Share

BAB 8

Brian tertegun, menatap nanar layar ponsel yang sudah terputus sambungannya. Hatinya mendadak pedih. Obrolan demi obrolan tadi terus terngiang di telinga. Bagaimana Heni balas memakinya dan mengatakan sesuatu yang membuatnya ketar-ketir.

Residen sana ganteng-ganteng? Residen apa yang Heni maksud? Yakin dia masih sendiri? Yakin serius? Bukan apa-apa, predikat residen tidak terlalu bagus untuk urusan asmara. Apalagi di mata mereka, koas cuma macam mainan lucu yang menggemaskan. Yang sayang jika hanya didiamkan saja!

Brian mengusap wajahnya. Kenapa sih hubungan dia dan Heni sejak dulu tidak ada peningkatan ke arah yang lebih baik? Kenapa mereka selalu bertikai tiap berinteraksi? Kode Brian kurang kenceng? Atau otak Heni yang terlalu lamban menerima kodenya?

Kenapa semua jadi begini? Kalau ketemu tiap hari saja kode yang Brian lancarkan tidak pernah sampai, bagaimana kalau mereka terpisah jarak dan waktu? Ya meskipun kalau pas tidak jaga mereka bisa ketemu, cuma tentu enak kalau mereka satu rumah sakit dan jaga bareng di IGD yang sama, bukan?

Rasanya Brian ingin lari menyusul Heni, tapi mana bisa? Dia sedang ada jadwal jaga sekarang! Tidak bisa kemana-mana! Tapi kalau hanya diam di sini, jujur Brian tidak tenang! Dia begitu risau dan takut kalau sampai benar Heni kecantol dokter residen yang sedang pendidikan di sana! Masa iya Brian harus kembali patah hati ditinggal kawin? Apes banget nasib Brian ini!

Brian mencebik, bayangan wajah itu sama sekali tidak mau hilang. Apalagi suara Heni perihal residen ganteng tadi. Dua hal itu jadi macam hantu yang terus meneror Brian hingga dia selalu gelisah dan blingsatan macam sekarang ini.

"Pengen nyusul, tapi caranya gimana?" Brian menatap lurus ke depan, kenapa jadi begini sih?

Pikiran Brian bercabang-cabang, tidak tenang sama sekali. Dia masih sibuk berpikir ketika kemudian pintu kamar jaga terbuka lebar, nampak perawat itu muncul dengan wajah panik.

"Dokter, ada kecelakaan, Dok. Enam belas korban luka parah!"

Brian membelalak, baru hari pertama jaga tanpa Heni cobaan dia sudah seberat ini?

***

Heni mendengus, rasanya ia ingin melempar ponsel miliknya ke lantai lalu menginjak-injak benda itu sampai tidak berbentuk. Tapi sama saja itu merugikan dia! Tidak seharusnya rasa kesal dan gemasnya membuat Heni lantas menghancurkan ponsel dalam genggaman ini.

Inhale - exhale. Heni menghirup udara banyak-banyak, menghebuskan udara perlahan-lahan lalu dia ulangi itu sampai beberapa kali. Hatinya sudah lebih tenang sekarang dan ia memutuskan untuk melanjutkan kembali langkahnya menuju parkiran. Dia Ingin cepat pulang dan tidur!

"Heran! Orang satu itu kapan sih nggak ngeselin begitu?" Runtuk Heni sambil bersungut-sungut.

Seandainya Karina tidak habis beres melahirkan, rasanya Heni ingin melarikan diri ke rumah sahabatnya itu. Menceritakan sikap menyebalkan Brian yang makin hari makin menjadi-jadi.

Heni segera melompat naik ke atas motor, menghidupkan motor miliknya lalu segera pergi dari halaman parkir rumah sakit. Sikap Brian yang tengil dan menyebalkan itu selalu berhasil membuat Heni sakit kepala. Tapi Heni tidak bisa memungkiri bahwa kalau lelaki itu tidak ada bersamanya, hidup Heni terasa hampa dan seperti kurang sesuatu.

Perasaan apa ini? Ini bukan cinta, kan? Mana ada cinta yang selalu membuat dia sakit kepala dan hipertensi? Tapi kalau merujuk pada perasaan sepi dan hampa yang dia rasakan, kenapa rasanya Heni ragu dengan apa yang dia rasakan sekarang ini?

"Kenapa ini? Kenapa?" Gumam Heni setengah berteriak. "Kenapa setelah ketemu dia hidupku jadi carut-marut kayak gini?"

***

Brian mendesah panjang, keringat mengucur deras membasahi tubuhnya. Pertarungan di hari pertama Brian jaga tanpa Heni sungguh terasa begitu berat! Enam belas korban kecelakaan bus dengan mobil itu terhantar ke IGD. Membuat kepala Brian berdenyut dan jantung Brian seperti dipacu kuat-kuat. Dua dari enam belas pasien itu sudah didorong ke OK IGD. Masing-masing ditangani satu dokter spesialis bedah saraf. Lainnya kebanyakan kasus bagian ortopedi. Masih bisa ditunda untuk operasi kecuali satu korban yang bahkan harus menjalani amputasi kaki kirinya.

Jantung Brian masih berdegup kencang, napasnya masih ngos-ngosan. Apakah dia ini sebuah kutukan atau bagaimana? Kenapa bisa dia menyandang predikat 'bau' yang luar biasa mengerikan ini?

"Kacau bener kalo kamu yang jaga, Yan!"

Brian menoleh, nampak om Julius, adik sang mama yang merupakan salah satu internis di rumah sakit ini menggelengkan kepala sambil tersenyum masam.

"Bukan maunya Brian juga kali, Om. Heran, ngilangin kutukan 'bau' ini gimana sih?" Ratap Brian dengan nelangsa.

Julius mendesah panjang, "Aku rekomendasikan kamu ke rumah sakit swasta milik temen Om gimana, Yan? Seneng dia pasti kalau DU-nya super 'bau' kayak kamu gini."

Brian membelalak, ia mendesah panjang sambil menggelengkan kepala. Keringatnya masih mengucur, badannya terasa begitu gerah. Dia mau mengurangi kadar 'bau'-nya, bukan ingin pindah rumah sakit!

"Om serius deh, masa iya malah Brian mau dipindah ke sana sih?" Protes Brian tidak suka. Pindah rumah sakit? Lantas gadis bidikannya bagaimana?

Julius terkekeh, "Justru rumah sakit swasta carinya dokter yang kayak kamu gini, Yan. Anugerah ini!"

Kembali Brian mengerucutkan bibir, "Anugerah buat direktur rumah sakit sama petingginya. Kalau buat Brian pribadi sama yang jaga IGD, ini macam petaka, Om! Kutukan ini!" Gerutu Brian bersungut-sungut.

Kembali tawa Julius pecah, ia menepuk bahu Brian yang tengah duduk bersandar di lantai dengan lembut.

"Cari dokter 'wangi', kawinin. Siapa tau nanti kadar 'bau' yang kamu punya bisa agak turun atau malah ilang."

Brian hendak kembali menggerutu, ketika tiba-tiba ia teringat sesuatu. Dalam diam Brian mencerna kalimat yang barusan meluncur keluar mulut Julius. Menikahi dokter 'wangi' untuk menurunkan kadar 'bau' Brian? Apakah itu benar manjur? Atau hanya mitos?

"Ah, ngaco Om!" Balas Brian pura-pura kesal. Padahal otaknya tengah memikirkan sesuatu dan tentu saja wajah itu!

"Eh serius, kalau jaga berdua aja bisa menurunkan kadar bau, gimana kalo kamu nikahin?" Julius tidak mau dibantah begitu saja, meskipun dia tahu, teorinya ini belum ada bukti ilmiahnya sama sekali. "Sekarang, siapa dokter atau koas 'wangi' yang kamu kenal? Udah coba kamu bandingkan pas jaga sendiri sama pas jaga sama dia?"

Brian mendadak mendapat ide, ia menoleh dan menatap Julius dengan saksama.

"Om, mau bantuin Brian nggak?"

Lelaki itu mengerutkan kening, menatap Brian yang kini tersenyum lebar dengan mata berbinar. Kenapa berbeda dengan beberapa saat yang lalu? Kemana wajah masam dan kesal yang tadi dia tampakkan?

"Bantuin apa dulu ini?" Julius menatap saksama Brian yang masih menatap dirinya dengan penuh harap. Memang apa yang mau Brian minta kepadanya? "Dicarikan rumah sakit baru? Dicurangi kadar 'bau'-mu, atau apa?"

Brian bangkit, mendekatkan wajah ke arah Julius. "Bantuin Brian dapetin penangkal 'bau' yang paling topcer buat selamanya dong, Om!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status