"Bagaimana, Dok?"
Sebenarnya tanpa perlu tanya, Brian sudah bisa melihat bahkan memeriksa sendiri kondisi gadis ini. Tetapi itu menyalahi dan akan menyinggung sejawatnya kalau dia hanya diam saja tanpa menanyakan kondisi gadis yang tadi dia tabrak pada sejawatnya di rumah sakit ini."Semua baik, tidak ada cidera serius. Hanya tinggal menunggu dia sadar saja dan memastikan sekali lagi bahwa tidak ada cidera dalam yang dia alami."Plong!Lega rasanya hati Brian mendengar kalimat itu. Ia mengangguk pelan dan tersenyum menatap sejawatnya."Baik kalau begitu, terima kasih banyak, Dokter." desis Brian tulus.Sosok dengan kacamata itu tersenyum, kepalanya terangguk pelan. "Kalau begitu saya permisi dulu. Bisa panggil saya kalau ada apa-apa, ya?"Kini gantian Brian yang mengangguk, tersenyum dan membiarkan sosok itu melangkah pergi meninggalkan dia dan gadis ini seorang diri.Pandangan Brian teralih, menatap risau gadis yang terbaring di brankar. Di tangan kanannya ada bekas parut yang lumayan menganggu mata dan pasti sangat perih sekali rasanya. Dahinya juga berdarah tadi, untungnya sih tidak harus dijahit. Dan yang membuat Brian ketar-ketir sekarang adalah kondisi gadis itu yang masih belum sadar meskipun sudah diberi penanganan medis.Semua terjadi begitu saja. Brian yang post jaga malam terkejut ketika mendadak motor itu nyelonong begitu saja memotong jalannya. Perpaduan antara lelah dan mengantuk membuatnya tidak bisa memaksimalkan usahanya menghindari tabrakan dan boom! Motor yang dikendarai gadis ini sukses dia tubruk sampai terseret beberapa meter. Ya hanya beberapa meter. Untung saja dia pakai helm, kalau tidak, sudah bisa dipastikan Brian membuat anak gadis orang gegar otak!Kini kantuk yang tadi menyergap dan menguasai Brian hilang seketika. Digerus perasaan khawatir yang luar biasa pada gadis cantik yang entah siapa namanya. Brian sendiri tidak berani pergi dari sisi brankar. Dia harus pastikan gadis ini baik-baik saja dan tidak perlu sampai cacat atau menderita sesuatu yang parah karena ulahnya."Dek ... Bangun dong!" Desis Brian sambil meraih tangan itu.Vital sign-nya bagus. Dokter jaga yang memeriksa gadis ini mengatakan demikian tadi. Dan jangan lupa, Brian sendiri sudah memeriksa dan memastikan juga bahwa gadis ini baik-baik saja, kecuali lengan dan dahinya. Tapi kenapa dia tidak kunjung sadar juga?Brian meletakkan tangan itu kembali ke atas brankar. Ditatapnya wajah itu dengan saksama. Hidung mancung itu begitu alami, beda dengan hidung para artis yang merupakan hasil permak dari senior di bagian bedah plastik. Bulu matanya lentik, apakah itu alami atau hasil eyelash extension? Entah, Brian tidak tahu. Rasanya ingin Brian pastikan dengan menyentuh langsung bulu mata itu, namun itu tidak sopan! Dan bibirnya ... bibir itu tipis dengan rona pink yang begitu cantik! Ah ... rasanya Brian ingin ... Tidak! Itu tidak etis dan sedikit kurang ajar!Akhirnya setelah bertahun-tahun memproklamirkan hanya ada satu gadis yang tercantik menurut Brian, kini predikat itu sudah berganti. Bukan hanya Karina sudah bersuami, tetapi karena memang wajah gadis ini cantik! Sangat cantik dan menarik di mata Brian!Ada secercah perasaan pedih yang teramat sangat ketika Brian teringat pada gadis itu. Siapa lagi kalau bukan Karina? Adik dari sahabat Brian sendiri, Kelvin. Gadis yang sudah sejak dulu sekali Brian cintai dan mendadak dia mendapat kabar bahwa dia sudah menikah? Masih ingat betul Brian dengan suara Kelvin yang menelpon dan memberinya kabar kala itu."Besok Karina kawin."Suara itu begitu lirih, namun di telinga Brian, suara itu mendadak berubah macam petir yang menggelegar, menyambar hati dan perasaannya."Lawak lu! Mana mungkin Ka--.""Gue serius! Besok pagi Karina kawin."Hati yang tadi coba Brian besarkan kini hancur sudah! Karina? Adik Kelvin itu akan menikah? Yang benar saja! Karina harusnya baru lulus sarjana, kan? Kenapa mendadak ..."Dia kawin sama dosen dia sendiri. Sudah spesialis." Lanjut Kelvin yang makin membuat Brian membeku tidak berkutik sama sekali."Vin, elu nggak lagi nyoba nge-prank gue, kan?" Brian merasakan matanya memanas. Dia masih belum percaya, Karina besok menikah?Terdengar helaan napas dari seberang. "Untungnya gue nge-prank elu apaan sih? Gue serius!""Berapa minggu, Vin? Bilang ke Karina, gue aja yang tanggungjawab nikahin dia!"Tentu itu yang ada di dalam pikiran Brian saat ini. Karina baru saja lulus, mendadak dia hendak menikah, apalagi alasannya kalau bukan karena hamil duluan?"Berapa minggu pala lu? Dia kagak hamil, Yan! Adek gue nggak bakalan seliar itu!"Brian melongo, jadi bukan karena hamil duluan? Brian membisu, merasakan perih yang menjalar di hatinya. Tidak dia hiraukan Kelvin yang mengomel di seberang telepon karena fokusnya sekarang hanya satu, merasakan sakit dan perih hatinya karena berita itu.Brian mengusap wajahnya dengan kedua tangan ketika ingat obrolan itu. Lelucon macam apa ini? Padahal demi Karina, Brian rela sampai merengek pada om-nya agar diberi posisi di rumah sakit tempat dia bekerja. Rumah sakit yang kebetulan merupakan rumah sakit tempat Karina menjalani pendidikan kepaniteraan klinik selepas mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran. Dan ketika Brian pindah ke sini, Karina malah sudah resmi jadi istri orang lain? Benar-benar sialan!Brian mendesah, mana suami Karina bukan sembarang orang! Tapi memangnya apa yang hendak Brian lakukan jika suami Karina lelaki biasa? Dia akan jadi perebut bini orang, begitu? Rasanya itu tidak etis!Brian kembali memandangi wajah itu. Kekhawatirannya makin menjadi-jadi. Bagaimana kalau gadis ini amnesia? Ah! Brian lihat betul kepalanya hanya terantuk stang motornya sedikit kok. Potensi untuk amnesia sangat minim kecuali mereka sedang bermain peran untuk drama di Indosiar, orang kepleset aja bisa amnesia kok di sinetron itu.Brian menutup wajahnya dengan kedua tangan, menghirup udara banyak-banyak ketika kemudian Brian menyadari ada sebuah pergerakan kecil yang diikuti suara rintihan kecil."Aw."Brian langsung membuka matanya lebar-lebar, hatinya lega luar biasa melihat kelopak mata dan tangan itu mulai bergerak. Ia sontak bangkit dan memberi sentuhan lembut di tangan gadis itu untuk membantu responsnya."Dek ... Bisa denger saya, nggak?" Panggil Brian lirih. "Dek? Bangun, Dek! Ada yang kerasa sakit lagi, nggak?" Kembali Brian memancing respons gadis itu. Bagaimana pun gadis itu harus sadar sepenuhnya.Berhasil!Kelopak mata itu perlahan-lahan terbuka. Rasanya Brian ingin melompat untuk mengekspresikan kelegaan hatinya. Namun, harus dia tunda, karena dia harus cek lagi betul-betul apakah benar gadis ini baik-baik saja? Fisiknya memang hanya luka di beberapa bagian yang tadi Brian sebutkan, tetapi itu tidak menjamin untuk bagian dalam tubuhnya, bukan?Mata jernih itu menatap Brian dengan saksama, sebuah mata yang menyadarkan Brian bahwa gadis ini tidak hanya cantik, tetapi juga menarik!Mata itu terus menatapnya, membuat Brian kembali panik. Jangan-jangan dia benar-benar amnesia? Atau bagaimana? Atau ada yang salah dengan matanya? Dia tidak pakai kacamata tadi, bisa dipastikan itu artinya mata gadis ini sehat wal afiat!"Dek, kenapa?""Ah ... Ng-nggak, Mas. Nggak apa-apa."Plong!Rasanya hati Brian lega sekali mendengar kalimat itu keluar dari mulut gadis yang entah siapa namanya ini. Bahkan bisa Brian lihat gadis itu mencoba tersenyum, sebuah tanda otentik bahwa dia benar-benar baik-baik saja. "Serius? Nggak ada yang sakit?" Brian membulatkan matanya, memastikan dengan betul-betul bahwa kejadian tadi tidak sampai membuat gadis ini menderita hal yang cukup serius. "I-iya."Brian menghela napas dalam-dalam. Sebuah tindakan untuk mengekspresikan kelegaan hatinya. Kelegaan karena dari kejadian tadi tidak berdampak buruk pada gadis ini, ya walaupun parut di tangannya itu cukup panjang dan tentu saja akan sangat menganggu penampilan ketika luka itu sudah kering nanti, tapi itu tidak begitu buruk jika dibandingkan dengan gegar otak atau fraktur tulang, kan? "Kau itu! Hati-hati dong! Untung tadi aku bawa mobilnya pelan, coba kalau kenceng? Nggak bisa bayangin aku gimana nanti nasib kamu!" Brian mulai mengomel, sengaja
"Diminum obatnya. Hati-hati kalau naik motor!"Brian melangkah keluar dari IGD bersisihan dengan Heni. Semua pemeriksaan lanjutan sudah dilakukan dan semuanya baik-baik saja kecuali parut panjang di lengan dan tentu saja luka di dahi Heni. Bisa Brian lihat mulut gadis itu mencebik, tidak sedikit pun menjawab nasehat yang barusan Brian berikan kepadanya."Sudah baik-baik saja, kan? Aku mau balik!" Brian hendak melangkah lebih dulu ketika tangan itu lantas menariknya. Brian menoleh, tampak gadis itu melotot kesal ke arahnya. Wajah cantik itu berubah menjadi tambah menggemaskan sekali di mata Brian."Heh! Enak aja main pergi!" salak Heni galak.Bukan hanya Heni saja yang melotot sekarang, Brian pun ikut melotot tajam ke arahnya. "Aku udah bawa kamu ke rumah sakit, bayar tagihannya dan sekarang apa lagi?" Brian berteriak, matanya masih melotot gemas ke arah gadis itu.Gadis itu tampak memutar bola matanya dengan gemas. "Ya saya tau, Mas! Tapi motor sama tas saya di mana?""Dibawa ke kan
Brian membawa mobilnya pergi dari depan Satlantas, gadis menyebalkan bernama Heni Saraswati itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Karena gadis itu, dan juga kecerobohannya sendiri, Brian yang seharusnya sejak tadi sudah sampai rumah dan tidur, harus menunda waktu tidurnya sampai selama ini! Ia melirik jam tangan, hampir tengah hari! Astaga, kepala Brian mendadak terasa begitu sakit. Brian mendesah, membawa mobilnya terus melaju menyusuri jalanan untuk sampai ke rumah kontrakan yang dia sewa untuk satu tahun ke depan. Ada rumah Om Julius sebenarnya, namun Brian tidak mau merepotkan. Lebih tepatnya dia tidak ingin diganggu siapapun ketika dia sudah sampai di rumah ketika beres berjaga. Rasanya setelah jaga, apalagi jaga malam, Brian ingin langsung tidur tanpa ada distraksi apapun. Apalagi anak-anak omnya begitu jahil dan super semua, Brian bisa depresi lama-lama kalau tinggal di sana! "Heni Saraswati."Entah mengapa secara tiba-tiba bibir Brian menyebutkan nama itu. Bayangan wajah
Brian mematikan mesin mobilnya. Dia sudah sampai di minimarket yang dia tuju. Segera melepas seat belt dan melangkah turun. Dia hendak melangkah masuk ketika ada tubuh yang menabraknya dari sisi lain."Woy, woles dong, ah!" Teriakan itu ... Brian segera menoleh, menatap siapa pemilik suara itu. Dan benar saja! Gadis yang menabraknya itu Heni! Heni Saraswati!"Ka-kamu ...." Brian terkejut setengah mati, baru tadi Brian mengomel karena bayangan Heni mendadak hadir dalam pikirannya, eh sekarang mereka harus ketemu lagi?Mereka sama-sama terkejut, saling tatap dengan sorot mata tajam. Brian pastikan setelah ini gadis itu akan berteriak-teriak heboh dengan begitu nyaring."Kenapa sih harus ketemu kamu lagi, Mas?" salaknya dengan gemas, ia menjambak rambutnya dengan frustasi.Sebuah protes dan ekspresi yang entah mengapa terasa sedikit sakit di hatinya dan membuatnya agak kecewa. Apa? Kecewa?"Kamu pikir ini minimarket punya nenek moyangmu? Jadi aku nggak boleh ke sini, heh?" balas Brian s
Brian melangkah dengan begitu santai masuk ke dalam ruang IGD. Hari ini agaknya cuaca begitu cerah. Dia harap hari ini sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ya ... Brian berharap dia bisa sedikit lebih santai hari ini. Sebuah harapan yang langsung pupus begitu dia lihat hampir semua bed yang ada IGD full!Brian mendesah, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan dan tersentak luar biasa ketika melihat sosok itu tengah menjahit dahi pasien.Brian mengucek matanya, dia tidak salah lihat, kan? Itu Heni? Sedang jahit luka? Tapi bukan kah dia ... Brian melangkah mendekat, hendak memastikan bahwa dia tidak salah lihat atau tengah berhalusinasi semata."Heh itu!" Brian menunjuk dengan suara lantang. "Sejak kapan anak seni tari ikut koas?" Heni anak fakultas seni tari, itu yang Brian tahu. Bukankah Heni memperkenalkan diri sebagai mahasiswa fakultas seni tari semester akhir? Sedang skripsi? Kenapa dia mendadak muncul di IGD dan menjahit luka?Gadis itu menoleh, menatap Brian den
Brian menenteng plastik di tangannya, langkah Brian terasa begitu ringan. Entah mengapa sekarang rasanya Brian begitu semangat berangkat jaga. Padahal biasanya malas setengah mati. Sejak kapan dia jadi begitu semangat dan menantikan jam-jam jaganya? Tentu saja sejak anak jurusan seni tari gadungan yang tiba-tiba muncul dan bergabung di IGD selama masa kepaniteraan kliniknya berlangsung. Begitu sampai di IGD, Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Alisnya berkerut ketika tidak mendapati orang yang dia cari ada di sana. Kemana dia? Bukankah selama ini jadwal jaga mereka selalu diusahakan satu shift? Brian mendapat predikat dokter 'bau' yang tingkat 'bau'-nya sudah tidak dapat ditolerir lagi. Di mana arti 'bau' dalam dunia IGD dan paramedis adalah orang yang suka menjadi 'pembawa' pasien datang ketika dokter atau koas itu berjaga di IGD. Brian menyadari hal itu. Sejak dia koas, predikat 'bau' itu sudah melekat sempurna dalam diri Brian. Membuat dia sering diusahakan
Brian tertegun, menatap nanar layar ponsel yang sudah terputus sambungannya. Hatinya mendadak pedih. Obrolan demi obrolan tadi terus terngiang di telinga. Bagaimana Heni balas memakinya dan mengatakan sesuatu yang membuatnya ketar-ketir. Residen sana ganteng-ganteng? Residen apa yang Heni maksud? Yakin dia masih sendiri? Yakin serius? Bukan apa-apa, predikat residen tidak terlalu bagus untuk urusan asmara. Apalagi di mata mereka, koas cuma macam mainan lucu yang menggemaskan. Yang sayang jika hanya didiamkan saja! Brian mengusap wajahnya. Kenapa sih hubungan dia dan Heni sejak dulu tidak ada peningkatan ke arah yang lebih baik? Kenapa mereka selalu bertikai tiap berinteraksi? Kode Brian kurang kenceng? Atau otak Heni yang terlalu lamban menerima kodenya? Kenapa semua jadi begini? Kalau ketemu tiap hari saja kode yang Brian lancarkan tidak pernah sampai, bagaimana kalau mereka terpisah jarak dan waktu? Ya meskipun kalau pas tidak jaga mereka bisa ketemu, cuma tentu enak kalau mereka
Heni memarkirkan motornya, ia tertegun sejenak sebelum kemudian mematikan mesin dan turun dari motor. Ditatapnya bangunan gedung rumah sakit yang nampak masih baru itu. Kenapa rasanya hati Heni begitu hampa? Kenapa dia lebih suka di RSUD daripada harus di sini? Heni mendesah, ia lantas melepaskan helm, menggantungkan pelindung kepala miliknya lalu perlahan melangkah meninggalkan area parkir. Ia kembali teringat obrolannya kemarin, ketika Brian tengah meneleponnya sore itu. Benarkah Brian merindukannya karena tidak akan ada yang dia siksa kalau Heni koas di sini? Apakah dia tidak merasakan perasaan yang sekarang menyelimuti hati Heni? Semacam perasaaan sepi, hampa dan mmm ... Rindu! "Ini apaan sih? Nggak jelas banget!" Maki Heni berusaha menyingkirkan jauh-jauh dan mengelak dari perasaan yang membelenggunya.Rindu pada sosok itu? Agaknya memang iya, tetapi kenapa rasanya berat dan sulit untuk mengakuinya? Heni tersenyum kecut, terus melangkah mengingat ia harus segera sampai di labor