Share

BAB 5

Brian mematikan mesin mobilnya. Dia sudah sampai di minimarket yang dia tuju. Segera melepas seat belt dan melangkah turun. Dia hendak melangkah masuk ketika ada tubuh yang menabraknya dari sisi lain.

"Woy, woles dong, ah!"

Teriakan itu ... Brian segera menoleh, menatap siapa pemilik suara itu. Dan benar saja! Gadis yang menabraknya itu Heni! Heni Saraswati!

"Ka-kamu ...." Brian terkejut setengah mati, baru tadi Brian mengomel karena bayangan Heni mendadak hadir dalam pikirannya, eh sekarang mereka harus ketemu lagi?

Mereka sama-sama terkejut, saling tatap dengan sorot mata tajam. Brian pastikan setelah ini gadis itu akan berteriak-teriak heboh dengan begitu nyaring.

"Kenapa sih harus ketemu kamu lagi, Mas?" salaknya dengan gemas, ia menjambak rambutnya dengan frustasi.

Sebuah protes dan ekspresi yang entah mengapa terasa sedikit sakit di hatinya dan membuatnya agak kecewa. Apa? Kecewa?

"Kamu pikir ini minimarket punya nenek moyangmu? Jadi aku nggak boleh ke sini, heh?" balas Brian sambil berkacak pinggang. Berusaha menutupi perasaan aneh yang tengah dia rasakan ketika mendengar protes Heni yang sepertinya tidak suka bertemu dengan dirinya.

"Ya tapi kenapa kamu harus kesini dan kita harus ketemu lagi?" terlihat dia masih tidak terima.

"Kamu juga ngapain sih ke sini? Nggak ada tempat lain buat kau datengin? Heh?" Brian balik bertanya, kenapa dia benci melihat Heni yang nampak sangat kesal dan tidak suka bertemu lagi dengannya seperti ini?

Gadis itu tidak menjawab, dia mencebik dan mendorong pintu. Meninggalkan Brian begitu saja. Sebuah hal yang membuat Brian melongo diam di tempatnya berdiri sambil menatap kepergian Heni masuk ke dalam.

Beberapa detik terdiam, Brian tersentak dan sadar bahwa dia kesini karena perlu membeli pasta gigi, mouthwash dan beberapa camilan untuk teman nonton bola nanti malam. Brian mendengus, segera mendorong pintu dan melangkah masuk ke dalam.

Dari sudut matanya, dia bisa lihat Heni tampak tengah berdiri di depan freezer eskrim. Gadis itu jauh-jauh ke sini dengan luka di tangan macam itu hanya untuk beli eskrim? Astaga ... macam anak SD saja!

Brian mencoba fokus mencari merek pasta gigi favoritnya. Mouthwash dan tentu saja camilan-camilan yang ingin dia beli. Setelah semua lengkap, dia membawa keranjangnya ke kasir. Sekali lagi, Heni berdiri di depannya. Dia tengah membayar eskrim, cokelat dan sebotol air mineral.

"Semuanya lima puluh lima ribu, Kak." seru petugas kasir dengan begitu ramah.

"Wait, tunggu bentar, Mbak!"

Brian menatap Heni dari tempatnya berdiri. Gadis menyebalkan itu tampak merogoh saku celananya. Satu satu, dua saku ... depan dan belakang ... sebuah tanda yang Brian tahu betul apa itu artinya. Dia segera maju, merogoh dompet dan menarik kartu dari dalam sana.

"Pakai ini saja, Mbak! Sekalian sama belanjaan saya!" perintah Brian sambil meletakkan dan mendorong keranjangnya di atas meja kasir.

Heni menoleh, menatapnya dengan tatapan terkejut.

"Eh, apaan ini? Kan a--."

"Nggak usah bawel! Diem-diem aja!" hardik Brian yang makin gemas setengah mati, tangannya terulur dan menjitak kepala Heni dengan sedikit keras.

Jika Brian pikir Heni akan diam saja dia jitak macam itu, maka dia salah! Tangan Heni ikut melayang, membalas Brian dengan menimpuk lengan Brian dengan cukup keras.

"Aduh! Apaan sih?" pekik Brian terkejut sambil menoleh menatap Heni yang juga menatapnya itu.

"Habisnya Mas dari tadi suka banget jitak kepala? Sakit, Mas!" protes Heni setengah berteriak dengan mata melotot.

Brian menghela napas panjang. "Habisnya kamu itu lemot, biar agak cepet das-des gitu otaknya!" balas Brian santai. Dia sangat suka melihat wajah cemberut menahan kesal itu. Kenapa manis dan menggemaskan sekali sih?

"Ini jadi satu struknya, Kak?" tanya petugas kasir yang entah mengapa seolah seperti ingin melerai adu mulut keduanya.

Brian menoleh, kepalanya terangguk pelan. "Iya jadi satu aja, Mbak!" jawabnya cepat.

"Silahkan PIN-nya, Kak!"

Lengan Brian terulur, menekan tombol mesin EDC dengan begitu santai tanpa dia tutupi. Dari sudut mata, dia tahu Heni tengah menatap ke mesin, tapi apa pentingnya kalau dia tahu PIN ATM Brian? Toh kartu Brian yang pegang dan apa hak Heni pegang kartu ATM dia?

Brian menarik plastik yang tergeletak di atas meja kasir. Mengambil plastik berisi belanjaan Heni.

"Nih eskrim mu!" ia menyodorkan plastik itu ke arah Heni.

Heni menatap mata hitam miliknya, dia nampak tertegun sejenak membuat alis Brian berkerut karena Heni sama sekali tidak berkedip menatapnya.

"Dek? Kenapa bengong? Kamu nggak apa-apa, kan?" Brian mengibaskan tangan tepat di wajah Heni, membuat gadis itu tergagap.

Heni menundukkan wajahnya, menerima plastik itu dari tangan Brian.

"Terima kasih banyak, Mas!" desisnya kemudian dengan sangat perlahan.

Brian tersenyum simpul, ia mengambil belanjaan miliknya. "Sama-sama."

Brian melangkah pergi dari depan kasir. Ia tahu betul kalau langkah itu mengekor di belakangnya. Membuat senyum Brian kembali merekah membayangkan betapa menggemaskan wajah kesal Heni tadi.

"Masih sakit?" Brian menoleh, tentu dia tidak lupa bahwa tadi pagi Brian sudah membawa gadis ini beradu dengan aspal, bukan?

Wajah itu tampak tersentak. Matanya menatap Brian dengan saksama. Seolah ia tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Brian barusan. Memang ada yang salah dengan pertanyaan Brian tadi?

"Lumayan. Nyerinya masih."

"Obatnya jangan lupa diminum. Kamu pake jaket begitu nggak sakit di lukanya?" tanya Brian yang mendadak khawatir melihat luka parut itu bergesekan dengan jaket yang Heni kenakan.

"Dikit, Mas. Habis mau bagaimana lagi? Panas kalo nggak pake jaket." jawab Heni apa adanya.

Brian menghela napas panjang. Bisa dia lirik motor itu terparkir tak jauh dari mobilnya, membuat Brian mendadak panik dan khawatir dengan Heni.

"Rumahmu daerah sini?" kenapa Brian jadi terlalu khawatir begini sih?

"Iya kost di sini, Mas." jawabnya kembali menatap Brian lekat-lekat.

"Asli Tanggerang, ya?"

Kembali Heni mengangguk tanpa menjawab. Masih dengan mata yang menatap Brian dengan saksama. Sebuah tatapan yang menampakkan bahwa Heni sedikit tidak nyaman. Tidak nyaman dengan obrolan mereka atau dengan Brian? Kenapa hati Brian kembali merasa hampa melihat dan menyadari ketidaknyamanan itu?

"Ya udah kalo gitu, aku mau balik! Kamu hati-hati di jalan!"

Brian hanya tersenyum simpul, melangkah pergi meninggalkan Heni dan segera masuk ke dalam mobilnya. Ketika Brian hendak menghidupkan mesin mobil, kembali hatinya bergejolak. Kenapa rasanya dia tidak ingin dan tidak rela pergi meninggalkan Heni seorang diri? Terlebih dengan tangannya yang terluka. Ada apa dengan dirinya?

Brian mendesah panjang, segera menghidupkan mesin mobil dan membawa mobilnya pergi dari sana. Kenapa perasaan ini semakin kuat? Perasaan apa ini?

Cinta?

Apa iya secepat ini?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
cinta dong ayo diraih cintanya mas
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status