Share

BAB 9

Heni memarkirkan motornya, ia tertegun sejenak sebelum kemudian mematikan mesin dan turun dari motor. Ditatapnya bangunan gedung rumah sakit yang nampak masih baru itu. Kenapa rasanya hati Heni begitu hampa? Kenapa dia lebih suka di RSUD daripada harus di sini? Heni mendesah, ia lantas melepaskan helm, menggantungkan pelindung kepala miliknya lalu perlahan melangkah meninggalkan area parkir.

Ia kembali teringat obrolannya kemarin, ketika Brian tengah meneleponnya sore itu. Benarkah Brian merindukannya karena tidak akan ada yang dia siksa kalau Heni koas di sini? Apakah dia tidak merasakan perasaan yang sekarang menyelimuti hati Heni? Semacam perasaaan sepi, hampa dan mmm ... Rindu!

"Ini apaan sih? Nggak jelas banget!" Maki Heni berusaha menyingkirkan jauh-jauh dan mengelak dari perasaan yang membelenggunya.

Rindu pada sosok itu? Agaknya memang iya, tetapi kenapa rasanya berat dan sulit untuk mengakuinya? Heni tersenyum kecut, terus melangkah mengingat ia harus segera sampai di laboratorium radiologi sebelum dokter Anies sampai lebih dulu.

Stase radiologi ini sebenarnya cukup membosankan. Heni tipe orang yang lebih suka berinteraksi langsung dengan pasien. Dan memandangi print out hitam putih itu? Sungguh membosankan sekali!

Heni hampir sampai di laboratorium radiologi ketika matanya menatap sosok itu. Itu kan ...

Lelaki dengan celana bahan warna krem dan kemeja biru itu melangkah dengan senyum mereka ke arah Heni, membuat Heni langsung salah tingkah. Siapa memangnya yang tidak salah tingkah kalau di tatap dan diberi senyuman seindah itu oleh lelaki berparas malaikat yang juga calon spesialis? Klepek-klepek dijamin!

"Pagi banget datangnya, Dek?" sapanya sambil mengulurkan tangan.

Heni tersenyum membalas uluran tangan itu dengan jantung berdegup. Matanya menatap wajah ganteng dan manis yang berdiri di hadapannya.

"Iya, Bang. Takut telat." jawab Heni singkat.

"Takut telat apa takut sama dokter Tandang?"

Tawa Heni sontak pecah, ia terkekeh dengan satu tangan menutup mulut. Sementara sosok ganteng di sebelahnya itu hanya tersenyum kecut sambil menggelengkan kepala perlahan.

"Ya semuanya, Bang. Takut semua."

Siapa yang tidak takut dengan radiolog satu itu? Judes dan galaknya tingkat dewa, membuat Heni kadang sampai terheran-heran dan bertanya-tanya, apakah dokter itu dulu lulus sarjana langsung auto spesialis? Nggak koas dan lain-lain dulu? Kenapa rasanya dia sama sekali tidak punya rasa empati pada para keset dan sendal rumah sakit?

"Sudah aku duga! Nggak ada yang nggak takut sama dia." desis suara itu perlahan.

"Abang takut juga sana dia?" rasanya tawa Heni kembali ingin meledak, namun mati-matian dia tahan karena tidak ingin Gibran ilfeel dan merasa tidak nyaman dengannya.

"Tentulah! Kelulusan Abang ada di tangan dia, Dek. Jadi cari aman ajalah!" Gibran terkekeh, menghela napas perlahan lalu menoleh menatap Heni yang kebetulan juga menoleh menatap wajah itu. "Udah sarapan?"

Apa?

Heni tertegun mendapat pertanyaan itu. Sarapan? Mana sempat Heni sarapan kalau bayangan wajah horor dokter Tandang terus menghantui Heni? Jadilah dia langsung gas ke rumah sakit begitu selesai mandi.

Sebuah gelengan kepala Heni lakukan sebagai jawaban dari pertanyaan yang Gibran ajukan. Membuat lelaki itu tersenyum lalu meraih tangan Heni yang menariknya dengan lembut. Sebuah tindakan yang membuat Heni melongo dan pasrah ditarik oleh lelaki itu.

"Kita sarapan dulu ya? Cukup kok waktunya, dikira dokter Tandang mahasiswanya nggak butuh sarapan apa." Gibran bergumam sendiri, sementara Heni?

Heni membeku dan pasrah saja ketika tangan itu terus menariknya pergi menyusuri koridor rumah sakit. Mereka melangkah sambil mengobrol santai, mengabaikan sepasang mata yang menatap tidak senang ke arah mereka.

Lelaki itu berdiri agak jauh, wajahnya tidak lepas dari dua punggung yang makin lama makin terlihat kecil dari tempatnya berdiri. Tangan lelaki itu mengepal kuat, wajahnya datar dan kaku. Membuat siapa saja yang menatap wajah itu akan bergidik ngeri dan bisa mengerti bagaimana suasana hati lelaki itu saat ini.

"Kurang ajar!"

***

Brian masuk ke dalam mobil. Rencananya dia hendak mengejutkan Heni dengan tiba-tiba datang dan menemuinya. Tetapi nyatanya bukan Heni yang berhasil Brian kejutkan, malah sebaliknya!

Brian memukul setir mobil dengan kesal. Kenapa sih dari dulu saingan dan musuh Brian itu residen? Ah agaknya bukan residen juga, tapi spesialis juga! Yang menikung Karina sudah spesialis, bukan residen lagi!

"Begini amat suka sama cewek ya ampun!" Brian mendesah, mengusap wajahnya dengan gusar.

Jika kemarin dia kalah telak, kali ini tidak akan Brian biarkan! Brian akan berjuang dan Heni tidak akan terlepas dari genggamannya, tidak akan!

"Jangan sebut namaku kalo aku nggak bisa nikahin kamu, Hen! Ingat baik-baik itu!" Brian mencengkram kuat setir mobil, sedetik kemudian ia teringat sesuatu dan dengan tergesa-gesa merogoh saku celananya.

Benda yang dia ambil tentu ponsel, dan nomor yang Brian hubungi ... siapa lagi kalau bukan Julius? Brian menanti panggilannya dengan sedikit gelisah, hatinya tidak tenang sebelum siasatnya berhasil.

Wajah tegang Brian berubah sumringah ketika sapaan itu menyapa telinganya dengan segera.

"Halo, Yan, kenapa?"

***

"Ah nggak mungkin ah!" Gibran mencebik, menyuapkan nasi soto ke dalam mulut.

Sementara Heni, kepalanya terangguk pelan sambil menyeruput teh hangat yang dia pesan untuk menemani nasi soto yang juga menjadi pilihan Heni untuk sarapan hari ini.

"Eh masa? Serius kamu nggak ada pacar, Hen?" kembali Gibran bertanya, wajahnya nampak terkejut luar biasa.

Heni melongo, dia memang tidak ada pacar dan apakah itu melanggar hukum? Kenapa Gibran sampai terkejut macam ini? Para lelaki itu memang terkadang lebay sekali!

"Serius lah, Bang. Mikir ujian stase aja kemut-kemut kepala pake nambah masalah mau pacaran segala. Males ah!" Heni kembali fokus pada makanan yang ada di depannya, apakah ini masuk ke dalam salah satu modus buaya yang sering orang-orang ceritakan?

Gibran terkekeh, ia tidak lagi bersuara, malah menyuapkan nasi ke dalam mulut dan nampak mengunyah nasi itu perlahan-lahan. Sementara Heni? Dia tengah sibuk menuangkan lagi sambal ke dalam mangkuknya lebih banyak lagi. Agaknya Heni tidak peduli pada harga cabai yang melambung tinggi. Baginya makan tidak pedas itu tidak nikmat.

"Hen, malam minggu nanti ada acara?"

Heni yang baru saja menyuapkan nasi soto yang dia tambahi sambal sontak tersedak. Bukan karena rasa pedas yang kini mendominasi rasa sotonya, tetapi ia terkejut dengan pertanyaan yang dulu pernah dia dapatkan dari seseorang. Sebuah pertanyaan yang malah menghadirkan sosok itu dalam benaknya.

"Be-belum tau, Bang. Aku jaga sore kalo nggak salah." tentu Heni ingat betul dengan jadwalnya, mana boleh dia lupa? Bisa-bisa hukumannya akan sedikit berat.

"Nonton yuk, Hen? Mau kan? Nanti Abang traktir."

Sebuah ajakan yang kembali melemparkan Heni pada kenangannya bersama seseorang. Heni tertegun, bukan memikirkan jawaban akan ajakan Gibran, tetapi memikirkan seseorang yang entah mengapa semenjak mereka berbeda tempat dinas, rasanya hati Heni menjadi begitu sepi.

Kenapa Heni diam-diam merindukan saat mereka bersama? Ada apa dengannya?

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Dite
dodol mah bryan, kalo karina mah km gak kena tikung wong kamu bukan sapa2nya karina.
goodnovel comment avatar
Neng Linda
jangan mau heniiiiii
goodnovel comment avatar
@gothil
brian dapet saingan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status