Share

9. Kesalahan

Hari kedua bekerja, Merry sudah tiba di kantor pukul setengah delapan pagi. Malam sebelumnya, dia dan kedua sahabatnya menyudahi makan malam ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. 

Merry sudah terbiasa tidur larut malam namun pagi harinya sudah harus berangkat bekerja. Untungnya dia tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi walau malam sebelumnya pulang larut. 

Merry menutup mulutnya saat menguap, dia berjalan menuju lift dan melihat ada banyak orang yang sudah menunggu. Untung saja dia tidak sedang terburu-buru jadi dia tidak perlu memaksakan diri untuk masuk ke dalam lift yang penuh. Dia membiarkan dua lift lewat karena malas berdesakan. 

"Kalau lo nunggu sampai lift kosong, lo mungkin bakalan telat sampao di ruangan lo," tegur seorang pria yang suaranya sudah sangat dihapalnya.

Merry terkejut saat Ashton muncul di sebelahnya. "Oh, Kakak."

"Atau lo lagi nunggu seseorang?" tanya Ashton.

Merry menggelengkan kepalanya, "Nggak, kok! Gue pikir yang lain lebih sedang terburu-buru. Jadi gue biarkan mereka naik terlebih dahulu."

Ashton menatap wajah Merry tak percaya, "Merry, apa ini untuk pertama kalinya lo bekerja di gedung sebesar dan sepadat ini?" tanya Ashton.

Merry mengangguk. Sebelumnya dia memang sudah pernah bekerja. Namun hanya perusahaan kecil dan menengah yang mengubah rumah sebagai kantor. Biasanya hanya satu lantai, paling tinggi dua lantai. Bukan di gedung perkantoran yang memakai lift.

Ashton mendesah, "Kalau lift terbuka, lo harus ikut di belakang gue."

"Apa, Kak?"

Belum Ashton menjawab, pintu lift sudah terbuka kembali. Di luar dugaan, Ashton menarik lengan Merry  dan masuk ke dalam lift. Merry terkejut bukan main. Namun dia tidak menepisnya. Dia mengikuti Ashton masuk ke dalam lift dan berdiri di salah satu pojok lift. Dalam sekejap, lift sudah dipenuhi oleh karyawan-karyawan lainnya. Sehingga Ashton dan Merry harus berdiri berhimpitan. 

Punggung Merry terpaksa menempel di dada bidang Ashton, karena pria itu berdiri di belakangnya. Merry merasa tegang, karena dia bisa merasakan detak jantung Ashton dan hembusan napasnya yang menggelitik di dekat telinganya.

Seringkali di saat sibuk, Merry mengeluh kurangnya waktu yang dia miliki. Namun, di beberapa situasi yang menegangkan, Merry merasa waktu bergerak dengan sangat lambat. Dia harus menahan dirinya dari berbalik dan melihat wajah pria itu. Namun sepertinya, yang merasa tegang hanya Merry seorang. Ashton berdiri dengan sangat tenang di belakangnya, seolah sama sekali tidak merasa terganggu dengan situasi itu. 

"Merry, lo nggak menekan nomor lantai lo?" tegur Ashton.

"A-apa?" jawab Merry gugup mengangkat kepalanya dan memutar lehernya sedikit ke belakang untuk melihat wajah Ashton. Dia terkejut karena ternyata wajahnya dan Ashton berjarak sangat dekat. Hanya satu gerakan, bibirnya sudah bisa merasakan kelembutan bibir pria itu. Ah, kenapa cowok bibirnya bisa berwarna merah muda begitu?

"Lo lantai delapan kan? Maaf, bisa tolong tekan lantai delapan?" ucap Ashton pada pria yang berdiri tepat di dekat tombol lift.

"Ah, makasih, Kak, gue sampai lupa," ucap Merry pelan merasa malu karena dia melamun.

"No problem," jawab Ashton tersenyum tipis.

Setelah itu, mereka kembali terdiam selama lift bergerak naik. Ashton turun terlebih dahulu di lantai lima. Sementara Merry terus naik ke lantai delapan dengan dua orang lainnya. Merry sampai di mejanya saat waktu masih menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Susan masih belum tiba, begitupun dengan Liam yang ruangannya masih kosong.

Setelah meletakkan tasnya, Merry lekas berjalan menuju pantry untuk menyiapkan kopi dan camilan pagi sebagai sarapan bosnya. Dia memeriksa kabinet pantry. Untung saja semuanya ada labelnya sehingga dia tidak akan salah mengambil kopi untuk bosnya.

Benar seperti yang diinfokan oleh Susan, semuanya sudah disiapkan oleh office boy. Namun dia melihat kopi untuk Liam sudah hampir habis. Sudah tugasnya untuk memesannya kembali. Kopi untuk Liam memakai mesin kopi kapsul. Sehingga dia cukup memasukkan kapsul ke dalam slot mesin kopi dan mesin akan menyiapkan dengan otomatis. 

Merry terheran-heran melihat kue-kue kering yang tersedia di kabinet pantry. Susan mengatakan kalau Liam tidak menyukai makanan manis, tapi kenapa ada banyak sekali tersedia kue-kue di dalam sini? 

Setelah dia mengecek labelnya, ternyata kuenya buatan khusus dan tidak mengandung gula tebu, melainkan gula diet. Apa Liam mengidap penyakit tertentu sehingga asupan makanannya pun harus diperhatikan? Ah, tapi kemarin dia memakan lasagna tanpa pantangan sama sekali.  

Merry memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia pun segera menyiapkan piring saji dan meletakkan kue-kue itu di atasnya. Setelah kopinya siap, dia membawa semuanya di atas nampan dan membawanya ke dalam ruangan Liam. 

Saat dia keluar dari ruangan Liam, Susan baru saja tiba dan sedang meletakkan tasnya. Tak lama Liam terlihat berjalan di belakangnya dengan kedua tangan di dalam saku celananya.

"Selamat pagi, Pak Liam," sapa Susan dan Merry berbarengan.

Liam hanya menjawab dengan anggukan kecil. 

"Selamat pagi, Bu Susan," sapa Merry setelah Liam masuk ke dalam ruangannya.

"Selamat pagi, Merry. Kamu dari ruangan pak Liam?" tanya Susan agak terheran-heran.

"Iya, Bu, saya baru menyiapkan kopi dan camilan Pak Liam," jawab Merry polos.

"Apa? Oh ya ampun, Merry, kamu menyajikan bersama camilannya juga?"

"Iya, Bu."

"Kopi mungkin tidak apa-apa, tapi kalau camilan terlalu cepat. Biasanya camilan jam sepuluh."

Merry terkejut mendengar hal itu. "Lalu, bagaimana, Bu? Apa perlu saya ambil lagi?" tanya Merry panik.

"Tidak mungkin kamu ambil lagi. Pak Liam sudah masuk ke dalam ruangannya."

"Jadi aku harus bagaimana, Bu?" tanya Merry kembali masih merasa panik. Ah, padahal dia baru merasa senang karena kemarin hari pertamanya berakhir dengan baik. Masa di hari keduanya dia sudah melakukan kesalahan.

Susan menatap Merry dengan ekspresi yang sulit untuk ditebak. Namun bisa terlihat salah satu ujung bibirnya tertarik ke atas, seperti merasa senang melihat kepanikan di wajah bawahannya. 

"Kamu hanya bisa banyak-banyak berdoa semoga suasana hati Pak Liam sedang baik hari ini."

"Tapi, bagaimana caranya saya mengetahui Pak Liam sedang baik moodnya atau tidak, Bu? Saya baru dua hari bekerja di sini."

"Pak Liam tipe yang mudah untuk dihibur kok. Beliau memang tidak bisa menyimpan amarah, namun beliau bukan tipe pendendam."

"Lalu?" tanya Merry masih belum paham.

"Kalau kamu tidak mau terkena omelan Pak Liam atas kesalahan pagi ini, kamu harus bekerja dengan sangat baik."

"Ba-baik, Bu, saya akan berkerja dengan dua kali lebih giat hari ini. Apa yang harus saya lakukan?"

"Mudah saja. Sebelum Pak Liam bertanya jadwal hari ini, kamu harus sigap memberitahunya, mengatur janji-jani dengan klien penting, mengurus kontrak yang diperlukan, dan mengatur makan siang dan malamnya."

"Baik, Bu! Serahkan pada saya. Jadi, saya bisa mengetahui jadwal bapak bagaimana?"

"Untuk itu," Susan langsung membuka komputernya, kemudian dia mengirimkan beberapa email kepada Merry. "Nah, kau cek email yang baru saya kirimkan. Dan selesaikan semua tugas-tugas tersebut."

"Baik, Bu!" Merry bermaksud duduk di mejanya. 

Tiba-tiba telepon berdering. Dari layar kecil di badan telepon bisa terlihat kalau itu berasal dari ruangan Liam. Merry langsung meneguk ludahnya. Sementara itu Susan langsung menerima telepon tersebut.

"Ya, Pak?"

"Masuk ke dalam ruangan saya," ucap Liam dengan nada galak.

"Baik, Pak," jawab Susan setelah itu menutup teleponnya. Sebelum masuk ke dalam ruangan, dia membawa tablet yang biasa dia gunakan untuk mengatur semua pekerjaan.

"Bu Susan, tolong saya ya kalau Pak Liam mengungkit masalah kopi dan camilan," pinta Merry memelas.

Susan tersenyum tipis, "Saya tidak bisa janji, tapi akan saya usahakan."

Setelah mengucapkan itu, Susan beranjak masuk ke dalam ruangan bosnya, meninggalkan Merry dalam perasaan panik. Ah, semoga saja kesalahannya pagi ini tidak sampai membuatnya mendapatkan nilai merah.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status