"Motor aku gimana, Mas?"
Brian melotot, ditatapnya Heni dengan tatapan kesal. Motor? Heni malah memikirkan motornya daripada momen mereka ini?"Biarlah, nggak mungkin ilang, Hen!" jawab Brian santai sambil menahan gemas. Ia segera membawa mobilnya melaju dari halaman parkir. Ia melirik sekilas, Heni tidak tampak protes dan itu artinya dia juga sama dengan Brian, begitu rindu momen ini dan tidak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka ini."Memang kita mau makan dimsum di mana, Mas?"Brian kembali melirik wajah itu, senyum Brian merekah. Rasanya sudah cukup lama mereka tidak bersama macam ini. Tidak sia-sia Brian datang jauh-jauh dan menculik Heni, akhirnya rasa rindunya terbayar sudah!"Warungnya sih kaki lima, Hen. Tapi aku jamin kamu bakalan suka." Brian tahu, Heni sebenarnya bukan tipe gadis gede gengsi yang tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Tapi dia perlu memberitahukan ini sebelum Heni berekspektasi tinggi terhadap tempat makan yang akan mereka datangi."Enak?"Kini tawa Brian pecah. Dia tertawa terbahak-bahak. Kenapa Heni menanyakan hal ini? Tentulah enak! Selera Brian terhadap makanan cukup tinggi. Tentu tidak perlu dijelaskan kenapa lantas Brian mau makan di kaki lima, kan? Sudah pasti selain tempatnya bersih, makananya pasti enak!"Kau akan tau nanti, Hen. Sabar deh."Heni tidak lagi bersuara, dia malah menyandarkan tubuh di jok dengan santai. Seperti biasa, ketika dulu mereka masih satu tempat dinas dan Brian rajin antar-jemput Heni ketika mereka ada dalam satu shift yang sama. Brian merasa begitu tenang, damai dan bahagia ketika sosok ini tengah bersamanya. Agaknya Brian betul-betul jatuh cinta dan ia memang perlu mengikuti saran Julius untuk 'menembak' Heni lebih dulu.Eh, tapi ... siapa bilang kalau selama ini Brian tidak menyatakan perasaan pada Heni? Brian sudah berkali-kali memberi 'kode' dan bahkan bicara blak-blakan pada gadis di sebelahnya ini. Tapi entah Heni yang terlalu polos atau cuek, semuanya seolah hanya gurauan di mata Heni. Padahal Brian serius mengucapkan hal itu, serius dengan setiap perkataan yang mewakili perasannya pada Heni.Mendadak Brian gusar. Beberapa bulan lagi tentu masa kepaniteraan klinik Heni akan habis. Gadis ini akan diambil sumpahnya dan mengikuti UKMPPD serta serentetan tes lainnya untuk menentukan apakah Heni lolos untuk menjajaki tahapan selanjutnya guna menjadi dokter. Dan internship ... Brian tahu betul Heni berdarah muggle. Dalam artian dia adalah dokter pertama dalam keluarga besar. Yang artinya lagi, Heni sama sekali tidak punya power dalam bidang kedokteran dari keluarga. Itu artinya ...."Mas? Ngelamun?"Brian tersentak, ia terkejut dan spotan menoleh menatap Heni yang tengah menatapnya dengan tatapan menyelidik."Ah ... ng-nggak kok. Cuma lagi mikir sesuatu aja." jawab Brian sambil berusaha menghilangkan rasa terkejutnya."Mikir? Mikirin apaan?" sebuah nada penasaran Brian rasakan di sela-sela kalimat yang keluar dari mulut Heni.Brian mendesah, tidak ada waktu lagi! Dia memang harus segera menyatakan perasaan seperti apa saran omnya. Kalau tidak ... Brian begitu takut harus kembali kehilangan orang yang dia cintai hanya karena dia terlalu santai terhadap perasaan yang Brian miliki untuk gadis incarannya."Hen, besok malam ada acara? Temenin keluar mau?"***Wajah Heni berubah cerah ketika gumpalan daging ayam dengan kulit lembut nan juicy itu menyapa indra perasa Heni. Belum lagi nikmat saus cocolan yang pedas dan gurihnya pas di lidah Heni. Ini benar-benar sangat nikmat dan memanjakan lidah Heni, persis seperti apa yang tadi Brian promosikan kepadanya."Enak?"Heni mengangkat wajah, menelan susah payah dimsum yang memenuhi mulutnya. Ia kontan nyengir lebar, menganggukkan kepala dengan cepat lalu kembali bersuara."Heem, ini enak banget, Mas!" ucapnya jujur. Dimsum dan saus cocolan nya ini memang enak!Brian menyunggingkan senyum. Tampak pesanannya masih utuh, matanya fokus menatap Heni. Membuat Heni jadi sedikit salah tingkah. Jadi Brian sejak tadi malah sibuk mengamati Heni makan daripada makan dimsum pesanannya?"Ma-Mas ... kamu nggak makan?" Heni mengabaikan sejenak dimsum lezat miliknya, tentu dia tidak nyaman dengan Brian yang sejak tadi tidak melepaskan pandangan mata darinya."Dimsum nya memang enak, bentuknya indah dan cantik. Tapi sayangnya, apa yang ada di depan mataku, yang kini sedang aku tatap, lebih indah dan cantik daripada mereka."Heni membelalak, ia tidak salah dengar? Brian tidak sedang bercanda atau kerasukan setan penunggu rumah sakit, kan? Atau kepalanya habis terbentur sesuatu? Jadi saraf otaknya geser dan dia menjadi konslet?Heni meneliti mata dan wajah Brian, tidak nampak bahwa Brian tengah bercanda. Tidak tampak kebohongan di mata itu. Sebuah fakta yang membuat Heni jadi salah tingkah. Kembali kalimat Brian tadi terngiang. Perihal Heni yang kata Brian begitu indah dan cantik, apakah ini artinya ...."Mas sehat?"***Brian kontan melotot tajam. Rangkaian kalimat rayuan lanjutan yang sudah Brian pikirkan dan siapkan dengan matang mendadak hilang, lenyap entah kemana. Ia mengeram perlahan, rasanya ia ingin menelan bulat-bulat kalau saja dia tidak begitu mencintai gadis ini.Heni masih menatapnya dengan saksama, dengan tatapan tidak percaya yang terhambat jelas di wajah dan sorot mata itu. Membuat Brian mengusap wajahnya dengan gemas, kapan Heni bisa mengerti bahwa perasaan yang Brian miliki untuknya itu tulus dari dalam hati Brian!"Mas, kepalamu habis terbentur?" tanya Heni yang kembali membuat Brian mengeram gemas."Nggak ... nggak kok!" Brian segera meraih sumpitnya, "Udah ayo lanjut makan!" Brian segera menjepit dimsum pesanannya dengan sumpit. Mencocolnya di saus lalu melalap makanan itu sambil membayangkan makanan yang dia makan ini adalah Heni.Bisa Brian lihat Heni tersenyum geli, kembali dia menikmati dimsum miliknya. Tidak lagi berkata-kata apapun. Membuat Brian bertanya-tanya, apakah ada yang salah dengan otak dan pikiran gadis ini? Kenapa dia tidak paham juga dengan maksud Brian? Atau sebenarnya Heni sudah paham, tapi dia pura-pura tidak paham?"Ini bisa di pesan online, kan, Mas? Mau pesan lagi lain kali." gumam Heni dengan mulut penuh dimsum."Nggak! Nggak bisa!" jawab Brian tegas. "Kalau mau beli ke sini, telepon aku! Biar aku antar kamu kesini!"Brian menelan makanannya, kembali memenuhi mulutnya dengan dimsum udang yang menjadi favorit Brian ketika berkunjung ke sini. Wajah itu nampak terkejut, menatap ke arahnya dengan tatapan bingung. Namun Brian tidak lagi peduli. Dia sudah cukup kesal dan gemas pada Heni, jadi Brian lebih memilih untuk fokus menikmati makannya daripada pusing memikirkan gadis yang dia cintai ini.'Hen ... kamu ini emang lemot atau pura-pura lemot sih, Hen?'Brian kembali menatap nanar gadis di hadapannya. Dia benar-benar tampak sangat menikmati makannya dan tidak peduli dengan kalimat-kalimat Brian tadi."Habis ini Mas antar aku pulang, kan?"Brian mendengus. Kepalanya mendadak pusing. Tentulah setelah ini dia akan mengantarkan Heni pulang. Memang mau apa lagi? Dia hendak menculik dan memperkosa Heni begitu? Bisa saja kalau Brian sudah tidak waras! Tapi dia ini masih waras. Bisa digorok mamanya kalau dia sampai berani macam-macam sama anak gadis orang. Bukan hanya itu, kesempatan dia lanjut sekolah spesialis bisa lenyap kalau sampai Brian membuat olah dan membuat murka sang mama. Sungguh horor sekali! "Iya lah! Memang mau apa lagi sih?" sahut Brian gemas. Dia mencubit-cubit dimsum dengan supit bambu di tangan, membayangkan kalo dimsum di hadapannya ini adalah Heni. "Anter ke rumah sakit lah, Mas. Ambil motor."Brian menghirup udara banyak-banyak. Inhale ... exhale ... Brian lakukan itu berkali-kali. Macam ibu-ibu yang mau partus di VK. "Khawatir banget sih sama motor? Heran aku!" protes Brian tak suka. Memang kenapa kalau Brian mau mengantar Heni sampai kost? Dilarang? Kost Heni ekslusif, bebas. Jangankan antar sampai
Brian menghentikan mobilnya di depan gerbang kost Heni, sejenak dia menoleh, di saat yang bersamaan, Heni tampak juga tengah menoleh menatapnya. "Makasih banyak buat malam ini, Mas."Brian tersenyum, nada suara Heni begitu lembut. Sangat manis sekali di dengar. Kepala Brian terangguk, refleks tangan Brian terulur mengelus kepala Heni dengan begitu lembut. Melihat sikap Heni yang semanis ini, sikap tengil dan menyebalkan milik Brian mendadak lenyap. Dia tidak ingin sikap manis dan menggemaskan Heni ini berubah jadi sikap menyebalkan seperti biasanya. "Besok malam aku jemput. Nggak lupa sama janji kamu, kan?" Brian ikut bersuara dengan begitu lembut, menyamai nada lembut Heni. Senyum itu merekah, sebuah senyum manis yang mampu membuat Brian rasanya ingin memepet Heni lalu meraup bibirnya hingga gadis ini kehilangan napas. Namun pikiran Brian masih jernih, tentu dia tidak boleh gegabah karena bisa jadi sikap gegabahnya malah membuat semua usaha Brian jadi sia-sia. "Tentu. Kabari aja
Brian kontan menggaruk kepalanya, ini masalah Kelvin kenapa jadi dia yang ikut dibuat pusing? Tak tahukah Kelvin kalau Brian sendiri tengah dibuat pusing oleh kisah asmaranya sendiri? Bagaimana cara dia menyakinkan Heni itu sudah cukup membuat kepala Brian sakit! Terlebih saingan Brian sekali lagi tidak bisa diremehkan! Seorang calon spesialis. "Nyokap elu nyusul ke Surabaya? Bawain calon elu kesana gitu?" Brian terpaksa harus meladeni curhatan Kelvin, mau bagaimana lagi? Disaat Brian galau masalah percintaan, Kelvin lah yang selalu punya banyak waktu untuk mendengar setiap keluh kesah Brian mengenai persoalan asmaranya yang selalu ketiban nasib sial! "Iyalah!" tukas Kelvin membenarkan tebakan Brian. "Gila, seniat itu nyokap gue pengen liat gue kawin, Yan!"Brian terkekeh, agaknya setelah ini, gantian Brian yang akan memiliki nasib yang sama dengan nasib sahabatnya. Dipaksa menikah karena usia yang sudah cukup matang? Ah kenapa di negara ini semua orang terlalu memusingkan umur sih?
[ Jangan lupa besok malam! ]Heni mendesah, ia menatap pesan yang baru saja masuk ke dalam ponsel. Siapa lagi kalau bukan Brian yang mengiriminya pesan itu? Heni meletakkan ponsel di dada, matanya lurus menatap langit-langit kamar. Pikirannya menerawang membayangkan pasar malam di alun-alun yang besok akan dia datangi bersama Brian. Dari banyak postingan di media sosial, pergi ke sana memang asyik sih. Banyak wahana bermain yang sebenarnya tidak memiliki klaim asuransi dan sedikit memacu adrenalin. Tapi fakta bahwa pengunjung tidak diberi jaminan asuransi ternyata tidak membuat wahana-wahana itu sepi pengunjung. Banyak orang yang rela antri untuk bisa naik dan menikmati wahana tersebut. Heni tersenyum, ia tidak tertarik dengan wahana-wahana itu, dia tertarik dengan suasana ramai dengan lampu-lampu gemerlap yang cantik dan begitu indah dilirik. Ada sesuatu yang ingin Heni beli di sana besok, cotton candy raksasa! Yang bisa dibentuk sesuai keinginan. Ponsel yang tergeletak di dada k
Gibran segera turun dari mobil ketika mendapati motor Heni masih diparkiran. Ia mendekati motor itu dan mendekatkan tangan ke salah satu bagian. Dingin. Tidak terasa panas atau hangat sekalipun. Itu artinya sejak semalam motor ini ada di sini? Ah! Bukankah dokter itu bawa mobil semalam? Pasti Heni diantar pulang olehnya setelah menjenguk teman Heni yang sakit. Tapi ... siapa bilang kalau Heni benar-benar mengunjungi temannya yang sedang sakit? Bagaimana kalau mereka pergi kencan? Gibran mendesah, ia menggelengkan kepala lalu pergi meninggalkan halaman parkir dengan hati dan pikiran yang berkecamuk.Sepertinya Gibran perlu sesegera mungkin menyatakan perasannya kepada Heni. Kalau tidak, bisa-bisa Heni digebet dokter itu. Ini tidak bisa dibiarkan! Gibran menyusuri koridor rumah sakit, matanya berbinar ketika mendapati sosok itu melangkah dari pintu depan. Dengan segera Gibran mempercepat langkah. Mengejar langkah Heni yang tengah menuju tangga untuk naik ke lantai dua, lantai di mana
Heni segera menutup pintu kamar mandi. Napasnya terengah. Jantung Heni berdegup dua kali lebih cepat. Gibran benar-benar menyukainya! Terbukti dengan pernyataan cinta yang tadi dia katakan pada Heni di koridor menuju kantin rumah sakit."Aku suka sama kamu, Hen. Aku jatuh cinta sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar Abang, Hen?"Sebuah pertanyaan yang tadi hampir merontokkan jantung Heni. Tanpa tedeng aling-aling, Gibran langsung menyatakan cintanya. Meminta Heni menjadi pacar lelaki itu. Heni mendesah. Sebenarnya kurangnya si Gibran ini apa? Ganteng iya ... residen iya, dan bukankah Heni selama ini mengincar residen untuk dia gebet dan pacari? Kenapa begitu dia mendapatkan mangsa, Heni melepaskannya begitu saja? Seharusnya Heni terima dan sanggupi ajakan Gibran untuk berpacaran. Bukankah memang itu keinginan Heni? Dapat pacar atau bahkan suami calon dokter spesialis? Tapi kenapa malah Heni tolak? Heni menepuk jidatnya, mencoba menghirup udara banyak-banyak karena sejak tadi dadanya
Brian menyeka keringat. Akhirnya ... empat puluh lima orang yang keracunan masal sudah berakhir ditangani. Semua dalam kondisi stabil dan kini akhirnya Brian bisa pulang untuk bersiap-siap kencan dengan Heni! Sebuah kencan impian karena nanti Brian bukan hanya ingin mengajak Heni menikmati pasar malam, tetapi juga ingin mengatakan suatu hal penting yang selama ini menganggu Brian. Sebuah perasaan yang selama ini Brian pendam seorang diri. Aduh! Lupa! Brian tidak memendam perasaan itu seorang diri. Dia sudah berulangkali memberi kode keras pada Heni dan sekali lagi, entah Heni benar-benar lemot atau hanya pura-pura lemot, Brian tidak tahu! Yang jelas selama ini ungkapan perasaan Brian hanya dianggap bercanda oleh Heni. Dan malam ini, Brian kehabisan kesabaran! Dia akan langsung to the poin menyatakan perasaannya terhadap Heni. "Sudah semua kan? Saya mau balik!" desis Brian lesu. Entah apa yang salah dengan dirinya ini. IGD benar-benar selalu membludak tiap dia jaga! Luar biasa seka
Setelah menyelip sana-sini, akhirnya Heni terbebas dari kemacetan jalan. Ia sampai di kost tepat dengan mobil itu berhenti di depan gerbang. Heni segera melepas helm dan menghampiri sosok yang langsung keluar dari mobil dengan paper bag di tangan. "Baru pulang?" wajah itu membelalak, menatap Heni yang nyengir lebar. "Iya lah, tunggu bentar deh ya!" Heni hendak membalikkan badan, Brian segera meraih tangan Heni, mencegah Heni pergi masuk ke bangunan kost. "Eh tunggu!" Heni menoleh, "Apaan lagi sih, Mas?" Heni tidak mengerti, mau apa lagi sih? Heni tahu kalau dia sudah sangat terlambat, jadi ia hendak segera mandi dan bersiap-siap. "Pakai ini, ya? Aku tunggu di sini."Heni tertegun, dia menatap paper bag itu, lalu meraih benda yang Brian sodorkan. Kepala Heni terangguk, membuat Brian melepaskan cekalan tangannya. Brian tersenyum, memberi kode agar Heni segera masuk dan bersiap-siap. Tanpa banyak bicara, Heni segera masuk ke dalam. Matanya melirik apa yang ada di dalam paper bag it