Sepanjang rapat, Merry sama sekali tidak bisa fokus. Tentu saja disebabkan sosok Ashton yang tepat duduk di seberang dirinya. Sehingga setiap dia mengangkat matanya, wajah pertama yang terlihat adalah wajah pria itu.
"Untuk proposal keuangan proyek sambal botolan, saya masih merasa kurang detail. Saya meminta tim satu yang bertanggung jawab pada proyek ini untuk mengajukan proposal budget sampai dengan siang nanti," ucap Ashton dengan ekspresi wajah serius.
Merry mendesah demi melihat sisi lain Ashton yang baru kali ini disaksikan olehnya. Biasanya dia melihat Ashton sebagai mahasiswa yang santai dan murah senyum. Baru kali ini dia melihat Ashton berwajah serius, namun entah mengapa hal itu malah menjadi nilai tambah pesona dirinya.
Dan sepertinya, bukan dirinya saja yang saat ini sedang terpesona pada pria yang satu itu. Beberapa karyawan perempuan lainnya bahkan secara terang-terangan menatap pria itu tanpa berkedip dengan tatapan nakal. Membuat Merry jijik melihatnya. Ah, ya ampun, padahal kalau dia mau melihat secara adil, dia pun termasuk di barisan perempuan-perempuan itu.
Setelah dua jam, rapat pun akhirnya selesai tepat saat makan siang. Merry merapikan agenda dan peralatan menulisnya. Dia mendapati Susan yang sedang berbicara dengan Liam. Rupanya Susan sedang menanyakan menu makan siang yang diinginkan oleh bosnya.
"Anda belum tahu siang ini mau makan apa, Pak?" tanya Susan untuk memastikan sekali lagi. Walau secara usia masih lebih tua wanita ini, secara jabatan Susan tetap harus bersikap hormat dan formal pada atasannya tersebut.
Sementara itu, Merry yang sudah selesai berdiri di belakang tubuh Susan, menunggu seniornya tersebut. Dia tahu kalau saat ini sudah masuk waktu istirahat, namun karena dia masih karyawan baru, dia tidak ingin menghilang begitu saja sebelum memastikan kalau tugasnya sudah selesai.
Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Merry pun mengeceknya.
[Lunch?] Begitu isi pesan singkat yang dikirimkan oleh Ashton. Ashton tentu saja sudah keluar ruangan rapat beberapa saat yang lalu.
Tanpa sadar, Merry menyunggingkan sebuah senyuman. Dia sama sekali tidak mengira kalau Ashton masih akan menyapanya, mengingat di kantor ini ada banyak wanita cantik lainnya.
Merry tersenyum membayangkan wajah pria beralis tebal dan berlesung pipit itu. Kemudian dia segera membalasnya dengan antusias.
Merry : Sure! Ada rekomendasi di mana yang enak?
Ashton : Tergantung saat ini kamu lagi mau makan apa.
Merry : Aku nggak pilih-pilih makanan :)
Ashton : Are you sure? Kebanyakan wanita yang menjawab tidak pilih-pilih makanan, ternyata paling banyak pantangannya. Lol
Merry : Aku nggak lagi diet, jadi bebas apa aja. Asal yang sehat.
Ashton : Nah, ini maksudku. Kamu paham sekarang kan?
Merry terkikik geli saat menyadari kesalahannya. Tawanya itu tentu saja menarik perhatian Liam dan Susan.
"Apakah ada sesuatu yang lucu, Nona Merry?" tanya Liam untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu hari ini.
Merry terkejut, lekas dia menurunkan ponselnya dan menyembunyikannya di balik punggungnya. "Tidak, Pak, hanya chat dengan teman saya. Maaf."
Merry menelan ludahnya saat dia melihat ekspresi wajah bosnya yang tidak menyukai jawabannya. Ah, kenapa juga harus bilang sedang chat bersama teman, karena kesannya dia tidak serius dengan pekerjaannya. 'Harusnya aku menjawab sedang menjawab pesan dari orang tua!'
"Bu Susan, apakah ada karyawan di kantor kita yang tidak memiliki pekerjaan saat ini?" tanya Liam di luar dugaan malah mengajak bicara sekretarisnya.
Susan tentu saja terheran-heran, "Bagaimana maksudnya, Pak?"
"Perusahaan ini bisa besar dan sukses seperti sekarang bukan karena bersantai-santai asyik chat dengan teman di hari kerja kan?" ucap Liam lagi malah berputar-putar.
Untung saja Susan yang sudah bekerja lebih dari lima tahun mendampingi Liam lekas memahami maksudnya.
"Ah, tentu saja, Anda benar sekali, Pak," jawab Susan tersenyum penuh arti. Kemudian dia menatap Merry, "Merry, tugas pertamamu kali ini adalah membeli makan siang untuk Pak Liam," lanjutnya.
Merry terkejut mendengar hal itu, namun lekas dia menjawab dengan sigap, "Siap, Bu. Pak Liam hendak makan siang apa?" tanyanya.
"Saat ini Pak Liam sedang tidak berselera, sehingga menu makan siang sepenuhnya berada di keputusanmu."
Merry mengerutkan alisnya saat mendengar jawaban itu, "Maksudnya gimana, Bu?"
"Kalau Pak Liam menyukai menu makan siang yang kamu pilih, kamu sudah berhasil pada pekerjaan pertamamu. Dan bisa dibilang mungkin kamu cocok dengan pekerjaan ini. Tapi apabila kamu salah memilih menu, mungkin tak akan lama kamu bekerja di kantor ini."
Merry terpaku saat mendengar penjelasan itu. Mulutnya menganga dan matanya terbelalak. Dia menoleh menatap wajah bosnya yang hanya bersikap dingin sambil sibuk memeriksa ponselnya.
'Apa itu? Dia yang membenci apabila karyawannya mencuri waktu bermain ponsel, dia sendiri yang melanggarnya. Benar-benar menyebalkan. Lagipula, tes pekerjaan macam apa yang disuruh membelikan makan siang bosnya?'
"Merry, apakah kamu sudah paham?" tanya Susan menjentikkan jemarinya di depan wajahnya.
Merry menggeleng cepat, "Tapi ... saya tidak tahu selera makanan Pak Liam, Bu. Apakah mungkin ada sedikit petunjuk, seperti apa makanan yang disukai Pak Liam, dan apa yang menjadi pantangannya?"
Mata Susan berbinar saat mendengar pertanyaan dari bawahannya ini, "Tentu saja. Namun, saya tidak bisa memberikan banyak petunjuk. Saya hanya bisa mengatakan kalau Pak Liam tidak menyukai ikan dan makanan yang manis."
Otak Merry langsung berkelana mengingat semua menu makanan gurih dan asin yang diketahui olehnya. Tentu saja jumlahnya ada ratusan. Bagaimana dia harus memilih salah satunya dalam waktu yang singkat?
"Sekarang tunggu apa lagi? Lekas belikan Pak Liam makan siangnya," perintah Susan. "Ah ya, pakai kartu kantor." Setelah itu, dia memberikan sebuah kartu berwarna hitam ke tangan Merry. "Pinnya akan saya kirim ke emailmu. Oh ya, pesan dua menu makanan!"
Merry menerima kartu itu dan lekas memasukkan ke dalam saku blazernya. Setelah pamit, dia pun berjalan keluar ruangan rapat, di mana hanya tinggal ada Liam dan Susan saja di dalam sana. Ashton sudah keluar sejak tadi. Merry bahkan lupa sama sekali dengan janji makan siangnya bersama Ashton.
Tanpa mencari sosok Aston, Merry lekas berlari menuju lift. Di lantai dasar gedung perkantoran ini, ada banyak restoran yang buka. Rencana awalnya, dia akan mencari makan siang untuk Liam masih di gedung ini.
Lima menit kemudian, Merry sudah berada di lantai dasar, berdiri di depan pintu lift dengan mata nyalang memandang sekeliling lantai yang dipenuhi oleh berbagai macam restoran.
Pekerjaan ini seharusnya bukan pekerjaan yang sulit, hanya membelikan makan siang untuk atasannya. Memangnya apa yang akan terjadi sih, kalau menu makan siang yang dia beli tidak disukai oleh bosnya? Atau berapa persen kemungkinan dia akan mengacaukan tugas semudah ini?
Namun pada kenyataannya, sejak keluar dari lift, sudah sepuluh menit Merry hanya berdiri mematung menatap ke sekelilingnya dengan pandangan bingung.
"Merry, kenapa lo pergi sendirian?" tegur sebuah suara yang baru saja keluar dari dalam lift bersama beberapa karyawan lainnya.
Merry terkejut bukan main. Dia pun langsung menoleh, "Kak Ashton," gumam Merry merasa sedikit lega karena dia melihat wajah yang dikenal olehnya. Tapi kemudian, hatinya pun terselip perasaan bersalah. "Maaf, Kak, gue lupa sama sekali, soalnya mendadak ada tugas dari Pak Liam."[]
Halo, teman-teman. Sebelumnya saya mohon maaf karena absen lama banget untuk meneruskan novel ini, disebabkan beberapa kesibukan dan masalah kesehatan. Insyaallah saya akan mulai rutin meneruskan novel ini. Jadi, saya harap teman-teman terus mengikuti kisah Marianne aka Merry ya. Enjoy!
"Tugas dari Liam? Tugas apa?" tanya Ashton merasa tertarik mendengarnya. Sebenarnya, jabatan junior sekretaris yang saat ini dipegang oleh Merry tidak selamanya kosong. Sebelumnya, pernah ada beberapa sekretaris junior lainnya, hanya saja selama ini Liam tidak pernah memberikan tugas secara langsung pada sekretaris juniornya, dia pasti hanya akan berbicara pada Susan. "Gue harus membelikan makan siang untuk Pak Liam," jawab Merry apa adanya. Untuk beberapa saat, Ashton tidak menjawab ucapan Merry. Dia masih menunggu Merry selesai berbicara. Namun, setelah Merry terdiam cukup lama, Ashton baru menyadari kalau perempuan itu sudah selesai berbicara. "Makan siang? Oke, dia mau makan siang apa?" ucap Ashton kembali. Merry menggelengkan kepalanya putus asa, "Itu masalahnya. Pak Liam nggak memberi tahu sedang selera makan apa. Bu Susan juga nggak mengatakan apa-apa, hanya memberikan petunjuk yang sangat sedikit. Pak Liam nggak suka ikan dan makanan manis, di mana jenis menu seperti itu
Merry mengetuk kembali pintu ruangan bosnya. Tapi kali ini tanpa menunggu jawaban, dia sudah mendorong pintunya terbuka. "Anda ada perlu dengan saya lagi, Pak?" tanya Merry. Dilihatnya saat ini Liam sudah duduk di sofa tengah yang biasa dipakai untuk menerima tamu atau rapat kecil. "Duduklah!" perintah Liam. Merry tidak menolak. Bagaimana mungkin dia menolak perintah dari bosnya? Dia pun duduk tepat berhadapan dengan Liam. "Ada apa, Pak?" tanya Merry benar-benar polos. "Kamu tahu apa yang salah dengan kotak makan yang ada di atas meja?" tanya Liam. Merry menatap menu tersebut dengan terheran-heran. Rupanya Liam sudah mengeluarkan dua kotak itu dari kantongnya. Merry menatap kedua kotak makan tersebut dan sama sekali tidak tahu di mana letak kesalahannya. "Ada dua kotak makanan, Pak. Yang satu isinya lasagna, yang satu spageti," jawab Merry dengan suara pelan karena tidak yakin dengan jawabannya. "Lasagna dan spageti? Jadi ada dua menu?" Merry mengangguk masih kebingungan.
"Apakah kamu sedang merayu saya?" Liam mengulang pertanyaannya kembali. Sesuai dugaan Liam, perempuan di depannya saat ini duduk dengan salah tingkah. Mudah sekali untuk menggoda perempuan itu. Entah kenapa Liam merasa penasaran untuk terus menggodanya. Dan sebenarnya, yang merasakan hal itu tidak hanya Merry. Sejak pagi saat Merry pertama kali muncul di ruangannya, Liam sudah merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu. Tentu saja Liam teringat kejadian Sabtu malam sebelumnya, di mana dia sudah melewatkan malam yang panas dan penuh gairah, yang berhasil mengantarkannya pada kepuasan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Namun pagi harinya, dia hanya mendapati kesendirian di dalam ruangan itu. Liam merasa sangat marah dan terhina. Bisa diduga sepanjang sisa akhir pekan dilaluinya dengan suasana hati yang sangat buruk dan ingin terus mengamuk. Siapa yang menyangka kalau wajah itu akan muncul kembali di hadapannya, tepat di dalam ruangan kantornya sebagai sekretarisnya. Ah, tak
Hari kedua bekerja, Merry sudah tiba di kantor pukul setengah delapan pagi. Malam sebelumnya, dia dan kedua sahabatnya menyudahi makan malam ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Merry sudah terbiasa tidur larut malam namun pagi harinya sudah harus berangkat bekerja. Untungnya dia tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi walau malam sebelumnya pulang larut. Merry menutup mulutnya saat menguap, dia berjalan menuju lift dan melihat ada banyak orang yang sudah menunggu. Untung saja dia tidak sedang terburu-buru jadi dia tidak perlu memaksakan diri untuk masuk ke dalam lift yang penuh. Dia membiarkan dua lift lewat karena malas berdesakan. "Kalau lo nunggu sampai lift kosong, lo mungkin bakalan telat sampao di ruangan lo," tegur seorang pria yang suaranya sudah sangat dihapalnya. Merry terkejut saat Ashton muncul di sebelahnya. "Oh, Kakak." "Atau lo lagi nunggu seseorang?" tanya Ashton. Merry menggelengkan kepalanya, "Nggak, kok! Gue pikir yang lain lebih sedang terb
Saat Susan masuk ke dalam ruangan, Liam masih sibuk memeriksa laptopnya. Bahkan kelihatannya pria itu sama sekali tidak menyadari cangkir kopi dan kukis di atas pisin. Susan sama sekali tidak merasa heran. Sebenarnya dia sangat mengetahui kalau kesalahan Merry bukan hal yang fatal. Namun Susan sengaja tidak memberitahukannya pada Merry. Susan berdiri di sebelah meja Liam dan menunggu sampai pria itu selesai memeriksa email. Tak lama, Liam sudah mengangkat wajahnya. "Batalkan janji dengan Pak Robert. Sebagai gantinya, buat janji dengan Pak Marco," ucap Liam menyebutkan dua nama calon partner bisnis. "Baik, Pak," jawab Susan dengan sigap. Setelah itu, Susan menjelaskan beberapa dokumen yang harus ditanda-tangani oleh Liam. "Berapa besar kontrak yang berhasil kita dapatkan?" tanya Liam. "Lima milyar, Pak." "Hmm, saya pikir lima belas milyar. Ternyata saya salah sebut ya. Jauh sekali dari target," gumam Liam mengerutkan alisnya, berpikir dalam mempertimbangkan surat kontrak tersebut
Seperti yang sudah kita ketahui, sejak masih sekolah, Merry sudah bisa mencari duit sendiri dengan menjadi seorang model. Wajahnya yang manis, tubuh yang tinggi, membuatnya cukup laris menjadi model catwalk, iklan, maupun katalog. Setelah lulus SMA, Merry berkuliah di jurusan ekonomi manajemen. Bahkan saat masih berkuliah, dia tetap bekerja sebagai model, dan akhirnya magang di sebuah agensi periklanan. Dua tahun setelah lulus kuliah, dia masih bekerja di agensi periklanan. Masa-masa itu merupakan saat-saat terberat karena beban pekerjaan yang besar dan tidak kenal waktu. Seringkali dia bekerja lembur dan kurang tidur. Namun tentu saja, gaji yang seimbang dengan beban pekerjaannya. Namun, bukan itu yang diinginkan oleh Merry. Merry dibesarkan oleh orang tua tunggal. Ayahnya meninggal saat dia duduk di bangku SMP. Dia memiliki seorang adik laki-laki yang berbeda usia tujuh tahun. Sejak ayahnya meninggal, ibunya yang tadinya hanya seorang ibu rumah tangga mulai bekerja membanting tul
Saat Merry tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Didapatinya lampu di dalam apartemennya menyala semuanya. "Benny," panggilnya merasa kesal karena adiknya menghamburkan listrik. Namun tidak ada jawaban. Sebagai gantinya, dia mendengar suara air pancuran di dalam kamar mandi. Merry meletakkan kunci mobil di dalam mangkuk di atas meja pantry. Kemudian dia melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. "Benny, apa lo baru mandi?" panggilnya lagi sambil meletakkan tas di atas meja kerjanya. Namun lagi-lagi tidak ada jawaban. Akhirnya Merry memutuskan untuk mengetuk pintu kamar mandi, "Benny, lo merokok di dalam kamar mandi?" teriaknya kesal. "Kakak kan tahu kalau gue nggak merokok!" jawab Benny berteriak balik. "Sudah berapa lama lo di dalam? Lekas keluar! Gue juga mau mandi dan gue udah capek banget!" Hanya beberapa detik, pintu kamar mandi sudah terbuka. Terlihat wajah dan rambut adiknya yang basah, namun rupanya dia tidak habis mandi. "Lo ngapai
Hari Sabtu kantor sudah tidak masuk, namun jadwal bertemu kekasih hati sudah dijalankan sejak hari Jumat malam. Tadi malam Ashton sudah menginap di apartemen Brittany, tunangannya. Namun pagi-pagi sekali dia harus segera pulang karena ayah dan ibunya pulang dari Semarang. "Merry?" Ashton menggumam dalam hatinya saat bisa mengenali sosok juniornya di kampus dulu. Junior yang selalu menatap dirinya dengan malu-malu. Ashton selalu merasa gemas melihat Merry, karena perempuan itu terlalu polos dan mudah sekali untuk dijahili. Saat kuliah, Ashton sangat menyadari kalau Merry memiliki perasaan padanya. Entah kalau perasaan cinta, namun setidaknya Ashton tahu kalau Merry kagum pada dirinya. Namun, Ashton menghindari wanita tipe seperti Merry yang baik dan setia. Saat kuliah, Ashton sama sekali tidak mau berpacaran serius, dan dia tipe yang cepat bosan. Dan dia menduga kalau berpacaran dengan Merry, dia pasti akan sulit putus karena Merry pasti akan terus mengejarnya. Merry merupakan jun