Share

BAB 6

Brian melangkah dengan begitu santai masuk ke dalam ruang IGD. Hari ini agaknya cuaca begitu cerah. Dia harap hari ini sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ya ... Brian berharap dia bisa sedikit lebih santai hari ini. Sebuah harapan yang langsung pupus begitu dia lihat hampir semua bed yang ada IGD full!

Brian mendesah, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan dan tersentak luar biasa ketika melihat sosok itu tengah menjahit dahi pasien.

Brian mengucek matanya, dia tidak salah lihat, kan? Itu Heni? Sedang jahit luka? Tapi bukan kah dia ... Brian melangkah mendekat, hendak memastikan bahwa dia tidak salah lihat atau tengah berhalusinasi semata.

"Heh itu!" Brian menunjuk dengan suara lantang. "Sejak kapan anak seni tari ikut koas?" Heni anak fakultas seni tari, itu yang Brian tahu. Bukankah Heni memperkenalkan diri sebagai mahasiswa fakultas seni tari semester akhir? Sedang skripsi? Kenapa dia mendadak muncul di IGD dan menjahit luka?

Gadis itu menoleh, menatap Brian dengan mulut setengah terbuka. Sebuah jawaban bahwa benar gadis itu adalah Heni! Bekas luka di tangannya masih ada, tidak tertutup lengan snelli pendek yang dia gunakan. Brian melangkah hendak menghampiri Heni. Kenapa bisa dia di sini dengan atribut koas?

"Anak seni tari siapa sih, Yan?" Yeni, rekan sejawat dokter umum, memburu langkah Brian.

"Dia, yang di bed paling ujung! Dia anak seni tari." jawab Brian menjelaskan. Telunjuknya kembali menunjuk Heni yang nampak memucat.

"Mana ada anak seni tari bisa lolos dan ikut koas? Dia lulusan kedokteran, Yan!" jelas Yeni yang terus memburu langkah Brian.

Langkah Brian terhenti, ia terkejut setengah mati mendengar penjelasan itu dan melupakan sejenak niatnya menghampiri Heni padahal tinggal beberapa langkah saja dia sudah sampai di bed tempat Heni berdiri.

"Di-dia lulusan kedokteran?" tanya Brian tidak percaya.

"Iyalah!" Yeni menimpuk gemas punggung Brian, matanya melotot gemas. "Pikirmu apa ada jurusan lain yang bisa menyelinap dan ikut koas? Nalar dong!" maki Yeni yang membuat Brian tertegun.

Hanya beberapa detik Brian terdiam, dia segera menoleh dan menatap Heni tajam. Melanjutkan langkahnya mendekati Heni dengan mata yang tidak lepas dari sosok itu.

"Jadi kamu anak kedokteran?" tanya Brian tidak terima. Kurang aja sekali Heni ini? Kenapa segala pakai bohong dan bilang kalau dia anak jurusan seni tari?

Heni tampak makin pucat, matanya menatap Brian lekat-lekat sepersekian detik lalu kepala itu menunduk dan nampak takut beradu pandang dengan Brian.

"Heh, aku tanya nih!" desak Brian dengan nada mulai tinggi, ia masih belum percaya sebelum Heni menjawab langsung di depan matanya.

Heni mengangguk perlahan. Sebuah jawaban yang membuat Brian kembali membelalak.

"Kenapa saat itu bilangnya jurusan seni tari sih?" protes Brian yang masih belum terima dibohongi oleh Heni.

Heni mengangkat wajahnya, matanya sudah berani balas menatap mata Brian. Namun dari wajah itu, Brian masih bisa membaca bahwa Heni masih sedikit canggung dan takut bertemu kembali dengannya.

"Ah sudahlah!" Brian tersenyum ganjil, mendadak ide itu muncul dalam otaknya. Ia mengulurkan tangan ke arah Heni, lalu mendekatkan wajahnya dan berbisik lirih.

"Nggak nyangka jumpa lagi. Good luck buat koas-mu. Siap-siap aku kerjain, oke?"

***

Brian sama sekali tidak menyangka bahwa gadis yang secara tidak sengaja ia serempet pagi buta itu ternyata membohongi dirinya! Ngomongnya anak fakultas seni tari semester terakhir, eh nyatanya pagi ini nongkrong di IGD sebagai dokter koas! Benar-benar penipu!

Brian bertekad bahwa selama Heni menjalani kepaniteraan klinik di sini, maka Brian akan selalu menekan dan mengerjai gadis itu. Biar saja! Siapa suruh dia membohongi Brian?

Brian menatap wajah yang tengah membalut luka seorang ibu penjual gorengan yang terlibat kecelakaan sepulang dari pasar. Nampak gadis itu begitu serius. Membuat Brian tertegun dan menatap Heni dari tempatnya duduk.

"Cantik juga!" Desis Brian tanpa sadar, sebuah gumaman yang lantas membuatnya terkejut setengah mati. Apa tadi dia bilang? Heni cantik? Tapi dia memang cantik!

Brian menghela napas panjang, dia duduk santai sambil memperhatikan gadis itu. Heni memang cantik kok. Tinggi tubuhnya mungkin sekitar 165cm. Kulitnya kuning langsat. Begitu bersih dan khas Indonesia. Hidungnya mancung, tetapi tidak terlalu mancung tapi juga tidak terlalu pesek. Dan jangan lupakan, bibirnya tipis merona kemerahan. Sungguh di mata Brian, Heni menarik sekali!

"Yan, kau kenal sama Heni di mana sih?" Yona mendekati Brian, ibu hamil itu nampak kesulitan menarik kursi, membuat Brian sigap menarik kursi untuk sejawatnya jaga IGD itu.

"Ah, kemarin beberapa hari yang lalu aku nggak sengaja nyerempet dia, Yon." jelas Brian yang masih mengawasi Heni dengan saksama. Ia ingin mencari celah untuk mengomeli atau bahkan bisa kembali menjitak kepalanya.

"Astaga! Itu yang bikin tangan dia sampai berparut-parut macam itu?" tentu Yona bisa melihat dengan jelas bekas parut yang mulai mengering itu.

"Iya, itu gara-gara aku serempet. Nggak sengaja sih, dianya mendadak nongol dari gang, gimana nggak panik? Mana agak ngantuk post jaga malam. Yaudah dia aku tubruk!" jelas Brian apa adanya.

Masih lekat dalam ingatan Brian bagaimana ia kemudian membawa tubuh Heni dalam gendongan untuk dia bawa ke rumah sakit. Menungguinya terbaring di atas brankar. Hal yang lantas membuat Brian merasakan ada sesuatu yang aneh timbul dalam hatinya.

Heni cantik, Brian akui. Walaupun sikapnya kadang agak menyebalkan, namun Brian merasa klop dan cocok mengobrol dengannya. Ia bisa membuat suasana menjadi begitu asyik. Entah mengapa Brian merasa saru frekuensi dengan Heni.

"Ngawur kamu, Yan. Untung anak orang nggak kenapa-kenapa!" desis Yona sambil geleng-geleng kepala.

"Aku udah tanggung jawab, Yon! Aku bawa ke rumah sakit, aku bayarin biayanya, aku ajak makan, aku antar pulang. Terus aku harus tanggung jawab yang gimana lagi? Kau suruh aku nikahin dia sekalian gitu?" ujar Brian asal.

Tawa Yona pecah, ia terbahak sambil mengelus perut. "Itu kalau kau buntingin dia, kau wajib nikahin dia, Yan." Goda Yona sambil terkekeh.

"Tapi nggak perlu kau buntingin duluan, kalo kau naksir lamar dan nikahin aja sekalian, Yan! Cantik juga kok!"

Brian terkekeh, untuk Yona sedang hamil. Kalau tidak? Sudah bisa Brian pastikan tangannya akan menampol lengan Yona dengan gemas.

Dia tidak semesum itu kok! Dia tidak diajari ibunya untuk menghamili anak gadis orang sebelum sah dia nikahi. Itu perbuatan terlarang dan tidak boleh!

"Terus soal anak seni tari tadi, dia ngaku ke kami dia anak seni tari gitu?" Yona membolak-balikan status pasien yang tertumpuk di meja.

Brian mengangguk mantab. "Entah apa maksud dan tujuannya, yang jelas waktu aku tanya dia ngaku kalau mahasiswa semester akhir fakultas seni tari. Kampret, kan?" Entah mengapa rasanya Brian masih tidak terima dibohongi macam itu.

Kembali tawa Yona pecah, ibu hamil itu perlahan-lahan mencoba bangkit. Mengelus perutnya sejenak. Membuat Brian menoleh dan mendadak trenyuh melihat perut membukit itu.

"Yan, izin goleran di belakang bentar, ya? Pinggang sama punggung rasanya nano-nano."

Brian hanya mengangguk dan tersenyum, membiarkan Yona melangkah ke kamar jaga untuk istirahat. Pandangan dan fokus Brian kembali pada sosok itu. Kenapa makin lama gadis menyebalkan itu jadi terlihat begitu menarik dan membuat Brian penasaran?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
hayooo penasaran kan makin seru nih kisah mereka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status