Share

BAB 3

"Diminum obatnya. Hati-hati kalau naik motor!"

Brian melangkah keluar dari IGD bersisihan dengan Heni. Semua pemeriksaan lanjutan sudah dilakukan dan semuanya baik-baik saja kecuali parut panjang di lengan dan tentu saja luka di dahi Heni. Bisa Brian lihat mulut gadis itu mencebik, tidak sedikit pun menjawab nasehat yang barusan Brian berikan kepadanya.

"Sudah baik-baik saja, kan? Aku mau balik!" Brian hendak melangkah lebih dulu ketika tangan itu lantas menariknya.

Brian menoleh, tampak gadis itu melotot kesal ke arahnya. Wajah cantik itu berubah menjadi tambah menggemaskan sekali di mata Brian.

"Heh! Enak aja main pergi!" salak Heni galak.

Bukan hanya Heni saja yang melotot sekarang, Brian pun ikut melotot tajam ke arahnya.

"Aku udah bawa kamu ke rumah sakit, bayar tagihannya dan sekarang apa lagi?" Brian berteriak, matanya masih melotot gemas ke arah gadis itu.

Gadis itu tampak memutar bola matanya dengan gemas. "Ya saya tau, Mas! Tapi motor sama tas saya di mana?"

"Dibawa ke kantor sama polisi. Ambil sana!" Brian mengibaskan tangan Heni, kalau kelamaan tangan Brian digenggam olehnya macam ini, rasanya Brian mau pingsan! Ia kembali hendak melangkah pergi ketika tangan itu kembali meraih tangannya, macam tidak mengizinkan Brian pergi dari sisinya.

"Antar ke sana dong kalo gitu! Masa iya mau ditinggal gitu aja?"

Mulut ternganga, ia benar-benar terkejut luar biasa dan hampir saja berteriak keras-keras. Namun Brian masih mampu menahan diri. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, menghembuskan perlahan-lahan macam orang mau melahirkan. Pandangannya kembali teralih pada Heni yang matanya nampak berbinar cerah itu.

"Oke! Aku antar kamu ke kantor satlantas!" desis Brian lalu kembali mengibaskan tangan itu dan melangkah menuju mobil miliknya.

Brian mendadak sakit kepala. Gadis itu cantik, tapi kenapa dia begitu menyebalkan macam ini?

***

Heni tertegun ketika masuk ke dalam mobil lelaki ini. Nampak ada atasan scrub warna biru dan snelli tergantung dengan hanger di belakang jok. Jadi lelaki menyebalkan ini seorang dokter? Astaga, dokter model apa kelakuannya macam itu?

"Kamu pagi buta udah pecicilan, mau kemana emang?" tanya sosok itu yang sudah duduk dan nampak tengah mengenakan seat belt.

Heni kembali mendengus, "Kepo amat sih? Mau ngapain nanya-nanya?" balas Heni judes.

Heni tengah memasang wajah jutek ketika ia mendadak kepalan tangan itu mendarat di kepalanya, menjitak kepala Heni dengan sedikit keras.

"Kamu itu! Tentulah aku penasaran, kamu bikin aku hampir kena masalah hukum!" desisnya sambil melirik tajam ke arah Heni.

"Eh! Kamu hampir bikin aku kehilangan nyawa, Mas! Atau mungkin cacat? Yang jelas nih lihat, aku lecet-lecet! Pokoknya di sini bukan cuma kamu yang merasa dirugikan, aku juga!" Heni ikut melotot, kalau saja dia tidak butuh tumpangan ke kantor polisi guna mengambil motor dan barang-barang miliknya, ogah dia nebeng lelaki menyebalkan ini!

"Kamu yang bikin gara-gara, kenapa jadi aku yang kamu salahkan?" Lelaki itu masih belum terima, pokoknya yang salah itu Heni. Titik!

Heni hendak mendebat, namun ia ingat bahwa rasanya semua tenaga dan napas yang dia hembuskan untuk bersuara tidak akan ada artinya dan hanya berakhir sia-sia. Jadilah Heni pilih tutup mulut, melipat tangan di dada dan fokus pada jalanan yang ada di depan. Heni benar-benar hendak mogok ngomong, ketika tiba-tiba bunyi memalukan itu terdengar begitu nyaring dan cukup keras efek tidak adanya obrolan di antara mereka.

KRUUKKKK

Wajah Heni merah padam, ia mengumpat dalam hati sambil memasang wajah masam dan frustasi. Harga dirinya mendadak anjlok. Ia berharap lelaki itu mendadak budek, namun sayang, harapan Heni tinggal harapan semata karena sedetik kemudian terdengar suara tawa riuh dari lelaki itu.

"Kamu lapar? Kenceng kali bunyi perut kamu?"

'SIALAN!'

Heni mengumpat dalam hati, rasanya ia ingin menghilang saja dari hadapan lelaki ini. Sungguh ini sangat memalukan sekali!

Heni mengusap wajahnya dengan tangan, ia hirup udara banyak-banyak dan kembali bunyi memalukan itu terdengar! Kenapa sih ini ascaris lumbricoides-nya tidak bisa diajak kerja sama? Tengsin dong sama cowok tengil satu ini!

Kembali tawa itu terdengar, membuat Heni makin tidak punya muka. Ia memalingkan wajah, menghirup udara banyak-banyak sambil berharap mereka segera sampai dan Heni tidak harus bertemu dengan lelaki ini lagi!

Mobil itu terus melaju, mendadak belok ke kanan setelah pasang sein dan spontan membuat Heni tertegun. Mobil ini belok ke sebuah rumah makan! Warung ayam goreng terkenal seantero kota. Untuk apa cowok rese ini membelokkan mobilnya ke sini?

"Loh Mas! Ngapain ke sini?" Protes Heni ketika mobil itu berhenti setelah beres parkir?

Lelaki itu menoleh, tersenyum sambil melepas seat belt-nya. Ia membuka pintu mobil, sebelum melangkah turun, ia menoleh dan menatap Heni dengan saksama.

"Ayo turun! Kita makan dulu!"

***

Heni benar-benar tidak menyangka Mas Dokter menyebalkan ini ternyata baik juga. Kini mereka duduk berhadapan dengan seporsi nasi dan ayam goreng yang baunya sungguh benar-benar menggoda iman Heni.

Heni menatap lelaki itu dari tempatnya duduk, kalau sedang diam dan kalem macam ini, kenapa pesona yang terpancar dari pribadi itu benar-benar luar biasa? Tapi kalau lagi mode on cerewet ... jangan tanya! Heni saja rasanya ingin kabur dan malas berhubungan dengan lelaki ini.

"Makan dulu, ntar baru aku anter ke kantor buat ambil motor sama barang-barangmu!" titahnya sambil mulai menyuapkan nasi dan suwiran ayam ke dalam mulut.

Agaknya cowok ngeselin itu lapar juga. Bisa Heni lihat dari bagaimana dia makan. Tapi sialnya, cacing perut Heni yang nggak ada akhlak! Kenapa pakai bunyi segala sih? Dua kali pula! Tengsin setengah mati jadinya.

"Terima kasih banyak, Mas." Desis Heni akhirnya dengan suara lirih. Ia mulai menyuapkan nasi jatahnya. Menikmati ayam goreng dengan sambal tomat itu setelah semalaman dia menahan lapar.

"Ngomong-ngomong, kamu ini masih kuliah atau bagaimana?"

Heni menelan nasinya dengan susah payah. Dia ini dokter! Jadi tetap pada prinsip aturan tidak tertulis yang tadi Heni katakan, dia tidak boleh mengaku kalau dia ini anak Fakultas Kedokteran yang mulai minggu depan sudah aktif koas! Bisa-bisa habis Heni dibully dokter tengil itu! Intinya rahasia ini harus tetap aman!

"Masih kuliah, Mas. Semester akhir." Jawab Heni berbohong. Padahal dia sudah wisuda. Sudah sah menyandang gelar Sarjana Kedokteran!

"Oh. Ambil jurusan?" Wajah itu terangkat, menatap Heni dengan saksama.

"Seni tari."

Entah setan apa yang merasuki Heni, otaknya mendadak bisa sampai pada jawaban edan yang entah darimana Heni bisa memikirkan jurusan itu. Seni tari? Badan Heni saja kaku setengah mati dan dia suruh menari? Hancur sudah tatanan dunia kalau begitu!

"Wah, pas banget!" Nampak dia menjentikkan jari, hal yang sontak membuat Heni melongo terkejut. "Keponakan kebetulan cari guru tari. Bisa dong jadi guru tari keponakan?"

Skakmat!

Edan! Ini sungguh edan! Heni disuruh jadi guru tari? Hancur lebur tidak berbentuk nanti muridnya punya guru macam Heni ini!

"Ke-keponakan Mas umur berapa emang?" Keringat dingin mulai mengucur dari dahi Heni, mendadak rasa lezat dan nikmat ayam goreng yang tersaji di hadapan Heni lenyap entah kemana. Jantung Heni berdegup dua kali lebih cepat. Kenapa tadi dia mengaku mahasiswi jurusan seni tari sih?

"Masih SD. Gimana, kau bisa?" Kejar lelaki itu yang nampak begitu serius.

Heni nyengir lebar, harus dia jawab apa sekarang? Otak Heni berputar mencari celah untuk menyelamatkan diri. Kebohongan apa lagi yang bisa Heni pakai tanpa harus menjerumuskan dia pada kesialan?

"Ah a-anu, Mas ... Untuk saat ini belum bisa. Fokus ke skripsi dulu."

Heni sangat berharap lelaki itu percaya dan bisa mengerti. Kalau tidak? Habis sudah riwayat Heni. Heni menatap wajan itu dengan takut-takut, hatinya mendadak lega ketika akhirnya lelaki itu mengangguk pelan tanpa banyak bicara lagi.

"Sayang deh, butuhnya sekarang sih. Yaudah lancar-lancar buat skripsimu."

"Ma-makasih, Bang!" Heni tersenyum getir, kembali ia fokus pada makanannya.

Dari cara bicara, bisa Heni lihat lelaki ini lelaki yang baik. Hanya saja, entah mengapa sikapnya yang rese dan tengil itu sungguh terkadang membuat Heni sakit kepala dan kesal! Ada lelaki model begini? Baru kali ini Heni temui dan rasanya Heni sudah tidak ingin bertemu dengan lelaki model begini lagi!

Heni kembali fokus dengan makanannya, begitu pula dengan lelaki tengil itu. Tidak ada lagi pembicaraan membuat Heni kembali sadar bahwa lelaki ini seorang dokter!

Dokter apa dia? Praktek di mana?

Satu harapan Heni adalah, dia tidak dinas di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit yang kelak akan dia gunakan untuk pendidikan pre klinik! Kalau iya? Ah ... bisa Heni pastikan dia akan habis ... habis!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
beneran anak medan kak
goodnovel comment avatar
Cahaya S
author anak medan nih.. menulis Mas, lalu Bang hihi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status