Brian tertegun, menatap nanar layar ponsel yang sudah terputus sambungannya. Hatinya mendadak pedih. Obrolan demi obrolan tadi terus terngiang di telinga. Bagaimana Heni balas memakinya dan mengatakan sesuatu yang membuatnya ketar-ketir.
Residen sana ganteng-ganteng? Residen apa yang Heni maksud? Yakin dia masih sendiri? Yakin serius? Bukan apa-apa, predikat residen tidak terlalu bagus untuk urusan asmara. Apalagi di mata mereka, koas cuma macam mainan lucu yang menggemaskan. Yang sayang jika hanya didiamkan saja!Brian mengusap wajahnya. Kenapa sih hubungan dia dan Heni sejak dulu tidak ada peningkatan ke arah yang lebih baik? Kenapa mereka selalu bertikai tiap berinteraksi? Kode Brian kurang kenceng? Atau otak Heni yang terlalu lamban menerima kodenya?Kenapa semua jadi begini? Kalau ketemu tiap hari saja kode yang Brian lancarkan tidak pernah sampai, bagaimana kalau mereka terpisah jarak dan waktu? Ya meskipun kalau pas tidak jaga mereka bisa ketemu, cuma tentu enak kalau mereka satu rumah sakit dan jaga bareng di IGD yang sama, bukan?Rasanya Brian ingin lari menyusul Heni, tapi mana bisa? Dia sedang ada jadwal jaga sekarang! Tidak bisa kemana-mana! Tapi kalau hanya diam di sini, jujur Brian tidak tenang! Dia begitu risau dan takut kalau sampai benar Heni kecantol dokter residen yang sedang pendidikan di sana! Masa iya Brian harus kembali patah hati ditinggal kawin? Apes banget nasib Brian ini!Brian mencebik, bayangan wajah itu sama sekali tidak mau hilang. Apalagi suara Heni perihal residen ganteng tadi. Dua hal itu jadi macam hantu yang terus meneror Brian hingga dia selalu gelisah dan blingsatan macam sekarang ini."Pengen nyusul, tapi caranya gimana?" Brian menatap lurus ke depan, kenapa jadi begini sih?Pikiran Brian bercabang-cabang, tidak tenang sama sekali. Dia masih sibuk berpikir ketika kemudian pintu kamar jaga terbuka lebar, nampak perawat itu muncul dengan wajah panik."Dokter, ada kecelakaan, Dok. Enam belas korban luka parah!"Brian membelalak, baru hari pertama jaga tanpa Heni cobaan dia sudah seberat ini?***Heni mendengus, rasanya ia ingin melempar ponsel miliknya ke lantai lalu menginjak-injak benda itu sampai tidak berbentuk. Tapi sama saja itu merugikan dia! Tidak seharusnya rasa kesal dan gemasnya membuat Heni lantas menghancurkan ponsel dalam genggaman ini.Inhale - exhale. Heni menghirup udara banyak-banyak, menghebuskan udara perlahan-lahan lalu dia ulangi itu sampai beberapa kali. Hatinya sudah lebih tenang sekarang dan ia memutuskan untuk melanjutkan kembali langkahnya menuju parkiran. Dia Ingin cepat pulang dan tidur!"Heran! Orang satu itu kapan sih nggak ngeselin begitu?" Runtuk Heni sambil bersungut-sungut.Seandainya Karina tidak habis beres melahirkan, rasanya Heni ingin melarikan diri ke rumah sahabatnya itu. Menceritakan sikap menyebalkan Brian yang makin hari makin menjadi-jadi.Heni segera melompat naik ke atas motor, menghidupkan motor miliknya lalu segera pergi dari halaman parkir rumah sakit. Sikap Brian yang tengil dan menyebalkan itu selalu berhasil membuat Heni sakit kepala. Tapi Heni tidak bisa memungkiri bahwa kalau lelaki itu tidak ada bersamanya, hidup Heni terasa hampa dan seperti kurang sesuatu.Perasaan apa ini? Ini bukan cinta, kan? Mana ada cinta yang selalu membuat dia sakit kepala dan hipertensi? Tapi kalau merujuk pada perasaan sepi dan hampa yang dia rasakan, kenapa rasanya Heni ragu dengan apa yang dia rasakan sekarang ini?"Kenapa ini? Kenapa?" Gumam Heni setengah berteriak. "Kenapa setelah ketemu dia hidupku jadi carut-marut kayak gini?"***Brian mendesah panjang, keringat mengucur deras membasahi tubuhnya. Pertarungan di hari pertama Brian jaga tanpa Heni sungguh terasa begitu berat! Enam belas korban kecelakaan bus dengan mobil itu terhantar ke IGD. Membuat kepala Brian berdenyut dan jantung Brian seperti dipacu kuat-kuat. Dua dari enam belas pasien itu sudah didorong ke OK IGD. Masing-masing ditangani satu dokter spesialis bedah saraf. Lainnya kebanyakan kasus bagian ortopedi. Masih bisa ditunda untuk operasi kecuali satu korban yang bahkan harus menjalani amputasi kaki kirinya.Jantung Brian masih berdegup kencang, napasnya masih ngos-ngosan. Apakah dia ini sebuah kutukan atau bagaimana? Kenapa bisa dia menyandang predikat 'bau' yang luar biasa mengerikan ini?"Kacau bener kalo kamu yang jaga, Yan!"Brian menoleh, nampak om Julius, adik sang mama yang merupakan salah satu internis di rumah sakit ini menggelengkan kepala sambil tersenyum masam."Bukan maunya Brian juga kali, Om. Heran, ngilangin kutukan 'bau' ini gimana sih?" Ratap Brian dengan nelangsa.Julius mendesah panjang, "Aku rekomendasikan kamu ke rumah sakit swasta milik temen Om gimana, Yan? Seneng dia pasti kalau DU-nya super 'bau' kayak kamu gini."Brian membelalak, ia mendesah panjang sambil menggelengkan kepala. Keringatnya masih mengucur, badannya terasa begitu gerah. Dia mau mengurangi kadar 'bau'-nya, bukan ingin pindah rumah sakit!"Om serius deh, masa iya malah Brian mau dipindah ke sana sih?" Protes Brian tidak suka. Pindah rumah sakit? Lantas gadis bidikannya bagaimana?Julius terkekeh, "Justru rumah sakit swasta carinya dokter yang kayak kamu gini, Yan. Anugerah ini!"Kembali Brian mengerucutkan bibir, "Anugerah buat direktur rumah sakit sama petingginya. Kalau buat Brian pribadi sama yang jaga IGD, ini macam petaka, Om! Kutukan ini!" Gerutu Brian bersungut-sungut.Kembali tawa Julius pecah, ia menepuk bahu Brian yang tengah duduk bersandar di lantai dengan lembut."Cari dokter 'wangi', kawinin. Siapa tau nanti kadar 'bau' yang kamu punya bisa agak turun atau malah ilang."Brian hendak kembali menggerutu, ketika tiba-tiba ia teringat sesuatu. Dalam diam Brian mencerna kalimat yang barusan meluncur keluar mulut Julius. Menikahi dokter 'wangi' untuk menurunkan kadar 'bau' Brian? Apakah itu benar manjur? Atau hanya mitos?"Ah, ngaco Om!" Balas Brian pura-pura kesal. Padahal otaknya tengah memikirkan sesuatu dan tentu saja wajah itu!"Eh serius, kalau jaga berdua aja bisa menurunkan kadar bau, gimana kalo kamu nikahin?" Julius tidak mau dibantah begitu saja, meskipun dia tahu, teorinya ini belum ada bukti ilmiahnya sama sekali. "Sekarang, siapa dokter atau koas 'wangi' yang kamu kenal? Udah coba kamu bandingkan pas jaga sendiri sama pas jaga sama dia?"Brian mendadak mendapat ide, ia menoleh dan menatap Julius dengan saksama."Om, mau bantuin Brian nggak?"Lelaki itu mengerutkan kening, menatap Brian yang kini tersenyum lebar dengan mata berbinar. Kenapa berbeda dengan beberapa saat yang lalu? Kemana wajah masam dan kesal yang tadi dia tampakkan?"Bantuin apa dulu ini?" Julius menatap saksama Brian yang masih menatap dirinya dengan penuh harap. Memang apa yang mau Brian minta kepadanya? "Dicarikan rumah sakit baru? Dicurangi kadar 'bau'-mu, atau apa?"Brian bangkit, mendekatkan wajah ke arah Julius. "Bantuin Brian dapetin penangkal 'bau' yang paling topcer buat selamanya dong, Om!"Heni memarkirkan motornya, ia tertegun sejenak sebelum kemudian mematikan mesin dan turun dari motor. Ditatapnya bangunan gedung rumah sakit yang nampak masih baru itu. Kenapa rasanya hati Heni begitu hampa? Kenapa dia lebih suka di RSUD daripada harus di sini? Heni mendesah, ia lantas melepaskan helm, menggantungkan pelindung kepala miliknya lalu perlahan melangkah meninggalkan area parkir. Ia kembali teringat obrolannya kemarin, ketika Brian tengah meneleponnya sore itu. Benarkah Brian merindukannya karena tidak akan ada yang dia siksa kalau Heni koas di sini? Apakah dia tidak merasakan perasaan yang sekarang menyelimuti hati Heni? Semacam perasaaan sepi, hampa dan mmm ... Rindu! "Ini apaan sih? Nggak jelas banget!" Maki Heni berusaha menyingkirkan jauh-jauh dan mengelak dari perasaan yang membelenggunya.Rindu pada sosok itu? Agaknya memang iya, tetapi kenapa rasanya berat dan sulit untuk mengakuinya? Heni tersenyum kecut, terus melangkah mengingat ia harus segera sampai di labor
Anisa mendesah menatap jadwal jaga yang tertempel di dinding. Ada nama dokter Brian di sana. Tanpa ada nama Heni yang itu artinya jam jaga mereka akan sangat menyeramkan sekali.Semua tahu 'kutukan' apa yang dimiliki Brian. Hal yang membuat IGD tidak akan pernah sepi kalau Brian yang berjaga. Sepanjang Brian menjadi dokter umum di RSUD ini, penawar 'bau' itu cuma satu, lebih tepatnya baru ditemukan satu, yaitu Heni. Ketika mereka berdua disandingkan, maka keadaan akan jadi lebih baik ketimbang jika hanya Brian seorang diri. Masalahnya, kini gadis itu dirolling ke rumah sakit lain! Macam mimpi buruk yang terus menghantui perawat dan koas, bahkan dokter senior lain ketika Brian berjaga di IGD, terlebih malam hari. "Nis, kenapa?"Anisa menoleh, tampak Galih menatapnya dengan tatapan heran. Anisa mendesah, membalikkan badan dari papan daftar jaga, memperlihatkan nama Brian tercatat di sana. Hal yang langsung direspon sama oleh Galih. "Dokter Brian jaga malam lagi? What a hell!" runtuk
"Motor aku gimana, Mas?"Brian melotot, ditatapnya Heni dengan tatapan kesal. Motor? Heni malah memikirkan motornya daripada momen mereka ini? "Biarlah, nggak mungkin ilang, Hen!" jawab Brian santai sambil menahan gemas. Ia segera membawa mobilnya melaju dari halaman parkir. Ia melirik sekilas, Heni tidak tampak protes dan itu artinya dia juga sama dengan Brian, begitu rindu momen ini dan tidak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka ini. "Memang kita mau makan dimsum di mana, Mas?"Brian kembali melirik wajah itu, senyum Brian merekah. Rasanya sudah cukup lama mereka tidak bersama macam ini. Tidak sia-sia Brian datang jauh-jauh dan menculik Heni, akhirnya rasa rindunya terbayar sudah! "Warungnya sih kaki lima, Hen. Tapi aku jamin kamu bakalan suka." Brian tahu, Heni sebenarnya bukan tipe gadis gede gengsi yang tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Tapi dia perlu memberitahukan ini sebelum Heni berekspektasi tinggi terhadap tempat makan yang akan mereka datangi. "Enak?"Kini
Brian mendengus. Kepalanya mendadak pusing. Tentulah setelah ini dia akan mengantarkan Heni pulang. Memang mau apa lagi? Dia hendak menculik dan memperkosa Heni begitu? Bisa saja kalau Brian sudah tidak waras! Tapi dia ini masih waras. Bisa digorok mamanya kalau dia sampai berani macam-macam sama anak gadis orang. Bukan hanya itu, kesempatan dia lanjut sekolah spesialis bisa lenyap kalau sampai Brian membuat olah dan membuat murka sang mama. Sungguh horor sekali! "Iya lah! Memang mau apa lagi sih?" sahut Brian gemas. Dia mencubit-cubit dimsum dengan supit bambu di tangan, membayangkan kalo dimsum di hadapannya ini adalah Heni. "Anter ke rumah sakit lah, Mas. Ambil motor."Brian menghirup udara banyak-banyak. Inhale ... exhale ... Brian lakukan itu berkali-kali. Macam ibu-ibu yang mau partus di VK. "Khawatir banget sih sama motor? Heran aku!" protes Brian tak suka. Memang kenapa kalau Brian mau mengantar Heni sampai kost? Dilarang? Kost Heni ekslusif, bebas. Jangankan antar sampai
Brian menghentikan mobilnya di depan gerbang kost Heni, sejenak dia menoleh, di saat yang bersamaan, Heni tampak juga tengah menoleh menatapnya. "Makasih banyak buat malam ini, Mas."Brian tersenyum, nada suara Heni begitu lembut. Sangat manis sekali di dengar. Kepala Brian terangguk, refleks tangan Brian terulur mengelus kepala Heni dengan begitu lembut. Melihat sikap Heni yang semanis ini, sikap tengil dan menyebalkan milik Brian mendadak lenyap. Dia tidak ingin sikap manis dan menggemaskan Heni ini berubah jadi sikap menyebalkan seperti biasanya. "Besok malam aku jemput. Nggak lupa sama janji kamu, kan?" Brian ikut bersuara dengan begitu lembut, menyamai nada lembut Heni. Senyum itu merekah, sebuah senyum manis yang mampu membuat Brian rasanya ingin memepet Heni lalu meraup bibirnya hingga gadis ini kehilangan napas. Namun pikiran Brian masih jernih, tentu dia tidak boleh gegabah karena bisa jadi sikap gegabahnya malah membuat semua usaha Brian jadi sia-sia. "Tentu. Kabari aja
Brian kontan menggaruk kepalanya, ini masalah Kelvin kenapa jadi dia yang ikut dibuat pusing? Tak tahukah Kelvin kalau Brian sendiri tengah dibuat pusing oleh kisah asmaranya sendiri? Bagaimana cara dia menyakinkan Heni itu sudah cukup membuat kepala Brian sakit! Terlebih saingan Brian sekali lagi tidak bisa diremehkan! Seorang calon spesialis. "Nyokap elu nyusul ke Surabaya? Bawain calon elu kesana gitu?" Brian terpaksa harus meladeni curhatan Kelvin, mau bagaimana lagi? Disaat Brian galau masalah percintaan, Kelvin lah yang selalu punya banyak waktu untuk mendengar setiap keluh kesah Brian mengenai persoalan asmaranya yang selalu ketiban nasib sial! "Iyalah!" tukas Kelvin membenarkan tebakan Brian. "Gila, seniat itu nyokap gue pengen liat gue kawin, Yan!"Brian terkekeh, agaknya setelah ini, gantian Brian yang akan memiliki nasib yang sama dengan nasib sahabatnya. Dipaksa menikah karena usia yang sudah cukup matang? Ah kenapa di negara ini semua orang terlalu memusingkan umur sih?
[ Jangan lupa besok malam! ]Heni mendesah, ia menatap pesan yang baru saja masuk ke dalam ponsel. Siapa lagi kalau bukan Brian yang mengiriminya pesan itu? Heni meletakkan ponsel di dada, matanya lurus menatap langit-langit kamar. Pikirannya menerawang membayangkan pasar malam di alun-alun yang besok akan dia datangi bersama Brian. Dari banyak postingan di media sosial, pergi ke sana memang asyik sih. Banyak wahana bermain yang sebenarnya tidak memiliki klaim asuransi dan sedikit memacu adrenalin. Tapi fakta bahwa pengunjung tidak diberi jaminan asuransi ternyata tidak membuat wahana-wahana itu sepi pengunjung. Banyak orang yang rela antri untuk bisa naik dan menikmati wahana tersebut. Heni tersenyum, ia tidak tertarik dengan wahana-wahana itu, dia tertarik dengan suasana ramai dengan lampu-lampu gemerlap yang cantik dan begitu indah dilirik. Ada sesuatu yang ingin Heni beli di sana besok, cotton candy raksasa! Yang bisa dibentuk sesuai keinginan. Ponsel yang tergeletak di dada k
Gibran segera turun dari mobil ketika mendapati motor Heni masih diparkiran. Ia mendekati motor itu dan mendekatkan tangan ke salah satu bagian. Dingin. Tidak terasa panas atau hangat sekalipun. Itu artinya sejak semalam motor ini ada di sini? Ah! Bukankah dokter itu bawa mobil semalam? Pasti Heni diantar pulang olehnya setelah menjenguk teman Heni yang sakit. Tapi ... siapa bilang kalau Heni benar-benar mengunjungi temannya yang sedang sakit? Bagaimana kalau mereka pergi kencan? Gibran mendesah, ia menggelengkan kepala lalu pergi meninggalkan halaman parkir dengan hati dan pikiran yang berkecamuk.Sepertinya Gibran perlu sesegera mungkin menyatakan perasannya kepada Heni. Kalau tidak, bisa-bisa Heni digebet dokter itu. Ini tidak bisa dibiarkan! Gibran menyusuri koridor rumah sakit, matanya berbinar ketika mendapati sosok itu melangkah dari pintu depan. Dengan segera Gibran mempercepat langkah. Mengejar langkah Heni yang tengah menuju tangga untuk naik ke lantai dua, lantai di mana