Share

Merry Go Around
Merry Go Around
Author: Ninna Krisna / Ninna Krisnamurti

1. At The Party

[Nanti malam jemput gue ya!]

Begitu pesan yang diterima oleh Merry dari sahabatnya Cathy tentang rencana malam ini.

Merry baru saja bangun tidur pada pukul sebelas siang. Ya siapa juga yang bangun cepat di hari Sabtu kan? Kecuali kalau masih masuk kerja sih, kayak si Cathy, cewek terlalu rajin dan ambisius di pertemanan mereka.

Maka dengan setengah mengantuk dia mengetikkan balasan. Namun detik berikutnya Cathy sudah menelepon balik.

“Ya, apalagi, Cath, kan udah gue bales,” jawab Merry dengan suara parau.

“Gila ya, gue nunggu balesan dari lo sampe tiga jam. Senin lo udah mulai kerja, bukan pengangguran lagi. Jadi kayaknya lo harus biasain bangun pagi deh!” Tuh kan, kumat deh bawelnya.

“Iya, mom,” balas Merry malas-malasan sambil menguap lebar.

“Merry! Ih, nih anak santai banget sih! Jadi cewek kudu ambisius dikit dong!”

Merry menjauhkan telepon genggam dari telinganya karena lengkingan suara Cathy yang sanggup menyaingi Ariana Grande.

“Gue udah ambisius kali, Cath, buktinya gue keterima di Sky Connection, itu kan perusahaan terbesar nomor tiga di Indonesia.”

“Iya, itu karena lo berambisi ngejar cowok cinta pertama lo itu. Siapa namanya? Asshole? Coba ceritain lagi lo kenal dia di mana?”

“Ashtooon!" koreksi Merry merasa gemas karena Cathy sembarangan menjelekkan nama cinta pertamanya. "Cath, lo lagi nggak sibuk ya? Biasanya lo paling anti teleponan yang bukan urusan kantor saat jam kerja. Ya udah, nanti pokoknya gue jemput di apartemen lo jam empat ya! Kita dandan bareng! Oh iya, lo udah hubungin Dawn?”

“Belum, kan yang punya hajat itu lo. Tapi tadi gue telepon dia lagi sibuk lari di treadmill. Dasar penggila olah raga.”

“Oooh, ya udah dulu ya, Cath, gue mau mandi terus sarapan.”

Brunch you mean? Ini udah hampir jam makan siang.”

“Iya, bawel. Byee, mmuahh!” Merry terkekeh geli. Setelah itu dia menutup teleponnya.

Ya, mereka bertiga sangat berbeda satu sama lain, namun entah kenapa, mereka bisa terhubung dan bersahabat sejak SMA.

Cathy yang mandiri, ambisius, cerewet dan miss oh-so-perfect. Dawn si tomboy, si aksi-dulu-pikir-belakangan, tapi memiliki hati paling lembut yang pernah dikenal oleh Merry.

Dawn menangis tiga hari tiga malam saat Browny, anjing kesayangannya, mati.

Sementara Merry sendiri, she’s just an average girl. Cantik, tapi yang cantik di atas dia jauh lebih banyak. Pintar, tapi peringkatnya hanya sebatas masuk sepuluh besar di kelas. Aktif di organisasi sekolah, tapi itu karena dipaksa oleh Cathy untuk berpartisipasi.

Tinggi? Ya, untuk ukuran perempuan Indonesia, dia termasuk tinggi, 170 cm. Sehingga sejak SMA dia sudah bekerja sebagai model lepas.

Jadi sebenarnya, sejak SMA dia sudah bekerja keras mencari duit sendiri. Hanya saja dia memang kurang ambisi. Dia tidak mengejar karir model sampai menjadi model papan atas atau jadi artis sekalian. Dia sudah cukup puas hanya menjadi model katalog pakaian wanita.

Itulah yang membuat Cathy geregetan dan gemas padanya, karena dia tidak mengeksplor lebih jauh bakatnya.

Ah, tapi memang bukan keinginan Merry juga untuk menjadi model.

Sejak kecil, dia menyukai segala sesuatu yang stabil dan mapan. Dia ingin bekerja di perkantoran, mendapat gaji di atas dua puluh juta, jam kerja nine to five, lalu malam hari masih bisa hang out sama teman. Sabtu dan Minggu libur, sehingga bisa jalan-jalan ke tempat-tempat eksotis yang dia lihat di majalah atau blog-blog traveling. Ya, itulah cita-citanya.

Makanya, berhasil mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar sudah memenuhi 50 % impiannya. Bisa dekat dengan Ashton merupakan bonus.

Membayangkan hal itu, semangat Merry bertambah 180%. Lekas dia menyingkap selimut dan beranjak menuju kamar mandi. Setelah ini dia akan menghubungi Dawn dan mungkin makan siang bareng sahabatnya.

*

City car bercat putih itu berjalan memasuki areal parkir sebuah club malam, Ambience. Tempat parkir terlihat penuh.

“Ah, gila, rame banget malam ini. Kita nggak kedapetan parkir,” keluh Dawn sambil menyetir.

Cewek ini memakai gaun one piece warna hitam selutut tanpa lengan yang melekat erat di tubuhnya yang atletis. Rambutnya bob pendek, sehingga tidak perlu repot memakai aksesoris. Makeupnya cukup tebal, dengan lipstik berwarna merah menyala. Ya, Dawn menyukai segala sesuatu yang bold.

“Udah gue bilang jangan kelamaan dandan,” tambah Cathy berdecak kesal dari kursi belakang.

Padahal yang paling lama dandan justru dirinya. Karena dia harus selalu terlihat sempurna, dia yang paling lama memilih pakaian (dan pilihannya jatuh ke warna putih karena dirasanya paling aman), paling lama memoleskan make up, dan paling lama memutuskan bagaimana menata rambutnya. Yang ujung-ujungnya akhirnya dia hanya menggerainya dengan sedikit diblow. Kali ini dia tidak memakai kaca matanya melainkan contact lens berwarna hazel.

Merry tertawa kecil di kursi depan. Walaupun di clique ini yang model dirinya, aslinya Merry tidak terlalu suka berdandan. Untung saja kulit wajahnya termasuk bagus dan tahan banting. Make up selalu menempel sempurna di kulit wajahnya. Dan karena kulitnya putih, dia cocok memakai warna apapun.

Untuk malam ini, dia memutuskan memakai gaun berwarna perak dan riasan bernuansa sama, dan lipstik berwarna fuchsia. Sementara rambutnya yang hitam pekat sepunggung cukup dikuncir buntut kuda.

“Biasanya jam sembilan belum seramai ini,” jawab Merry.

“Ah, itu ada tuh mobil yang baru keluar!” Cathy menunjuk ke depan, untung saja matanya jeli melihat peluang itu. Cepat Dawn memarkirkan mobilnya sebelum direbut oleh mobil lain.

“Yeaah! Let’s get the party started!” teriak Merry antusias.

Mereka bertiga pun tertawa kegirangan dan segera melompat keluar mobil.

Booking atas nama Marianne Sifabella,” ucapnya pada petugas pintu masuk.

Sejenak petugas itu menelusuri jarinya pada tablet di tangannya, “Ah, Anda beruntung. Anda memesan sebelum dibooking habis oleh Nona Syeiley. Silakan masuk!”

Merry, Cathy dan Dawn saling pandang. Dibooking habis? Nona Syeiley ini pasti orang kaya banget.

Ambience bukan club biasa. Biaya masuknya mahal, harus booking satu table setidaknya habis lima juta. Kalau hanya datang sendirian dan tidak booking table, tetap saja habis minimal lima ratus ribu. Dan cewek itu membooking semua tempat?

“Anak konglomerat siapaa gitu!” ucap Dawn mengedikkan bahunya.

“Syeiley? Kayaknya gue pernah denger deh!” tambah Cathy.

Berhubung Cathy sangat ambisius, dia menghapal hampir semua konglomerat beserta nama anak-anaknya di Indonesia, bahkan merembet ke anak-anaknya Bill Gates dan Elon Musk.

“Ya udahlah ya, gue nggak peduli itu siapa. Tapi meja kita di mana?” potong Merry sudah tidak sabaran ingin segera duduk dan menikmati suasana.

Begitu masuk, ruangan sudah ramai oleh orang-orang yang sedang berjoget di lantai dansa, rave party sudah dimulai.

“Itu, sebelah sana masih kosong! Itu pasti meja kita!” tunjuk Cathy.

Maka, mereka bertiga segera berjalan menuju meja yang masih kosong tersebut.

“Gue pesen minuman kalian tunggu di sini dulu ya! Yang biasa kan?” teriak Merry untuk melawan gelegar suara musik yang dimainkan DJ.

Dawn dan Cathy hanya mengangguk. Tubuh mereka sudah bergoyang mengikuti irama lagu. Sophie pun berjalan menuju bar yang ternyata penuh oleh para tamu.

“Excuse me, excuse me,” Merry berusaha membelah kerumunan di dekat meja bar.

Asli menyebalkan banget! Kenapa sih mereka malah nongkrong di depan bar dan bukannya turun aja ke lantai dansa. Dengan sekuat tenaga, Merry menerobos di antara orang-orang itu. Dan akhirnya dia tiba di depan meja bar.

Holy shit, rame banget sih!” keluh Merry pada seorang bartender yang sedang sibuk mengelap gelas sloki.

“Iya, malam ini Nona Syeiley membooking semua tempat untuk para tamunya,” jawab sang bartender, yang selalu bersikap ramah pada semua tamu.

“Bukan, maksud gue ngapain mereka berdiri dekat bar? Kan yang mau memesan minuman jadi susah.”

“Oh, itu, sebentar lagi mereka juga akan turun ke lantai dansa kok.”

“Yakin?”

Bartender mengangguk. Dan benar saja, saat musik berhenti, mendadak semuanya hening. Kerumuman di tengah lantai dansa otomatis bergerak ke pinggir, sehingga di tengah menyisakan ruang kosong.

Sekelompok manusia yang berdiri di depan bar langsung masuk ke tengah lantai dansa dan melakukan pose yang sama. Musik kembali dimainkan. Seolah sudah dikomando dan dilatih puluhan kali, sepuluh orang itu menari dengan sinkronisasi yang mengagumkan.

“Jadi mau minum apa?” tanya bartender tersenyum melihat ekspresi tamu wanitanya.

“Oh, dua Tequila Sunrise, dan satu Black Russian,” jawab Merry masih terkagum-kagum. “Oh iya, tambah tiga botol air mineral.”

Bartender mengangguk. Sementara dia menyiapkan pesanan, Merry pun menikmati waktu sambil menyaksikan pertunjukan tarian itu. Dan akhirnya dia melihat wajah sang pemilik acara. Seorang wanita berwajah mirip Kylie Jenner, dengan wambut ikal panjang berwarna pirang, dandanan menor dan pakaian berwarna keemasan.

Jadi itu yang namanya Nona Syeiley? Gumam Merry lebih kepada dirinya sendiri.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status