Sinar matahari menyeruak dari balik tirai. Jendela kaca berukuran besar memudahkan ruangan tersebut tersirami hangat sinar mentari pagi.
Ivory menggeliat perlahan, berusaha melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.Ia memekik lirih kala merasakan tulang belulangnya yang terasa bagai diremukkan hingga lumat. Ia menoleh ke sampingnya, Max tak ada di sana.Di mana lelaki itu?“Selamat pagi,” sapa seorang lelaki dengan suara baritonnya yang berat. Jika orang tak tahu, mungkin akan mengira ia sudah berusia tiga puluhan, padahal ia belum mencapai angka itu.“Hey ... maaf, aku tidur seperti orang mati. Apakah kau akan bekerja?” tanya Ivory yang dijawab anggukan oleh Max.Lelaki itu kemudian duduk di dekat Ivory yang sudah bangkit setelah melilitkan selimut di dadanya. Pasti Max yang memakaikan benda itu di tubuhnya saat ia terlelap semalam.Setelah mencapai puncak, ia merasa sangat letih dan mengantuk, lalu tak sadar memejamkan mata.“Aku akan menepati janjiku.” Lelaki itu menyodorkan sebuah amplop coklat pada Ivory. “Aku bukan membayarmu sebagai seorang pelacur, anggaplah ini bentuk terima kasih.”“Kutukannya?”Max membentangkan tangan, menunjukkan bahwa dirinya sudah menjadi manusia seutuhnya.“Ajaib, bukan?” Max dengan bangga memuji kondisinya yang sudah menjadi manusia yang sempurna, menurutnya.Biasanya, Max akan terbangun dengan bulu-bulu serigala berceceran sembarangan dan merasa lelah sepanjang hari. Lalu saat malam tiba, meski ia tidak sedang berada dalam kondisi birahi, ia akan berubah menjadi bentuk monster yang mengerikan.Tak ada siapa pun yang mengatakan apa yang terjadi padanya.Tidak ayah maupun ibunya, saudara kembarnya, bahkan seorang tetua dalam keluarganya pun hanya memberinya saran untuk mencari gadis berambut perak.Kini, setelah mengetahui bahwa dirinya telah kembali semula, ia sangat senang. Karenanya, tanda terima kasih pantas diterima oleh Ivory.“Kau tak perlu mengantarku, sungguh. Berangkatlah bekerja, aku akan pulang sendiri,” ujar Ivory yang meminta agar Max menurunkannya di kedai. Ia tak ingin ada yang mengetahui di mana kediamannya.Ivory hanya ingin menikmati waktunya seorang diri tanpa ada yang mengetahui di mana rumahnya, apa pekerjaannya, dan bagaimana kehidupannya.“Baiklah kalau maumu begitu. Setelah ini, berjanjilah untuk tidak mengatakannya pada siapa pun dan kita tak boleh bertemu lagi.” Max menegaskan satu hal penting yang harus Ivory lakukan setelah mendapatkan apa yang ia butuhkan.“Bagaimana jika ternyata nasib mempertemukan kita kembali?” tanya Ivory.“Anggap saja itu sebagai takdir. Tapi, tetap saja kau harus ingat batasanmu. Kau dengar aku?”Ivory tidak mengangguk pun menggeleng. Ia hanya ingin tiba di rumah dan berangkat untuk pekerjaan di pagi hari. Jika disuruh memilih, ia lebih suka menjaga kedai dibanding bekerja.“Eh, siapa nama lelaki itu? Mengapa aku tidak bertanya?” gumam Ivory, bermonolog. “Ah, sudahlah ... toh, kami tak akan bertemu lagi. Jadi lupakan saja.”***Ivory sudah tiba di kantor lebih pagi dibanding biasanya. Ia mulai menyiapkan perlengkapan kerjanya dan memulai dari membersihkan janitor dan toilet, hal yang akan didatangi pertama kali oleh para pegawai ketika mereka tiba.Ia sudah menyelesaikan pekerjaannya di janitor dan toilet. Kini saatnya membersihkan tiap-tiap kubikel dan ruangan bos.Biasanya ia tak akan pernah masuk ke ruangan bos, karena ada tim khusus yang ditunjuk untuk melakukannya. Semacam kelompok elite yang memiliki kasta lebih tinggi dibanding para pasukan kebersihan lainnya.Apalagi hanya sekelas Ivory yang merupakan pegawai paruh waktu.“Ivy, setelah ini kau membersihkan ruangan bos. Hati-hati, karena bos besar kita ini tidak suka kalau barang-barang yang ada di mejanya sampai bergeser.”Salah seorang pegawai kebersihan, yang tingkatannya lebih tinggi dibanding Ivory, datang dan memberi tugas padanya.“Tapi, Jane, bukankah aku tidak boleh masuk ke ruangan atasan? Aku hanya pekerja paruh waktu.” Jawab Ivory sembari mengeringkan tangannya, setelah memperbaiki keran yang rusak.Ia bisa saja meminta tolong pada petugas maintenance, tetapi mereka pasti belum datang sepagi ini.“Ini mandat dari atasan. Kau bisa saja naik jabatan kalau patuh. Dan bos kita ini seorang player, jadi jangan sampai ia memintamu untuk jadi teman tidurnya.”“Hah? Apa? Kau pasti bercanda! Memangnya ada laki-laki seperti itu?” tanya Ivory, tak percaya.“Kenyataannya seperti itu, Ivy. Ia selalu meminta beberapa wanita untuk dibawa ke ruangannya, tetapi wanita itu akan keluar dari ruangan dalam keadaan yang bermacam-macam.”Ivory menyimak cerita yang dituturkan oleh kawannya itu. Namun, ia tak percaya jika ada lelaki dengan perangai seperti itu. Meski memang Ivory tidak pernah berhubungan dengan lawan jenis sebelumnya, tetapi ayahnya tidak seperti itu. Nyatanya sang ayah begitu setia pada ibunya.“Bermacam-macam bagaimana maksudmu?”Jane mengedikkan bahu.“Ada yang marah, ada yang pingsan. Hmm ... aku jadi bertanya-tanya, apakah bos kita ini begitu hebat dalam permainan ranjang, sampai banyak wanita itu yang menunjukkan reaksi luar biasa.”Ivory tergelak mendengar ucapan Jane. Selama ini, Jane teman sekaligus rekan kerja yang bersikap baik terhadapnya. Ia bahkan seperti seorang kakak bagi Ivory. Mendengarnya berkata seperti itu membuat Ivory teringat pada apa yang telah dilakukannya bersama pria asing yang telah ia lupakan siapa namanya itu.“Aku baru saja mau mengatakannya. Sepertinya aku tidak akan percaya lagi perkataanmu. Kau bilang bercinta untuk pertama kali itu menyakitkan, tetapi nyatanya tidak.”Jane membulatkan mata dan tak bisa mencegah mulutnya yang ternganga.“Kau sudah melakukannya? Apa aku tidak salah dengar? Dengan siapa? Ayo ceritakan padaku!”“Nanti saja, kalau pekerjaanku sudah selesai. Aku akan memulai di ruangan bos sekarang,” ucap gadis itu kemudian bangkit dan mengambil perlengkapannya untuk memulai misi baru, membersihkan ruangan bos yang sangat perfeksionis menurut pendapat Jane.Untuk yang satu ini, Ivory percaya perkataan gadis itu, karena Jane sudah berkali-kali mendapat tugas membersihkan ruangan si bos.“Tunggu! Kau akan membuatku penasaran kalau tidak mengatakannya sekarang, Ivory!” pekik Jane, bersemangat.Namun, Ivory tetap melenggang sembari melambai tanpa menoleh sama sekali.Ia berulang kali menggumam dalam hati ketika tiba di depan pintu ruangan atasannya. Matanya tertuju pada papan nama yang terpasang di permukaan pintu. Ia tak peduli siapa pun nama atasannya, yang pasti ia sekarang harus mulai berhati-hati mengerjakan semua pekerjaannya.Diiming-iming kenaikan jabatan, siapa yang tidak mau? Itu akan sangat membantunya untuk bertahan hidup sekian lama. Juga agar ia bisa menyelesaikan kuliahnya yang terpaksa harus terhenti di tengah jalan.Ivory mengetuk pintu sebanyak tiga kali, kemudian masuk ke dalam ruangan setelah mendapat perintah dari sang atasan.Ia tak berani mengangkat wajah demi melihat setampan apa atasannya. Apakah seperti yang pernah dikatakan oleh Jane. Ia tetap melakukan tugas sesuai apa yang seharusnya ia lakukan.“Jangan senggol itu, seharusnya kamu tahu aturannya!” sergah sebuah suara, pastinya milik lelaki yang sejak tadi duduk di balik meja dan tengah disibukkan dengan berkas-berkas di hadapannya.Mendengar suara yang tidak asing di telinganya, Ivory mengangkat wajah. Mengintip wajah sang atasan sedikit saja, sepertinya tak ada salahnya.Ia masih menggerakkan tangan untuk membersihkan permukaan meja dan lainnya, tetapi matanya terus menyelidik, seperti apa wajah yang tengah tertunduk dengan konsentrasi penuh pada pekerjaan itu.Lelaki itu akhirnya mengangkat wajah, menoleh pada Ivory dan matanya langsung menangkap iris biru jernih milik Ivory dan bertaut di sana.“Ivy?”“Kau?”“Apa kau menguntitku?” tuding Max, yang membuat Ivory mencebik.“Apa? Aku? Menguntitmu? Apa untungnya, Tuan? Kau sudah memberikan apa yang kau janjikan, bagiku sudah lebih dari cukup!”“Ya, siapa tahu kau ingin menuntut tanggung jawabku karena telah merenggut keperawananmu. Wanita jaman sekarang sering kali tidak masuk akal.” Max menggerutu, kemudian kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.“Kalau kau sudah selesai, kau bisa kembali ke tempatmu!” titahnya, dingin.Ivory memandangi Max sejenak. Lelaki itu begitu angkuh dan tak berperasaan, padahal beberapa jam lalu, ia bersikap lembut padanya dan tidak menunjukkan sikap arogansinya.Ivory tak ingin banyak bicara. Ia segera menyelesaikan pekerjaannya lalu angkat kaki dari ruangan bosnya itu.Gadis itu mengembalikan perlengkapan kembali ke tempat semula sembari menggerutu. Ia sangat menyesali kebodohannya telah membantu lelaki angkuh itu untuk lepas dari kutukan dan merelakan keperawanannya.“Andai saja aku bisa berpikir jernih tadi
Ivory bergegas membereskan barang-barangnya, karena ia tak lagi berniat untuk berjualan di tempat yang sama. Ia masih sempat mendengar geraman dan teriakan bosnya sebelum ia pergi dari kantor dan ia pastikan tak akan kembali ke tempat itu lagi.Ia takut kalau pria itu nantinya akan mencari dan memintanya kembali bekerja.Ya ... itu hanya pikiran Ivory yang mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Pria sombong seperti Max tak akan pernah membutuhkan orang sepertinya, bukan?Kalau pun Max mencari dan meminta sesuatu dari Ivory, maka Ivory akan pastikan tak akan pernah memberikan kesempatan seujung kuku pun untuk pria itu. Ia tak ingin terluka untuk ke sekian kalinya.Baru saja Ivory hendak pergi, ponselnya berdering begitu nyaring hingga ia bergegas untuk menjawab panggilan itu sebelum suara telepon genggamnya itu terdengar hingga ke luar rumah. Jangan sampai siapa pun mengetahui keberadaannya.“Ivy, di mana kau?” tanya si penelepon di seberang.Ivory tahu siapa yang menghubunginya, tent
Max berjalan tanpa tujuan. Tidak! Tujuannya tentu saja ke rumah. Ia harus menemui orang yang mungkin bisa menyelamatkannya dari dosa yang telah ia lakukan. Ia telah melenyapkan gadis itu. Ivory pasti sudah mati karena terjatuh ke laut yang dingin dan dalam. Ditambah, dengan ketinggian antara jembatan dan permukaan laut, tak mungkin jika tubuhnya tidak terempas.Kalau pun gadis itu selamat, mungkin ia akan mengalami gegar otak lalu hilang ingatan. Namun, sepertinya itu lebih baik ketimbang kehilangan nyawa.Max masuk ke dalam rumah, bajunya compang-camping tak keruan karena perubahannya yang sembarangan dan mulai tidak terkontrol. Ia tak mengerti mengapa itu bisa terjadi, tetapi begitulah kenyataannya.Ia adalah seorang monster sekarang. Ditambah lagi dirinya sudah melenyapkan seorang gadis yang tak punya andil atas kondisinya.“Mirielle! Kau di mana, Elle!” panggil Max, tergesa dan tampak gurat cemas di wajahnya. Saudara kembarnya yang sejak tadi mengurung diri di kamar, terjingkat ka
Ivory merasa jantungnya berdegup tak karuan, napasnya memburu—berusaha memusnahkan benda aneh yang seperti melekat pada bagian tubuhnya ini. Ia adalah seorang manusia, bukan ikan! Namun, mengapa kini dirinya tak jauh berbeda dengan apa yang barusan menyelinap di kepalanya?Benarkah apa yang dilihatnya saat ini bahwa ia adalah seekor makhluk air yang juga termasuk makhluk mitologi dan tak akan pernah dipercaya keberadaannya?Putri duyung hanyalah dongeng pengantar tidur. Sangat sulit baginya mempercayai kalau dirinya adalah bagian dari makhluk mitologi, sama seperti Max yang seorang manusia serigala!Ivory tak akan pernah percaya itu!Gadis itu bangkit, sudah bukan lagi waktunya untuk meratapi nasib, karena bisa saja seseorang menyadari keberadaannya di sana. Dan dengan penampilannya saat ini, bisa saja orang-orang akan beramai-ramai menjadikannya bahan tontonan atau bahkan membawanya untuk dikuliti dan dijadikan santapan makan malam.Ivory bergidik membayangkan hal-hal mengerikan itu
Max berusaha menelusuri keberadaan Ivory keesokan harinya. Tepat di bawah jembatan di mana ia nyaris menghabisi nyawa gadis itu. Dan memang, ia sudah melakukannya. Ivory kini tak lagi ada di dunia ini. Namun, setidaknya Max bisa menemukan jasad gadis itu.Bisa jadi ada di dalam lautan, atau di mana pun di sekitar tempatnya berdiri saat ini.Max bisa saja meminta bantuan Mirielle, adiknya, untuk memastikan di mana keberadaan Ivory dan apakah gadis itu masih hidup atau sudah mati. Namun, sejak semalam Mirielle enggan mengatakan apa pun mengenai Ivory meski Max telah mendesaknya.Mirielle tahu segalanya, tetapi ia selalu menyimpan untuk dirinya sendiri. Dan gadis itu tak suka kalau disebut sebagai cenayang.“Di mana kau, Ivory?” gumamnya sendiri. Ia tetap berjalan menelusuri pesisir pantai hingga melihat sesuatu yang membuatnya yakin bahwa Ivory memang pernah berada di sana.Pakaian yang dikenakan Ivory malam tadi, koyak tak berbentuk, tetapi Max ingat betul warnanya yang sangat serasi d
“Benda ini akan kusimpan. Kau tak perlu lagi bertanya mengenai gadis itu, Max. Kau sudah menyusahkan banyak orang, kau tahu itu?!” omel Mirielle, saat tahu sang kakak kembali menemuinya demi memastikan beberapa kepingan menyerupai logam yang warnanya sedikit tak lazim.Mirielle bisa saja mencari tahu mengenai benda itu, atau pun mengenai Ivory. Namun, ia tak lakukan. Tidak semudah itu.Ia sudah tahu apa yang terjadi pada Max yang membuat dirinya terus mencari gadis itu. Dan Mirielle yakin, jika ia membantu Max, pada akhirnya pria itu akan membuat masalah lagi.“Mengapa kau begitu tega pada kakakmu, Elle?! Aku tahu kau pasti sudah tahu di mana keberadaan Ivory.”Mirielle memutar tubuh dan menancapkan tatapannya pada manik sewarna kiwi milik pria di hadapannya, kemudian terus memandanginya tanpa teralihkan. Memang begitu niat Mirielle, untuk mengintimidasi Max agar ia berterus terang atas apa yang telah ia lakukan terhadap gadis itu.“A-aku hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh nenek
Tak penting siapa pria bernama Benjamin yang kini tengah mengungkung Ivory menjadi tawanannya. Karena yang paling penting saat ini adalah pria itu memperlakukan Ivory dengan sangat baik.Bahkan terlalu baik jika dibandingkan dengan perlakuan Max terhadapnya.Terlebih setelah pria itu berhasil mengembalikan kaki Ivory, gadis itu merasa sangat berterima kasih.“Mengapa kau berbuat baik terhadapku? Apa yang kau inginkan?” tanya Ivory, masih dengan nada skeptis yang tak mungkin akan sirna meski dengan perlakuan baik dari Benjamin sekali pun.Ia tetap saja akan bertanya mengenai asal-usul pria dengan tampilan menawan itu.“Aku adalah mimpi indahmu, Ivy. Kau tak perlu cemas, karena aku tidak akan menyakitimu.”Ivory masih tak percaya. Ia menajamkan tatapan ke arah pria itu demi menemukan kebenaran di dalam bola matanya yang berkilau.“Kau pasti memiliki tujuan buruk. Katakan padaku!”Benjamin terkekeh.“Apa menurutmu seperti itu? Boleh saja jika kau berpikir begitu. Namun, kau bisa buktikan
Ivory duduk termangu memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Wajahnya memberengut, teringat kejadian di kelab yang membuat perasaannya bercampur aduk. Ia kesal sekaligus malu. Benjamin harus tahu apa yang dilakukan anak buahnya itu yang membuat Ivory tidak bisa menikmati malam pestanya beberapa jam lalu. “Jadi Black menghajar pria itu?” tanya Benjamin sembari menyodorkan segelas minuman untuk Ivory. Ivory meraih gelasnya tetapi tidak memberi respon sama sekali. Ia masih marah, tentu saja. Meski ia tak tahu, apa alasan dirinya kesal pada sikap Black barusan. Pria itu dimandat oleh Benjamin untuk menjaganya, jadi wajar saja ia bertindak saat ada pria yang menyentuh Ivory. “Dan kau marah padaku padahal Black yang memukul pria itu. Memangnya siapa pria itu sampai kau begitu kesal, hm?” “Bukan siapa-siapa, Ben. Hanya tamu yang ingin melihat tarianku. Dan anak buahmu yang berlebihan itu justru membuatku malu!” Benjamin tergelak mendengar omelan Ivory yang justru terdengar beg