Brian membawa mobilnya pergi dari depan Satlantas, gadis menyebalkan bernama Heni Saraswati itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Karena gadis itu, dan juga kecerobohannya sendiri, Brian yang seharusnya sejak tadi sudah sampai rumah dan tidur, harus menunda waktu tidurnya sampai selama ini!
Ia melirik jam tangan, hampir tengah hari! Astaga, kepala Brian mendadak terasa begitu sakit. Brian mendesah, membawa mobilnya terus melaju menyusuri jalanan untuk sampai ke rumah kontrakan yang dia sewa untuk satu tahun ke depan.Ada rumah Om Julius sebenarnya, namun Brian tidak mau merepotkan. Lebih tepatnya dia tidak ingin diganggu siapapun ketika dia sudah sampai di rumah ketika beres berjaga. Rasanya setelah jaga, apalagi jaga malam, Brian ingin langsung tidur tanpa ada distraksi apapun. Apalagi anak-anak omnya begitu jahil dan super semua, Brian bisa depresi lama-lama kalau tinggal di sana!"Heni Saraswati."Entah mengapa secara tiba-tiba bibir Brian menyebutkan nama itu. Bayangan wajah cantik tadi kembali terlintas dalam benak Brian. Kenapa jadi dia memikirkan gadis itu terus-terusan?"Cakep sih, tapi somplak!" Brian terkekeh, teringat bunyi perut Heni yang super duper kenceng tadi.Tawa Brian meledak, hilang sudah rasa kesal yang tadi menyelimuti hatinya. Lucu juga kalau diingat-ingat. Brian terus membawa mobilnya memasuki area perumahan tempat dia menyewa satu rumah berukuran 30/60 yang cukup nyaman sekali ditempati.Pemilik rumah adalah sepasang suami-istri yang agaknya punya banyak rumah. Dengar-dengar mereka punya rumah kost 50 pintu, khusus putri tapi. Jadilah Brian tidak mereka tawari ngekost di rumah kost mereka. Brian membelokkan mobil, memasukkan mobil ke dalam rumah yang memang tidak ada pagarnya. Setelah beres melepaskan seat belt dan mematikan mesin mobil, Brian bergegas turun.Setelah mandi bersih-bersih, pokonya Brian mau tidur tanpa gangguan! Matanya sudah cukup berat dan tubuhnya sudah sangat lelah. Kebiasaan kalau Brian jaga pasti pasien full penuh! Sebuah kutukan yang menjerat Brian sejak koas sampai sekarang. Kutukan yang membuat teman-teman Brian malas jika harus jaga bersama dengan dirinya. Padahal Brian sendiri juga tidak mau menanggung kutukan ini.Brian menutup pintu depan, langsung masuk ke kamar mandi yang ada di belakang rumah dan menepuk jidat ketika menyadari ia bahkan kehabisan pasta gigi dan shampo!"Astaga! Mau mampir lupa tadi!"Diusapnya wajah dengan gusar. Dia sudah berencana hendak mampir ke minimarket tadi. Beli pasta gigi, shampo dan banyak lagi kebutuhan pribadinya yang habis. Dan sekali lagi, gara-gara Heni, Brian lupa itu semua!Brian menutup pintu kamar mandi. Tidak masalah! Sabun masih ada, absen gosok gigi sekali tidak masalah, kan? Nanti juga setelah bangun tidur dia akan langsung membeli perlengkapan yang habis kok. Dan untuk shampo, rasanya Brian akan menerapkan teknik pengenceran 1:1000. Yang penting berbusa, begitu, kan, prinsipnya?Guyuran air sedikit menyegarkan kepala Brian yang sejak kemarin malam panas. Ditambah kecelakaan yang tadi harus dia alami. Kenapa rasanya hari ini Brian begitu sial?***Brian mengerjapkan mata. Menggeliat sambil merentangkan kedua tangannya ke atas. Segar sekali rasanya badan ini? Perlahan-lahan dia mulai membuka matanya dan mendapati jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Ia segera bangkit, duduk sejenak di tepi ranjang untuk mengumpulkan sisa nyawanya sebelum bangkit dan melangkah ke luar kamar.Cuci muka adalah hal yang hendak dia lakukan. Setelah itu mengambil dompet dan kunci mobil di kamar dan pergi ke minimarket guna membeli kebutuhan pribadinya yang kebetulan habis.Mungkin setelah beli perlengkapan pribadi, Brian hendak langsung pergi ke barber shop. Sedikit potong rambut untuk buang sial dan berharap bisa sedikit mengurangi kadar kutukannya yang makin hari Brian rasa makin mengerikan!"Moga nggak ketemu yang aneh-aneh lagi ya Allah!" gumam Brian sebelum melangkah keluar dari dalam rumah.Dia segera masuk ke dalam mobil, menghidupkan mesin mobil dan membawa mobilnya pergi dari depan rumah kontrakannya. Ada banyak minimarket di sekitar sini, dan tujuan Brian tentu minimarket paling lengkap. Walaupun sebenarnya ada yang lebih dekat, tetapi menurut Brian yang hendak dia tujuan itu lebih lengkap dan tersedia banyak brand yang biasa dia pakai."Gini amat hidup, Ya Allah!" Brian mulai sambat. "Susah payah sekolah biar jadi dokter, berjuang biar bisa masuk spesialis demi buat jadi mantu idaman, eh malah diduluin orang!"Siapa lagi kalau bukan Karina yang Brian maksud? Tau begitu sejak dulu saja Brian gebet adik dari Kelvin itu. Salah Brian sendiri yang terlalu naif dan terlalu menggampangkan, ujungnya? Dia ditikung, kan? Mana sudah spesialis lagi lelaki yang kini berstatus suami Karina itu. Sialan memang!"Dari dulu memang spesialis itu sebuah ancaman! Mau calon spesialis kek, udah spesialis kek, sama saja! Incaran para calon dokter atau yang sudah dokter pun tentu yang udah punya gelar Sp. di belakang nama mereka, kan? Meresahkan memang!"Sebuah fakta di dunia pendidikan kedokteran yang mungkin juga sudah menjadi rahasia umum. Kalau kebanyakan para koas atau dokter umum, tentu membidik dokter spesialis untuk dijadikan suami. Ya mungkin tidak semua, tapi kebanyakan seperti itu. Apalagi kalau bapak mereka sama-sama dokter, bisalah saling menjodohkan anak mereka. Teman seperjuangan Brian kemarin dijodohkan dengan residen anak, mahasiswa papanya sendiri. Padahal si residen ini punya pacar yang juga dokter, eh ditinggal karena si bapak dedek koas ini kepala departemen anak! Sungguh ironis!"Ayo semangat lanjut spesialis, Yan! Harus jadi spesialis pokoknya!" gumam Brian memberikan semangat pada dirinya sendiri.Walaupun pada akhirnya dia tidak bisa mendapatkan Karina, tetapi jadi seorang dokter spesialis adalah cita-cita mutlak Brian. Dia ingin jadi dokter spesialis bukan hanya karena ingin menikahi Karina saja."Dokter Brian Alesandro spesialis obstetri ginekologi!"Brian tersenyum, membayangkan kemudian dia menyandang gelar itu di belakang namanya. Keren? Sudah pasti! Tapi bukan hanya keren semata yang Brian cari. Tapi passion Brian sejak dulu memang sudah dia sadari sejak koas di bagian kandungan. Bagaimana dia melihat seniornya bisa menjadi orang pertama yang menyapa para bayi itu ketika pertama kali keluar dari rahim ibunya ... rasanya begitu spesial sekali di mata Brian. Hal yang lantas membuat Brian bertekad bahwa kelak dia harus menjadi seorang Obsgyn!Di mana selain menjadi saksi dan orang yang pertama kali menyapa para bayi itu, Brian juga akan bisa menjadi tangan yang digunakan Tuhan untuk mewujudkan harapan pasangan yang sudah lama menginginkan hadirnya momongan. Dia akan bekerja sama dengan sejawat di bagian andrologi nantinya, mewujudkan mimpi pasangan itu untuk bisa memiliki garis keturunan.Keren?Itu sudah pasti! Tapi Brian bersikukuh menjadi dokter, dokter kandungan, sekali lagi bukan karena ingin terlihat keren. Tetapi ingin menjadi alasan orang tersenyum bahagia, membantu sesama dan menyelesaikan masalah orang yang berkaitan dengan kesehatan mereka.Senyum Brian hilang ketika mendadak wajah, suara dan bahkan suara perut Heni kembali terlintas dalam benaknya. Matanya melotot kesal, ia mendengus perlahan sambil menggelengkan kepala."Kok jadi dia lagi yang nongol di otak sih? Kenapa?"Brian mematikan mesin mobilnya. Dia sudah sampai di minimarket yang dia tuju. Segera melepas seat belt dan melangkah turun. Dia hendak melangkah masuk ketika ada tubuh yang menabraknya dari sisi lain."Woy, woles dong, ah!" Teriakan itu ... Brian segera menoleh, menatap siapa pemilik suara itu. Dan benar saja! Gadis yang menabraknya itu Heni! Heni Saraswati!"Ka-kamu ...." Brian terkejut setengah mati, baru tadi Brian mengomel karena bayangan Heni mendadak hadir dalam pikirannya, eh sekarang mereka harus ketemu lagi?Mereka sama-sama terkejut, saling tatap dengan sorot mata tajam. Brian pastikan setelah ini gadis itu akan berteriak-teriak heboh dengan begitu nyaring."Kenapa sih harus ketemu kamu lagi, Mas?" salaknya dengan gemas, ia menjambak rambutnya dengan frustasi.Sebuah protes dan ekspresi yang entah mengapa terasa sedikit sakit di hatinya dan membuatnya agak kecewa. Apa? Kecewa?"Kamu pikir ini minimarket punya nenek moyangmu? Jadi aku nggak boleh ke sini, heh?" balas Brian s
Brian melangkah dengan begitu santai masuk ke dalam ruang IGD. Hari ini agaknya cuaca begitu cerah. Dia harap hari ini sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ya ... Brian berharap dia bisa sedikit lebih santai hari ini. Sebuah harapan yang langsung pupus begitu dia lihat hampir semua bed yang ada IGD full!Brian mendesah, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan dan tersentak luar biasa ketika melihat sosok itu tengah menjahit dahi pasien.Brian mengucek matanya, dia tidak salah lihat, kan? Itu Heni? Sedang jahit luka? Tapi bukan kah dia ... Brian melangkah mendekat, hendak memastikan bahwa dia tidak salah lihat atau tengah berhalusinasi semata."Heh itu!" Brian menunjuk dengan suara lantang. "Sejak kapan anak seni tari ikut koas?" Heni anak fakultas seni tari, itu yang Brian tahu. Bukankah Heni memperkenalkan diri sebagai mahasiswa fakultas seni tari semester akhir? Sedang skripsi? Kenapa dia mendadak muncul di IGD dan menjahit luka?Gadis itu menoleh, menatap Brian den
Brian menenteng plastik di tangannya, langkah Brian terasa begitu ringan. Entah mengapa sekarang rasanya Brian begitu semangat berangkat jaga. Padahal biasanya malas setengah mati. Sejak kapan dia jadi begitu semangat dan menantikan jam-jam jaganya? Tentu saja sejak anak jurusan seni tari gadungan yang tiba-tiba muncul dan bergabung di IGD selama masa kepaniteraan kliniknya berlangsung. Begitu sampai di IGD, Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Alisnya berkerut ketika tidak mendapati orang yang dia cari ada di sana. Kemana dia? Bukankah selama ini jadwal jaga mereka selalu diusahakan satu shift? Brian mendapat predikat dokter 'bau' yang tingkat 'bau'-nya sudah tidak dapat ditolerir lagi. Di mana arti 'bau' dalam dunia IGD dan paramedis adalah orang yang suka menjadi 'pembawa' pasien datang ketika dokter atau koas itu berjaga di IGD. Brian menyadari hal itu. Sejak dia koas, predikat 'bau' itu sudah melekat sempurna dalam diri Brian. Membuat dia sering diusahakan
Brian tertegun, menatap nanar layar ponsel yang sudah terputus sambungannya. Hatinya mendadak pedih. Obrolan demi obrolan tadi terus terngiang di telinga. Bagaimana Heni balas memakinya dan mengatakan sesuatu yang membuatnya ketar-ketir. Residen sana ganteng-ganteng? Residen apa yang Heni maksud? Yakin dia masih sendiri? Yakin serius? Bukan apa-apa, predikat residen tidak terlalu bagus untuk urusan asmara. Apalagi di mata mereka, koas cuma macam mainan lucu yang menggemaskan. Yang sayang jika hanya didiamkan saja! Brian mengusap wajahnya. Kenapa sih hubungan dia dan Heni sejak dulu tidak ada peningkatan ke arah yang lebih baik? Kenapa mereka selalu bertikai tiap berinteraksi? Kode Brian kurang kenceng? Atau otak Heni yang terlalu lamban menerima kodenya? Kenapa semua jadi begini? Kalau ketemu tiap hari saja kode yang Brian lancarkan tidak pernah sampai, bagaimana kalau mereka terpisah jarak dan waktu? Ya meskipun kalau pas tidak jaga mereka bisa ketemu, cuma tentu enak kalau mereka
Heni memarkirkan motornya, ia tertegun sejenak sebelum kemudian mematikan mesin dan turun dari motor. Ditatapnya bangunan gedung rumah sakit yang nampak masih baru itu. Kenapa rasanya hati Heni begitu hampa? Kenapa dia lebih suka di RSUD daripada harus di sini? Heni mendesah, ia lantas melepaskan helm, menggantungkan pelindung kepala miliknya lalu perlahan melangkah meninggalkan area parkir. Ia kembali teringat obrolannya kemarin, ketika Brian tengah meneleponnya sore itu. Benarkah Brian merindukannya karena tidak akan ada yang dia siksa kalau Heni koas di sini? Apakah dia tidak merasakan perasaan yang sekarang menyelimuti hati Heni? Semacam perasaaan sepi, hampa dan mmm ... Rindu! "Ini apaan sih? Nggak jelas banget!" Maki Heni berusaha menyingkirkan jauh-jauh dan mengelak dari perasaan yang membelenggunya.Rindu pada sosok itu? Agaknya memang iya, tetapi kenapa rasanya berat dan sulit untuk mengakuinya? Heni tersenyum kecut, terus melangkah mengingat ia harus segera sampai di labor
Anisa mendesah menatap jadwal jaga yang tertempel di dinding. Ada nama dokter Brian di sana. Tanpa ada nama Heni yang itu artinya jam jaga mereka akan sangat menyeramkan sekali.Semua tahu 'kutukan' apa yang dimiliki Brian. Hal yang membuat IGD tidak akan pernah sepi kalau Brian yang berjaga. Sepanjang Brian menjadi dokter umum di RSUD ini, penawar 'bau' itu cuma satu, lebih tepatnya baru ditemukan satu, yaitu Heni. Ketika mereka berdua disandingkan, maka keadaan akan jadi lebih baik ketimbang jika hanya Brian seorang diri. Masalahnya, kini gadis itu dirolling ke rumah sakit lain! Macam mimpi buruk yang terus menghantui perawat dan koas, bahkan dokter senior lain ketika Brian berjaga di IGD, terlebih malam hari. "Nis, kenapa?"Anisa menoleh, tampak Galih menatapnya dengan tatapan heran. Anisa mendesah, membalikkan badan dari papan daftar jaga, memperlihatkan nama Brian tercatat di sana. Hal yang langsung direspon sama oleh Galih. "Dokter Brian jaga malam lagi? What a hell!" runtuk
"Motor aku gimana, Mas?"Brian melotot, ditatapnya Heni dengan tatapan kesal. Motor? Heni malah memikirkan motornya daripada momen mereka ini? "Biarlah, nggak mungkin ilang, Hen!" jawab Brian santai sambil menahan gemas. Ia segera membawa mobilnya melaju dari halaman parkir. Ia melirik sekilas, Heni tidak tampak protes dan itu artinya dia juga sama dengan Brian, begitu rindu momen ini dan tidak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka ini. "Memang kita mau makan dimsum di mana, Mas?"Brian kembali melirik wajah itu, senyum Brian merekah. Rasanya sudah cukup lama mereka tidak bersama macam ini. Tidak sia-sia Brian datang jauh-jauh dan menculik Heni, akhirnya rasa rindunya terbayar sudah! "Warungnya sih kaki lima, Hen. Tapi aku jamin kamu bakalan suka." Brian tahu, Heni sebenarnya bukan tipe gadis gede gengsi yang tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Tapi dia perlu memberitahukan ini sebelum Heni berekspektasi tinggi terhadap tempat makan yang akan mereka datangi. "Enak?"Kini
Brian mendengus. Kepalanya mendadak pusing. Tentulah setelah ini dia akan mengantarkan Heni pulang. Memang mau apa lagi? Dia hendak menculik dan memperkosa Heni begitu? Bisa saja kalau Brian sudah tidak waras! Tapi dia ini masih waras. Bisa digorok mamanya kalau dia sampai berani macam-macam sama anak gadis orang. Bukan hanya itu, kesempatan dia lanjut sekolah spesialis bisa lenyap kalau sampai Brian membuat olah dan membuat murka sang mama. Sungguh horor sekali! "Iya lah! Memang mau apa lagi sih?" sahut Brian gemas. Dia mencubit-cubit dimsum dengan supit bambu di tangan, membayangkan kalo dimsum di hadapannya ini adalah Heni. "Anter ke rumah sakit lah, Mas. Ambil motor."Brian menghirup udara banyak-banyak. Inhale ... exhale ... Brian lakukan itu berkali-kali. Macam ibu-ibu yang mau partus di VK. "Khawatir banget sih sama motor? Heran aku!" protes Brian tak suka. Memang kenapa kalau Brian mau mengantar Heni sampai kost? Dilarang? Kost Heni ekslusif, bebas. Jangankan antar sampai