Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala
Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe
“Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.
"Bagaimana, Dok?"Sebenarnya tanpa perlu tanya, Brian sudah bisa melihat bahkan memeriksa sendiri kondisi gadis ini. Tetapi itu menyalahi dan akan menyinggung sejawatnya kalau dia hanya diam saja tanpa menanyakan kondisi gadis yang tadi dia tabrak pada sejawatnya di rumah sakit ini. "Semua baik, tidak ada cidera serius. Hanya tinggal menunggu dia sadar saja dan memastikan sekali lagi bahwa tidak ada cidera dalam yang dia alami."Plong! Lega rasanya hati Brian mendengar kalimat itu. Ia mengangguk pelan dan tersenyum menatap sejawatnya. "Baik kalau begitu, terima kasih banyak, Dokter." desis Brian tulus. Sosok dengan kacamata itu tersenyum, kepalanya terangguk pelan. "Kalau begitu saya permisi dulu. Bisa panggil saya kalau ada apa-apa, ya?"Kini gantian Brian yang mengangguk, tersenyum dan membiarkan sosok itu melangkah pergi meninggalkan dia dan gadis ini seorang diri. Pandangan Brian teralih, menatap risau gadis yang terbaring di brankar. Di tangan kanannya ada bekas parut yang l
"Ah ... Ng-nggak, Mas. Nggak apa-apa."Plong!Rasanya hati Brian lega sekali mendengar kalimat itu keluar dari mulut gadis yang entah siapa namanya ini. Bahkan bisa Brian lihat gadis itu mencoba tersenyum, sebuah tanda otentik bahwa dia benar-benar baik-baik saja. "Serius? Nggak ada yang sakit?" Brian membulatkan matanya, memastikan dengan betul-betul bahwa kejadian tadi tidak sampai membuat gadis ini menderita hal yang cukup serius. "I-iya."Brian menghela napas dalam-dalam. Sebuah tindakan untuk mengekspresikan kelegaan hatinya. Kelegaan karena dari kejadian tadi tidak berdampak buruk pada gadis ini, ya walaupun parut di tangannya itu cukup panjang dan tentu saja akan sangat menganggu penampilan ketika luka itu sudah kering nanti, tapi itu tidak begitu buruk jika dibandingkan dengan gegar otak atau fraktur tulang, kan? "Kau itu! Hati-hati dong! Untung tadi aku bawa mobilnya pelan, coba kalau kenceng? Nggak bisa bayangin aku gimana nanti nasib kamu!" Brian mulai mengomel, sengaja
"Diminum obatnya. Hati-hati kalau naik motor!"Brian melangkah keluar dari IGD bersisihan dengan Heni. Semua pemeriksaan lanjutan sudah dilakukan dan semuanya baik-baik saja kecuali parut panjang di lengan dan tentu saja luka di dahi Heni. Bisa Brian lihat mulut gadis itu mencebik, tidak sedikit pun menjawab nasehat yang barusan Brian berikan kepadanya."Sudah baik-baik saja, kan? Aku mau balik!" Brian hendak melangkah lebih dulu ketika tangan itu lantas menariknya. Brian menoleh, tampak gadis itu melotot kesal ke arahnya. Wajah cantik itu berubah menjadi tambah menggemaskan sekali di mata Brian."Heh! Enak aja main pergi!" salak Heni galak.Bukan hanya Heni saja yang melotot sekarang, Brian pun ikut melotot tajam ke arahnya. "Aku udah bawa kamu ke rumah sakit, bayar tagihannya dan sekarang apa lagi?" Brian berteriak, matanya masih melotot gemas ke arah gadis itu.Gadis itu tampak memutar bola matanya dengan gemas. "Ya saya tau, Mas! Tapi motor sama tas saya di mana?""Dibawa ke kan
Brian membawa mobilnya pergi dari depan Satlantas, gadis menyebalkan bernama Heni Saraswati itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Karena gadis itu, dan juga kecerobohannya sendiri, Brian yang seharusnya sejak tadi sudah sampai rumah dan tidur, harus menunda waktu tidurnya sampai selama ini! Ia melirik jam tangan, hampir tengah hari! Astaga, kepala Brian mendadak terasa begitu sakit. Brian mendesah, membawa mobilnya terus melaju menyusuri jalanan untuk sampai ke rumah kontrakan yang dia sewa untuk satu tahun ke depan. Ada rumah Om Julius sebenarnya, namun Brian tidak mau merepotkan. Lebih tepatnya dia tidak ingin diganggu siapapun ketika dia sudah sampai di rumah ketika beres berjaga. Rasanya setelah jaga, apalagi jaga malam, Brian ingin langsung tidur tanpa ada distraksi apapun. Apalagi anak-anak omnya begitu jahil dan super semua, Brian bisa depresi lama-lama kalau tinggal di sana! "Heni Saraswati."Entah mengapa secara tiba-tiba bibir Brian menyebutkan nama itu. Bayangan wajah
Brian mematikan mesin mobilnya. Dia sudah sampai di minimarket yang dia tuju. Segera melepas seat belt dan melangkah turun. Dia hendak melangkah masuk ketika ada tubuh yang menabraknya dari sisi lain."Woy, woles dong, ah!" Teriakan itu ... Brian segera menoleh, menatap siapa pemilik suara itu. Dan benar saja! Gadis yang menabraknya itu Heni! Heni Saraswati!"Ka-kamu ...." Brian terkejut setengah mati, baru tadi Brian mengomel karena bayangan Heni mendadak hadir dalam pikirannya, eh sekarang mereka harus ketemu lagi?Mereka sama-sama terkejut, saling tatap dengan sorot mata tajam. Brian pastikan setelah ini gadis itu akan berteriak-teriak heboh dengan begitu nyaring."Kenapa sih harus ketemu kamu lagi, Mas?" salaknya dengan gemas, ia menjambak rambutnya dengan frustasi.Sebuah protes dan ekspresi yang entah mengapa terasa sedikit sakit di hatinya dan membuatnya agak kecewa. Apa? Kecewa?"Kamu pikir ini minimarket punya nenek moyangmu? Jadi aku nggak boleh ke sini, heh?" balas Brian s