau boleh pergi saat itu juga kalau kau mau, dan aku akan tetap membayar hakmu.” Max masih berusaha keras dengan penawaran yang ia berikan.

Sudah sedemikian rupa, mungkinkah Ivory tetap menolak?

Gadis berambut perak itu mengetuk-ketukkan sepatunya. Ia tengah mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan. Apakah ikut dengan Max yang artinya ia menerima tawaran itu dengan berbagai risiko, atau menolaknya mentah-mentah?

“Ivy, ayolah jangan terlalu lama. Kau membutuhkan uang untuk membayar hutang-hutang ayahmu agar kau bisa bebas dari Benjamin atau siapa itu, bukan? Aku bisa memberikan berapa pun, dan upaya untuk membebaskanmu dari mucikari itu."

Masih belum berhasil. Ivory masih bergeming dan tak memberi jawaban sama sekali. Ia masih juga menilik pria di hadapannya yang datang tiba-tiba menyelamatkannya, tetapi kemudian menceritakan dongeng tentang kutukan.

Haruskah ia percaya?

"Ivy ... cepatlah! Apa kau tidak merasa kalau di sini sangat dingin?” Mulut Max sudah mengeluarkan asap sebagai tanda bahwa suhu udara malam itu memang cukup rendah.

Baru saja memasuki musim gugur. Entah mengapa Max tak akan tahan setiap kali musim dengan hawa dingin menusuk itu tiba.

Ia ingin sekali bergelung di kasurnya dan bersembunyi dalam selimut.

“Baiklah, Tuan Pemaksa! Ayo kita berangkat.” Ivory berbalik dan mengambil mantelnya. “Tunggu, aku akan menutup kedaiku dulu!”

Gadis itu kemudian ikut ke kediaman Max dengan mengendarai mobil Max. Jelas, Ivory hanya berjalan kaki atau naik kereta setiap hendak pergi ke mana pun.

Dan bisa merasakan duduk di dalam mobil sport milik Max, terasa seperti sebuah kehormatan baginya.

Tak berapa lama, kendaraan yang mereka tumpangi mulai melewati hutan pinus di kanan dan kiri. Ivory tak menaruh kecurigaan apa pun, karena ia yakin bahwa Max tidak akan berniat jahat.

Kalau pun ia berani berbuat macam-macam, Ivory bisa saja menghajarnya.

Max mempersilakan Ivory untuk masuk dan bersantai sementara dirinya mengambilkan minuman untuk gadis itu. Max menyodorkan segelas wine pada Ivory.

“Apakah kita sedang ada pesta?” tanya gadis itu.

“Ya, kaulah pestaku. Aku ingin memperjelas semuanya di sini, Ivy.”

Gadis itu mencebik.

“Kurasa aku cukup jelas dengan apa yang kau inginkan. Kau ingin menguji apakah aku bisa membuatmu terlepas dari kutukan itu lalu apa? Apakah kemudian—hmph!”

Max membungkam Ivory dengan mendaratkan kecupan yang intens di bibir ranum gadis itu. Ivory tidak menolak, karena ia tahu kesepakatannya. Seperti yang dikatakan lelaki itu sebelumnya.

Ivory kini membalas kecupan Max, menggigitnya sedikit hingga lelaki itu merasakan gairahnya mulai timbul kembali.

Max sadar hasratnya memuncak, beberapa bagian tubuhnya mulai menegang dan ia mulai memperdalam pagutannya pada gadis itu.

Bulu-bulu halus, seperti biasa, telah muncul di beberapa bagian tubuhnya. Begitu juga dengan kuku panjang yang menyeruak dari sela-sela ujung jarinya. Pakaian yang ia kenakan mulai terasa mengetat. Sebentar lagi ia akan menjadi sosok hasil kutukan, seperti yang selalu ia pikirkan.

“Argh!” Max mengerang, merasakan tubuh yang berubah aneh dan membesar, menimbulkan sakit luar biasa.

Namun, apa yang telah ia mulai harus ia tuntaskan saat ini juga.

Sementara itu, Ivory yang sejak tadi masih terpejam, kini telah membuka kedua matanya. Bola mata biru jernih itu memandang iris hazel Max yang berubah menjadi keemasan.

Ia jauhkan wajahnya dari lelaki itu, memandangi tampilan Max yang berbeda dari sebelumnya.

Sesosok makhluk setengah serigala—lycan, tengah berada di atasnya, entah dengan tujuan untuk melahapnya, atau justru melanjutkan pergumulan dengannya.

Max mengerang lagi, napasnya terengah, antara menahan nyeri di sekujur tubuhnya juga hasrat yang menjerit meminta disalurkan segera.

“Kau boleh lari jika kau mau,” ucapnya terbata dan masih terengah.

Ivory menyunggingkan senyum simpul, kemudian membelai rahang lelaki di atasnya.

“Lari? Memangnya kenapa aku harus lari? Bukankah ini tugas yang kau haruskan untukku? Sudah begini, lalu apa? Apa lagi yang kau ingin aku lakukan?” tanya gadis itu.

“Argh! Kau yakin?” tanya Max, memastikan. Tangannya terus mengepal, meremas permukaan sofa tempatnya dan Ivory berada.

Tak hanya nyeri, sekujur tubuh Max seolah akan meledak saat itu juga. Tak sabar ia menanti jawaban dari gadis yang masih berada di bawahnya, dalam kungkungannya.

Ivory tak ingin mengulur waktu, ia mengangguk.

“Aku tahu ini akan menyakitkan bagiku, tapi mari kita tuntaskan semuanya. Jadi, kau akan tahu apakah benar yang dikatakan anggota keluargamu, bahwa aku mungkin bisa melepaskanmu dari kutukan itu.”

Max menatap lagi bola mata Ivory dalam-dalam. Tak ada rasa gentar di sana, seolah ia telah terbiasa menyaksikan perubahan bentuk manusia menjadi monster seperti yang terjadi pada Max.

Dan kalimat gadis itu barusan ... menyakitkan, katanya? Apakah dia ....

Ivory menarik Max agar melanjutkan permainan yang sempat terhenti.

Max sungguh-sungguh kali ini.

Ivory satu-satunya perempuan yang tidak takut saat melihat Max dalam wujud mengerikan. Gadis itu bahkan berniat melanjutkan permainan mereka hingga selesai.

Max tak ingin menyiakan waktu. Ia tak sabar mengetahui efek dari apa yang dilakukannya. Apakah benar bahwa kutukannya akan hilang jika ia bercinta dengan si gadis berambut perak ini.

Max bisa melihat, rambut panjang terurai itu seolah bersinar diterpa cahaya rembulan. Tak hanya itu, kulitnya pun tampak begitu bercahaya.

Max menggeleng cepat, berusaha menyadarkan dirinya dari pesona Ivory, si gadis berambut perak itu. Ia kemudian mulai menyatukan dirinya dan Ivory, mengisi gadis itu dengan segala yang belum pernah dirasakannya.

Ivory memekik perlahan, menahan nyeri di pangkal pahanya—layaknya ditusuk belati. Ia yang meminta Max untuk melanjutkan, maka ia harus bertahan.

Seperti inikah rasanya bercinta—seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabatnya?

Jika iya, artinya mereka berbohong.

Atau mungkin tidak ... mereka benar. Sakit pertama kali, tetapi ketika Max mulai bergerak teratur, Ivory merasakan nikmat luar biasa.

Ia tak bisa menahan mulutnya untuk tidak melenguh, mengerang, memekik, tiap kali gerakan Max mulai berirama.

Tak berapa lama, keduanya mencapai puncak kenikmatan bersama. Dan selama ia bergerak teratur di atas tubuh Ivory, tanpa sadar Max meninggalkan goresan dan gigitan pada beberapa bagian tubuh Ivory.

Gadis itu mengerang, tak hanya karena kenikmatan yang seperti sebuah ledakan di bagian bawahnya, tetapi juga lantaran kebrutalan yang dilakukan oleh Max.

Bekas itu, bisa saja menjadi sebuah tanda yang telah menyatukan mereka, yang tidak disadari oleh keduanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status