Share

3. Si Bos

Sinar matahari menyeruak dari balik tirai. Jendela kaca berukuran besar memudahkan ruangan tersebut tersirami hangat sinar mentari pagi.

Ivory menggeliat perlahan, berusaha melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.

Ia memekik lirih kala merasakan tulang belulangnya yang terasa bagai diremukkan hingga lumat. Ia menoleh ke sampingnya, Max tak ada di sana.

Di mana lelaki itu?

“Selamat pagi,” sapa seorang lelaki dengan suara baritonnya yang berat. Jika orang tak tahu, mungkin akan mengira ia sudah berusia tiga puluhan, padahal ia belum mencapai angka itu.

“Hey ... maaf, aku tidur seperti orang mati. Apakah kau akan bekerja?” tanya Ivory yang dijawab anggukan oleh Max.

Lelaki itu kemudian duduk di dekat Ivory yang sudah bangkit setelah melilitkan selimut di dadanya. Pasti Max yang memakaikan benda itu di tubuhnya saat ia terlelap semalam.

Setelah mencapai puncak, ia merasa sangat letih dan mengantuk, lalu tak sadar memejamkan mata.

“Aku akan menepati janjiku.” Lelaki itu menyodorkan sebuah amplop coklat pada Ivory. “Aku bukan membayarmu sebagai seorang pelacur, anggaplah ini bentuk terima kasih.”

“Kutukannya?”

Max membentangkan tangan, menunjukkan bahwa dirinya sudah menjadi manusia seutuhnya.

“Ajaib, bukan?” Max dengan bangga memuji kondisinya yang sudah menjadi manusia yang sempurna, menurutnya.

Biasanya, Max akan terbangun dengan bulu-bulu serigala berceceran sembarangan dan merasa lelah sepanjang hari. Lalu saat malam tiba, meski ia tidak sedang berada dalam kondisi birahi, ia akan berubah menjadi bentuk monster yang mengerikan.

Tak ada siapa pun yang mengatakan apa yang terjadi padanya.

Tidak ayah maupun ibunya, saudara kembarnya, bahkan seorang tetua dalam keluarganya pun hanya memberinya saran untuk mencari gadis berambut perak.

Kini, setelah mengetahui bahwa dirinya telah kembali semula, ia sangat senang. Karenanya, tanda terima kasih pantas diterima oleh Ivory.

“Kau tak perlu mengantarku, sungguh. Berangkatlah bekerja, aku akan pulang sendiri,” ujar Ivory yang meminta agar Max menurunkannya di kedai. Ia tak ingin ada yang mengetahui di mana kediamannya.

Ivory hanya ingin menikmati waktunya seorang diri tanpa ada yang mengetahui di mana rumahnya, apa pekerjaannya, dan bagaimana kehidupannya.

“Baiklah kalau maumu begitu. Setelah ini, berjanjilah untuk tidak mengatakannya pada siapa pun dan kita tak boleh bertemu lagi.” Max menegaskan satu hal penting yang harus Ivory lakukan setelah mendapatkan apa yang ia butuhkan.

“Bagaimana jika ternyata nasib mempertemukan kita kembali?” tanya Ivory.

“Anggap saja itu sebagai takdir. Tapi, tetap saja kau harus ingat batasanmu. Kau dengar aku?”

Ivory tidak mengangguk pun menggeleng. Ia hanya ingin tiba di rumah dan berangkat untuk pekerjaan di pagi hari. Jika disuruh memilih, ia lebih suka menjaga kedai dibanding bekerja.

“Eh, siapa nama lelaki itu? Mengapa aku tidak bertanya?” gumam Ivory, bermonolog. “Ah, sudahlah ... toh, kami tak akan bertemu lagi. Jadi lupakan saja.”

***

Ivory sudah tiba di kantor lebih pagi dibanding biasanya. Ia mulai menyiapkan perlengkapan kerjanya dan memulai dari membersihkan janitor dan toilet, hal yang akan didatangi pertama kali oleh para pegawai ketika mereka tiba.

Ia sudah menyelesaikan pekerjaannya di janitor dan toilet. Kini saatnya membersihkan tiap-tiap kubikel dan ruangan bos.

Biasanya ia tak akan pernah masuk ke ruangan bos, karena ada tim khusus yang ditunjuk untuk melakukannya. Semacam kelompok elite yang memiliki kasta lebih tinggi dibanding para pasukan kebersihan lainnya.

Apalagi hanya sekelas Ivory yang merupakan pegawai paruh waktu.

“Ivy, setelah ini kau membersihkan ruangan bos. Hati-hati, karena bos besar kita ini tidak suka kalau barang-barang yang ada di mejanya sampai bergeser.”

Salah seorang pegawai kebersihan, yang tingkatannya lebih tinggi dibanding Ivory, datang dan memberi tugas padanya.

“Tapi, Jane, bukankah aku tidak boleh masuk ke ruangan atasan? Aku hanya pekerja paruh waktu.” Jawab Ivory sembari mengeringkan tangannya, setelah memperbaiki keran yang rusak.

Ia bisa saja meminta tolong pada petugas maintenance, tetapi mereka pasti belum datang sepagi ini.

“Ini mandat dari atasan. Kau bisa saja naik jabatan kalau patuh. Dan bos kita ini seorang player, jadi jangan sampai ia memintamu untuk jadi teman tidurnya.”

“Hah? Apa? Kau pasti bercanda! Memangnya ada laki-laki seperti itu?” tanya Ivory, tak percaya.

“Kenyataannya seperti itu, Ivy. Ia selalu meminta beberapa wanita untuk dibawa ke ruangannya, tetapi wanita itu akan keluar dari ruangan dalam keadaan yang bermacam-macam.”

Ivory menyimak cerita yang dituturkan oleh kawannya itu. Namun, ia tak percaya jika ada lelaki dengan perangai seperti itu. Meski memang Ivory tidak pernah berhubungan dengan lawan jenis sebelumnya, tetapi ayahnya tidak seperti itu. Nyatanya sang ayah begitu setia pada ibunya.

“Bermacam-macam bagaimana maksudmu?”

Jane mengedikkan bahu.

“Ada yang marah, ada yang pingsan. Hmm ... aku jadi bertanya-tanya, apakah bos kita ini begitu hebat dalam permainan ranjang, sampai banyak wanita itu yang menunjukkan reaksi luar biasa.”

Ivory tergelak mendengar ucapan Jane. Selama ini, Jane teman sekaligus rekan kerja yang bersikap baik terhadapnya. Ia bahkan seperti seorang kakak bagi Ivory. Mendengarnya berkata seperti itu membuat Ivory teringat pada apa yang telah dilakukannya bersama pria asing yang telah ia lupakan siapa namanya itu.

“Aku baru saja mau mengatakannya. Sepertinya aku tidak akan percaya lagi perkataanmu. Kau bilang bercinta untuk pertama kali itu menyakitkan, tetapi nyatanya tidak.”

Jane membulatkan mata dan tak bisa mencegah mulutnya yang ternganga.

“Kau sudah melakukannya? Apa aku tidak salah dengar? Dengan siapa? Ayo ceritakan padaku!”

“Nanti saja, kalau pekerjaanku sudah selesai. Aku akan memulai di ruangan bos sekarang,” ucap gadis itu kemudian bangkit dan mengambil perlengkapannya untuk memulai misi baru, membersihkan ruangan bos yang sangat perfeksionis menurut pendapat Jane.

Untuk yang satu ini, Ivory percaya perkataan gadis itu, karena Jane sudah berkali-kali mendapat tugas membersihkan ruangan si bos.

“Tunggu! Kau akan membuatku penasaran kalau tidak mengatakannya sekarang, Ivory!” pekik Jane, bersemangat.

Namun, Ivory tetap melenggang sembari melambai tanpa menoleh sama sekali.

Ia berulang kali menggumam dalam hati ketika tiba di depan pintu ruangan atasannya. Matanya tertuju pada papan nama yang terpasang di permukaan pintu. Ia tak peduli siapa pun nama atasannya, yang pasti ia sekarang harus mulai berhati-hati mengerjakan semua pekerjaannya.

Diiming-iming kenaikan jabatan, siapa yang tidak mau? Itu akan sangat membantunya untuk bertahan hidup sekian lama. Juga agar ia bisa menyelesaikan kuliahnya yang terpaksa harus terhenti di tengah jalan.

Ivory mengetuk pintu sebanyak tiga kali, kemudian masuk ke dalam ruangan setelah mendapat perintah dari sang atasan.

Ia tak berani mengangkat wajah demi melihat setampan apa atasannya. Apakah seperti yang pernah dikatakan oleh Jane. Ia tetap melakukan tugas sesuai apa yang seharusnya ia lakukan.

“Jangan senggol itu, seharusnya kamu tahu aturannya!” sergah sebuah suara, pastinya milik lelaki yang sejak tadi duduk di balik meja dan tengah disibukkan dengan berkas-berkas di hadapannya.

Mendengar suara yang tidak asing di telinganya, Ivory mengangkat wajah. Mengintip wajah sang atasan sedikit saja, sepertinya tak ada salahnya.

Ia masih menggerakkan tangan untuk membersihkan permukaan meja dan lainnya, tetapi matanya terus menyelidik, seperti apa wajah yang tengah tertunduk dengan konsentrasi penuh pada pekerjaan itu.

Lelaki itu akhirnya mengangkat wajah, menoleh pada Ivory dan matanya langsung menangkap iris biru jernih milik Ivory dan bertaut di sana.

“Ivy?”

“Kau?”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Kennie Re
The rima kasih sudah mampir kak...
goodnovel comment avatar
Mulya Pahnurdin
terkadang begitu sistem timbal baliknya
goodnovel comment avatar
Mulya Pahnurdin
takdir mempertemukan mereka kembali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status