Share

4. The Boss

“Ashton!” panggilnya setengah berbisik agar tidak memancing perhatian yang lain. Dia melambaikan tangannya pada pria itu, sangat berharap Ashton melihat dirinya.

Radar pria itu memang peka. Ashton menghentikan langkahnya saat ingin membuka pintu ruangannya dan menoleh melihat dirinya.

“Hei, Merry!” bisiknya juga dari kejauhan, membalas lambaian tangan juniornya di kampus. “Baru masuk?” ucapnya tanpa mengeluarkan suara.

Merry mengangguk dengan bahagia karena pria itu menyadari keberadaannya. Ashton langsung memberi dua buah ibu jari dan menyemangati dirinya.

“Ehm, ibu Merry, sedang apa? Mari saya akan mengantar ke ruangan untuk junior sekretaris?” tegur staf SDM itu.

Merry tersadar dan segera membetulkan posisi tubuhnya, “I-iya, maaf, bu,” jawab Merry. Dia bergegas menyusul wanita itu.

Ternyata ruangan sekretaris ada di lantai lain, tepatnya tiga lantai di atas ruangan khusus keuangan dan manajer. Ashton merupakan manajer di perusahaan ini. Sayangnya mereka akan berbeda lantai.

Mungkin nanti setelah lama bekerja, dia bisa membujuk Ashton untuk menunjuknya sebagai sekretarisnya.

Mereka pun masuk ke dalam lift. Beberapa saat kemudian, lift terbuka dan mereka sudah tiba di lantai delapan. Lantai khusus direktur tentu saja sangat berbeda dengan lantai lainnya.

Di lantai ini, lantainya saja memakai marmer, begitupun dengan dindingnya. Desainnya minimalis, namun tetap berkesan elegan.

“Di sini khusus ruangan sekretaris. Ini Ibu Susan, senior Anda di sini. Beliau yang akan mengajari Anda tugas-tugas sekretaris di perusahaan ini.” Staf SDM itu memperkenalkan mereka berdua. “Ibu Susan, ini junior sekretaris yang akan membantu tugas ibu seperti permintaan ibu.”

Susan mengangguk. Setelah staf SDM pamit pergi, wanita berusia 40 tahunan itu mempersilakan Merry untuk duduk. Wajahnya tersenyum ramah, khas seorang sekretaris.

“Halo, Marianne Sifabella namanya kan?” ucapnya dengan suara yang keibuan.

“Iya, panggil saya Merry aja, Bu.” Merry sedikit membungkuk untuk memberi hormat.

“Jadi, berdasarkan CV ini, kamu baru berusia 25 tahun? Masih muda sekali. Sudah berpengalaman kerja apa aja?” tanya Susan.

Merry terheran-heran dengan pertanyaan itu. Bukankah sudah jelas kalau pengalaman kerjanya tertera di CV? Dan saat wawancara kerja pun dia sudah menjelaskannya pada sang pewawancara.

“Iya, bu, tapi walau usia saya baru 25 tahun, pengalaman kerja saya sudah banyak. Sejak SMA saya sudah mencari uang sendiri. Saat kuliah, saya juga pernah magang di beberapa perusahaan agensi iklan dan model.”

“Oh, lalu kenapa kamu melamar menjadi sekretaris? Pekerjaan sekretaris itu berat lho. Kamu harus siap 7x24 jam untuk melayani semua kebutuhan bos kamu.”

Merry terdiam. Ah, dia sama sekali lupa akan hal itu. Seharusnya dia mengambil pelajaran dari drama korea ‘What’s Wrong With Secretary Kim’, jangan pernah melamar pekerjaan sebagai sekretaris kalau masih mau menikmati hidup.

Ah, dia lupa. Gaji sekretaris ditawarkan paling besar di kantor ini. Dia mengambil begitu saja tanpa pemikiran lebih lanjut.

Tapi tunggu ... kalau harus siap 7x24 jam, itu sebenarnya pekerjaan sekretaris atau asisten pribadi?

Haruskah dia menanyakan untuk lebih jelas job desk-nya?

Tapi nanti dia malah ditandain sama bosnya sebagai karyawan yang bawel dan berhitungan. 

'Huhuhu... baru mulai kerja sudah galau.' Batal sudah cita-citanya untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar tapi masih bisa santai-santai.

“Ya, semua pekerjaan ada resikonya kan, bu? Ada gaji ada rupa. Gajinya besar, maka pekerjaannya juga berat. Jadi, saya sudah siap berkerja keras.” Akhirnya Merry memberikan jawaban paling ideal yang terpikirkan olehnya.

Susan tertawa pelan mendengar jawaban retorik dari anak buahnya. “Baiklah, selanjutnya saya akan memperkenalkan kamu dengan bos yang akan kita layani selama bekerja di perusahaan ini.”

Merry menurut. Dia pun bangkit dari kursi dan mengekor ke mana Susan melangkah.

Wanita itu berjalan menuju ruangan terbesar di lantai ini. Mengetuk pintunya dua kali kemudian membukanya.

Merry melangkah ke dalam ruangan berukuran sebesar unit apartemennya. Sepasang sofa double berada di tengah ruangan, dan di salah satu sudut ruangannya di dekat jendela, terletak sebuah meja berukuran besar, dari kayu jati berwarna hitam pekat.

Pria yang sedang duduk di baliknya terlihat menunduk sibuk menuliskan sesuatu di dalam agenda miliknya.

Merry melambatkan langkahnya, alisnya berkerut, sepertinya dia mengenal sosok kepala yang tertunduk itu.

“Permisi, Bapak Liam, saya bermaksud memperkenalkan junior sekretaris yang baru masuk hari ini,” ucap Susan dengan sopan namun bernada tegas.

“Oh, ya, silakan, Bu Susan,” jawab Liam.

Pria itu meletakkan pulpen yang sedang dipakainya. Dan menengadahkan kepalanya, menatap mereka berdua.

Merry terpekik kaget, dia segera menutup mulutnya.

'Tidak mungkin! Itu … itu cowok satu malam kemarin!'

*

Merry bergerak dengan gelisah di bangkunya. Sementara Susan dan bos barunya sedang sibuk mendiskusikan jadwal hari ini.

Sejauh ini, Merry melihat kalau pria − yang merupakan bos sekaligus pria yang tidur bersamanya – tidak mengenali dirinya. Ekspresi wajahnya datar dan sulit dibaca.

Namun dia yakin kalau Liam Alexander Dharmendra, nama pria ini, sama sekali tidak mengingat dirinya. Harusnya dia merasa lega dong?

Tapi entah kenapa, tetap saja dia merasa gelisah. Masalahnya saat itu kan dia main kabur begitu saja, tanpa pamit atau sekedar say hallo, good morning.

Ah, gila! Kenapa juga dia harus memikirkan hal itu.

'Ya, gimana nggak dipikirin, kalau dilihat-lihat lagi, ternyata pria ini gantengnya bukan main.'

Tidak-tidak! Dia punya prinsip, no office romance. Karena bisa mengganggu profesionalitas.

“Oke, kalau begitu saya akan segera menghubungi Kementrian Perindustrian dan membuat janji temu di minggu ini dengan bapak. Lalu rapat untuk hari ini akan dimulai sekitar satu jam lagi. Kali ini hanya bagian keuangan dan marketing yang ikut rapat,” ulang Susan membacakan agenda untuk hari ini.

Liam mengangguk pelan masih dengan ekspresi datar yang tidak terbaca.

“Kalau begitu, permisi, Pak,” pamit Susan. “Merry.”

Merry segera tersadar saat namanya dipanggil. Dia menatap atasannya dan menyadari kalau dia harus ikut keluar ruangan. Dia pun segera bangkit dari sofa.

Namun, saat dia hendak berjalan, dia sempat bertatapan mata dengan Liam. Seketika itu juga jantung Merry bertingkah lagi. Tatapan mata pria itu begitu tajam dan misterius.

“Pe-permisi, Pak,” pamit Merry berusaha sopan sambil sedikit membungkukkan badannya.

Setelah sampai di mejanya kembali, Susan pun langsung memberinya instruksi apa yang menjadi pekerjaannya hari ini.

“Merry, nanti kamu ikut meeting satu jam lagi. Tenang saja, saya juga akan ikut di meeting tersebut. Tugas kamu di sana nanti cukup memantau jalannya rapat, dan mencatat semua poin-poin penting. Okay?

Merry mengangguk dengan bersemangat, “Siap, Bu!”

“Oh, ya, sementara menunggu, kamu bisa mempelajari hal-hal apa saja yang menjadi kebutuhan Bapak Liam. Pagi hari dia suka minum kopi pahit disertai camilan buah. Pukul sepuluh ada snack, biasanya cookies. Tenang saja, semuanya sudah disediakan oleh OB. Tapi tugas kita juga untuk memastikan kalau cookies dan buah untuk bos selalu tersedia.”

Merry mengangguk berkali-kali mendengar semua arahan dari Susan. 'Duh, banyak banget ya, permintaan si bos.'

“Dan ini … hasil-hasil rapat bulan ini,” Susan mengeluarkan sebuah binder setebal sepuluh sentimeter berisi banyak sekali berkas-berkas. “Kamu baca dan pelajari apa saja yang sudah deal, sedang berjalan dan sudah selesai.”

Merry kembali manggut-manggut. Ingin sekali dia berkata, “Bu, bisa nggak disampaikannya satu-satu aja. Banyak banget ini. Kapan saya sempat memprosesnya dalam otak?”

Tapi, tentu saja dia tidak akan pernah berani mengeluh di hari pertamanya bekerja. Bisa disangka tidak becus dalam bekerja.

Akhirnya setelah selama setengah jam fokus mendengarkan penjelasan Susan, Merry memiliki waktu untuk istirahat di mejanya, dan mungkin mengecek telepon genggamnya.

Baru dia membuka layarnya, dia sudah melihat notifikasi pesan dari Ashton.

[Hallo, Merry, gue dengar lo jadi sekretarisnya Liam, ya? Damn, beruntung banget dia bisa dapet sekretaris cantik kayak lo. Oh ya, nanti jam sepuluh lo ikut rapat?]

Merry tersenyum membaca pujian dari Ashton. Dia pun segera membalasnya. [Iya, gue disuruh ikut rapat sama bu Susan. Kakak ikut rapat?]

[Yup, gue kan manajer keuangan. Jadi jelas gue pasti ikut di rapat itu. Oke, See you soon, beb! ;)]

Hati Merry menghangat demi membaca kalimat terakhir pesan dari Ashton. 'See you soon, beb!' Dengan emoji mengedipkan mata.

Memang sih, tidak seharusnya dia terbawa perasaan hanya karena sebaris pesan itu. Dia tahu banget popularitas Ashton di kalangan cewek-cewek.

Ashton itu playboy, anti komitmen, banyak cewek patah hati karenanya. But please … Ashton itu manis dan baik banget.

Cowok itu pernah menolong dirinya saat dia kehilangan tugas kuliahnya. Atau dengan sukarela mengantar dirinya ke rumah sakit saat ibunya kecelakaan dan masuk rumah sakit.

Ashton juga sangat sopan ke semua wanita. Dan dia tidak pernah kasar pada wanita manapun. Bahkan saat wanita itu menampar dirinya, Ashton sama sekali tidak marah atau membalasnya.

'Yaa, itu kan salah dia juga, kenapa playboy banget coba? Gimana nggak kena tampar sama cewek-cewek!'

Ah, terserahlah. Pokoknya, Ashton itu merupakan cinta pertamanya. Dia sudah bertekad untuk lebih dekat dengan cowok itu selama bekerja di kantor ini.

'Eh, please deh. Katanya no office romance. Kenapa sama Ashton jadi nggak berlaku?'

Ashton pengecualian. Titik.

Karena merasa riang, tanpa sadar Merry bersenandung pelan.

“Wah, suaramu merdu juga. Lain kali kalau ada malam karaoke, kamu harus ikut ya!” puji Susan.

“Iya, Bu, makasih,” balasnya riang.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status