Anisa mendesah menatap jadwal jaga yang tertempel di dinding. Ada nama dokter Brian di sana. Tanpa ada nama Heni yang itu artinya jam jaga mereka akan sangat menyeramkan sekali.
Semua tahu 'kutukan' apa yang dimiliki Brian. Hal yang membuat IGD tidak akan pernah sepi kalau Brian yang berjaga. Sepanjang Brian menjadi dokter umum di RSUD ini, penawar 'bau' itu cuma satu, lebih tepatnya baru ditemukan satu, yaitu Heni. Ketika mereka berdua disandingkan, maka keadaan akan jadi lebih baik ketimbang jika hanya Brian seorang diri.Masalahnya, kini gadis itu dirolling ke rumah sakit lain! Macam mimpi buruk yang terus menghantui perawat dan koas, bahkan dokter senior lain ketika Brian berjaga di IGD, terlebih malam hari."Nis, kenapa?"Anisa menoleh, tampak Galih menatapnya dengan tatapan heran. Anisa mendesah, membalikkan badan dari papan daftar jaga, memperlihatkan nama Brian tercatat di sana. Hal yang langsung direspon sama oleh Galih."Dokter Brian jaga malam lagi? What a hell!" runtuk Galih dengan wajah frustasi.Sudah Anisa duga! Semua teman-temannya akan merespon dengan ekspresi yang sama ketika tahu dokter Brian akan berjaga dengan mereka. Mengumpat, mengutuk dan entah apa lagi. Intinya mereka protes, tidak terima dan tentu saja tidak mau, kalau saja mereka boleh memilih."Dah lah, doa aja yang kenceng biar nemu koas 'wangi' yang kadar wanginya bisa mengalahkan kadar 'bau' dokter Brian." Anisa menyingkir, melangkah ke nurse station guna sekedar duduk sambil menunggu jadwal jaga berganti.Sementara Galih, dia masih menatap nanar papan dan berharap nama Brian bisa terganti dengan nama dokter lain. Namun agaknya itu hanya angan semata. Bukannya berganti, nama Brian yang terpampang di sana di sana malah membuat Galih sakit kepala."Ngapain kamu masih di sana, Lih? Udahlah, nggak bakalan ganti nama itu!" tegur Anisa memperingatkan.Galih memejamkan mata, menggelengkan kepala kuat-kuat. Pening itu menyerang dan menguasai Galih, padahal belum waktunya jam jaga!"Duh Gusti, kenapa cari duit begini amat, Gusti!"***"Om, ayolah, Om!"Brian merengek, mengekor di belakang langkah Julius yang sudah bersiap pulang. Intinya dia harus mendapatkan apa yang dia mau. Membawa Heni kembali ke rumah sakit ini adalah mutlak!"Tunggu dia beres stase lah, masa iya ujug-ujug Om minta pindahin dia ke sini tanpa alasan sih, Yan?" Julius melotot, ada-ada saja keponakannya ini!"Om, masalahnya itu ...." Brian terdekat, tidak bisa melanjutkan kalimatnya dan mendesah panjang.Julius menghentikan langkah, menoleh dan menatap keponakannya itu dengan saksama."Masalahnya apa?" kejar Julius penasaran. Dari gelagat Brian sih, Julius sudah bisa menebak bahwa keponakannya ini tengah khawatir. Gadis incarannya dipepet dokter lain di sana? Atau apa?"Keburu ditikung orang lah, Om!" ujar Brian akhirnya blak-blakan.Hampir saja tawa Julius meledak, kalau tidak kasihan pada wajah cemberut keponakannya ini, rasanya Julius sudah tertawa terbahak-bahak mendengar keluh kesah Brian yang mengiba sekali. Tetapi dia masih bisa menahan tawanya, hanya menyungging senyum tipis sambil menggelengkan kepala."Tembak dululah!" komentar Julius santai. "Udah sana, Om mau balik. Pokoknya nanti stase radiologi dia beres, dia bakal balik ke sini. Sing tenang, Gaes!"Julius tersenyum setengah mengejek, menepuk bahu Brian perlahan lalu melangkah pergi meninggalkan Brian yang masih tampak belum puas dengan jawaban yang diberikan Julius.Brian mengacak rambutnya dengan gemas, sedetik kemudian dia ingat, dia harus ke sana lagi! Sebelum Garangan itu berhasil membawa pulang Heni ikut bersamanya.***Heni melangkah keluar dari laboratorium radiologi, matanya melirik jam tangan yang melingkar di tangan. Jam lima nanti dia ada janji dengan Gibran untuk pergi nonton berdua. Tapi kenapa rasanya dia sama sekali tidak antusias? Berbeda dengan ketika dia pergi bersama lelaki tengil itu. Lelaki yang Heni katakan selalu sukses membuat kepalanya cenut-cenut dan emosinya naik turun.Heni tidak bisa mengingkari perasaan itu. Perasaan antusias dan bahagia yang menyelinap perlahan di sela-sela perasaan jengkel dan kesalnya terhadap Brian.Senyum Heni tersungging, bayangan raut wajah tengil itu terbayang dalam benak Heni. Kenapa mendadak dia jadi rindu pada sosok itu? Sedang apa dia sekarang? Siapa gadis yang dia tarik-tarik dan dia maki setelah Heni tidak ada? Apakah benar dia menemukan sosok lain untuk menggantikan Heni?"Ah! Mikir apaan sih, Hen!" Heni berusaha mengusir bayangan Brian yang dengan begitu kurang ajar bercokol kuat dalam benak Heni.Kenapa sih lelaki tengil itu sama sekali tidak mau pergi? Kenapa ketika jauh darinya begini Heni jadi macam orang linglung?'Jodoh!''Kalian itu udah berdua runtang-runtung kenapa nggak jadian aja sih?'Kembali kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Karina terlintas dalam pikiran. Jodoh? Masa iya Heni berjodoh dengan lelaki model Brian begitu? Dan jadian? Pacaran sama Brian? Bisa stress Heni punya pacar macam Brian.Heni mendesah, ia lantas duduk di kursi yang ada di sepanjang koridor rumah sakit. Dia bersandar dengan lesu ketika mendadak ia seperti mencium sebuah bau yang familiar dan sangat dia kenal.Parfum ini ....Heni tersentak, lebih terkejut lagi ketika ia menoleh dan Brian sudah duduk di sebelahnya. Tengah menatapnya dengan tatapan serius."Astaga!" Heni sontak menepuk jidatnya.Dia ini sedang berhalusinasi atau benar si Brian ini memang ada di sebelahnya sekarang? Mendadak lelaki itu muncul? Tapi bagaimana bisa?"Heh! Kenapa macam orang lihat setan begitu?" Brian menyenggol lengan Heni. Suara dan nada bicara lelaki itu membuat Heni yakin seyakin-yakinnya bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Sosok di sebelahnya ini benar-benar manusia asli, dia Brian!"Gimana nggak macam lihat setan kalo situ tau-tau nongol begini? Ngapain sih sampai sini?" perasaan hampa dan sunyi yang tadi menyergap Heni mendadak hilang."Terus aku harus teriak macam pengawal kerajaan zaman Dinasti Ming gitu dari jauh?" tampak Brian mendelik gemas. "Yang mulia dokter Brian Alessandro datang! Gitu?" Brian membeliak, tangan Heni terayun menimpuki lengan dan bahu Brian dengan membabi-buta."Ya nggak gitu juga kali, Mas!" maki Heni kesal, ia terus-menerus menimpuk lelaki itu, membuat Brian lantas meraih dan menggenggam erat tangan Heni.Heni terkejut, ia tertegun ketika tangannya di genggam oleh Brian. Pandangannya tertuju pada wajah lelaki yang sejak kemarin membuatnya macam orang linglung karena keberadaan dia yang jauh dari Heni. Pandangan mereka beradu. Saling tatap dalam-dalam tanpa berusaha melepaskan genggaman tangah mereka."Sudah puas mukulnya?" tanya Brian kali ini dengan suara lirih.Ia menurunkan tangan mereka, melepaskan genggaman itu perlahan-lahan, membuat Heni lantas tersadar dari bius pesona wajah itu."Belum, rasanya pengen kupukuli pakai sapu!" balas Heni seraya memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan debaran jantung Heni yang macam kehilangan irama.Tidak ada jawaban, hanya helaan napas panjang dan tarikan tiba-tiba dari tangan itu. Heni kembali terkejut, Brian menariknya berdiri membawanya pergi menyusuri koridor rumah sakit. Kemana lelaki ini akan membawanya?"Mas mau kemana?" Janji dengan Gibran kembali terngiang, tetapi kenapa rasanya Heni tidak ingin melewatkan momen ini? Tapi kemana Brian hendak membawanya pergi?"Jajan dimsum yuk? Kamu suka dimsum, kan? Ada warung dimsum enak dijamin kamu suka!" balasnya tanpa melepaskan tangan mereka.Heni makin tidak mengerti. Dia sudah punya janji. Tinggal menolak dan mengatakannya pada Brian, kan beres? Kenapa Heni tidak mau melakukannya? Kenapa dia tidak mau kehilangan momen ini?Heni menurut saja ditarik Brian melangkah menuju parkiran. Dia tidak sadar bahwa sepasang mata itu menatap kepergian mereka dengan sangat tidak suka."Motor aku gimana, Mas?"Brian melotot, ditatapnya Heni dengan tatapan kesal. Motor? Heni malah memikirkan motornya daripada momen mereka ini? "Biarlah, nggak mungkin ilang, Hen!" jawab Brian santai sambil menahan gemas. Ia segera membawa mobilnya melaju dari halaman parkir. Ia melirik sekilas, Heni tidak tampak protes dan itu artinya dia juga sama dengan Brian, begitu rindu momen ini dan tidak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka ini. "Memang kita mau makan dimsum di mana, Mas?"Brian kembali melirik wajah itu, senyum Brian merekah. Rasanya sudah cukup lama mereka tidak bersama macam ini. Tidak sia-sia Brian datang jauh-jauh dan menculik Heni, akhirnya rasa rindunya terbayar sudah! "Warungnya sih kaki lima, Hen. Tapi aku jamin kamu bakalan suka." Brian tahu, Heni sebenarnya bukan tipe gadis gede gengsi yang tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Tapi dia perlu memberitahukan ini sebelum Heni berekspektasi tinggi terhadap tempat makan yang akan mereka datangi. "Enak?"Kini
Brian mendengus. Kepalanya mendadak pusing. Tentulah setelah ini dia akan mengantarkan Heni pulang. Memang mau apa lagi? Dia hendak menculik dan memperkosa Heni begitu? Bisa saja kalau Brian sudah tidak waras! Tapi dia ini masih waras. Bisa digorok mamanya kalau dia sampai berani macam-macam sama anak gadis orang. Bukan hanya itu, kesempatan dia lanjut sekolah spesialis bisa lenyap kalau sampai Brian membuat olah dan membuat murka sang mama. Sungguh horor sekali! "Iya lah! Memang mau apa lagi sih?" sahut Brian gemas. Dia mencubit-cubit dimsum dengan supit bambu di tangan, membayangkan kalo dimsum di hadapannya ini adalah Heni. "Anter ke rumah sakit lah, Mas. Ambil motor."Brian menghirup udara banyak-banyak. Inhale ... exhale ... Brian lakukan itu berkali-kali. Macam ibu-ibu yang mau partus di VK. "Khawatir banget sih sama motor? Heran aku!" protes Brian tak suka. Memang kenapa kalau Brian mau mengantar Heni sampai kost? Dilarang? Kost Heni ekslusif, bebas. Jangankan antar sampai
Brian menghentikan mobilnya di depan gerbang kost Heni, sejenak dia menoleh, di saat yang bersamaan, Heni tampak juga tengah menoleh menatapnya. "Makasih banyak buat malam ini, Mas."Brian tersenyum, nada suara Heni begitu lembut. Sangat manis sekali di dengar. Kepala Brian terangguk, refleks tangan Brian terulur mengelus kepala Heni dengan begitu lembut. Melihat sikap Heni yang semanis ini, sikap tengil dan menyebalkan milik Brian mendadak lenyap. Dia tidak ingin sikap manis dan menggemaskan Heni ini berubah jadi sikap menyebalkan seperti biasanya. "Besok malam aku jemput. Nggak lupa sama janji kamu, kan?" Brian ikut bersuara dengan begitu lembut, menyamai nada lembut Heni. Senyum itu merekah, sebuah senyum manis yang mampu membuat Brian rasanya ingin memepet Heni lalu meraup bibirnya hingga gadis ini kehilangan napas. Namun pikiran Brian masih jernih, tentu dia tidak boleh gegabah karena bisa jadi sikap gegabahnya malah membuat semua usaha Brian jadi sia-sia. "Tentu. Kabari aja
Brian kontan menggaruk kepalanya, ini masalah Kelvin kenapa jadi dia yang ikut dibuat pusing? Tak tahukah Kelvin kalau Brian sendiri tengah dibuat pusing oleh kisah asmaranya sendiri? Bagaimana cara dia menyakinkan Heni itu sudah cukup membuat kepala Brian sakit! Terlebih saingan Brian sekali lagi tidak bisa diremehkan! Seorang calon spesialis. "Nyokap elu nyusul ke Surabaya? Bawain calon elu kesana gitu?" Brian terpaksa harus meladeni curhatan Kelvin, mau bagaimana lagi? Disaat Brian galau masalah percintaan, Kelvin lah yang selalu punya banyak waktu untuk mendengar setiap keluh kesah Brian mengenai persoalan asmaranya yang selalu ketiban nasib sial! "Iyalah!" tukas Kelvin membenarkan tebakan Brian. "Gila, seniat itu nyokap gue pengen liat gue kawin, Yan!"Brian terkekeh, agaknya setelah ini, gantian Brian yang akan memiliki nasib yang sama dengan nasib sahabatnya. Dipaksa menikah karena usia yang sudah cukup matang? Ah kenapa di negara ini semua orang terlalu memusingkan umur sih?
[ Jangan lupa besok malam! ]Heni mendesah, ia menatap pesan yang baru saja masuk ke dalam ponsel. Siapa lagi kalau bukan Brian yang mengiriminya pesan itu? Heni meletakkan ponsel di dada, matanya lurus menatap langit-langit kamar. Pikirannya menerawang membayangkan pasar malam di alun-alun yang besok akan dia datangi bersama Brian. Dari banyak postingan di media sosial, pergi ke sana memang asyik sih. Banyak wahana bermain yang sebenarnya tidak memiliki klaim asuransi dan sedikit memacu adrenalin. Tapi fakta bahwa pengunjung tidak diberi jaminan asuransi ternyata tidak membuat wahana-wahana itu sepi pengunjung. Banyak orang yang rela antri untuk bisa naik dan menikmati wahana tersebut. Heni tersenyum, ia tidak tertarik dengan wahana-wahana itu, dia tertarik dengan suasana ramai dengan lampu-lampu gemerlap yang cantik dan begitu indah dilirik. Ada sesuatu yang ingin Heni beli di sana besok, cotton candy raksasa! Yang bisa dibentuk sesuai keinginan. Ponsel yang tergeletak di dada k
Gibran segera turun dari mobil ketika mendapati motor Heni masih diparkiran. Ia mendekati motor itu dan mendekatkan tangan ke salah satu bagian. Dingin. Tidak terasa panas atau hangat sekalipun. Itu artinya sejak semalam motor ini ada di sini? Ah! Bukankah dokter itu bawa mobil semalam? Pasti Heni diantar pulang olehnya setelah menjenguk teman Heni yang sakit. Tapi ... siapa bilang kalau Heni benar-benar mengunjungi temannya yang sedang sakit? Bagaimana kalau mereka pergi kencan? Gibran mendesah, ia menggelengkan kepala lalu pergi meninggalkan halaman parkir dengan hati dan pikiran yang berkecamuk.Sepertinya Gibran perlu sesegera mungkin menyatakan perasannya kepada Heni. Kalau tidak, bisa-bisa Heni digebet dokter itu. Ini tidak bisa dibiarkan! Gibran menyusuri koridor rumah sakit, matanya berbinar ketika mendapati sosok itu melangkah dari pintu depan. Dengan segera Gibran mempercepat langkah. Mengejar langkah Heni yang tengah menuju tangga untuk naik ke lantai dua, lantai di mana
Heni segera menutup pintu kamar mandi. Napasnya terengah. Jantung Heni berdegup dua kali lebih cepat. Gibran benar-benar menyukainya! Terbukti dengan pernyataan cinta yang tadi dia katakan pada Heni di koridor menuju kantin rumah sakit."Aku suka sama kamu, Hen. Aku jatuh cinta sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar Abang, Hen?"Sebuah pertanyaan yang tadi hampir merontokkan jantung Heni. Tanpa tedeng aling-aling, Gibran langsung menyatakan cintanya. Meminta Heni menjadi pacar lelaki itu. Heni mendesah. Sebenarnya kurangnya si Gibran ini apa? Ganteng iya ... residen iya, dan bukankah Heni selama ini mengincar residen untuk dia gebet dan pacari? Kenapa begitu dia mendapatkan mangsa, Heni melepaskannya begitu saja? Seharusnya Heni terima dan sanggupi ajakan Gibran untuk berpacaran. Bukankah memang itu keinginan Heni? Dapat pacar atau bahkan suami calon dokter spesialis? Tapi kenapa malah Heni tolak? Heni menepuk jidatnya, mencoba menghirup udara banyak-banyak karena sejak tadi dadanya
Brian menyeka keringat. Akhirnya ... empat puluh lima orang yang keracunan masal sudah berakhir ditangani. Semua dalam kondisi stabil dan kini akhirnya Brian bisa pulang untuk bersiap-siap kencan dengan Heni! Sebuah kencan impian karena nanti Brian bukan hanya ingin mengajak Heni menikmati pasar malam, tetapi juga ingin mengatakan suatu hal penting yang selama ini menganggu Brian. Sebuah perasaan yang selama ini Brian pendam seorang diri. Aduh! Lupa! Brian tidak memendam perasaan itu seorang diri. Dia sudah berulangkali memberi kode keras pada Heni dan sekali lagi, entah Heni benar-benar lemot atau hanya pura-pura lemot, Brian tidak tahu! Yang jelas selama ini ungkapan perasaan Brian hanya dianggap bercanda oleh Heni. Dan malam ini, Brian kehabisan kesabaran! Dia akan langsung to the poin menyatakan perasaannya terhadap Heni. "Sudah semua kan? Saya mau balik!" desis Brian lesu. Entah apa yang salah dengan dirinya ini. IGD benar-benar selalu membludak tiap dia jaga! Luar biasa seka