Share

BAB 7

Brian menenteng plastik di tangannya, langkah Brian terasa begitu ringan. Entah mengapa sekarang rasanya Brian begitu semangat berangkat jaga. Padahal biasanya malas setengah mati. Sejak kapan dia jadi begitu semangat dan menantikan jam-jam jaganya? Tentu saja sejak anak jurusan seni tari gadungan yang tiba-tiba muncul dan bergabung di IGD selama masa kepaniteraan kliniknya berlangsung.

Begitu sampai di IGD, Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Alisnya berkerut ketika tidak mendapati orang yang dia cari ada di sana. Kemana dia? Bukankah selama ini jadwal jaga mereka selalu diusahakan satu shift?

Brian mendapat predikat dokter 'bau' yang tingkat 'bau'-nya sudah tidak dapat ditolerir lagi. Di mana arti 'bau' dalam dunia IGD dan paramedis adalah orang yang suka menjadi 'pembawa' pasien datang ketika dokter atau koas itu berjaga di IGD. Brian menyadari hal itu. Sejak dia koas, predikat 'bau' itu sudah melekat sempurna dalam diri Brian. Membuat dia sering diusahakan bagaimana caranya agar jam jaga di IGD sedikit berkurang atau dengan cara lain yaitu memasangkan Brian dengan koas atau dokter 'wangi' untuk menurunkan kadar 'bau' Brian.

Kebalikan dari 'bau', 'wangi' adalah predikat untuk mereka yang ketika jadwal jaga mampu menolak pasien. Dan kini, secara kebetulan yang mendapat predikat 'wangi' adalah Heni! Orang yang menjadi alasan Brian begitu bersemangat jaga di IGD.

"Ini Heni mana?" Tanya Brian pada perawat dan dokter koas yang ada di nurse station.

Nampak para gadis itu saling pandang. Membuat alis Brian berkerut menantikan jawaban. Kenapa mereka tidak langsung menjawab? Kenapa wajah mereka nampak sedu?

"Heni di-rolling ke rumah sakit milik kampus, Dok. Kan dia udah pindah ke stase radiologi." Jawab salah seorang dari mereka.

Brian lantas lemas. Kini dia tau apa arti tatapan sedu dari wajah-wajah itu. Tentu mereka panik kalau pasien membludak seperti yang biasa terjadi kalau Brian jaga tanpa 'pawang wangi'. Selain suka membawa banyak pasien, Brian terkenal suka membawa pasien yang kasusnya cukup rumit dan sulit! Hal yang sering membuat para spesialis geleng-geleng kepala, terlebih kalau Brian jaga malam macam ini.

"Udah nemu yang wangi?" Tanya Brian mencoba menutupi wajah kecewanya.

Mereka kompatibel menggelengkan kepala. Membuat Brian tersenyum getir.

"Kalo gitu semua siap-siap, ya? Saya kebelakang dulu." Brian hendak melangkah meninggalkan nurse station ketika sadar dia membawa sesuatu. Ia meletakkan plastik itu ke atas meja. "Buat kalian, kebetulan tadi mampir beli."

Brian tidak lagi menunggu mereka buka suara, ia melanjutkan langkahnya menuju ruang istirahat khusus untuk para dokter yang berjaga di IGD. Plastik itu berisi roti kopi kesukaan Heni. Rencananya dia beli untuk Heni dan tentu untuk dia juga. Bayangan menikmati roti kopi berdua sambil menunggu gelombang pasien datang mendadak hilang dan lenyap tidak berbekas. Hatinya mendadak terasa sunyi.

Heni di-rolling ke rumah sakit pendidikan milik kampus? Hanya selama stase radiologi atau seterusnya? Tentu Brian berharap hanya selama dia stase radiologi saja. Karena entah mengapa, entah sejak kapan, Brian sudah begitu ketergantungan berdekatan dengan sosok itu.

Brian segera merogoh saku snelli-nya, meraih ponsel dan mencoba menghubungi sosok itu. Siapa lagi kalau bukan Heni? Ia menjatuhkan tubuhnya di kasur, menantikan panggilannya terjawab. Kenapa harus di-rolling segala sih? Laboratorium radiologi di sini lengkap dan bukankah sebelum kampus punya rumah sakit pendidikan sendiri, sejak dulu sekali rumah sakit ini yang digunakan para koas menjalani kepaniteraan klinik mereka, bukan?

"Ayolah Hen ... Angkat teleponnya!"

***

Heni menyusuri koridor rumah sakit. Sudah pergantian shift dan tentu saja itu artinya dia sudah boleh pulang. Perhari ini dia di-rolling di rumah sakit pendidikan milik universitas. Ia melangkah dengan sedikit lunglai menuju parkiran. Kenapa rasanya hampa sekali? Awalnya dia begitu gembira harus rolling. Artinya dia akan terlepas dari jerat dokter kampret satu itu. Tapi kenapa sekarang rasanya jadi lain?

Ada semacam perasaan sepi yang diam-diam menyelimuti hati Heni. Padahal dia tentu tidak mungkin sendirian di rumah sakit sebesar ini, bukan?

Heni mendesah panjang, ada apa dengan dirinya ini? Ia terus melangkahkan kaki, ketika tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Dengan sigap Heni merogoh sakunya, senyumnya spontan mengembang begitu membaca nomor siapa yang tarpampang di layar.

"Brian?"

Heni segera mengangkat panggilan itu, entah mengapa jantungnya berdegup kencang. Apakah lelaki itu menelepon untuk mencarinya? Atau ada keperluan lain?

"Halo? Gimana, Mas?" Tanya Heni sambil menepi dan terus melangkah dengan perlahan menyusuri koridor rumah sakit.

"Kenapa nggak bilang sih kalau kamu di-rolling, Hen?" Tanya suara itu terdengar lirih.

Sejenak Heni tertegun, kembali bibirnya melukiskan senyuman. Kenapa rasanya hatinya berbunga-bunga mendengar kalimat lirih itu?

"Ya maaf, aku juga nggak tau kalau bakalan di-rolling, Mas. Kenapa? Kangen mesti?" Godanya dengan wajah memerah.

"Kangen?" Suara itu terdengar memekik. "Ya jelaslah!" Jawabnya kemudian yang langsung membuat wajah Heni makin merah padam.

"Siapa lagi memangnya yang nanti bakalan aku surah-suruh? Aku menonyor kepalanya? Aku cubit dan aku aniaya? Nggak ada, Hen! Cuma kamu!"

Heni melongo, mendadak semua bunga yang tadi bermekaran di dalam hatinya jadi layu. Bukan cuma layu, tapi bablas rontok tak bersisa, menyisakan perasaan gemas dan kesal setengah mati pada sosok tengil yang sedang meneleponnya ini.

"Terus kau lupa kita ini sepaket? Aku raja bau kalo kata anak-anak dan kau ratu wanginya. Bisa habis nanti kalo aku jaga nggak kamu pawangin! Kasihan anak-anak!" Lanjut suara itu yang entah kenapa di telinga Heni terdengar seperti memakinya.

"Eh bodo amat ya mau kamu raja bau kek, sumber bau kek, yang jelas nih ya, aku bahagia banget dapet rollingan ke sini. Ngerti? Jadi aku bodo amat nanti IGD mau penuh sesak sama kasus-kasus rumit, emang gue pikirin?" Salak Heni setengah berteriak. Dia lupakan semua perasaan hampa yang tadi dia akui itu. Bisa besar kepala Brian nanti kalau Heni sebenarnya lebih betah di RSUD pusat daripada di sini.

"Kau ini egois ya ternyata!"

Heni membelalakkan mata. Egois kata Brian?

"Eh sory ya, Mas, aku di-rolling ke sini juga kampus yang kasih. Ya aku nurut kampus lah. Jadi masalah 'perbauan' yang bersumber darimu itu bukan urusanku!" Maki Heni yang rasanya kepalanya sudah mendidih sempurna. "Kau yang bau kenapa aku jadi yang kau repotkan?"

"Kamu betah di sana, iya?" Tanya suara itu yang kembali terdengar lirih. Suara yang entah mengapa di telinga Heni seperti tidak terima dengan kepindahan Heni ke sini. Macam suara ratapan, tapi benarkah? Atau hanya Heni yang ke-PD-an?

"Betah lah! Residen sini ganteng-ganteng! Doa kenceng ini aku biar nyantol satu! Daripada di sana, kerja rodi terus, jadi korban KDRT terus, males!"

Tut!

Heni menutup panggilan secara sepihak. Napasnya memburu, hatinya dongkol setengah mati. Kenapa sih harus ada makhluk macam Brian begitu? Kenapa?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Inon Chantiik
haha cemburu tuh dr Brian nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status