Share

BAB 10

Anisa mendesah menatap jadwal jaga yang tertempel di dinding. Ada nama dokter Brian di sana. Tanpa ada nama Heni yang itu artinya jam jaga mereka akan sangat menyeramkan sekali.

Semua tahu 'kutukan' apa yang dimiliki Brian. Hal yang membuat IGD tidak akan pernah sepi kalau Brian yang berjaga. Sepanjang Brian menjadi dokter umum di RSUD ini, penawar 'bau' itu cuma satu, lebih tepatnya baru ditemukan satu, yaitu Heni. Ketika mereka berdua disandingkan, maka keadaan akan jadi lebih baik ketimbang jika hanya Brian seorang diri.

Masalahnya, kini gadis itu dirolling ke rumah sakit lain! Macam mimpi buruk yang terus menghantui perawat dan koas, bahkan dokter senior lain ketika Brian berjaga di IGD, terlebih malam hari.

"Nis, kenapa?"

Anisa menoleh, tampak Galih menatapnya dengan tatapan heran. Anisa mendesah, membalikkan badan dari papan daftar jaga, memperlihatkan nama Brian tercatat di sana. Hal yang langsung direspon sama oleh Galih.

"Dokter Brian jaga malam lagi? What a hell!" runtuk Galih dengan wajah frustasi.

Sudah Anisa duga! Semua teman-temannya akan merespon dengan ekspresi yang sama ketika tahu dokter Brian akan berjaga dengan mereka. Mengumpat, mengutuk dan entah apa lagi. Intinya mereka protes, tidak terima dan tentu saja tidak mau, kalau saja mereka boleh memilih.

"Dah lah, doa aja yang kenceng biar nemu koas 'wangi' yang kadar wanginya bisa mengalahkan kadar 'bau' dokter Brian." Anisa menyingkir, melangkah ke nurse station guna sekedar duduk sambil menunggu jadwal jaga berganti.

Sementara Galih, dia masih menatap nanar papan dan berharap nama Brian bisa terganti dengan nama dokter lain. Namun agaknya itu hanya angan semata. Bukannya berganti, nama Brian yang terpampang di sana di sana malah membuat Galih sakit kepala.

"Ngapain kamu masih di sana, Lih? Udahlah, nggak bakalan ganti nama itu!" tegur Anisa memperingatkan.

Galih memejamkan mata, menggelengkan kepala kuat-kuat. Pening itu menyerang dan menguasai Galih, padahal belum waktunya jam jaga!

"Duh Gusti, kenapa cari duit begini amat, Gusti!"

***

"Om, ayolah, Om!"

Brian merengek, mengekor di belakang langkah Julius yang sudah bersiap pulang. Intinya dia harus mendapatkan apa yang dia mau. Membawa Heni kembali ke rumah sakit ini adalah mutlak!

"Tunggu dia beres stase lah, masa iya ujug-ujug Om minta pindahin dia ke sini tanpa alasan sih, Yan?" Julius melotot, ada-ada saja keponakannya ini!

"Om, masalahnya itu ...." Brian terdekat, tidak bisa melanjutkan kalimatnya dan mendesah panjang.

Julius menghentikan langkah, menoleh dan menatap keponakannya itu dengan saksama.

"Masalahnya apa?" kejar Julius penasaran. Dari gelagat Brian sih, Julius sudah bisa menebak bahwa keponakannya ini tengah khawatir. Gadis incarannya dipepet dokter lain di sana? Atau apa?

"Keburu ditikung orang lah, Om!" ujar Brian akhirnya blak-blakan.

Hampir saja tawa Julius meledak, kalau tidak kasihan pada wajah cemberut keponakannya ini, rasanya Julius sudah tertawa terbahak-bahak mendengar keluh kesah Brian yang mengiba sekali. Tetapi dia masih bisa menahan tawanya, hanya menyungging senyum tipis sambil menggelengkan kepala.

"Tembak dululah!" komentar Julius santai. "Udah sana, Om mau balik. Pokoknya nanti stase radiologi dia beres, dia bakal balik ke sini. Sing tenang, Gaes!"

Julius tersenyum setengah mengejek, menepuk bahu Brian perlahan lalu melangkah pergi meninggalkan Brian yang masih tampak belum puas dengan jawaban yang diberikan Julius.

Brian mengacak rambutnya dengan gemas, sedetik kemudian dia ingat, dia harus ke sana lagi! Sebelum Garangan itu berhasil membawa pulang Heni ikut bersamanya.

***

Heni melangkah keluar dari laboratorium radiologi, matanya melirik jam tangan yang melingkar di tangan. Jam lima nanti dia ada janji dengan Gibran untuk pergi nonton berdua. Tapi kenapa rasanya dia sama sekali tidak antusias? Berbeda dengan ketika dia pergi bersama lelaki tengil itu. Lelaki yang Heni katakan selalu sukses membuat kepalanya cenut-cenut dan emosinya naik turun.

Heni tidak bisa mengingkari perasaan itu. Perasaan antusias dan bahagia yang menyelinap perlahan di sela-sela perasaan jengkel dan kesalnya terhadap Brian.

Senyum Heni tersungging, bayangan raut wajah tengil itu terbayang dalam benak Heni. Kenapa mendadak dia jadi rindu pada sosok itu? Sedang apa dia sekarang? Siapa gadis yang dia tarik-tarik dan dia maki setelah Heni tidak ada? Apakah benar dia menemukan sosok lain untuk menggantikan Heni?

"Ah! Mikir apaan sih, Hen!" Heni berusaha mengusir bayangan Brian yang dengan begitu kurang ajar bercokol kuat dalam benak Heni.

Kenapa sih lelaki tengil itu sama sekali tidak mau pergi? Kenapa ketika jauh darinya begini Heni jadi macam orang linglung?

'Jodoh!'

'Kalian itu udah berdua runtang-runtung kenapa nggak jadian aja sih?'

Kembali kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Karina terlintas dalam pikiran. Jodoh? Masa iya Heni berjodoh dengan lelaki model Brian begitu? Dan jadian? Pacaran sama Brian? Bisa stress Heni punya pacar macam Brian.

Heni mendesah, ia lantas duduk di kursi yang ada di sepanjang koridor rumah sakit. Dia bersandar dengan lesu ketika mendadak ia seperti mencium sebuah bau yang familiar dan sangat dia kenal.

Parfum ini ....

Heni tersentak, lebih terkejut lagi ketika ia menoleh dan Brian sudah duduk di sebelahnya. Tengah menatapnya dengan tatapan serius.

"Astaga!" Heni sontak menepuk jidatnya.

Dia ini sedang berhalusinasi atau benar si Brian ini memang ada di sebelahnya sekarang? Mendadak lelaki itu muncul? Tapi bagaimana bisa?

"Heh! Kenapa macam orang lihat setan begitu?" Brian menyenggol lengan Heni. Suara dan nada bicara lelaki itu membuat Heni yakin seyakin-yakinnya bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Sosok di sebelahnya ini benar-benar manusia asli, dia Brian!

"Gimana nggak macam lihat setan kalo situ tau-tau nongol begini? Ngapain sih sampai sini?" perasaan hampa dan sunyi yang tadi menyergap Heni mendadak hilang.

"Terus aku harus teriak macam pengawal kerajaan zaman Dinasti Ming gitu dari jauh?" tampak Brian mendelik gemas. "Yang mulia dokter Brian Alessandro datang! Gitu?" Brian membeliak, tangan Heni terayun menimpuki lengan dan bahu Brian dengan membabi-buta.

"Ya nggak gitu juga kali, Mas!" maki Heni kesal, ia terus-menerus menimpuk lelaki itu, membuat Brian lantas meraih dan menggenggam erat tangan Heni.

Heni terkejut, ia tertegun ketika tangannya di genggam oleh Brian. Pandangannya tertuju pada wajah lelaki yang sejak kemarin membuatnya macam orang linglung karena keberadaan dia yang jauh dari Heni. Pandangan mereka beradu. Saling tatap dalam-dalam tanpa berusaha melepaskan genggaman tangah mereka.

"Sudah puas mukulnya?" tanya Brian kali ini dengan suara lirih.

Ia menurunkan tangan mereka, melepaskan genggaman itu perlahan-lahan, membuat Heni lantas tersadar dari bius pesona wajah itu.

"Belum, rasanya pengen kupukuli pakai sapu!" balas Heni seraya memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan debaran jantung Heni yang macam kehilangan irama.

Tidak ada jawaban, hanya helaan napas panjang dan tarikan tiba-tiba dari tangan itu. Heni kembali terkejut, Brian menariknya berdiri membawanya pergi menyusuri koridor rumah sakit. Kemana lelaki ini akan membawanya?

"Mas mau kemana?" Janji dengan Gibran kembali terngiang, tetapi kenapa rasanya Heni tidak ingin melewatkan momen ini? Tapi kemana Brian hendak membawanya pergi?

"Jajan dimsum yuk? Kamu suka dimsum, kan? Ada warung dimsum enak dijamin kamu suka!" balasnya tanpa melepaskan tangan mereka.

Heni makin tidak mengerti. Dia sudah punya janji. Tinggal menolak dan mengatakannya pada Brian, kan beres? Kenapa Heni tidak mau melakukannya? Kenapa dia tidak mau kehilangan momen ini?

Heni menurut saja ditarik Brian melangkah menuju parkiran. Dia tidak sadar bahwa sepasang mata itu menatap kepergian mereka dengan sangat tidak suka.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Pyeriel
Lah critanya balas dendam antar cwo ini thor dgn tarik2an tangan.. wkwkwkwk
goodnovel comment avatar
Yuniarti Juni
gaya bahasa nya sama dengan cerita yg sebelumnya,
goodnovel comment avatar
Reni Asmiati
kapan up thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status