Share

7. Canggung

Merry mengetuk kembali pintu ruangan bosnya. Tapi kali ini tanpa menunggu jawaban, dia sudah mendorong pintunya terbuka.

"Anda ada perlu dengan saya lagi, Pak?" tanya Merry.

Dilihatnya saat ini Liam sudah duduk di sofa tengah yang biasa dipakai untuk menerima tamu atau rapat kecil. 

"Duduklah!" perintah Liam.

Merry tidak menolak. Bagaimana mungkin dia menolak perintah dari bosnya? Dia pun duduk tepat berhadapan dengan Liam. 

"Ada apa, Pak?" tanya Merry benar-benar polos.

"Kamu tahu apa yang salah dengan kotak makan yang ada di atas meja?" tanya Liam.

Merry menatap menu tersebut dengan terheran-heran. Rupanya Liam sudah mengeluarkan dua kotak itu dari kantongnya. Merry menatap kedua kotak makan tersebut dan sama sekali tidak tahu di mana letak kesalahannya.

"Ada dua kotak makanan, Pak. Yang satu isinya lasagna, yang satu spageti," jawab Merry dengan suara pelan karena tidak yakin dengan jawabannya.

"Lasagna dan spageti? Jadi ada dua menu?"

Merry mengangguk masih kebingungan.

"Kamu pikir saya bisa memakan kedua menu tersebut sekaligus?" 

Merry mengangguk, namun demi melihat tatapan tajam dari bosnya, dia langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa, Pak?"

"Sekarang putuskan. Mau saya atau kamu yang memilih sendiri?"

"Maksudnya, Pak?"

"Ada dua kotak di sini, kamu mau lasagna atau spageti?"

"Hah?" Merry melongo seperti orang bodoh.

Liam berdecak kesal, "Saya benar-benar tidak punya waktu untuk main-main seperti ini. Spagetinya untukmu saja!" putusnya.

Setelah itu, Liam meraih kotak lasagna dan membuka tutupnya. Uap hangat menguar dari dalamnya. Liam meraih garpu yang memang disediakan oleh pihak restoran dan menyuap makan siangnya.

Merry terpana mendengarnya. Bosnya baru saja menawarkan makanan untuknya? 

"Kenapa malah bengong? Cepat makan! Waktu makan siang sebentar lagi habis," perintah Liam judes.

"I-iya, Pak!" Merry lekas meraih kotak yang satunya. "Makasih, Pak. Saya makan di meja saya saja ya, Pak," ucapnya.

"Makan di sini!" perintah Liam.

"Eh?" Lagi-lagi Merry terkejut dengan ucapan Liam.

Dia menatap wajah bosnya untuk memastikan, tapi tentu saja Liam tidak menatap dirinya. Sehingga untuk menghindari kemarahan bosnya, Merry melakukan apa yang diperintahkan Liam padanya. Dia pun duduk kembali di sofa yang berhadapan dengan Liam dan mulai membuka kotak makan tersebut.

"Selamat makan, Pak," ucap Merry.

Liam tidak membalas, dia hanya sibuk mengunyah makanannya. Suasana berlangsung dalam keheningan. Tidak ada yang berbicara, hanya terdengar suara kunyahan dari mereka berdua. Merry merasa gelisah. Dia tidak terbiasa berada dalam situasi canggung seperti ini. 

"Ng, makan siangnya bagaimana, Pak?" tanya Merry memecah keheningan.

"Saat ini saya sedang makan lasagna yang kamu beli dari lantai bawah. Bagaimana rasanya menurutmu?" balas Liam malah memberinya pertanyaan kembali.

"Ng, menurut saya restoran italia di bawah cukup enak, Pak."

"Nah, kamu sudah tahu jawabannya. Jadi untuk apa bertanya?"

Merry meringis, menahan dirinya dari mencubit lengan bosnya. Jawaban Liam tentu saja sangat mengesalkan bukan? Dia kan, hanya berusaha untuk berbasa-basi, mencairkan suasana. Tapi balasan Liam malah menyebalkan. Kalau dia tidak ingat Liam merupakan bosnya, Merry pasti sudah menjitak kepala pria itu.

"Maksud saya selera orang kan, berbeda-beda, Pak! Menurut saya enak belum tentu menurut bapak juga enak. Jadi, saya menginginkan adanya feedback dari bapak. Kalau memang bapak kurang suka dengan makan siang yang saya pilihkan, lain kali saya tidak akan membelinya kembali. Tapi kalau bapak menyukainya, di lain waktu mungkin saya akan memesannya kembali untuk bapak." Tapi tentu saja Merry tidak akan menyerah begitu saja.

Liam menghentikan kunyahannya. Untuk pertama kalinya sejak dia makan, matanya menatap wajah Merry. Ekspresinya dingin dan datar, seolah tanpa emosi. Atau sebenarnya saat ini ada emosi yang sedang ditahan olehnya?

"Kamu menginginkan feedback? Apa kamu tahu feedback itu diberikan pada saat apa?" tanya Liam meletakkan kotak makannya di atas meja dan menatap Merry dengan tajam seolah menantang perempuan itu untuk memberikan jawaban yang bisa memuaskan dirinya.

"Ehm," Merry berdeham dan menegakkan punggungnya sebelum menjawab pertanyaan itu. "Sepemahaman saya, sebuah feedback selalu diberikan pada saat sebuah pekerjaan selesai dikerjakan. Di mana dalam hal ini, saya sudah mengerjakan tugas pertama saya di perusahaan ini. Sehingga hal yang wajar kalau saya mengharapkan sebuah feedback mengenai pekerjaan saya tersebut."

"Hhhmm," Liam bersedekap dan menyandarkan punggungnya ke sofa. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas mirip seperti sebuah seringai, tatapannya sama sekali tidak pernah beralih dari wajah Merry.

Merry menelan ludahnya, berharap kalau dia tidak mengucapkan hal yang lancang. Tapi dia yakin kalau dia sudah menyampaikan sesuatu yang wajar.

"Apa kamu yakin mau mendengarkan feedback dari tugas kamu saat ini? Apa kamu yakin sudah melakukan pekerjaan dengan baik?"

Merry terdiam, dia hanya bisa menelan ludahnya. Liam tersenyum mengejek, kemudian dia lanjut berkata, "Bagaimana kalau saya menolak memberikan feedback pada pekerjaanmu? Kalau saya melakukan itu, apakah itu berarti saya sudah lalai dengan tanggung jawab saya sebagai atasan kamu?"

"I-itu," Merry tentu saja mengetahui kalau menolak menjawab merupakan hak pria itu. Ah, padahal dia hanya ingin mencairkan suasana dengan sedikit berbasa-basi. Kenapa malah berujung pada situasi yang lebih canggung? "I-itu hak Anda, Pak."

Kedua sudut bibir Liam terangkat ke atas. Dia mengangguk merasa puas dengan jawaban Merry. Sementara itu, Merry yang sudah putus asa, memutuskan untuk diam saja selama sisa waktu. Dia mengunyah spageti miliknya dalam diam, tentu saja dengan pikiran yang berkelana kemana-mana.

Sesekali kedua matanya melirik ke wajah atasannya. Rambut yang tersisir rapi, badan tinggi dan tegap, bahunya lebar dan terlihat sangat bisa diandalkan. Merry sempat tergoda untuk merebahkan kepalanya di atas bahu tersebut.

Mendadak pikirannya terbang pada kejadian malam itu. Saat dirinya dan pria itu saling berpagutan dengan penuh gairah dan kedua mulut mereka saling menerkam seperti kelaparan. 

Merry menggelengkan kepalanya cepat. Apa yang barusan dipikirkan olehnya? Kenapa pikiran mesum begitu bisa tiba-tiba muncul? Ah, ini pasti karena dia sedang berduaan saja dengan bosnya. 

Tapi, apakah benar pria di depannya saat ini benar-benar tidak mengenali dirinya? 

Entah kenapa, walau dia merasa lega, tetap saja dia merasakan sedikit kekecewaan. Apakah itu berarti dia hanyalah wanita yang mudah dilupakan dan hanya sekedar lewat untuk memuaskan nafsunya? Apalagi saat itu mereka berdua sedang sama-sama mabuk. Pasti pria itu tidak akan bisa mengingatnya.

Merry mengenali wajah pria itu tentu saja karena dia terbangun terlebih dahulu dan sempat melihat wajahnya dengan jelas. 

Tapi tunggu ... kenapa dia bisa begitu yakin kalau Liam merupakan pria cinta satu malamnya? Tidak ada sesuatu pun yang bisa membuktikan kalau mereka berdua pernah bersama.  Mungkin saja dia hanya terlihat mirip. Ah, Merry terlalu cepat menyimpulkan. 

"Hahaha," Merry tertawa pelan. Dia menertawakan pikirannya sendiri. Dia sungguh bodoh. Tentu saja pria seperti Liam tidak mungkin sembarangan berada di sebuah klub. Apalagi bercinta dengan sembarangan wanita. 

"Kenapa kamu tertawa sendiri?" tanya Liam tajam.

Merry terkejut mendengar nada suara itu. "Ma-maaf, saya hanya sedang memikirkan sesuatu yang bodoh."

"Oh ya? Bodoh yang seperti apa?" tanya Liam di luar dugaan membalas ucapan Merry.

"Ng," Merry merasa bingung, haruskah dia menjawabnya atau menolaknya? Toh, kalau dia bilang dia menolak menjawab, Liam tidak bisa memaksanya. Pria itu baru saja melakukan hal yang sama sebelumnya. Dan sepertinya kalau dia membalas seperti itu akan sangat memuaskan karena bisa membalas. 

Tapi ... ah, bagaimana kalau Merry menolak menjawab, atasannya akan tersinggung lalu langsung memecat dirinya? Apakah dia bisa melakukannya? Ah, tidak, mereka terikat kontrak. Kalau perusahaan memecat dirinya sebelum habis masa kontrak, perusahaan harus memberinya pesangon yang besar. Semua perusahaan tentu saja sebisa mungkin menghindari resiko itu. Paling dia hanya akan dipindahkan ke divisi yang berbeda. Atau, paling sial, Liam akan membebaninya dengan banyak sekali pekerjaan, sampai dia muak dan lelah sehingga memutuskan untuk berhenti bekerja. Dengan begitu perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk memberinya uang pesangon.

'Pesangon dari Hongkong! Lo cuma karyawan kontrak, Mer!'

"Kenapa kamu diam saja?" tanya Liam lagi.

"Maaf, saya hanya sedang bingung, haruskah saya menyampaikan ini, karena saya takut menyinggung Anda, Pak."

"Katakan saja. Saya tidak mudah tersinggung."

"Ng, baiklah. Saya hanya mengira kalau bapak mirip dengan seseorang yang pernah saya temui belum lama ini." 

Merry menggigit bibirnya setelah mengatakan hal itu. Dia berharap kalau dia tidak terlalu lancang. Bukankah ucapannya bisa berarti kalau wajah pimpinannya ternyata pasaran? Semoga saja bosnya tidak tersinggung.

Untuk beberapa saat, Liam hanya terdiam. Menatap wajah Merry dengan binar yang sulit diartikan. Tiba-tiba Liam memajukan tubuhnya dengan satu tangan menutup mulutnya yang tersenyum miring. Untuk pertama kalinya pada hari itu Merry melihat sisi periang dari atasannya. Namun, yang lebih membuatnya terkejut adalah kalimat berikutnya yang meluncur dari mulutnya.

"Apakah kamu sedang merayu saya?"[]

Ninna Krisna / Ninna Krisnamurti

Halo, teman-teman. Sebelumnya saya mohon maaf karena absen lama banget untuk meneruskan novel ini, disebabkan beberapa kesibukan dan masalah kesehatan. Insyaallah saya akan mulai rutin meneruskan novel ini. Jadi, saya harap teman-teman terus mengikuti kisah Marianne aka Merry ya. Enjoy!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status