Share

BAB 12

Brian mendengus. Kepalanya mendadak pusing. Tentulah setelah ini dia akan mengantarkan Heni pulang. Memang mau apa lagi? Dia hendak menculik dan memperkosa Heni begitu?

Bisa saja kalau Brian sudah tidak waras! Tapi dia ini masih waras. Bisa digorok mamanya kalau dia sampai berani macam-macam sama anak gadis orang. Bukan hanya itu, kesempatan dia lanjut sekolah spesialis bisa lenyap kalau sampai Brian membuat olah dan membuat murka sang mama. Sungguh horor sekali!

"Iya lah! Memang mau apa lagi sih?" sahut Brian gemas. Dia mencubit-cubit dimsum dengan supit bambu di tangan, membayangkan kalo dimsum di hadapannya ini adalah Heni.

"Anter ke rumah sakit lah, Mas. Ambil motor."

Brian menghirup udara banyak-banyak. Inhale ... exhale ... Brian lakukan itu berkali-kali. Macam ibu-ibu yang mau partus di VK.

"Khawatir banget sih sama motor? Heran aku!" protes Brian tak suka.

Memang kenapa kalau Brian mau mengantar Heni sampai kost? Dilarang? Kost Heni ekslusif, bebas. Jangankan antar sampai gerbang, Brian antar Heni sampai kamar dan ngelonin Heni di dalam sana pun bebas kok!

Heni melotot, bibirnya mencebik sambil ikut menusuk-nusuk dimsum miliknya dengan sumpit. Terlihat sangat wajah itu begitu kesal.

"Bukan gitu, Mas!" sanggahnya cepat. "Masalahnya nih ya, kalo motor aku di rumah sakit, besok aku berangkat pakai apa? Terus kalo mendadak oncall, aku naik apa?"

Brian mengangguk, kembali matanya dia fokuskan pada Heni. "Aku antar sampai kost kamu! Nggak tega aku biarin kamu malam-malam naik motor sendirian. Mana cewek." putus Brian tegas. "Nanti aku isiin saldo G*pay kamu. Besok atau kalau ada oncall order ojol."

Kembali gumpalan daging ayam bersalut kulit, Brian suapkan ke dalam mulut. Matanya melirik sekilas Heni yang nampak membelalakkan mata. Brian berani bertaruh, setelah ini Heni pasti mencak-mencak.

"Loh ... tapi kan aku nggak minta diisiin saldo, Mas!" seperti prediksi Brian, Heni langsung nge-gass.

"Emang nggak minta, tapi aku mau isiin. Kenapa? Masalah?" Brian membulatkan mata, memasang wajah judesnya yang tetap saja menampilkan pesona ganteng tidak peduli sorot mata Brian tajam dan wajahnya nampak songong.

Mulut itu sudah setengah terbuka, siap menyembur namun lantas Heni urungkan. Tampak bibir itu mengerucut. Wajah Heni begitu menggemaskan di mata Brian, membuat Brian mati-matian menahan tawanya yang siap meledak.

"Habiskan! Kalau masih lapar pesen lagi aja." desis Brian seraya pura-pura kembali fokus pada dimsum nya.

"Mas yang bayar kan ini?"

Hampir saja Brian tersedak, ia langsung bergegas mengunyah dimsum dalam mulutnya dengan susah payah, lalu ditatapnya Heni dengan tatapan kesal.

"Pastilah! Yang ajak kamu ke sini tadi siapa, heh?"

Kerasukan setan apa Heni ini? Kenapa jadi makin somplak saja setelah pindah ke rumah sakit pendidikan milik kampus? Agaknya Brian harus mati-matian kembali merayu Julius agar segera memindahkan Heni segera dari sana. Kalau tidak? Brian takut Heni makin parah dan tidak lagi tertolong!

Dilihatnya Heni nyengir lebar. Gigi Heni begitu rapi, mungkin dulu dia sempat memakai behel. Yang jelas senyum itu begitu indah dipandang mata dengan gigi putih bersih.

"Bungkus bawa pulang boleh, Mas?"

Brian yang tengah meneguk es tehnya hampir saja menyemburkan air yang memenuhi rongga mulut. Ia terbatuk-batuk setelah beberapa tetes air hampir saja masuk ke tenggorokan. Heni segera menyodorkan tisu, tapi Brian malah mengabaikan tisu itu, memusatkan pandangannya ke arah Heni yang masih menyodorkan kotak tisu ke hadapannya.

Kenapa Heni jadi makin parah sih?

Brian menghirup udara banyak-banyak, kepalanya terangguk pelan. Sebuah jawaban dari pertanyaan Heni barusan. Mau bungkus dimsum untuk dibawa pulang? Tentu boleh! Setukang dimsum nya juga Brian oke. Asal Heni mau memenuhi syarat darinya.

"Boleh. Bungkus apa yang kamu mau buat dibawa pulang. Tapi ada syaratnya!" tegas Brian sambil melipat tangan di depan dada.

Mata Heni membulat, menatap Brian dengan tatapan penuh selidik.

"Syarat? Pakai syarat segala?" Protes Heni tidak terima. Dasar lelaki, tidak pernah mau rugi!

"Loh ... iya dong! Gampang kok syaratnya!" Brian tersenyum sinis, nampak sangat jelas wajah itu sengaja mengerjai Heni.

Heni terlihat ragu, matanya menatap Brian dengan sedikit bimbang. Membuat senyum Brian makin merekah, indah. Sebuah ekspresi yang langsung membuat kening Heni berkerut.

"Apa syaratnya?" tanya Heni akhirnya.

"Cukup dandan cantik besok malam dan ikut aku jalan-jalan keluar. Ada pasar malam di alun-alun, mau, kan?"

***

Gibran meremas-remas ponsel di tangan. Dia sengaja sama sekali tidak menghubungi Heni sampai detik ini. Gibran malah masih berada di rumah sakit, menanti di dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari motor Heni. Tetapi gadis itu malah melakukan hal yang sama dengan apa yang Gibran lakukan, sama sekali tidak menghubungi Gibran sampai detik ini.

Gibran mendesah. Memijit pelipisnya perlahan-lahan. Siapa lelaki tadi? Bukankah Heni mengaku masih single? Tetapi kenapa dari kacamata Gibran, mereka tampak punya hubungan khusus? Bagaimana interaksi di antara mereka dan jangan lupakan tentang Heni yang pasrah saja ditarik pergi oleh lelaki itu.

Dia tidak lupa kalau sudah buat janji dengan Gibran, kan? Motor Heni masih di sini, bisa dipastikan gadis itu akan kembali kemari guna mengambil motornya. Hal yang membuat Gibran lantas memilih menunggu Heni sampai dia kembali lalu Mencecar Heni dengan berbagai macam pertanyaan yang jujur kini mengganggu pikiran dan hati Gibran.

"Nggak mungkin ah kalo Heni ngibul dan bohong. Wajahnya nggak nampak kalo dia suka bohong." Gibran tidak yakin kalau Heni mencoba membohongi dirinya perihal status gadis itu.

Kening Gibran tambah berkerut, "Tapi dari interaksi mereka, mereka kelihatan deket banget deh!" Gibran mencoba menganalisis. "Saudara? Tapi nggak ada miripnya!"

Gibran sibuk berpikir. Memikirkan gadis yang terus terang langsung menarik perhatian Gibran di saat mereka pertama kali bertemu. Sementara Gibran sibuk berpikir dan menanti, gadis yang tengah Gibran pusingkan malah tengah sibuk memilih varian dimsum untuk dia bungkus dan bawa pulang.

Brian mendesah panjang. Untung saja dia bawa banyak uang cash, kalau tidak? Mana bisa bayar pakai debit. Sedetik kemudian Brian terkikik, dia baru tahu kalau kelemahan Heni ada di mulut dan perut. Gadis ini sangat doyan makan dan ngemil. Salah satu cara yang bisa Brian gunakan untuk menarik perhatian Heni dan membuat gadis ini sadar terhadap perasannya.

Tapi sekali lagi, yang jadi pertanyaan Brian hanyalah satu ; Heni ini benar-benar lemot atau hanya pura-pura lemot sebenarnya? Masa iya dari Karina awal nikah sampai anaknya umur tiga bulan, Heni masih belum sadar dan peka akan kode yang dia lancarkan? Ini sungguh sangat mustahil, kan?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
kangen karina kak
goodnovel comment avatar
Dite
ama cewek ya jangan cuma kode kode, ngomong terus terang
goodnovel comment avatar
Selfie Hurtness
gimana? nambah lagi ga nih wkwkw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status