Hari kedua bekerja, Merry sudah tiba di kantor pukul setengah delapan pagi. Malam sebelumnya, dia dan kedua sahabatnya menyudahi makan malam ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Merry sudah terbiasa tidur larut malam namun pagi harinya sudah harus berangkat bekerja. Untungnya dia tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi walau malam sebelumnya pulang larut.
Merry menutup mulutnya saat menguap, dia berjalan menuju lift dan melihat ada banyak orang yang sudah menunggu. Untung saja dia tidak sedang terburu-buru jadi dia tidak perlu memaksakan diri untuk masuk ke dalam lift yang penuh. Dia membiarkan dua lift lewat karena malas berdesakan.
"Kalau lo nunggu sampai lift kosong, lo mungkin bakalan telat sampao di ruangan lo," tegur seorang pria yang suaranya sudah sangat dihapalnya.
Merry terkejut saat Ashton muncul di sebelahnya. "Oh, Kakak."
"Atau lo lagi nunggu seseorang?" tanya Ashton.
Merry menggelengkan kepalanya, "Nggak, kok! Gue pikir yang lain lebih sedang terburu-buru. Jadi gue biarkan mereka naik terlebih dahulu."
Ashton menatap wajah Merry tak percaya, "Merry, apa ini untuk pertama kalinya lo bekerja di gedung sebesar dan sepadat ini?" tanya Ashton.
Merry mengangguk. Sebelumnya dia memang sudah pernah bekerja. Namun hanya perusahaan kecil dan menengah yang mengubah rumah sebagai kantor. Biasanya hanya satu lantai, paling tinggi dua lantai. Bukan di gedung perkantoran yang memakai lift.
Ashton mendesah, "Kalau lift terbuka, lo harus ikut di belakang gue."
"Apa, Kak?"
Belum Ashton menjawab, pintu lift sudah terbuka kembali. Di luar dugaan, Ashton menarik lengan Merry dan masuk ke dalam lift. Merry terkejut bukan main. Namun dia tidak menepisnya. Dia mengikuti Ashton masuk ke dalam lift dan berdiri di salah satu pojok lift. Dalam sekejap, lift sudah dipenuhi oleh karyawan-karyawan lainnya. Sehingga Ashton dan Merry harus berdiri berhimpitan.
Punggung Merry terpaksa menempel di dada bidang Ashton, karena pria itu berdiri di belakangnya. Merry merasa tegang, karena dia bisa merasakan detak jantung Ashton dan hembusan napasnya yang menggelitik di dekat telinganya.
Seringkali di saat sibuk, Merry mengeluh kurangnya waktu yang dia miliki. Namun, di beberapa situasi yang menegangkan, Merry merasa waktu bergerak dengan sangat lambat. Dia harus menahan dirinya dari berbalik dan melihat wajah pria itu. Namun sepertinya, yang merasa tegang hanya Merry seorang. Ashton berdiri dengan sangat tenang di belakangnya, seolah sama sekali tidak merasa terganggu dengan situasi itu.
"Merry, lo nggak menekan nomor lantai lo?" tegur Ashton.
"A-apa?" jawab Merry gugup mengangkat kepalanya dan memutar lehernya sedikit ke belakang untuk melihat wajah Ashton. Dia terkejut karena ternyata wajahnya dan Ashton berjarak sangat dekat. Hanya satu gerakan, bibirnya sudah bisa merasakan kelembutan bibir pria itu. Ah, kenapa cowok bibirnya bisa berwarna merah muda begitu?
"Lo lantai delapan kan? Maaf, bisa tolong tekan lantai delapan?" ucap Ashton pada pria yang berdiri tepat di dekat tombol lift.
"Ah, makasih, Kak, gue sampai lupa," ucap Merry pelan merasa malu karena dia melamun.
"No problem," jawab Ashton tersenyum tipis.
Setelah itu, mereka kembali terdiam selama lift bergerak naik. Ashton turun terlebih dahulu di lantai lima. Sementara Merry terus naik ke lantai delapan dengan dua orang lainnya. Merry sampai di mejanya saat waktu masih menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Susan masih belum tiba, begitupun dengan Liam yang ruangannya masih kosong.
Setelah meletakkan tasnya, Merry lekas berjalan menuju pantry untuk menyiapkan kopi dan camilan pagi sebagai sarapan bosnya. Dia memeriksa kabinet pantry. Untung saja semuanya ada labelnya sehingga dia tidak akan salah mengambil kopi untuk bosnya.
Benar seperti yang diinfokan oleh Susan, semuanya sudah disiapkan oleh office boy. Namun dia melihat kopi untuk Liam sudah hampir habis. Sudah tugasnya untuk memesannya kembali. Kopi untuk Liam memakai mesin kopi kapsul. Sehingga dia cukup memasukkan kapsul ke dalam slot mesin kopi dan mesin akan menyiapkan dengan otomatis.
Merry terheran-heran melihat kue-kue kering yang tersedia di kabinet pantry. Susan mengatakan kalau Liam tidak menyukai makanan manis, tapi kenapa ada banyak sekali tersedia kue-kue di dalam sini?
Setelah dia mengecek labelnya, ternyata kuenya buatan khusus dan tidak mengandung gula tebu, melainkan gula diet. Apa Liam mengidap penyakit tertentu sehingga asupan makanannya pun harus diperhatikan? Ah, tapi kemarin dia memakan lasagna tanpa pantangan sama sekali.
Merry memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia pun segera menyiapkan piring saji dan meletakkan kue-kue itu di atasnya. Setelah kopinya siap, dia membawa semuanya di atas nampan dan membawanya ke dalam ruangan Liam.
Saat dia keluar dari ruangan Liam, Susan baru saja tiba dan sedang meletakkan tasnya. Tak lama Liam terlihat berjalan di belakangnya dengan kedua tangan di dalam saku celananya.
"Selamat pagi, Pak Liam," sapa Susan dan Merry berbarengan.
Liam hanya menjawab dengan anggukan kecil.
"Selamat pagi, Bu Susan," sapa Merry setelah Liam masuk ke dalam ruangannya.
"Selamat pagi, Merry. Kamu dari ruangan pak Liam?" tanya Susan agak terheran-heran.
"Iya, Bu, saya baru menyiapkan kopi dan camilan Pak Liam," jawab Merry polos.
"Apa? Oh ya ampun, Merry, kamu menyajikan bersama camilannya juga?"
"Iya, Bu."
"Kopi mungkin tidak apa-apa, tapi kalau camilan terlalu cepat. Biasanya camilan jam sepuluh."
Merry terkejut mendengar hal itu. "Lalu, bagaimana, Bu? Apa perlu saya ambil lagi?" tanya Merry panik.
"Tidak mungkin kamu ambil lagi. Pak Liam sudah masuk ke dalam ruangannya."
"Jadi aku harus bagaimana, Bu?" tanya Merry kembali masih merasa panik. Ah, padahal dia baru merasa senang karena kemarin hari pertamanya berakhir dengan baik. Masa di hari keduanya dia sudah melakukan kesalahan.
Susan menatap Merry dengan ekspresi yang sulit untuk ditebak. Namun bisa terlihat salah satu ujung bibirnya tertarik ke atas, seperti merasa senang melihat kepanikan di wajah bawahannya.
"Kamu hanya bisa banyak-banyak berdoa semoga suasana hati Pak Liam sedang baik hari ini."
"Tapi, bagaimana caranya saya mengetahui Pak Liam sedang baik moodnya atau tidak, Bu? Saya baru dua hari bekerja di sini."
"Pak Liam tipe yang mudah untuk dihibur kok. Beliau memang tidak bisa menyimpan amarah, namun beliau bukan tipe pendendam."
"Lalu?" tanya Merry masih belum paham.
"Kalau kamu tidak mau terkena omelan Pak Liam atas kesalahan pagi ini, kamu harus bekerja dengan sangat baik."
"Ba-baik, Bu, saya akan berkerja dengan dua kali lebih giat hari ini. Apa yang harus saya lakukan?"
"Mudah saja. Sebelum Pak Liam bertanya jadwal hari ini, kamu harus sigap memberitahunya, mengatur janji-jani dengan klien penting, mengurus kontrak yang diperlukan, dan mengatur makan siang dan malamnya."
"Baik, Bu! Serahkan pada saya. Jadi, saya bisa mengetahui jadwal bapak bagaimana?"
"Untuk itu," Susan langsung membuka komputernya, kemudian dia mengirimkan beberapa email kepada Merry. "Nah, kau cek email yang baru saya kirimkan. Dan selesaikan semua tugas-tugas tersebut."
"Baik, Bu!" Merry bermaksud duduk di mejanya.
Tiba-tiba telepon berdering. Dari layar kecil di badan telepon bisa terlihat kalau itu berasal dari ruangan Liam. Merry langsung meneguk ludahnya. Sementara itu Susan langsung menerima telepon tersebut.
"Ya, Pak?"
"Masuk ke dalam ruangan saya," ucap Liam dengan nada galak.
"Baik, Pak," jawab Susan setelah itu menutup teleponnya. Sebelum masuk ke dalam ruangan, dia membawa tablet yang biasa dia gunakan untuk mengatur semua pekerjaan.
"Bu Susan, tolong saya ya kalau Pak Liam mengungkit masalah kopi dan camilan," pinta Merry memelas.
Susan tersenyum tipis, "Saya tidak bisa janji, tapi akan saya usahakan."
Setelah mengucapkan itu, Susan beranjak masuk ke dalam ruangan bosnya, meninggalkan Merry dalam perasaan panik. Ah, semoga saja kesalahannya pagi ini tidak sampai membuatnya mendapatkan nilai merah.[]
Saat Susan masuk ke dalam ruangan, Liam masih sibuk memeriksa laptopnya. Bahkan kelihatannya pria itu sama sekali tidak menyadari cangkir kopi dan kukis di atas pisin. Susan sama sekali tidak merasa heran. Sebenarnya dia sangat mengetahui kalau kesalahan Merry bukan hal yang fatal. Namun Susan sengaja tidak memberitahukannya pada Merry. Susan berdiri di sebelah meja Liam dan menunggu sampai pria itu selesai memeriksa email. Tak lama, Liam sudah mengangkat wajahnya. "Batalkan janji dengan Pak Robert. Sebagai gantinya, buat janji dengan Pak Marco," ucap Liam menyebutkan dua nama calon partner bisnis. "Baik, Pak," jawab Susan dengan sigap. Setelah itu, Susan menjelaskan beberapa dokumen yang harus ditanda-tangani oleh Liam. "Berapa besar kontrak yang berhasil kita dapatkan?" tanya Liam. "Lima milyar, Pak." "Hmm, saya pikir lima belas milyar. Ternyata saya salah sebut ya. Jauh sekali dari target," gumam Liam mengerutkan alisnya, berpikir dalam mempertimbangkan surat kontrak tersebut
Seperti yang sudah kita ketahui, sejak masih sekolah, Merry sudah bisa mencari duit sendiri dengan menjadi seorang model. Wajahnya yang manis, tubuh yang tinggi, membuatnya cukup laris menjadi model catwalk, iklan, maupun katalog. Setelah lulus SMA, Merry berkuliah di jurusan ekonomi manajemen. Bahkan saat masih berkuliah, dia tetap bekerja sebagai model, dan akhirnya magang di sebuah agensi periklanan. Dua tahun setelah lulus kuliah, dia masih bekerja di agensi periklanan. Masa-masa itu merupakan saat-saat terberat karena beban pekerjaan yang besar dan tidak kenal waktu. Seringkali dia bekerja lembur dan kurang tidur. Namun tentu saja, gaji yang seimbang dengan beban pekerjaannya. Namun, bukan itu yang diinginkan oleh Merry. Merry dibesarkan oleh orang tua tunggal. Ayahnya meninggal saat dia duduk di bangku SMP. Dia memiliki seorang adik laki-laki yang berbeda usia tujuh tahun. Sejak ayahnya meninggal, ibunya yang tadinya hanya seorang ibu rumah tangga mulai bekerja membanting tul
Saat Merry tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Didapatinya lampu di dalam apartemennya menyala semuanya. "Benny," panggilnya merasa kesal karena adiknya menghamburkan listrik. Namun tidak ada jawaban. Sebagai gantinya, dia mendengar suara air pancuran di dalam kamar mandi. Merry meletakkan kunci mobil di dalam mangkuk di atas meja pantry. Kemudian dia melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. "Benny, apa lo baru mandi?" panggilnya lagi sambil meletakkan tas di atas meja kerjanya. Namun lagi-lagi tidak ada jawaban. Akhirnya Merry memutuskan untuk mengetuk pintu kamar mandi, "Benny, lo merokok di dalam kamar mandi?" teriaknya kesal. "Kakak kan tahu kalau gue nggak merokok!" jawab Benny berteriak balik. "Sudah berapa lama lo di dalam? Lekas keluar! Gue juga mau mandi dan gue udah capek banget!" Hanya beberapa detik, pintu kamar mandi sudah terbuka. Terlihat wajah dan rambut adiknya yang basah, namun rupanya dia tidak habis mandi. "Lo ngapai
Hari Sabtu kantor sudah tidak masuk, namun jadwal bertemu kekasih hati sudah dijalankan sejak hari Jumat malam. Tadi malam Ashton sudah menginap di apartemen Brittany, tunangannya. Namun pagi-pagi sekali dia harus segera pulang karena ayah dan ibunya pulang dari Semarang. "Merry?" Ashton menggumam dalam hatinya saat bisa mengenali sosok juniornya di kampus dulu. Junior yang selalu menatap dirinya dengan malu-malu. Ashton selalu merasa gemas melihat Merry, karena perempuan itu terlalu polos dan mudah sekali untuk dijahili. Saat kuliah, Ashton sangat menyadari kalau Merry memiliki perasaan padanya. Entah kalau perasaan cinta, namun setidaknya Ashton tahu kalau Merry kagum pada dirinya. Namun, Ashton menghindari wanita tipe seperti Merry yang baik dan setia. Saat kuliah, Ashton sama sekali tidak mau berpacaran serius, dan dia tipe yang cepat bosan. Dan dia menduga kalau berpacaran dengan Merry, dia pasti akan sulit putus karena Merry pasti akan terus mengejarnya. Merry merupakan jun
Saat sedang mengantri bubur ayam, Merry melihat sebuah motor sport yang dikenali olehnya. Tentu saja Merry mengenali motor tersebut, karena dia sering melihatnya sejak bekerja di kantor yang sama dengan Ashton. Beberapa kali pria itu memakai motor saat cuaca cerah dan malas bermacet-macetan di jalan. "Ashton? Dia dari kompleks apartemen ini juga? Eh, dia masuk kembali ke kompleks ini. Apa dia tinggal di sini?" gumam Merry. Kedua matanya terus mengikuti kepergian motor tersebut. "Kakak, ngelihatin siapa?" tanya Benny mengikuti arah pandang Merry. "Nggak, kok. Kakak pikir kakak melihat teman kakak," balas Merry. Benny tersenyum. Merry mungkin saja pemarah dan galak, tapi Merry tidak pernah bersikap tidak ramah padanya. Kalau saudara yang lain mungkin sudah akan marah kalau mendapat pertanyaan semacam itu dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. "Gue pikir Kakak melihat pacar Kakak selingkuh," goda Benny. Merry menjitak kepala adiknya dan menggerutu, "Amit-amit gue diselingkuhi sam
Merry berjalan dengan tergesa-gesa sambil menarik tubuh adiknya. Ah, siapa sih yang akan mengira kalau dia akan bertemu dengan dua bos dari kantornya. Ashton mungkin saja bukan atasannya langsung, tapi tetap saja pertemuan malam minggu ini membuatnya gugup. Dia tidak tahu apakah penampilannya cukup layak di depan kedua pria itu. Karena tadi saat hendak berangkat, dia mengambil dengan asal baju yang ada di dalam lemari. Dia pikir hanya akan berjalan-jalan bersama adiknya, jadi tidak perlu terlalu berdandan. Saat melewati sebuah kaca etalase besar yang memantulkan penampilannya secara keseluruhan, Merry menghentikan langkahnya. Dia melihat seorang perempuan memakai kaos oblong polos yang terlalu besar, berbahan tipis, lengan pendek yang dia gulung sedikit, dan celana jeans biru tua yang membalut kaki jenjangnya. Dia juga hanya memakai sepatu kets yang nyaman untuk berjalan-jalan. Rambutnya dikuncir kuda, dan wajahnya hanya terpoles bedak tipis. Untung saja dia memakai liptint warna mera
Suasana di meja makan sebenarnya tidak secanggung yang dipikirkan oleh Merry. Ashton, Cathy dan Dawn asyik berbincang-bincang. Tentu saja mereka membicarakan masalah kampus. "Kamu kuliah di Aussie? Di mana?" tanya Ashton dengan antusias. "Di Monash. Oh iya, kalau Kak Liam kuliah di mana?" tanya Dawn balik. Tentu saja dia merasa antusias karena akhirnya bertemu dengan pria yang selama ini hanya diceritakan oleh Merry. Matanya bahkan tidak lepas dari meneliti wajah Liam. "Liam lulusan Stanford," balas Ashton entah kenapa malah dia yang menjawab. Ah, tentu saja itu karena Liam paling malas yang namanya berbasa-basi dan Ashton memahami hal itu. "Wah, keren banget lulusan Stanford," puji Cathy dengan tulus. Untuk membuat Cathy kagum memang bukan dari ketampanan wajah, melainkan dari pendidikan dan karir yang cemerlang. Walaupun dipuji oleh Cathy, wajah Liam tetap saja datar tanpa ekspresi. Namun dengan sopan, dia membalas pujian itu. "Terima kasih," ucapnya singkat tanpa senyum
Merry duduk dengan canggung di dalam bioskop. Ternyata hukuman yang diberikan Liam mengharuskan Merry duduk di sebelah pria itu. Sehingga Ashton duduk bersama Cathy, Dawn dan Benny sebagai gantinya. Posisi kursi yang mereka dapat memang tidak di depan, melainkan empat baris dari belakang namun benar-benar di area pojok kiri studio. Merry tidak pernah ada masalah duduk di manapun di dalam bioskop, tapi tidak kali ini. Rasanya Merry ingin pindah tempat duduk atau keluar studio saja sekalian. Masalahnya, mau berpura-pura seperti apapun, dia tidak bisa menghilangkan rasa jengah seperti sedang diperhatikan dari sebelah kirinya. Karena posisi mereka di bagian kiri studio, Merry harus sedikit serong ke kanan untuk melihat layar, dan posisi itu membuatnya sedikit memunggungi orang yang duduk di sebelah kirinya, yaitu Liam. Entah bagaimana, dia mendapat firasat kalau bosnya itu pasti sedang menatap dirinya. Ah, mungkin dia terlalu percaya diri mengenai hal itu. Namun dia tidak bisa menepis pe