Tangan mereka sibuk saling menjamah. Merry memeluk leher pria itu, sementara sepasang lengan kekar melingkar di pinggangnya, menarik tubuhnya begitu dekat, Merry bisa merasakan bara menguar dari tubuhnya.
Kemudian pria itu melepaskan ciumannya. Matanya terlihat gelap, segelap langit malam, menatapnya dengan penuh nafsu.
Merry terhuyung, kali ini bukan pusing karena pengaruh alkohol, melainkan ciuman dahsyat yang baru pertama kali dia rasakan sepanjang hidupnya.
Tiba-tiba pria itu menggandeng tangannya dan membawanya menuju ruangannya. Setelah menutup pintu, pria itu kembali menghujani Merry dengan ciuman. Bibirnya, pipinya, lehernya, merambat ke belahan dadanya.
Merry sudah terlalu terlena dengan kenikmatan yang sedang dirasakan olehnya saat ini. Sehingga dia tidak berdaya menolak. Dia menurut saja seperti sapi yang dicucuk hidungnya saat pria itu merebahkannya ke atas sofa. Kali ini, ciumannya sudah tidak terlalu ganas. Ciumannya sangat lembut namun begitu menuntut.
Padahal ruangan ini memiliki pendingin ruangan, namun Merry merasa kepanasan. Begitupun halnya dengan pria itu. Dia melepaskan jasnya, kemudian kemejanya, lalu celananya.
Merry terbelalak melihatnya. Dia bermaksud melarang, namun niatnya terlupakan saat bibir pria itu kembali mencumbunya, memberikan kenikmatan yang membuatnya lemah.
Merry tidak pernah “one night stand” sebelumnya. Namun untuk kali ini, dia sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menolaknya.
Maka, saat pria itu melucuti semua pakaiannya, dia sama sekali tidak kuasa mencegahnya.
*
Dering telepon genggam mengusik tidurnya sehingga dia segera terbangun dan sibuk mencari-carinya. Dengan mata setengah terpejam, dia melihat nama si penelepon.
Cathy
Merry pun menekan tombol terima, “Ya, hallo?”
“Merry, ya ampun akhirnya teleponnya lo angkat juga! Lo di mana?” teriak Cathy di seberang sana.
Merry menjauhkan telepon dari telinganya. Kepalanya sakit karena pengar. Ditambah lengkingan Cathy yang luar biasa.
“Gue … di mana ya? Lo di mana? Eh, sekarang jam berapa?”
“Sekarang udah jam tujuh pagi! Gue sama Dawn nyariin lo tadi malam di club. Abis ke toilet lo nggak muncul-muncul lagi. Tapi karena Syeiley bilang lo nggak apa-apa, jadi kita berdua pulang duluan. Lo di mana? Tadi malam apa yang terjadi?” cecar Cathy.
“Tadi malam …,” Merry memaksakan otaknya untuk mengingat kejadian tadi malam.
Tadi malam dia mau pipis, naik ke lantai VIP, salah buka pintu berkali-kali, dan akhirnya setelah pipis, dia ketemu sama cowok ganteng. Terus−
Mata Merry terbelalak begitu dia bisa mengingat keseluruhan kejadian tadi malam. Tubuhnya langsung tegak, dan dia baru menyadari kalau dia tidak memakai sehelai pakaian pun, hanya ditutupi oleh selimut. Kepalanya celingak-celinguk untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dan di mana dirinya berada. Dia berada di sebuah kamar yang seperti kamar hotel. Tapi bagaimana bisa?
“Mer, Merry! Lo masih nyambung kan?” tanya Cathy tidak sabaran.
“I-iya, Cath, udahan dulu ya! Nanti …,” Merry mencoba mencari kata-kata yang pas, “Nanti aja gue ceritain pas kita makan siang bareng!” Setelah itu dia segera menekan tombol merah di layar.
“Ya ampun, baju gue di mana? Baju gue?” gumamnya dengan panik.
Kepanikannya semakin bertambah ketika dia menyadari ada sesosok tubuh pria, yang sama seperti dirinya − tanpa sehelai pakaian pun − masih tertidur dengan nyenyak.
Merry segera menutup mulutnya untuk mencegahnya berteriak histeris.
'No-no-no! Gilak! Apa yang udah gue lakukan!?' Batinnya mengutuk dirinya sendiri.
Dia menarik semua selimut, agar tubuhnya tidak telanjang sementara mencari ceceran pakaiannya. Dan hasilnya, tubuh telanjang pria itu malah terlihat seluruhnya.
Refleks dia menutup matanya. Tapi, tubuh pria itu bagus banget, terpahat sempurna seperti patung-patung dewa Yunani. Dia mengintip sedikit namun langsung mengutuk dirinya kembali.
'Fokus, Mer, fokus! Lo harus segera kabur dari sini. Mumpung cowok itu masih tidur!' Begitu alarm yang berteriak di dalam kepalanya.
Akhirnya dia menemukan celana dalamnya di atas meja, gaunnya di depan pintu masuk dan branya di bawah kepala cowok itu.
Merry mengerang, gimana mengambilnya? Lagian itu cowok kok bisa sih, tertidur di atas bra. Mesum banget!
Maka, dengan effort lebih untuk membuat pria itu membalikkan tubuh dan kepalanya, akhirnya dia berhasil mendapatkan branya kembali. Sambil membawa sepatunya, dia berjalan berjingkat-jingkat menuju pintu keluar agar pria itu tidak terbangun.
Dia baru memakai sepatunya setelah berada di luar kamar. Koridor ini terlihat mirip dengan koridor club. Tapi di lantai ini hanya ada kamar tersebut. Dia berjalan menuju lift dan melihat kalau saat ini dia berada di lantai lima, lantai pribadi pemilik gedung.
Saat Merry turun di lantai dasar, rupanya dia masih berada di dalam Ambience. Dia baru mengetahui kalau ada kamar tersebut di gedung ini. Siapa pria itu? Kenapa pria itu bisa mengakses lantai tersebut? Apa dia pemiliknya?
Merry berjalan keluar lift. Dilihatnya beberapa orang karyawan masih sibuk beberes. Sepertinya mereka sudah terbiasa melihat tamu-tamu yang baru pulang jam segini. Merry malu sekali, mereka pasti menduganya sebagai cewek nakal.
Merry memutar bola matanya. Memang yang sudah dilakukan olehnya tadi malam tidak termasuk nakal?
'Ah sudahlah, lupakan! Lupakan!'
Dia menghentikan taksi begitu sampai di pinggir jalan dan segera pulang menuju apartemennya.
*
“Dan lo pergi begitu aja tanpa tukeran nomor telepon sama cowok itu?” tanya Cathy saat mereka makan siang bareng.
“Nggak ngira gue, Mer, gue pikir lo cewek baik-baik,” tambah Dawn sambil menggelengkan kepalanya.
“Ih, apaan, sih! Tadi malam kecelakaan! Kecelakaan gara-gara mabok!” kilah Merry merasa kesal karena kedua sahabatnya malah sibuk memojokkannya.
“Mer, gue bilangin ya, cewek baik-baik itu cewek yang abis ML sama cowok, dia nggak kabur begitu aja. Dengan lo kabur, lo malah memberikan kesan ke cowok itu kalau lo udah sering melakukan hal itu,” nasihat Cathy sok bijak.
Wajah Merry langsung tegang, “Eh, emang gitu? Jadi gue memberikan kesan yang salah dong ke cowok itu? Ah, bodo ah! Emang gue pikirin. Kita juga nggak bakalan ketemu lagi!”
“Dunia memang nggak selebar daun kelor. Tapi Jakarta itu kecil lho! Bisa aja lo ketemu dia lagi di club yang lain, di restoran, atau bahkan di kantor lo!” tambah Dawn semakin membuat Merry paranoid.
“Ah, kalian berdua kenapa bukannya bantuin gue malah bikin gue panik sih? Udahlah, abis ini nggak jadi aja gue beliin kalian baju kembaran!”
“Eh, jangan-jangan. Berhubung duit lo utuh tadi malam, ya harus diganti dengan hal lain lah!” Dawn dan Cathy terkekeh berbarengan, merasa senang melihat sahabat mereka panik.
Maka, sisa hari Minggu itu mereka habiskan dengan asyik berbelanja dan berjalan-jalan di mall. Dan masalah dengan pria itu pun menguap dari ingatan Merry. Setidaknya untuk hari ini.
*
Hari Senin pun tiba, di mana hari ini merupakan hari pertamanya bekerja di kantor baru. Di kantor ini dia melamar sebagai junior sekretaris. Tentu saja akan ada senior sekretaris di atasnya sebelum dia berurusan langsung dengan bosnya.
Merry mengenakan pakaian barunya. Sepasang rok span selutut warna pink pastel dengan blus warna putih. Untuk sepatunya dia mengenakan heels senada dengan roknya. Warna yang langka tentu saja. Kemudian rambutnya yang lebat dikuncir ekor kuda. Makeupnya tidak terlalu tebal, dengan lipstik warna pink lembut.
Setelah puas dengan penampilannya, dia meraih flap bag bertali panjang berbahan kulit warna putih.
Sambil bersenandung pelan, dia turun ke parkiran dengan kunci mobil di tangan kanannya.
Pagi ini berjalan dengan lancar. Alarmnya tidak mengkhianatinya, dia sempat sarapan telor mata sapi dengan roti, bahkan meneguk segelas kopi. Hari ini pasti berlangsung dengan baik dan sempurna.
Hanya membutuhkan waktu setengah jam, dia sudah tiba di gedung tempatnya bekerja. Sebelum dia mendapatkan mejanya sendiri, dia pun menghadap ke ruangan SDM, bersama dengan beberapa karyawan baru lainnya.
Rekan kerjanya terlihat asyik dan ramah, dia bahkan melihat Ashton yang baru tiba di ruangannya. Karena kebetulan dia dan beberapa karyawan baru sedang diantar berkeliling oleh staf bagian SDM.
“Ashton!” panggilnya setengah berbisik agar tidak memancing perhatian yang lain. Dia melambaikan tangannya pada pria itu, sangat berharap Ashton melihat dirinya.[]
“Ashton!” panggilnya setengah berbisik agar tidak memancing perhatian yang lain. Dia melambaikan tangannya pada pria itu, sangat berharap Ashton melihat dirinya. Radar pria itu memang peka. Ashton menghentikan langkahnya saat ingin membuka pintu ruangannya dan menoleh melihat dirinya. “Hei, Merry!” bisiknya juga dari kejauhan, membalas lambaian tangan juniornya di kampus. “Baru masuk?” ucapnya tanpa mengeluarkan suara. Merry mengangguk dengan bahagia karena pria itu menyadari keberadaannya. Ashton langsung memberi dua buah ibu jari dan menyemangati dirinya. “Ehm, ibu Merry, sedang apa? Mari saya akan mengantar ke ruangan untuk junior sekretaris?” tegur staf SDM itu. Merry tersadar dan segera membetulkan posisi tubuhnya, “I-iya, maaf, bu,” jawab Merry. Dia bergegas menyusul wanita itu. Ternyata ruangan sekretaris ada di lantai lain, tepatnya tiga lantai di atas ruangan khusus keuangan dan manajer. Ashton merupakan manajer di perusahaan ini. Sayangnya mereka akan berbeda lantai. M
Sepanjang rapat, Merry sama sekali tidak bisa fokus. Tentu saja disebabkan sosok Ashton yang tepat duduk di seberang dirinya. Sehingga setiap dia mengangkat matanya, wajah pertama yang terlihat adalah wajah pria itu. "Untuk proposal keuangan proyek sambal botolan, saya masih merasa kurang detail. Saya meminta tim satu yang bertanggung jawab pada proyek ini untuk mengajukan proposal budget sampai dengan siang nanti," ucap Ashton dengan ekspresi wajah serius. Merry mendesah demi melihat sisi lain Ashton yang baru kali ini disaksikan olehnya. Biasanya dia melihat Ashton sebagai mahasiswa yang santai dan murah senyum. Baru kali ini dia melihat Ashton berwajah serius, namun entah mengapa hal itu malah menjadi nilai tambah pesona dirinya. Dan sepertinya, bukan dirinya saja yang saat ini sedang terpesona pada pria yang satu itu. Beberapa karyawan perempuan lainnya bahkan secara terang-terangan menatap pria itu tanpa berkedip dengan tatapan nakal. Membuat Merry jijik melihatnya. Ah, ya amp
"Tugas dari Liam? Tugas apa?" tanya Ashton merasa tertarik mendengarnya. Sebenarnya, jabatan junior sekretaris yang saat ini dipegang oleh Merry tidak selamanya kosong. Sebelumnya, pernah ada beberapa sekretaris junior lainnya, hanya saja selama ini Liam tidak pernah memberikan tugas secara langsung pada sekretaris juniornya, dia pasti hanya akan berbicara pada Susan. "Gue harus membelikan makan siang untuk Pak Liam," jawab Merry apa adanya. Untuk beberapa saat, Ashton tidak menjawab ucapan Merry. Dia masih menunggu Merry selesai berbicara. Namun, setelah Merry terdiam cukup lama, Ashton baru menyadari kalau perempuan itu sudah selesai berbicara. "Makan siang? Oke, dia mau makan siang apa?" ucap Ashton kembali. Merry menggelengkan kepalanya putus asa, "Itu masalahnya. Pak Liam nggak memberi tahu sedang selera makan apa. Bu Susan juga nggak mengatakan apa-apa, hanya memberikan petunjuk yang sangat sedikit. Pak Liam nggak suka ikan dan makanan manis, di mana jenis menu seperti itu
Merry mengetuk kembali pintu ruangan bosnya. Tapi kali ini tanpa menunggu jawaban, dia sudah mendorong pintunya terbuka. "Anda ada perlu dengan saya lagi, Pak?" tanya Merry. Dilihatnya saat ini Liam sudah duduk di sofa tengah yang biasa dipakai untuk menerima tamu atau rapat kecil. "Duduklah!" perintah Liam. Merry tidak menolak. Bagaimana mungkin dia menolak perintah dari bosnya? Dia pun duduk tepat berhadapan dengan Liam. "Ada apa, Pak?" tanya Merry benar-benar polos. "Kamu tahu apa yang salah dengan kotak makan yang ada di atas meja?" tanya Liam. Merry menatap menu tersebut dengan terheran-heran. Rupanya Liam sudah mengeluarkan dua kotak itu dari kantongnya. Merry menatap kedua kotak makan tersebut dan sama sekali tidak tahu di mana letak kesalahannya. "Ada dua kotak makanan, Pak. Yang satu isinya lasagna, yang satu spageti," jawab Merry dengan suara pelan karena tidak yakin dengan jawabannya. "Lasagna dan spageti? Jadi ada dua menu?" Merry mengangguk masih kebingungan.
"Apakah kamu sedang merayu saya?" Liam mengulang pertanyaannya kembali. Sesuai dugaan Liam, perempuan di depannya saat ini duduk dengan salah tingkah. Mudah sekali untuk menggoda perempuan itu. Entah kenapa Liam merasa penasaran untuk terus menggodanya. Dan sebenarnya, yang merasakan hal itu tidak hanya Merry. Sejak pagi saat Merry pertama kali muncul di ruangannya, Liam sudah merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu. Tentu saja Liam teringat kejadian Sabtu malam sebelumnya, di mana dia sudah melewatkan malam yang panas dan penuh gairah, yang berhasil mengantarkannya pada kepuasan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Namun pagi harinya, dia hanya mendapati kesendirian di dalam ruangan itu. Liam merasa sangat marah dan terhina. Bisa diduga sepanjang sisa akhir pekan dilaluinya dengan suasana hati yang sangat buruk dan ingin terus mengamuk. Siapa yang menyangka kalau wajah itu akan muncul kembali di hadapannya, tepat di dalam ruangan kantornya sebagai sekretarisnya. Ah, tak
Hari kedua bekerja, Merry sudah tiba di kantor pukul setengah delapan pagi. Malam sebelumnya, dia dan kedua sahabatnya menyudahi makan malam ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Merry sudah terbiasa tidur larut malam namun pagi harinya sudah harus berangkat bekerja. Untungnya dia tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi walau malam sebelumnya pulang larut. Merry menutup mulutnya saat menguap, dia berjalan menuju lift dan melihat ada banyak orang yang sudah menunggu. Untung saja dia tidak sedang terburu-buru jadi dia tidak perlu memaksakan diri untuk masuk ke dalam lift yang penuh. Dia membiarkan dua lift lewat karena malas berdesakan. "Kalau lo nunggu sampai lift kosong, lo mungkin bakalan telat sampao di ruangan lo," tegur seorang pria yang suaranya sudah sangat dihapalnya. Merry terkejut saat Ashton muncul di sebelahnya. "Oh, Kakak." "Atau lo lagi nunggu seseorang?" tanya Ashton. Merry menggelengkan kepalanya, "Nggak, kok! Gue pikir yang lain lebih sedang terb
Saat Susan masuk ke dalam ruangan, Liam masih sibuk memeriksa laptopnya. Bahkan kelihatannya pria itu sama sekali tidak menyadari cangkir kopi dan kukis di atas pisin. Susan sama sekali tidak merasa heran. Sebenarnya dia sangat mengetahui kalau kesalahan Merry bukan hal yang fatal. Namun Susan sengaja tidak memberitahukannya pada Merry. Susan berdiri di sebelah meja Liam dan menunggu sampai pria itu selesai memeriksa email. Tak lama, Liam sudah mengangkat wajahnya. "Batalkan janji dengan Pak Robert. Sebagai gantinya, buat janji dengan Pak Marco," ucap Liam menyebutkan dua nama calon partner bisnis. "Baik, Pak," jawab Susan dengan sigap. Setelah itu, Susan menjelaskan beberapa dokumen yang harus ditanda-tangani oleh Liam. "Berapa besar kontrak yang berhasil kita dapatkan?" tanya Liam. "Lima milyar, Pak." "Hmm, saya pikir lima belas milyar. Ternyata saya salah sebut ya. Jauh sekali dari target," gumam Liam mengerutkan alisnya, berpikir dalam mempertimbangkan surat kontrak tersebut
Seperti yang sudah kita ketahui, sejak masih sekolah, Merry sudah bisa mencari duit sendiri dengan menjadi seorang model. Wajahnya yang manis, tubuh yang tinggi, membuatnya cukup laris menjadi model catwalk, iklan, maupun katalog. Setelah lulus SMA, Merry berkuliah di jurusan ekonomi manajemen. Bahkan saat masih berkuliah, dia tetap bekerja sebagai model, dan akhirnya magang di sebuah agensi periklanan. Dua tahun setelah lulus kuliah, dia masih bekerja di agensi periklanan. Masa-masa itu merupakan saat-saat terberat karena beban pekerjaan yang besar dan tidak kenal waktu. Seringkali dia bekerja lembur dan kurang tidur. Namun tentu saja, gaji yang seimbang dengan beban pekerjaannya. Namun, bukan itu yang diinginkan oleh Merry. Merry dibesarkan oleh orang tua tunggal. Ayahnya meninggal saat dia duduk di bangku SMP. Dia memiliki seorang adik laki-laki yang berbeda usia tujuh tahun. Sejak ayahnya meninggal, ibunya yang tadinya hanya seorang ibu rumah tangga mulai bekerja membanting tul