Brian mematikan mesin mobilnya. Dia sudah sampai di minimarket yang dia tuju. Segera melepas seat belt dan melangkah turun. Dia hendak melangkah masuk ketika ada tubuh yang menabraknya dari sisi lain.
"Woy, woles dong, ah!"Teriakan itu ... Brian segera menoleh, menatap siapa pemilik suara itu. Dan benar saja! Gadis yang menabraknya itu Heni! Heni Saraswati!"Ka-kamu ...." Brian terkejut setengah mati, baru tadi Brian mengomel karena bayangan Heni mendadak hadir dalam pikirannya, eh sekarang mereka harus ketemu lagi?Mereka sama-sama terkejut, saling tatap dengan sorot mata tajam. Brian pastikan setelah ini gadis itu akan berteriak-teriak heboh dengan begitu nyaring."Kenapa sih harus ketemu kamu lagi, Mas?" salaknya dengan gemas, ia menjambak rambutnya dengan frustasi.Sebuah protes dan ekspresi yang entah mengapa terasa sedikit sakit di hatinya dan membuatnya agak kecewa. Apa? Kecewa?"Kamu pikir ini minimarket punya nenek moyangmu? Jadi aku nggak boleh ke sini, heh?" balas Brian sambil berkacak pinggang. Berusaha menutupi perasaan aneh yang tengah dia rasakan ketika mendengar protes Heni yang sepertinya tidak suka bertemu dengan dirinya."Ya tapi kenapa kamu harus kesini dan kita harus ketemu lagi?" terlihat dia masih tidak terima."Kamu juga ngapain sih ke sini? Nggak ada tempat lain buat kau datengin? Heh?" Brian balik bertanya, kenapa dia benci melihat Heni yang nampak sangat kesal dan tidak suka bertemu lagi dengannya seperti ini?Gadis itu tidak menjawab, dia mencebik dan mendorong pintu. Meninggalkan Brian begitu saja. Sebuah hal yang membuat Brian melongo diam di tempatnya berdiri sambil menatap kepergian Heni masuk ke dalam.Beberapa detik terdiam, Brian tersentak dan sadar bahwa dia kesini karena perlu membeli pasta gigi, mouthwash dan beberapa camilan untuk teman nonton bola nanti malam. Brian mendengus, segera mendorong pintu dan melangkah masuk ke dalam.Dari sudut matanya, dia bisa lihat Heni tampak tengah berdiri di depan freezer eskrim. Gadis itu jauh-jauh ke sini dengan luka di tangan macam itu hanya untuk beli eskrim? Astaga ... macam anak SD saja!Brian mencoba fokus mencari merek pasta gigi favoritnya. Mouthwash dan tentu saja camilan-camilan yang ingin dia beli. Setelah semua lengkap, dia membawa keranjangnya ke kasir. Sekali lagi, Heni berdiri di depannya. Dia tengah membayar eskrim, cokelat dan sebotol air mineral."Semuanya lima puluh lima ribu, Kak." seru petugas kasir dengan begitu ramah."Wait, tunggu bentar, Mbak!"Brian menatap Heni dari tempatnya berdiri. Gadis menyebalkan itu tampak merogoh saku celananya. Satu satu, dua saku ... depan dan belakang ... sebuah tanda yang Brian tahu betul apa itu artinya. Dia segera maju, merogoh dompet dan menarik kartu dari dalam sana."Pakai ini saja, Mbak! Sekalian sama belanjaan saya!" perintah Brian sambil meletakkan dan mendorong keranjangnya di atas meja kasir.Heni menoleh, menatapnya dengan tatapan terkejut."Eh, apaan ini? Kan a--.""Nggak usah bawel! Diem-diem aja!" hardik Brian yang makin gemas setengah mati, tangannya terulur dan menjitak kepala Heni dengan sedikit keras.Jika Brian pikir Heni akan diam saja dia jitak macam itu, maka dia salah! Tangan Heni ikut melayang, membalas Brian dengan menimpuk lengan Brian dengan cukup keras."Aduh! Apaan sih?" pekik Brian terkejut sambil menoleh menatap Heni yang juga menatapnya itu."Habisnya Mas dari tadi suka banget jitak kepala? Sakit, Mas!" protes Heni setengah berteriak dengan mata melotot.Brian menghela napas panjang. "Habisnya kamu itu lemot, biar agak cepet das-des gitu otaknya!" balas Brian santai. Dia sangat suka melihat wajah cemberut menahan kesal itu. Kenapa manis dan menggemaskan sekali sih?"Ini jadi satu struknya, Kak?" tanya petugas kasir yang entah mengapa seolah seperti ingin melerai adu mulut keduanya.Brian menoleh, kepalanya terangguk pelan. "Iya jadi satu aja, Mbak!" jawabnya cepat."Silahkan PIN-nya, Kak!"Lengan Brian terulur, menekan tombol mesin EDC dengan begitu santai tanpa dia tutupi. Dari sudut mata, dia tahu Heni tengah menatap ke mesin, tapi apa pentingnya kalau dia tahu PIN ATM Brian? Toh kartu Brian yang pegang dan apa hak Heni pegang kartu ATM dia?Brian menarik plastik yang tergeletak di atas meja kasir. Mengambil plastik berisi belanjaan Heni."Nih eskrim mu!" ia menyodorkan plastik itu ke arah Heni.Heni menatap mata hitam miliknya, dia nampak tertegun sejenak membuat alis Brian berkerut karena Heni sama sekali tidak berkedip menatapnya."Dek? Kenapa bengong? Kamu nggak apa-apa, kan?" Brian mengibaskan tangan tepat di wajah Heni, membuat gadis itu tergagap.Heni menundukkan wajahnya, menerima plastik itu dari tangan Brian."Terima kasih banyak, Mas!" desisnya kemudian dengan sangat perlahan.Brian tersenyum simpul, ia mengambil belanjaan miliknya. "Sama-sama."Brian melangkah pergi dari depan kasir. Ia tahu betul kalau langkah itu mengekor di belakangnya. Membuat senyum Brian kembali merekah membayangkan betapa menggemaskan wajah kesal Heni tadi."Masih sakit?" Brian menoleh, tentu dia tidak lupa bahwa tadi pagi Brian sudah membawa gadis ini beradu dengan aspal, bukan?Wajah itu tampak tersentak. Matanya menatap Brian dengan saksama. Seolah ia tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Brian barusan. Memang ada yang salah dengan pertanyaan Brian tadi?"Lumayan. Nyerinya masih.""Obatnya jangan lupa diminum. Kamu pake jaket begitu nggak sakit di lukanya?" tanya Brian yang mendadak khawatir melihat luka parut itu bergesekan dengan jaket yang Heni kenakan."Dikit, Mas. Habis mau bagaimana lagi? Panas kalo nggak pake jaket." jawab Heni apa adanya.Brian menghela napas panjang. Bisa dia lirik motor itu terparkir tak jauh dari mobilnya, membuat Brian mendadak panik dan khawatir dengan Heni."Rumahmu daerah sini?" kenapa Brian jadi terlalu khawatir begini sih?"Iya kost di sini, Mas." jawabnya kembali menatap Brian lekat-lekat."Asli Tanggerang, ya?"Kembali Heni mengangguk tanpa menjawab. Masih dengan mata yang menatap Brian dengan saksama. Sebuah tatapan yang menampakkan bahwa Heni sedikit tidak nyaman. Tidak nyaman dengan obrolan mereka atau dengan Brian? Kenapa hati Brian kembali merasa hampa melihat dan menyadari ketidaknyamanan itu?"Ya udah kalo gitu, aku mau balik! Kamu hati-hati di jalan!"Brian hanya tersenyum simpul, melangkah pergi meninggalkan Heni dan segera masuk ke dalam mobilnya. Ketika Brian hendak menghidupkan mesin mobil, kembali hatinya bergejolak. Kenapa rasanya dia tidak ingin dan tidak rela pergi meninggalkan Heni seorang diri? Terlebih dengan tangannya yang terluka. Ada apa dengan dirinya?Brian mendesah panjang, segera menghidupkan mesin mobil dan membawa mobilnya pergi dari sana. Kenapa perasaan ini semakin kuat? Perasaan apa ini?Cinta?Apa iya secepat ini?Brian melangkah dengan begitu santai masuk ke dalam ruang IGD. Hari ini agaknya cuaca begitu cerah. Dia harap hari ini sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ya ... Brian berharap dia bisa sedikit lebih santai hari ini. Sebuah harapan yang langsung pupus begitu dia lihat hampir semua bed yang ada IGD full!Brian mendesah, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan dan tersentak luar biasa ketika melihat sosok itu tengah menjahit dahi pasien.Brian mengucek matanya, dia tidak salah lihat, kan? Itu Heni? Sedang jahit luka? Tapi bukan kah dia ... Brian melangkah mendekat, hendak memastikan bahwa dia tidak salah lihat atau tengah berhalusinasi semata."Heh itu!" Brian menunjuk dengan suara lantang. "Sejak kapan anak seni tari ikut koas?" Heni anak fakultas seni tari, itu yang Brian tahu. Bukankah Heni memperkenalkan diri sebagai mahasiswa fakultas seni tari semester akhir? Sedang skripsi? Kenapa dia mendadak muncul di IGD dan menjahit luka?Gadis itu menoleh, menatap Brian den
Brian menenteng plastik di tangannya, langkah Brian terasa begitu ringan. Entah mengapa sekarang rasanya Brian begitu semangat berangkat jaga. Padahal biasanya malas setengah mati. Sejak kapan dia jadi begitu semangat dan menantikan jam-jam jaganya? Tentu saja sejak anak jurusan seni tari gadungan yang tiba-tiba muncul dan bergabung di IGD selama masa kepaniteraan kliniknya berlangsung. Begitu sampai di IGD, Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Alisnya berkerut ketika tidak mendapati orang yang dia cari ada di sana. Kemana dia? Bukankah selama ini jadwal jaga mereka selalu diusahakan satu shift? Brian mendapat predikat dokter 'bau' yang tingkat 'bau'-nya sudah tidak dapat ditolerir lagi. Di mana arti 'bau' dalam dunia IGD dan paramedis adalah orang yang suka menjadi 'pembawa' pasien datang ketika dokter atau koas itu berjaga di IGD. Brian menyadari hal itu. Sejak dia koas, predikat 'bau' itu sudah melekat sempurna dalam diri Brian. Membuat dia sering diusahakan
Brian tertegun, menatap nanar layar ponsel yang sudah terputus sambungannya. Hatinya mendadak pedih. Obrolan demi obrolan tadi terus terngiang di telinga. Bagaimana Heni balas memakinya dan mengatakan sesuatu yang membuatnya ketar-ketir. Residen sana ganteng-ganteng? Residen apa yang Heni maksud? Yakin dia masih sendiri? Yakin serius? Bukan apa-apa, predikat residen tidak terlalu bagus untuk urusan asmara. Apalagi di mata mereka, koas cuma macam mainan lucu yang menggemaskan. Yang sayang jika hanya didiamkan saja! Brian mengusap wajahnya. Kenapa sih hubungan dia dan Heni sejak dulu tidak ada peningkatan ke arah yang lebih baik? Kenapa mereka selalu bertikai tiap berinteraksi? Kode Brian kurang kenceng? Atau otak Heni yang terlalu lamban menerima kodenya? Kenapa semua jadi begini? Kalau ketemu tiap hari saja kode yang Brian lancarkan tidak pernah sampai, bagaimana kalau mereka terpisah jarak dan waktu? Ya meskipun kalau pas tidak jaga mereka bisa ketemu, cuma tentu enak kalau mereka
Heni memarkirkan motornya, ia tertegun sejenak sebelum kemudian mematikan mesin dan turun dari motor. Ditatapnya bangunan gedung rumah sakit yang nampak masih baru itu. Kenapa rasanya hati Heni begitu hampa? Kenapa dia lebih suka di RSUD daripada harus di sini? Heni mendesah, ia lantas melepaskan helm, menggantungkan pelindung kepala miliknya lalu perlahan melangkah meninggalkan area parkir. Ia kembali teringat obrolannya kemarin, ketika Brian tengah meneleponnya sore itu. Benarkah Brian merindukannya karena tidak akan ada yang dia siksa kalau Heni koas di sini? Apakah dia tidak merasakan perasaan yang sekarang menyelimuti hati Heni? Semacam perasaaan sepi, hampa dan mmm ... Rindu! "Ini apaan sih? Nggak jelas banget!" Maki Heni berusaha menyingkirkan jauh-jauh dan mengelak dari perasaan yang membelenggunya.Rindu pada sosok itu? Agaknya memang iya, tetapi kenapa rasanya berat dan sulit untuk mengakuinya? Heni tersenyum kecut, terus melangkah mengingat ia harus segera sampai di labor
Anisa mendesah menatap jadwal jaga yang tertempel di dinding. Ada nama dokter Brian di sana. Tanpa ada nama Heni yang itu artinya jam jaga mereka akan sangat menyeramkan sekali.Semua tahu 'kutukan' apa yang dimiliki Brian. Hal yang membuat IGD tidak akan pernah sepi kalau Brian yang berjaga. Sepanjang Brian menjadi dokter umum di RSUD ini, penawar 'bau' itu cuma satu, lebih tepatnya baru ditemukan satu, yaitu Heni. Ketika mereka berdua disandingkan, maka keadaan akan jadi lebih baik ketimbang jika hanya Brian seorang diri. Masalahnya, kini gadis itu dirolling ke rumah sakit lain! Macam mimpi buruk yang terus menghantui perawat dan koas, bahkan dokter senior lain ketika Brian berjaga di IGD, terlebih malam hari. "Nis, kenapa?"Anisa menoleh, tampak Galih menatapnya dengan tatapan heran. Anisa mendesah, membalikkan badan dari papan daftar jaga, memperlihatkan nama Brian tercatat di sana. Hal yang langsung direspon sama oleh Galih. "Dokter Brian jaga malam lagi? What a hell!" runtuk
"Motor aku gimana, Mas?"Brian melotot, ditatapnya Heni dengan tatapan kesal. Motor? Heni malah memikirkan motornya daripada momen mereka ini? "Biarlah, nggak mungkin ilang, Hen!" jawab Brian santai sambil menahan gemas. Ia segera membawa mobilnya melaju dari halaman parkir. Ia melirik sekilas, Heni tidak tampak protes dan itu artinya dia juga sama dengan Brian, begitu rindu momen ini dan tidak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka ini. "Memang kita mau makan dimsum di mana, Mas?"Brian kembali melirik wajah itu, senyum Brian merekah. Rasanya sudah cukup lama mereka tidak bersama macam ini. Tidak sia-sia Brian datang jauh-jauh dan menculik Heni, akhirnya rasa rindunya terbayar sudah! "Warungnya sih kaki lima, Hen. Tapi aku jamin kamu bakalan suka." Brian tahu, Heni sebenarnya bukan tipe gadis gede gengsi yang tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Tapi dia perlu memberitahukan ini sebelum Heni berekspektasi tinggi terhadap tempat makan yang akan mereka datangi. "Enak?"Kini
Brian mendengus. Kepalanya mendadak pusing. Tentulah setelah ini dia akan mengantarkan Heni pulang. Memang mau apa lagi? Dia hendak menculik dan memperkosa Heni begitu? Bisa saja kalau Brian sudah tidak waras! Tapi dia ini masih waras. Bisa digorok mamanya kalau dia sampai berani macam-macam sama anak gadis orang. Bukan hanya itu, kesempatan dia lanjut sekolah spesialis bisa lenyap kalau sampai Brian membuat olah dan membuat murka sang mama. Sungguh horor sekali! "Iya lah! Memang mau apa lagi sih?" sahut Brian gemas. Dia mencubit-cubit dimsum dengan supit bambu di tangan, membayangkan kalo dimsum di hadapannya ini adalah Heni. "Anter ke rumah sakit lah, Mas. Ambil motor."Brian menghirup udara banyak-banyak. Inhale ... exhale ... Brian lakukan itu berkali-kali. Macam ibu-ibu yang mau partus di VK. "Khawatir banget sih sama motor? Heran aku!" protes Brian tak suka. Memang kenapa kalau Brian mau mengantar Heni sampai kost? Dilarang? Kost Heni ekslusif, bebas. Jangankan antar sampai
Brian menghentikan mobilnya di depan gerbang kost Heni, sejenak dia menoleh, di saat yang bersamaan, Heni tampak juga tengah menoleh menatapnya. "Makasih banyak buat malam ini, Mas."Brian tersenyum, nada suara Heni begitu lembut. Sangat manis sekali di dengar. Kepala Brian terangguk, refleks tangan Brian terulur mengelus kepala Heni dengan begitu lembut. Melihat sikap Heni yang semanis ini, sikap tengil dan menyebalkan milik Brian mendadak lenyap. Dia tidak ingin sikap manis dan menggemaskan Heni ini berubah jadi sikap menyebalkan seperti biasanya. "Besok malam aku jemput. Nggak lupa sama janji kamu, kan?" Brian ikut bersuara dengan begitu lembut, menyamai nada lembut Heni. Senyum itu merekah, sebuah senyum manis yang mampu membuat Brian rasanya ingin memepet Heni lalu meraup bibirnya hingga gadis ini kehilangan napas. Namun pikiran Brian masih jernih, tentu dia tidak boleh gegabah karena bisa jadi sikap gegabahnya malah membuat semua usaha Brian jadi sia-sia. "Tentu. Kabari aja