Gibran segera turun dari mobil ketika mendapati motor Heni masih diparkiran. Ia mendekati motor itu dan mendekatkan tangan ke salah satu bagian. Dingin. Tidak terasa panas atau hangat sekalipun. Itu artinya sejak semalam motor ini ada di sini? Ah! Bukankah dokter itu bawa mobil semalam? Pasti Heni diantar pulang olehnya setelah menjenguk teman Heni yang sakit. Tapi ... siapa bilang kalau Heni benar-benar mengunjungi temannya yang sedang sakit? Bagaimana kalau mereka pergi kencan? Gibran mendesah, ia menggelengkan kepala lalu pergi meninggalkan halaman parkir dengan hati dan pikiran yang berkecamuk.Sepertinya Gibran perlu sesegera mungkin menyatakan perasannya kepada Heni. Kalau tidak, bisa-bisa Heni digebet dokter itu. Ini tidak bisa dibiarkan! Gibran menyusuri koridor rumah sakit, matanya berbinar ketika mendapati sosok itu melangkah dari pintu depan. Dengan segera Gibran mempercepat langkah. Mengejar langkah Heni yang tengah menuju tangga untuk naik ke lantai dua, lantai di mana
Heni segera menutup pintu kamar mandi. Napasnya terengah. Jantung Heni berdegup dua kali lebih cepat. Gibran benar-benar menyukainya! Terbukti dengan pernyataan cinta yang tadi dia katakan pada Heni di koridor menuju kantin rumah sakit."Aku suka sama kamu, Hen. Aku jatuh cinta sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar Abang, Hen?"Sebuah pertanyaan yang tadi hampir merontokkan jantung Heni. Tanpa tedeng aling-aling, Gibran langsung menyatakan cintanya. Meminta Heni menjadi pacar lelaki itu. Heni mendesah. Sebenarnya kurangnya si Gibran ini apa? Ganteng iya ... residen iya, dan bukankah Heni selama ini mengincar residen untuk dia gebet dan pacari? Kenapa begitu dia mendapatkan mangsa, Heni melepaskannya begitu saja? Seharusnya Heni terima dan sanggupi ajakan Gibran untuk berpacaran. Bukankah memang itu keinginan Heni? Dapat pacar atau bahkan suami calon dokter spesialis? Tapi kenapa malah Heni tolak? Heni menepuk jidatnya, mencoba menghirup udara banyak-banyak karena sejak tadi dadanya
Brian menyeka keringat. Akhirnya ... empat puluh lima orang yang keracunan masal sudah berakhir ditangani. Semua dalam kondisi stabil dan kini akhirnya Brian bisa pulang untuk bersiap-siap kencan dengan Heni! Sebuah kencan impian karena nanti Brian bukan hanya ingin mengajak Heni menikmati pasar malam, tetapi juga ingin mengatakan suatu hal penting yang selama ini menganggu Brian. Sebuah perasaan yang selama ini Brian pendam seorang diri. Aduh! Lupa! Brian tidak memendam perasaan itu seorang diri. Dia sudah berulangkali memberi kode keras pada Heni dan sekali lagi, entah Heni benar-benar lemot atau hanya pura-pura lemot, Brian tidak tahu! Yang jelas selama ini ungkapan perasaan Brian hanya dianggap bercanda oleh Heni. Dan malam ini, Brian kehabisan kesabaran! Dia akan langsung to the poin menyatakan perasaannya terhadap Heni. "Sudah semua kan? Saya mau balik!" desis Brian lesu. Entah apa yang salah dengan dirinya ini. IGD benar-benar selalu membludak tiap dia jaga! Luar biasa seka
Setelah menyelip sana-sini, akhirnya Heni terbebas dari kemacetan jalan. Ia sampai di kost tepat dengan mobil itu berhenti di depan gerbang. Heni segera melepas helm dan menghampiri sosok yang langsung keluar dari mobil dengan paper bag di tangan. "Baru pulang?" wajah itu membelalak, menatap Heni yang nyengir lebar. "Iya lah, tunggu bentar deh ya!" Heni hendak membalikkan badan, Brian segera meraih tangan Heni, mencegah Heni pergi masuk ke bangunan kost. "Eh tunggu!" Heni menoleh, "Apaan lagi sih, Mas?" Heni tidak mengerti, mau apa lagi sih? Heni tahu kalau dia sudah sangat terlambat, jadi ia hendak segera mandi dan bersiap-siap. "Pakai ini, ya? Aku tunggu di sini."Heni tertegun, dia menatap paper bag itu, lalu meraih benda yang Brian sodorkan. Kepala Heni terangguk, membuat Brian melepaskan cekalan tangannya. Brian tersenyum, memberi kode agar Heni segera masuk dan bersiap-siap. Tanpa banyak bicara, Heni segera masuk ke dalam. Matanya melirik apa yang ada di dalam paper bag it
"Cukup bersikap manis hari ini dan tolong jangan anggap apapun yang keluar dari mulutku adalah candaan, bisa?"Heni tertegun, ia menoleh dan mendapati Brian nampak duduk dengan wajah yang sangat serius. Mendadak hati Heni jadi risau, kenapa rasanya dia mencium gelagat tidak biasa dari Brian?"Cuma itu?" tantang Heni dengan begitu berani. Brian mendengus, terlihat sangat bahwa lelaki itu begitu kesal pada Heni. Tapi apa urusannya sama Heni? Bukankah membuat Brian kesal adalah salah satu misi Heni? Dia sangat suka melihat wajah itu cemberut dan bibirnya monyong macam bebek begini. "Kamu malah nantangin ya?"Heni terkikik, jangan sebut nama Heni kalau dia tidak bersorak-sorai gembira ketika berhasil membuat Brian sakit kepala! Heni nampak santai bersandar di jok ketika kemudian Brian kembali bersuara. "Oke, tambah syarat!" desis Brian yang sontak membuat Heni misuh-misuh dalam hati. Kenapa Heni pakai nantangin tadi? Kira-kira selain dua syarat yang tadi Brian katakan, syarat apa lagi
"Eh kesana?" Heni melotot, ia lantas melepaskan genggaman tangan mereka. "Ogah!"Ia sudah membalikkan badan, hendak pergi dan berlari menghindari Brian ketika tangan Brian dengan sigap mencekal dan mempertahankan posisi Heni tetap di sisinya. Heni menoleh, menatap kesal ke arah lelaki yang tampak menatapnya dengan begitu serius. "Ayolah, asyik nih!" bujuk Brian yang rasanya membuat Heni ingin menampar wajah lelaki itu lalu memukulinya dengan tangan. "Masuk ke sana kau bilang asyik, Mas? Masuk aja sendiri sana!" Heni kembali hendak mengibaskan tangannya, tapi cengkeraman tangan Brian lebih kuat. Diajak masuk ke wahana rumah hantu? Heni ogah! Dia punya pengalaman buruk di wahana itu ketika kecil dan Heni bersumpah tidak akan masuk ke sana lagi demi apapun! "Astaga! Melototin sama mandiin cadaver zaman kuliah aja berani, masa sama hantu bohong-bohongan malah takut sih, Hen?" Brian nampak tidak mengerti dan Heni sama sekali tidak peduli! "Bodo amat! Pilih bantuin dokter Jihan otopsi
Heni mengerutkan kening ketika melihat Brian tampak malah mengobrol dengan begitu akrab dengan ibu-ibu yang berjualan gambar. Kenapa mereka malah asyik berghibah? Eh, tapi apa yang mereka gosipkan memang? Heni hendak mendekat untuk sekedar mencari tahu ketika Brian membalikkan badan yang melangkah ke arahnya.“Nih!” Brian menyodorkan balik styrofoam yang sudah diberi tali pegangan itu. “Sekarang kita kemana lagi?”“Tadi ngapain sih? Ngomongin apa sama ibuknya?” bukannya menjawab, Heni malah jadi balik bertanya, membuat senyum di wajah Brian makin menjadi. Sebuah reaksi yang makin membuat Heni penasaran sekali.“Kepo!” sahut Brian sambil menjulurkan lidah. “Dah ah, ayo!”Brian menarik tangan Heni, membawa Heni pergi dari tempat mewarna guna menyusuri keramaian pasar malam yang selalu padat dikunjungi orang-orang. Heni sejujurnya masih penasaran, tetapi euforia keramaian pasar malam itu mampu membuat rasa penasaran Heni begitu cepat lenyap dari otak. Mereka terus membelah keramaian deng
Heni tertegun. Sungguh dia tidak mengerti, ada apa dengan hari ini? Pagi tadi dia tembak laki-laki dan malam ini ... dia dilamar hendak dinikahi? Astaga! Memang apa yang istimewa dengan dirinya ini? Brian kembali meremas tangannya, sebuah remasan lembut yang bisa Heni rasakan betul-betul. Wajah lelaki yang biasanya slengean dan menyebalkan, kini nampak begitu teduh, serius dan jangan lupa nampak sangat ganteng! Hati dan perasaan Heni bergejolak. Brian menyatakan semua perasaan yang dia miliki pada Heni barusan. Cinta dan sayang sudah Brian ungkapkan semua, hal yang jujur membuat Heni sedikit terkejut mengingat selama mereka bersama-sama, Brian selalu absurd dan menyebalkan sekali. "Aku nggak lagi bercanda loh, Hen! Please tolong, bahkan sejak dulu sekali, tiap perkataan yang keluar dari mulutku soal perasaan aku ke kamu, soal ajakan aku yang pengen nikahin kamu, itu semua serius, Hen."Kepala Heni tertunduk, dia harus jawab apa? Dia sendiri masih belum bisa mengartikan perasaan yan