“Ashton!” panggilnya setengah berbisik agar tidak memancing perhatian yang lain. Dia melambaikan tangannya pada pria itu, sangat berharap Ashton melihat dirinya.
Radar pria itu memang peka. Ashton menghentikan langkahnya saat ingin membuka pintu ruangannya dan menoleh melihat dirinya.
“Hei, Merry!” bisiknya juga dari kejauhan, membalas lambaian tangan juniornya di kampus. “Baru masuk?” ucapnya tanpa mengeluarkan suara.
Merry mengangguk dengan bahagia karena pria itu menyadari keberadaannya. Ashton langsung memberi dua buah ibu jari dan menyemangati dirinya.
“Ehm, ibu Merry, sedang apa? Mari saya akan mengantar ke ruangan untuk junior sekretaris?” tegur staf SDM itu.
Merry tersadar dan segera membetulkan posisi tubuhnya, “I-iya, maaf, bu,” jawab Merry. Dia bergegas menyusul wanita itu.
Ternyata ruangan sekretaris ada di lantai lain, tepatnya tiga lantai di atas ruangan khusus keuangan dan manajer. Ashton merupakan manajer di perusahaan ini. Sayangnya mereka akan berbeda lantai.
Mungkin nanti setelah lama bekerja, dia bisa membujuk Ashton untuk menunjuknya sebagai sekretarisnya.
Mereka pun masuk ke dalam lift. Beberapa saat kemudian, lift terbuka dan mereka sudah tiba di lantai delapan. Lantai khusus direktur tentu saja sangat berbeda dengan lantai lainnya.
Di lantai ini, lantainya saja memakai marmer, begitupun dengan dindingnya. Desainnya minimalis, namun tetap berkesan elegan.
“Di sini khusus ruangan sekretaris. Ini Ibu Susan, senior Anda di sini. Beliau yang akan mengajari Anda tugas-tugas sekretaris di perusahaan ini.” Staf SDM itu memperkenalkan mereka berdua. “Ibu Susan, ini junior sekretaris yang akan membantu tugas ibu seperti permintaan ibu.”
Susan mengangguk. Setelah staf SDM pamit pergi, wanita berusia 40 tahunan itu mempersilakan Merry untuk duduk. Wajahnya tersenyum ramah, khas seorang sekretaris.
“Halo, Marianne Sifabella namanya kan?” ucapnya dengan suara yang keibuan.
“Iya, panggil saya Merry aja, Bu.” Merry sedikit membungkuk untuk memberi hormat.
“Jadi, berdasarkan CV ini, kamu baru berusia 25 tahun? Masih muda sekali. Sudah berpengalaman kerja apa aja?” tanya Susan.
Merry terheran-heran dengan pertanyaan itu. Bukankah sudah jelas kalau pengalaman kerjanya tertera di CV? Dan saat wawancara kerja pun dia sudah menjelaskannya pada sang pewawancara.
“Iya, bu, tapi walau usia saya baru 25 tahun, pengalaman kerja saya sudah banyak. Sejak SMA saya sudah mencari uang sendiri. Saat kuliah, saya juga pernah magang di beberapa perusahaan agensi iklan dan model.”
“Oh, lalu kenapa kamu melamar menjadi sekretaris? Pekerjaan sekretaris itu berat lho. Kamu harus siap 7x24 jam untuk melayani semua kebutuhan bos kamu.”
Merry terdiam. Ah, dia sama sekali lupa akan hal itu. Seharusnya dia mengambil pelajaran dari drama korea ‘What’s Wrong With Secretary Kim’, jangan pernah melamar pekerjaan sebagai sekretaris kalau masih mau menikmati hidup.
Ah, dia lupa. Gaji sekretaris ditawarkan paling besar di kantor ini. Dia mengambil begitu saja tanpa pemikiran lebih lanjut.
Tapi tunggu ... kalau harus siap 7x24 jam, itu sebenarnya pekerjaan sekretaris atau asisten pribadi?
Haruskah dia menanyakan untuk lebih jelas job desk-nya?
Tapi nanti dia malah ditandain sama bosnya sebagai karyawan yang bawel dan berhitungan.
'Huhuhu... baru mulai kerja sudah galau.' Batal sudah cita-citanya untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar tapi masih bisa santai-santai.
“Ya, semua pekerjaan ada resikonya kan, bu? Ada gaji ada rupa. Gajinya besar, maka pekerjaannya juga berat. Jadi, saya sudah siap berkerja keras.” Akhirnya Merry memberikan jawaban paling ideal yang terpikirkan olehnya.
Susan tertawa pelan mendengar jawaban retorik dari anak buahnya. “Baiklah, selanjutnya saya akan memperkenalkan kamu dengan bos yang akan kita layani selama bekerja di perusahaan ini.”
Merry menurut. Dia pun bangkit dari kursi dan mengekor ke mana Susan melangkah.
Wanita itu berjalan menuju ruangan terbesar di lantai ini. Mengetuk pintunya dua kali kemudian membukanya.
Merry melangkah ke dalam ruangan berukuran sebesar unit apartemennya. Sepasang sofa double berada di tengah ruangan, dan di salah satu sudut ruangannya di dekat jendela, terletak sebuah meja berukuran besar, dari kayu jati berwarna hitam pekat.
Pria yang sedang duduk di baliknya terlihat menunduk sibuk menuliskan sesuatu di dalam agenda miliknya.
Merry melambatkan langkahnya, alisnya berkerut, sepertinya dia mengenal sosok kepala yang tertunduk itu.
“Permisi, Bapak Liam, saya bermaksud memperkenalkan junior sekretaris yang baru masuk hari ini,” ucap Susan dengan sopan namun bernada tegas.
“Oh, ya, silakan, Bu Susan,” jawab Liam.
Pria itu meletakkan pulpen yang sedang dipakainya. Dan menengadahkan kepalanya, menatap mereka berdua.
Merry terpekik kaget, dia segera menutup mulutnya.
'Tidak mungkin! Itu … itu cowok satu malam kemarin!'
*
Merry bergerak dengan gelisah di bangkunya. Sementara Susan dan bos barunya sedang sibuk mendiskusikan jadwal hari ini.
Sejauh ini, Merry melihat kalau pria − yang merupakan bos sekaligus pria yang tidur bersamanya – tidak mengenali dirinya. Ekspresi wajahnya datar dan sulit dibaca.
Namun dia yakin kalau Liam Alexander Dharmendra, nama pria ini, sama sekali tidak mengingat dirinya. Harusnya dia merasa lega dong?
Tapi entah kenapa, tetap saja dia merasa gelisah. Masalahnya saat itu kan dia main kabur begitu saja, tanpa pamit atau sekedar say hallo, good morning.
Ah, gila! Kenapa juga dia harus memikirkan hal itu.
'Ya, gimana nggak dipikirin, kalau dilihat-lihat lagi, ternyata pria ini gantengnya bukan main.'
Tidak-tidak! Dia punya prinsip, no office romance. Karena bisa mengganggu profesionalitas.
“Oke, kalau begitu saya akan segera menghubungi Kementrian Perindustrian dan membuat janji temu di minggu ini dengan bapak. Lalu rapat untuk hari ini akan dimulai sekitar satu jam lagi. Kali ini hanya bagian keuangan dan marketing yang ikut rapat,” ulang Susan membacakan agenda untuk hari ini.
Liam mengangguk pelan masih dengan ekspresi datar yang tidak terbaca.
“Kalau begitu, permisi, Pak,” pamit Susan. “Merry.”
Merry segera tersadar saat namanya dipanggil. Dia menatap atasannya dan menyadari kalau dia harus ikut keluar ruangan. Dia pun segera bangkit dari sofa.
Namun, saat dia hendak berjalan, dia sempat bertatapan mata dengan Liam. Seketika itu juga jantung Merry bertingkah lagi. Tatapan mata pria itu begitu tajam dan misterius.
“Pe-permisi, Pak,” pamit Merry berusaha sopan sambil sedikit membungkukkan badannya.
Setelah sampai di mejanya kembali, Susan pun langsung memberinya instruksi apa yang menjadi pekerjaannya hari ini.
“Merry, nanti kamu ikut meeting satu jam lagi. Tenang saja, saya juga akan ikut di meeting tersebut. Tugas kamu di sana nanti cukup memantau jalannya rapat, dan mencatat semua poin-poin penting. Okay?”
Merry mengangguk dengan bersemangat, “Siap, Bu!”
“Oh, ya, sementara menunggu, kamu bisa mempelajari hal-hal apa saja yang menjadi kebutuhan Bapak Liam. Pagi hari dia suka minum kopi pahit disertai camilan buah. Pukul sepuluh ada snack, biasanya cookies. Tenang saja, semuanya sudah disediakan oleh OB. Tapi tugas kita juga untuk memastikan kalau cookies dan buah untuk bos selalu tersedia.”
Merry mengangguk berkali-kali mendengar semua arahan dari Susan. 'Duh, banyak banget ya, permintaan si bos.'
“Dan ini … hasil-hasil rapat bulan ini,” Susan mengeluarkan sebuah binder setebal sepuluh sentimeter berisi banyak sekali berkas-berkas. “Kamu baca dan pelajari apa saja yang sudah deal, sedang berjalan dan sudah selesai.”
Merry kembali manggut-manggut. Ingin sekali dia berkata, “Bu, bisa nggak disampaikannya satu-satu aja. Banyak banget ini. Kapan saya sempat memprosesnya dalam otak?”
Tapi, tentu saja dia tidak akan pernah berani mengeluh di hari pertamanya bekerja. Bisa disangka tidak becus dalam bekerja.
Akhirnya setelah selama setengah jam fokus mendengarkan penjelasan Susan, Merry memiliki waktu untuk istirahat di mejanya, dan mungkin mengecek telepon genggamnya.
Baru dia membuka layarnya, dia sudah melihat notifikasi pesan dari Ashton.
[Hallo, Merry, gue dengar lo jadi sekretarisnya Liam, ya? Damn, beruntung banget dia bisa dapet sekretaris cantik kayak lo. Oh ya, nanti jam sepuluh lo ikut rapat?]
Merry tersenyum membaca pujian dari Ashton. Dia pun segera membalasnya. [Iya, gue disuruh ikut rapat sama bu Susan. Kakak ikut rapat?]
[Yup, gue kan manajer keuangan. Jadi jelas gue pasti ikut di rapat itu. Oke, See you soon, beb! ;)]
Hati Merry menghangat demi membaca kalimat terakhir pesan dari Ashton. 'See you soon, beb!' Dengan emoji mengedipkan mata.
Memang sih, tidak seharusnya dia terbawa perasaan hanya karena sebaris pesan itu. Dia tahu banget popularitas Ashton di kalangan cewek-cewek.
Ashton itu playboy, anti komitmen, banyak cewek patah hati karenanya. But please … Ashton itu manis dan baik banget.
Cowok itu pernah menolong dirinya saat dia kehilangan tugas kuliahnya. Atau dengan sukarela mengantar dirinya ke rumah sakit saat ibunya kecelakaan dan masuk rumah sakit.
Ashton juga sangat sopan ke semua wanita. Dan dia tidak pernah kasar pada wanita manapun. Bahkan saat wanita itu menampar dirinya, Ashton sama sekali tidak marah atau membalasnya.
'Yaa, itu kan salah dia juga, kenapa playboy banget coba? Gimana nggak kena tampar sama cewek-cewek!'
Ah, terserahlah. Pokoknya, Ashton itu merupakan cinta pertamanya. Dia sudah bertekad untuk lebih dekat dengan cowok itu selama bekerja di kantor ini.
'Eh, please deh. Katanya no office romance. Kenapa sama Ashton jadi nggak berlaku?'
Ashton pengecualian. Titik.
Karena merasa riang, tanpa sadar Merry bersenandung pelan.
“Wah, suaramu merdu juga. Lain kali kalau ada malam karaoke, kamu harus ikut ya!” puji Susan.
“Iya, Bu, makasih,” balasnya riang.[]
Sepanjang rapat, Merry sama sekali tidak bisa fokus. Tentu saja disebabkan sosok Ashton yang tepat duduk di seberang dirinya. Sehingga setiap dia mengangkat matanya, wajah pertama yang terlihat adalah wajah pria itu. "Untuk proposal keuangan proyek sambal botolan, saya masih merasa kurang detail. Saya meminta tim satu yang bertanggung jawab pada proyek ini untuk mengajukan proposal budget sampai dengan siang nanti," ucap Ashton dengan ekspresi wajah serius. Merry mendesah demi melihat sisi lain Ashton yang baru kali ini disaksikan olehnya. Biasanya dia melihat Ashton sebagai mahasiswa yang santai dan murah senyum. Baru kali ini dia melihat Ashton berwajah serius, namun entah mengapa hal itu malah menjadi nilai tambah pesona dirinya. Dan sepertinya, bukan dirinya saja yang saat ini sedang terpesona pada pria yang satu itu. Beberapa karyawan perempuan lainnya bahkan secara terang-terangan menatap pria itu tanpa berkedip dengan tatapan nakal. Membuat Merry jijik melihatnya. Ah, ya amp
"Tugas dari Liam? Tugas apa?" tanya Ashton merasa tertarik mendengarnya. Sebenarnya, jabatan junior sekretaris yang saat ini dipegang oleh Merry tidak selamanya kosong. Sebelumnya, pernah ada beberapa sekretaris junior lainnya, hanya saja selama ini Liam tidak pernah memberikan tugas secara langsung pada sekretaris juniornya, dia pasti hanya akan berbicara pada Susan. "Gue harus membelikan makan siang untuk Pak Liam," jawab Merry apa adanya. Untuk beberapa saat, Ashton tidak menjawab ucapan Merry. Dia masih menunggu Merry selesai berbicara. Namun, setelah Merry terdiam cukup lama, Ashton baru menyadari kalau perempuan itu sudah selesai berbicara. "Makan siang? Oke, dia mau makan siang apa?" ucap Ashton kembali. Merry menggelengkan kepalanya putus asa, "Itu masalahnya. Pak Liam nggak memberi tahu sedang selera makan apa. Bu Susan juga nggak mengatakan apa-apa, hanya memberikan petunjuk yang sangat sedikit. Pak Liam nggak suka ikan dan makanan manis, di mana jenis menu seperti itu
Merry mengetuk kembali pintu ruangan bosnya. Tapi kali ini tanpa menunggu jawaban, dia sudah mendorong pintunya terbuka. "Anda ada perlu dengan saya lagi, Pak?" tanya Merry. Dilihatnya saat ini Liam sudah duduk di sofa tengah yang biasa dipakai untuk menerima tamu atau rapat kecil. "Duduklah!" perintah Liam. Merry tidak menolak. Bagaimana mungkin dia menolak perintah dari bosnya? Dia pun duduk tepat berhadapan dengan Liam. "Ada apa, Pak?" tanya Merry benar-benar polos. "Kamu tahu apa yang salah dengan kotak makan yang ada di atas meja?" tanya Liam. Merry menatap menu tersebut dengan terheran-heran. Rupanya Liam sudah mengeluarkan dua kotak itu dari kantongnya. Merry menatap kedua kotak makan tersebut dan sama sekali tidak tahu di mana letak kesalahannya. "Ada dua kotak makanan, Pak. Yang satu isinya lasagna, yang satu spageti," jawab Merry dengan suara pelan karena tidak yakin dengan jawabannya. "Lasagna dan spageti? Jadi ada dua menu?" Merry mengangguk masih kebingungan.
"Apakah kamu sedang merayu saya?" Liam mengulang pertanyaannya kembali. Sesuai dugaan Liam, perempuan di depannya saat ini duduk dengan salah tingkah. Mudah sekali untuk menggoda perempuan itu. Entah kenapa Liam merasa penasaran untuk terus menggodanya. Dan sebenarnya, yang merasakan hal itu tidak hanya Merry. Sejak pagi saat Merry pertama kali muncul di ruangannya, Liam sudah merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu. Tentu saja Liam teringat kejadian Sabtu malam sebelumnya, di mana dia sudah melewatkan malam yang panas dan penuh gairah, yang berhasil mengantarkannya pada kepuasan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Namun pagi harinya, dia hanya mendapati kesendirian di dalam ruangan itu. Liam merasa sangat marah dan terhina. Bisa diduga sepanjang sisa akhir pekan dilaluinya dengan suasana hati yang sangat buruk dan ingin terus mengamuk. Siapa yang menyangka kalau wajah itu akan muncul kembali di hadapannya, tepat di dalam ruangan kantornya sebagai sekretarisnya. Ah, tak
Hari kedua bekerja, Merry sudah tiba di kantor pukul setengah delapan pagi. Malam sebelumnya, dia dan kedua sahabatnya menyudahi makan malam ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Merry sudah terbiasa tidur larut malam namun pagi harinya sudah harus berangkat bekerja. Untungnya dia tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi walau malam sebelumnya pulang larut. Merry menutup mulutnya saat menguap, dia berjalan menuju lift dan melihat ada banyak orang yang sudah menunggu. Untung saja dia tidak sedang terburu-buru jadi dia tidak perlu memaksakan diri untuk masuk ke dalam lift yang penuh. Dia membiarkan dua lift lewat karena malas berdesakan. "Kalau lo nunggu sampai lift kosong, lo mungkin bakalan telat sampao di ruangan lo," tegur seorang pria yang suaranya sudah sangat dihapalnya. Merry terkejut saat Ashton muncul di sebelahnya. "Oh, Kakak." "Atau lo lagi nunggu seseorang?" tanya Ashton. Merry menggelengkan kepalanya, "Nggak, kok! Gue pikir yang lain lebih sedang terb
Saat Susan masuk ke dalam ruangan, Liam masih sibuk memeriksa laptopnya. Bahkan kelihatannya pria itu sama sekali tidak menyadari cangkir kopi dan kukis di atas pisin. Susan sama sekali tidak merasa heran. Sebenarnya dia sangat mengetahui kalau kesalahan Merry bukan hal yang fatal. Namun Susan sengaja tidak memberitahukannya pada Merry. Susan berdiri di sebelah meja Liam dan menunggu sampai pria itu selesai memeriksa email. Tak lama, Liam sudah mengangkat wajahnya. "Batalkan janji dengan Pak Robert. Sebagai gantinya, buat janji dengan Pak Marco," ucap Liam menyebutkan dua nama calon partner bisnis. "Baik, Pak," jawab Susan dengan sigap. Setelah itu, Susan menjelaskan beberapa dokumen yang harus ditanda-tangani oleh Liam. "Berapa besar kontrak yang berhasil kita dapatkan?" tanya Liam. "Lima milyar, Pak." "Hmm, saya pikir lima belas milyar. Ternyata saya salah sebut ya. Jauh sekali dari target," gumam Liam mengerutkan alisnya, berpikir dalam mempertimbangkan surat kontrak tersebut
Seperti yang sudah kita ketahui, sejak masih sekolah, Merry sudah bisa mencari duit sendiri dengan menjadi seorang model. Wajahnya yang manis, tubuh yang tinggi, membuatnya cukup laris menjadi model catwalk, iklan, maupun katalog. Setelah lulus SMA, Merry berkuliah di jurusan ekonomi manajemen. Bahkan saat masih berkuliah, dia tetap bekerja sebagai model, dan akhirnya magang di sebuah agensi periklanan. Dua tahun setelah lulus kuliah, dia masih bekerja di agensi periklanan. Masa-masa itu merupakan saat-saat terberat karena beban pekerjaan yang besar dan tidak kenal waktu. Seringkali dia bekerja lembur dan kurang tidur. Namun tentu saja, gaji yang seimbang dengan beban pekerjaannya. Namun, bukan itu yang diinginkan oleh Merry. Merry dibesarkan oleh orang tua tunggal. Ayahnya meninggal saat dia duduk di bangku SMP. Dia memiliki seorang adik laki-laki yang berbeda usia tujuh tahun. Sejak ayahnya meninggal, ibunya yang tadinya hanya seorang ibu rumah tangga mulai bekerja membanting tul
Saat Merry tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Didapatinya lampu di dalam apartemennya menyala semuanya. "Benny," panggilnya merasa kesal karena adiknya menghamburkan listrik. Namun tidak ada jawaban. Sebagai gantinya, dia mendengar suara air pancuran di dalam kamar mandi. Merry meletakkan kunci mobil di dalam mangkuk di atas meja pantry. Kemudian dia melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. "Benny, apa lo baru mandi?" panggilnya lagi sambil meletakkan tas di atas meja kerjanya. Namun lagi-lagi tidak ada jawaban. Akhirnya Merry memutuskan untuk mengetuk pintu kamar mandi, "Benny, lo merokok di dalam kamar mandi?" teriaknya kesal. "Kakak kan tahu kalau gue nggak merokok!" jawab Benny berteriak balik. "Sudah berapa lama lo di dalam? Lekas keluar! Gue juga mau mandi dan gue udah capek banget!" Hanya beberapa detik, pintu kamar mandi sudah terbuka. Terlihat wajah dan rambut adiknya yang basah, namun rupanya dia tidak habis mandi. "Lo ngapai