Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
[Nanti malam jemput gue ya!] Begitu pesan yang diterima oleh Merry dari sahabatnya Cathy tentang rencana malam ini. Merry baru saja bangun tidur pada pukul sebelas siang. Ya siapa juga yang bangun cepat di hari Sabtu kan? Kecuali kalau masih masuk kerja sih, kayak si Cathy, cewek terlalu rajin dan ambisius di pertemanan mereka. Maka dengan setengah mengantuk dia mengetikkan balasan. Namun detik berikutnya Cathy sudah menelepon balik. “Ya, apalagi, Cath, kan udah gue bales,” jawab Merry dengan suara parau. “Gila ya, gue nunggu balesan dari lo sampe tiga jam. Senin lo udah mulai kerja, bukan pengangguran lagi. Jadi kayaknya lo harus biasain bangun pagi deh!” Tuh kan, kumat deh bawelnya. “Iya, mom,” balas Merry malas-malasan sambil menguap lebar. “Merry! Ih, nih anak santai banget sih! Jadi cewek kudu ambisius dikit dong!” Merry menjauhkan telepon genggam dari telinganya karena lengkingan suara Cathy yang sanggup menyaingi Ariana Grande. “Gue udah ambisius kali, Cath, buktinya gu
Tiba-tiba salah satu penari mendekati dirinya dan mengajaknya ke tengah untuk ikut menari. Walaupun bingung, Merry tidak menolak ajakan tersebut. Pria itu memberikan contoh gerakan pada Merry untuk diikuti. Merry pun bisa mengikutinya dengan mudah. “Woohoo, Merry! You go, girl!” teriak Dawn dari meja mereka yang tentu saja terdengar sampai ke telinganya. Ternyata bukan hanya dirinya, beberapa tamu lain juga ada yang diajak berdansa. Namun tidak semuanya bisa menguasai gerakan yang dicontohkan dengan cepat. Bisa dibilang koordinasi otot tubuhnya sangat baik, sehingga Merry mudah menghapal dan mengikuti gerakan tarian. Tanpa diduga, Dawn dan Cathy pun ikut terjun ke lantai dansa dan mengikuti gerakan yang dicontohkan. Dawn dengan mudah meniru, sedangkan Cathy kesulitan mengikutinya. Setelah itu, para tamu di pinggir pun satu per satu mulai ikut terjun ke tengah lantai dansa. Akhirnya mereka semua kompak menarikan gerakan yang sama. Merry, Dawn dan Cathy tertawa lepas. Andrenalin mer
Tangan mereka sibuk saling menjamah. Merry memeluk leher pria itu, sementara sepasang lengan kekar melingkar di pinggangnya, menarik tubuhnya begitu dekat, Merry bisa merasakan bara menguar dari tubuhnya. Kemudian pria itu melepaskan ciumannya. Matanya terlihat gelap, segelap langit malam, menatapnya dengan penuh nafsu. Merry terhuyung, kali ini bukan pusing karena pengaruh alkohol, melainkan ciuman dahsyat yang baru pertama kali dia rasakan sepanjang hidupnya. Tiba-tiba pria itu menggandeng tangannya dan membawanya menuju ruangannya. Setelah menutup pintu, pria itu kembali menghujani Merry dengan ciuman. Bibirnya, pipinya, lehernya, merambat ke belahan dadanya. Merry sudah terlalu terlena dengan kenikmatan yang sedang dirasakan olehnya saat ini. Sehingga dia tidak berdaya menolak. Dia menurut saja seperti sapi yang dicucuk hidungnya saat pria itu merebahkannya ke atas sofa. Kali ini, ciumannya sudah tidak terlalu ganas. Ciumannya sangat lembut namun begitu menuntut. Padahal ruang
“Ashton!” panggilnya setengah berbisik agar tidak memancing perhatian yang lain. Dia melambaikan tangannya pada pria itu, sangat berharap Ashton melihat dirinya. Radar pria itu memang peka. Ashton menghentikan langkahnya saat ingin membuka pintu ruangannya dan menoleh melihat dirinya. “Hei, Merry!” bisiknya juga dari kejauhan, membalas lambaian tangan juniornya di kampus. “Baru masuk?” ucapnya tanpa mengeluarkan suara. Merry mengangguk dengan bahagia karena pria itu menyadari keberadaannya. Ashton langsung memberi dua buah ibu jari dan menyemangati dirinya. “Ehm, ibu Merry, sedang apa? Mari saya akan mengantar ke ruangan untuk junior sekretaris?” tegur staf SDM itu. Merry tersadar dan segera membetulkan posisi tubuhnya, “I-iya, maaf, bu,” jawab Merry. Dia bergegas menyusul wanita itu. Ternyata ruangan sekretaris ada di lantai lain, tepatnya tiga lantai di atas ruangan khusus keuangan dan manajer. Ashton merupakan manajer di perusahaan ini. Sayangnya mereka akan berbeda lantai. M
Sepanjang rapat, Merry sama sekali tidak bisa fokus. Tentu saja disebabkan sosok Ashton yang tepat duduk di seberang dirinya. Sehingga setiap dia mengangkat matanya, wajah pertama yang terlihat adalah wajah pria itu. "Untuk proposal keuangan proyek sambal botolan, saya masih merasa kurang detail. Saya meminta tim satu yang bertanggung jawab pada proyek ini untuk mengajukan proposal budget sampai dengan siang nanti," ucap Ashton dengan ekspresi wajah serius. Merry mendesah demi melihat sisi lain Ashton yang baru kali ini disaksikan olehnya. Biasanya dia melihat Ashton sebagai mahasiswa yang santai dan murah senyum. Baru kali ini dia melihat Ashton berwajah serius, namun entah mengapa hal itu malah menjadi nilai tambah pesona dirinya. Dan sepertinya, bukan dirinya saja yang saat ini sedang terpesona pada pria yang satu itu. Beberapa karyawan perempuan lainnya bahkan secara terang-terangan menatap pria itu tanpa berkedip dengan tatapan nakal. Membuat Merry jijik melihatnya. Ah, ya amp
"Tugas dari Liam? Tugas apa?" tanya Ashton merasa tertarik mendengarnya. Sebenarnya, jabatan junior sekretaris yang saat ini dipegang oleh Merry tidak selamanya kosong. Sebelumnya, pernah ada beberapa sekretaris junior lainnya, hanya saja selama ini Liam tidak pernah memberikan tugas secara langsung pada sekretaris juniornya, dia pasti hanya akan berbicara pada Susan. "Gue harus membelikan makan siang untuk Pak Liam," jawab Merry apa adanya. Untuk beberapa saat, Ashton tidak menjawab ucapan Merry. Dia masih menunggu Merry selesai berbicara. Namun, setelah Merry terdiam cukup lama, Ashton baru menyadari kalau perempuan itu sudah selesai berbicara. "Makan siang? Oke, dia mau makan siang apa?" ucap Ashton kembali. Merry menggelengkan kepalanya putus asa, "Itu masalahnya. Pak Liam nggak memberi tahu sedang selera makan apa. Bu Susan juga nggak mengatakan apa-apa, hanya memberikan petunjuk yang sangat sedikit. Pak Liam nggak suka ikan dan makanan manis, di mana jenis menu seperti itu
Merry mengetuk kembali pintu ruangan bosnya. Tapi kali ini tanpa menunggu jawaban, dia sudah mendorong pintunya terbuka. "Anda ada perlu dengan saya lagi, Pak?" tanya Merry. Dilihatnya saat ini Liam sudah duduk di sofa tengah yang biasa dipakai untuk menerima tamu atau rapat kecil. "Duduklah!" perintah Liam. Merry tidak menolak. Bagaimana mungkin dia menolak perintah dari bosnya? Dia pun duduk tepat berhadapan dengan Liam. "Ada apa, Pak?" tanya Merry benar-benar polos. "Kamu tahu apa yang salah dengan kotak makan yang ada di atas meja?" tanya Liam. Merry menatap menu tersebut dengan terheran-heran. Rupanya Liam sudah mengeluarkan dua kotak itu dari kantongnya. Merry menatap kedua kotak makan tersebut dan sama sekali tidak tahu di mana letak kesalahannya. "Ada dua kotak makanan, Pak. Yang satu isinya lasagna, yang satu spageti," jawab Merry dengan suara pelan karena tidak yakin dengan jawabannya. "Lasagna dan spageti? Jadi ada dua menu?" Merry mengangguk masih kebingungan.